Cinta Duka
Seperti halnya hari-hari biasa pagi yang cerah ini ku mulai dengan doa kepada sang maha Cinta akan kelancaran segala urusan yang akan terlimpahkan agar mendapat kemudahan dengan jalan terbaik Nya. Dua kali dering bel berbunyi dari lorong bilik penimba ilmu putri, berlaga indah dalam gendang telinga yang masih jauh dari kata sempurna.
“Akan mendapat petuah seperti apakah hari ini ?.”
Dari situlah ragaku langsung bergegas menghampiri penghujung bunyi yang menandakan panggilan bagi kami, santriwati. Dengan perawakan kaki kecil ini aku berlari menghampiri kediaman sang kiai.
“Kesini mbak,” ujar ibu Nyai pengasuh pondok tempat kami menimba ilmu.
“Iya Buk,” jawabku dengan menundukan pandangan.
“Kamu nanti ikut aku menjenguk Ning Zahra ya,” ujar Bu Nyai mengajakku untuk menemaninya menjenguk putri kedua sekaligus teman baikku dari kecil yang sekarang ini sedang menuntut ilmu di luar kota.
“Sekarang, itu dikemasi dulu,” ujar bu nyai lagi sambil menunjuk ke arah gundukan jajanan.
“Iya Buk," jawabku dengan senyum, sambil mengemasi barang barang yang hendak dibawa nanti ketika berangkat menjenguk neng Zahra.
Tak lama aku berkemas merapihkan barang yang hendak dibawa nanti, tiba-tiba semua santriwati shalaf dipanggil menghadap Abah Kiai.
“Tumben Abah manggil semua santriwati, ada kasus apalagi ni,"
ujar ku dalam hati, karena selama aku menjejakkan kaki dalam penjara suci ini sangat jarang sekali Abah Kiai mengumpulkan semua santriwati Shalaf kalau tidak ada kasus yang besar.
Tak lama berselang setelah semua santriwati berkumpul mereka semua di suruh bubar kembali oleh Abah.
“Tumben sekali, ada apa ya,” ujarku dalam hati.
“Buk.. Bukk.., siapa itu yang di situ?” tanya Abah Kiai kepada Ibu Nyai.
“Ain Bah.., ada apa?” jawab ibu nyai sambil kembali bertanya.
“Coba suruh kesini sebentar,” sahut Abah Kiai lagi
“Iya Bah.” Jawab Ibu Nyai, sambil menyuruhku menghadap abah kiai.
“Ada apa ya, tumben sekali Abah,” ucapku dalam hati sambil bertanya - tanya.
“Haa!! ya ini Gus,” ucap seorang pemuda yang ada dihadapan Abah Kiai.
“Haa, kenapa ? apaa ? siapa ?” ucapku dalam hati dengan raut muka kebingungan tak mengerti apa topik dalam pembicaraan Abah Kiai dan Pemuda itu.
“Yaudah, sekarang orang tuamu suruh kesini secepatnya,” ucap Abah Kiai dengan gembira.
“Ada apa Bah,” sahut Ibu Nyai kebingungan.
“Sudahlah Buk, samian tenang aja aman - aman,” jawab Abah Kiai sambil senyum-senyum tipis bergembira.
Kebingungan ini membawa pikiranku semakin liar membuat kemungkinan- kemungkinan buruk dan baik yang akan terjadi, selalu terngiang-ngiang dalam benak ini, ekspresi Abah Kiai dan Pemuda yang tak ku kenal siang tadi.
Di atas kebahagiaanku hari ini terselip pertanyaan yang membuat gundah setiap detik waktu ini. Hanya beberapa kata yang mampu bibir ini ucap ketika berbicara antar jarak dengan ibu bapak di rumah. “Pak, sama Abah Kiai di suruh menghadap."
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa senja yang dulunya ada nan indah kini telah hilang dan hendak kembali lagi dengan goresan kelabu tipis, kegundahan dalam hati berat rasanya raga ini beranjak menyambut mentari pagi. “Kriinggg." Nada khas Nokia N70 punya Ibuku yang kini aku bawa berdering dengan sopan dalam gendang telinga. “Mas Andre.” Itulah notifikasi yang kulihat.
“Tumben sekali jam segini,” kata ku dalam hati, sembari membuka pesan SMS darinya.
“Selamat pagi dik, besok hari rabu samian bisa pulang sebentar ? saya dan Bapak Ibu, mau berkunjung."
Guncangan kebahagian jelas terasa dalam hati ini, perlahan bibir ini mulai menggoreskan senyum tipis, jiwa ini tak lagi sanggup membendung limpahan air mata yang terus mendesak ingin menetes, rasa gembira, bahagia, nan senang di dalam hati ini sudah lagi tak sanggup terlahir kan dalam suatu media apapun, perlahan jari ini memencet papan tombol keyboard kelabu. “Iya Mas, Ain tunggu." Serasa terlahir kembali raga ini, mendengar kabar dari sang pujaan hati yang hendak menjajakan kaki bersama dalam sebuah romansa bersajakan rumah tangga, yang telah kami harapkan bersama.
Senyum yang sudah tidak dapat terhenti lagi, kegundahan yang sesaat tadi pernah mendekap kini sirna akan kabar dari seorang hamba bernama Andre Setiawan yang pada akhirnya telah mengucapkan kalimat dambaan hati santriwati ini.
“Tumben pondok ramai sekali, ada banyak tamu, ehh itu Pemuda yang kemarin, ada perlu apa lagi ya sama Abah,” pertanyaanku dalam hati ketika melihat banyak kerumunan insan di depan gerbang pondok, sambil mengayunkan ijuk ke lantai pikiran ini berayun kemana - mana. “Alah biarin saja.” Dengan senyum hati ini menyanggah.
