Kekenyangan Makan

Dirja menatap deretan makanan lezat di depan matanya dengan mata yang berbinar. Makanan-makanan yang biasanya hanya bisa dia nikmati saat hari raya kini tersaji dengan hidangan yang lengkap di hadapannya.

Tentunya hidangan hidangan itu begitu menggoda setiap indera penciumannya. Perutnya yang sudah keroncongan semakin membuat dia tak sabar untuk mencicipi setiap makanan yang ada.

Dengan senyum kecil di bibirnya, Dirja meraih selembar daun sebagai alas, lalu menyendok nasi sampai dua centong penuh. Tangannya tak berhenti, dia mengambil potongan daging semur, mie goreng dan lauk lainnya hingga daun itu hampir tersembunyi di bawah tumpukan makanan yang dia ambil.

Karena begitu kelaparan dan juga senang melihat banyaknya makanan, Dirja sampai tidak ingat kepada istrinya, Darmi. Dia tidak ingat bagaimana nasib wanita itu yang sendirian di rumah reot miliknya, apakah wanita itu ada yang mengurus atau tidak? Apakah wanita itu kesakitan atau tidak?

Dari sudut ruangan, Ki Gundul tersenyum kecil, dia menahan tawa. Misinya berhasil sempurna. Dia memperhatikan Dirja yang mulai memasukkan makanan ke mulutnya dengan penuh napsu, dia mengunyah pelan seolah meresapi tiap rasa.

Awalnya dia makan dengan pelan, tetapi lama kelamaan pria itu benar-benar rakus sekali. Senyum di bibir Ki Gundul semakin melebar saat mendengar Dirja mengoceh dengan mulut penuh.

"Makanannya enak semua, Ki. Aku yang lapar ini bisa kalap,” ujar Dirja sambil menahan gelak kecil di sela kunyahannya.

Ki Gundul mengangguk dengan senyuman di bibirnya, dia merasa senang karena pria itu tidak menanyakan apa pun tentang makanan yang dia sediakan. Dirja begitu menikmati makanan tersebut, bahkan Ki Gundul bisa melihat kalau pria itu sampai lupa membaca Bismillah.

"Makanlah, Nak. Makanan ini memang khusus untukmu. Sirupnya juga, coba minum, itu minuman yang tak akan kamu temukan di tempat lain.”

Dirja menatap semua makanan dengan penuh semangat, lalu menatap pria tua di depannya.

"Iya, Ki. Aki itu baik banget. Makanan ini pasti aku makan sampai habis. Gak boleh mubazir, Aki juga harus makan, ayo!" ajaknya sambil tersenyum lebar.

Namun, Ki Gundul hanya menggeleng pelan sambil menatap lembut pria yang ada di hadapannya. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

"Ini makanan khusus buat kamu, Nak. Kalau bisa habis, nanti bonusnya banyak loh. Makanlah, makan semua kalau sanggup! Aki sudah kenyang."

Mata Dirja melebar, raut wajahnya jadi penasaran. Sudah mendapatkan banyak makanan enak saja Dia sangat bahagia, dia menjadi penasaran dengan bonus yang nantinya akan dia dapatkan kalau bisa menghabiskan makanan tersebut.

"Bonus? Bonus apa, Ki?"

Ki Gundul mengangkat kedua bahunya, matanya menatap Dirja dengan tatapan lain. Tatapan seperti menyimpan rahasia yang begitu besar.

"Ada. Pokoknya nanti kamu dapat modal. Cepat makan, nanti makanannya keburu dingin."

"Siap, Ki," jawab Dirja tanpa ragu.

Dia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lahap, suaranya terkadang tercekat menahan lapar yang menggerogoti. Sesekali tangan kanannya akan menggapai sirup merah yang ada di sampingnya.

Lalu, dia meneguknya langsung dari kendinya, tak peduli tetesan yang berjatuhan membasahi bajunya. Wajah Dirja terlihat jelas lelah dan kelaparan, tetapi matanya berbinar penuh harap, seperti ingin membuktikan kalau semua usaha ini tak sia-sia.

"Aduh, Ki. Perut saya sakit, Sepertinya saya kekenyangan." Dirja mengusap-usap perutnya yang kini membuncit.

Ki Gundul tertawa melihat tingkah Dirja, karena pria itu sudah seperti anak kecil yang kehilangan kendali saat makan dan kini mengeluh karena perutnya sakit diakibatkan oleh makanan.

"Kalau begitu kamu mandi dulu, biar enak badannya."

"Aki sudah seperti orang tua aku saja, dulu kalau aku lagi kecil makannya terlalu banyak, aku diminta mandi. Katanya biar badannya enakan, biar perutnya nggak sakit."