Kabar pagi ini telah menutupi semua kegundahan, keraguan, dan kebingungan yang ada, bersama dengan embun yang kian waktu semakin memudar berganti dengan sinar sang mentari menandakan waktu pagi telah siap berjalan lagi. “pas sekali, hari ini bapak ibuk juga kesini, nanti langsung bilang aja” kataku dalam hati sambil tersenyum-senyum sendiri teringat pesan yang kubaca pagi ini.
“Tapi Bah, gimana dengan Reza,” ujar bu Nyai dari ruang keluarga kediaman Abah Yai.
“Sudahlah buk, samian tenang aja, samian ya nggak ngomong kalo Reza dijo-” ucapan Abah Kiai terhenti ketika melihatku menyapu di ruangan sebelah.
“Yasudah Bah, saya ikut saja,” ujar Bu Nyai dengan mata berkaca – kaca perlahan beranjak pergi meningggalkan ruangan yang canggung itu.
“Ada apa ya,” tanyaku dalam hati.
“Mbak Ain, bapak ibu sudah sampai.” Menepuk pundak ku dari belakang, tangan lembut dari ketua pengurus pondok putri mengagetkanku ditengah renungan hati ini bertanya – tanya akan seperti apa skenario dari sang Maha Cinta .
“Ooo, iya Mbak sebentar lagi selesai,” jawabku singkat, dengan kaget membangunkan ku dari renungan dalam.
Waktu itu serasa membingungkan, seringkali aku melewati ruangan canggung kediaman abah kiai, aku melihat ibu nyai dan abah kiai membicarakan hal – hal yang kurang jelas dengan berbagai nama asing menghunus ke telingaku di iringi dengan asma yang tak lagi asing bagiku, namaku “Aini." Hari itu aku tidak mau membebani pikiran ini dengan spekulasi-spekulasi yang membuat hari bahagia ini menjadi ternoda.
“Assalamu’alaikum, Pak Buk."
“Eh, Ain... gimana kabarnya?” tanya Ibuku kepada ku.
“Alhamdulillah, sehat Buk,” jawabku sembari sungkem dengan beliau.
“Ada apa Ain, kok tumben abah kiai memanggil suruh menghadap ?” tanya bapak kepadaku
“Entah ya Pak, cuman disuruh kesini gitu aja,” jawabku dengan kebingungan juga.
“Aini apa kesandung kasus?” tanya Ibuk dengan khawatir.
“Nggak dong Buk, Aini di sini tertib, kaga aneh - aneh,” jawabku cemas, berharap memang aku tidak melakukan kesalahan sehingga orangtuaku dipanggil abah.
“Kalo nggak ya nggak ada apa - apa berarti,” jawab Bapak dengan santai sembari menghisap sepuncung rokok selaras dengan hembusan angin yang terbawa awan.
Serasa tak ada beban waktu itu, seperti halnya kunjungan biasanya, kami bercerita panjang lebar apa yang telah kami lalui di hari – hari kemarin. Sampai pikiran ini menuntunku pada ingatan pagi tadi.
“Ehh iya Buk... anu.” kata ku terhenti dengan senyum malu- malu.
“Ada apa Aini?” tanya Ibuk penasaran, dengan bapak yang terlihat memasang wajah penasaran hanya melirik sembari menghisap sepuncung oksigen api milik bapak yang kian waktu semakin mengecil.
“Anu..." Malu yang semakin terkumpul sembari menutup wajah, seakan mulut ini terkunci rapat dan tak sanggup mengucapkan kabar yang menggembirakan itu.
“Gimana to Ainn,” tanya Ibuk sambil mencubit kecil pinggang kecil ini.
“Bentar to Buk, masih malu ini lo," jawabku dengan malu malu sambil menghindari setiap cubitan – cubitan yang layangkan terhadapku.
“Makanya cepat.” Sahut Ibuk sambil terus mengkelitik dan mencubit kecil.
“Udahlah Buk, kalo Ain masih malu entar aja,” sahut bapak dengan santai.
“Bapak nii... apa enggak penasaran,” jawab Ibuk dengan nada manja – manja kepada Bapak.
“Yaa penasaran sih.” Sambil menghisap oksigenya bapak senyum – senyum tipis.
“Laiya to Pak,” sahut Ibuk sambil terus mencubiti ku.
“Udah Buk... udah... jadi gini be-” mulut ini tak sanggup mengucap, seringkali selalu ingin tersenyum. Aku membayangkan mungkin kali ini wajahku sedang memerah sangat.
“Jadi begini.” Tegasku sembari menghirup nafas dalam- dalam dan panjang.
“Mohon maaf, sudah di tunggu abah kiai di dalam.” Tiba- tiba mbak Nisa, dari sekertaris kantor pondok menyela pembicaraan kami.
“Ehh, sekarang mbak? kayaknya masih ada tamu di dalam," jawab bapak dengan kaget.
“Iya Pak, tidak apa - apa.”
“Ooo, iya Mbak," jawab Bapak, sembari mematikan puncung rokoknya dan berdiri siap memasuki kediaman abah kiai
“Yasudah, Ibuk sama Bapak mau masuk dulu, nanti Aini harus cerita," ujar Ibuk sambil mengelus lembut ubun- ubun kepala ini.
“Iya Buk, siap” jawabku tegas dengan senyum malu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Maya Min
lanjutt
2021-01-08
1
Sweet_Seventeen
nyimak
2020-11-06
1
moslh
semangat
2020-11-03
1