"Apa yang dikatakan oleh orang tua dulu memang tidak pernah salah, ayo ke belakang rumah. Aki antar kamu buat mandi di sana."

"Siap, Ki."

Ki Gundul melangkah mantap menuju pintu belakang rumah yang terbuat dari anyaman bambu, dia bahkan tak melihat ke belakang. Dirja mengikuti dengan langkah ragu-ragu, matanya mengamati setiap sudut sumur yang tak jauh dari sana.

"Ternyata di sini ada sumur, ya, Ki?” ucap Dirja sambil menahan penasaran.

"Ada dong. Kalau enggak, Aki mau mandi di mana?” Ki Gundul menoleh sebentar, senyum tipis terlukis di bibirnya.

Dirja menggaruk-garuk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal, matanya lalu menatap pagar bambu yang mengelilingi sumur setinggi dada orang dewasa. Di dekat sumur, ada sebuah tempat mandi sederhana berukuran dua kali dua meter.

Cukup tempat untuk mandi dan juga mencuci, tempatnya juga dirasa sangat nyaman. Namun, jika malam hari mungkin Dirja tak akan sanggup keluar dari rumah hanya untuk buang air. Karena tempatnya dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun dan juga besar.

Dirja malah ketakutan karena teringat apa yang terjadi tadi malam, apalagi sekarang hari sudah semakin sore. Matahari sudah condong ke barat, hari sudah hampir sore lagi.

"Kalau begitu, aku akan menimba airnya dulu,” ujar Dirja sambil meraih timba di dekatnya.

"Ya, kamu timba airnya. Nanti masukin ke bak yang terbuat dari tanah liat itu, aku akan menyiapkan yang lain,” sahut Ki Gundul dengan nada agak misterius.

Dirja mengangkat alisnya, raut wajahnya penuh tanda tanya. Mandi saja harus menyiapkan yang lainnya, apa yang akan disiapkan oleh pria itu, pikirnya. Kenapa terdengar begitu misterius?

"Menyiapkan apa, Ki?”

"Pokoknya ada. Kamu cukup timba airnya, aku yang urus sisanya,” jawab Ki Gundul sambil menatap ke arah sumur seolah menyimpan rahasia.

Dirja masih saja bingung dengan apa yang dikatakan oleh pria tua itu, dia tetap berdiri sambil memegang timba, dia mencoba menebak apa yang sedang direncanakan pria itu.

"Aki gak bisa ya, kalau menjelaskan semuanya secara lugas?"

"Udah jangan banyak omong, hari sudah sore. Keburu malam, nanti kamu gak pulang-pulang. Gak kangen kamu sama istri kamu si Darmi?"

"Eh?"

Dirja kaget karena pria tua itu tahu nama istrinya, tetapi dia juga lebih kaget lagi ketika mengingat istrinya yang dia tinggalkan sendirian di rumah.

"Cepat timba airnya, terus mandi. Biar cepet pulang, istri kamu bisa mati kelaparan."

"Iya, Ki," jawab Dirja yang mengira kalau pria tua itu akan mengambilkan sabun dan peralatan mandi lainnya.

Dia segera menimba air, mengisi bak yang terbuat dari kendi itu sampai penuh. Saat dia hendak mandi, Ki Gundul datang dengan membawa dupa dan juga kembang 7 rupa. Dupa itu disimpan di dekat sumur tua, lalu menaburkan bunga tujuh rupa pada bak yang sudah terisi air.

Bau kemenyan langsung menguar, asap dari dupa itu mengepul memenuhi tempat mandi itu. Dirja yang penasaran tentunya langsung bertanya.

"Kok ada dupa segala, Ki? Terus, ini kenapa bak mandinya ditaburi kembang 7 rupa?"

"Gak usah banyak tanya, kamu cepatlah berendam di bak itu."

"Harus ya, Ki?"

Terpopuler

Comments

🍒⃞⃟🦅AmaraGold☆⃝𝗧ꋬꋊ

🍒⃞⃟🦅AmaraGold☆⃝𝗧ꋬꋊ

saking polosnya di jebak buat perjanjian dengan setan manut aja🤦.
sakarepmu dirja,semoga aja konsekuensi dari ketidaktahuanmu ini tidaklah berat😄, ,....tawar harga dengan iblis🤭

2025-10-11

0

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

astaga Dirja Dirja 🤦🏻‍♀️kamu kalo dekett sama aku, udah aku talepak, ini polos atau Beloon🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️

2025-10-11

0

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

kaliaa🐈🐈‍⬛👯

dirjaa istrii kamuu gimanaaa😡dasar cowok😡

2025-10-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!