Melihat bapak dan ibu memasuki ruang tamu kediaman abah kiai, entah kenapa hati ini terasa begitu sesak dan merasa akan ada sesuatu yang berharga bagiku akan hilang dariku tapi entah apa. Namun berbeda dengan bibir ini, hanya mampu tersenyum, mungkin ini palsu, tapi aku terus memperlihatkannya dan menyakinkan diri ini. Aku bahagia.
Perlahan kakiku melangkah, menuju kamar sembari menunggu bapak ibu selesai dengan urusan bersama abah, namun aku hanya mampu bertanya-tanya, ada apa, kenapa, mungkinkah, oh tidak pikiran ini kacau.
Tiba- tiba langkahku terhenti dengan tepukan lembut dipundak yang tak asing kurasakan. “Ain, ayo ikut saya.” Betapa kagetnya hati ini, perlahan ku memalingkan wajahku, tak pernah ku sangka dan ku kira, dengan kedua tangan lembutnya Bu Nyai menuntunku dari belakang sembari menuju perkumpulan insan dalam ruang tamu kediaman abah kiai.
Ku lihat dengan jelas mata Bu Nyai memerah sangat, dapat ku tahu sesuatu yang tak enak akan terjadi. Mulut ini terdiam dan kaku, hanya mampu menurut tampa ada perlawanan sedikitpun.
Semkin kesini kegelisahan dan kebingunganku semakin menjadi- jadi, aku tak pernah tau apa yang sedang terjadi, namun yang ku tahu aku melihat ada senyum di bibir kedua orangtuaku, dan hati ini hanya mampu mengucap “Hah, ini yang terbaik."
“Nak Aini, samian mau nikah sama nak Dimas ?” tanya Abah Kiai menusuk dan membelah hati ini menjadi berkeping – keping, hanya bingung dan sedih yang aku rasakan. Aku tak tau ekspresi seperti apa yang aku pakai saat ini, itu sangat sulit diutarakan.
“Nikah? maaf maksudnya nikah?” tanyaku kembali mencoba lebih memperjelas apa yang ku dengar dan tak terasa kini air mata menetes tanpa sebab sembari tersenyum tipis di iringi dengan ucapan tanya.
“Nikah Ain, jadi suami istri,” ujar Abah Kiai begitu tegas dan menyayat hati, aku begitu bingung dan bimbang, aku hanya menoleh kiri dan kanan, banyak wajah yang menorehkan senyum tipis di masing – masing raut merek, hanya saja ada salah satu dari kesekian wajah, yang menggambarkan raut kesedihan begitu tergambar jelas di mataku, Bu Nyai.
“Ehh... gimana ya Bah,” jawabku dengan secara tak sadar kepala ini tertunduk dengan sendirinya menutupi setiap tetesan air mata ini, namun bibir ini tetap saja tersenyum tanpa sadar dan tak mau tau dengan hati yang mengais.
“Saya ikut Bapak sama Ibu aja,” jawabku pelan disertai menahan kesedihan tangis qalbu.
“Bagaimana Pak, Bu ?” tanya Abah Kiai kembali kepada Bapak dan Ibu.
“Kalo Aini gitu, saya ikut Pak Kiai aja,” jawab Bapak dengan sopan.
“Yasudah, kalau begitu saya ijab kan disini langsung saja gimana ?” tanya Abah Kiai kepada kedua belah pihak.
“Ngikut saja,” sahut Bapak kepada Abah Kiai, dan diikuti para tamu yang lain.
Yahh… semua itu terjadi begitu singkat dan sekejap, kurasa baru beberapa menit yang lalu hati ini mendapat kabar yang sangat amat menggembirakan, namun apa daya, semua itu sudah terjadi, meski bibir tersenyum namun air mata ini sudah tak bisa lagi tuk berbohong.
“Alhamdulillah, sekarang ini masih ijab siri terlebih dahulu, masalah untuk negara gimana, saya atur,” ujar Abah Kiai kepada pemuda yang baru ku ketahui namanya, Kang Mas Muhammad Dimas.
Tidak sampai 2x60 menit kami kedua keluarga kecil duduk sakral dalam satu atap, mempersatukan dua keluarga melalui dua insan yang tak tau dari mananya mengucapkan janji suci kepada Allah dihadapan Abah Kiai. Setelah semua usai kedua belah pihak diperbolehkan pulang ke rumah masing- masing terlebih dahulu, sembari menunggu proses yang sedang berjalan.
Sesampainya di rumah, hati ini sudah tak sanggup lagi menahan semua kesedihan yang teramat sakit, bingung dan serasa semua sudah berakhir dan tak berarti lagi.
“Aaaaa!!” teriakku keras di dalam kamar, tak kuasa lagi menahan cucuran air mata yang kian waktu semakin tidak dapat ku kendalikan.
“Sudah Ain, kamu lepaskan,”ujar ibuku sembari memelukku dan mengusap kepalaku, dan baru ku sadari, Ibuku juga meneteskan air mata.
“Bukk…”ucapku menangis, sembari mencoba membuka pembicaraan tentang kabar dari Mas Andre, namun apa daya, kesedihan ini telah mengambil alih kendali tubuhku.
Satu jam lebih aku tertunduk dalam pelukan malaikat tak bersayap ku sembari membasahi hijab panjangnya dengan tetesan air mata yang tak ku sengaja telah terlinang sungai eluh ini.
“Akuharus kuat, aku harus secepatnya memberitahu Mas Andre tentang hari ini” ujarku dalam hati.
“Buk, Mas Andre besok mau ke sini bersama keluarga,” ucapku kepada Ibuku, namun ada yang salah menurutku, sekali saja aku mengucapkan nama itu, mata ini malah semakin menjadi.
“Kesini gimana Ain ?” tanya Ibuku dengan mata yang berkaca- kaca dan ku tahu, itu akan menetes lagi.
“Aaa!!" teriakku lagi sambil menangis dan kembali jatuh dalam dekapan, tak kuasa menjawab pertanyaan dari Ibuku, yang dapat aku pastikan Ibuku sudah paham akan maksud ucapan ku.
“Ain yang sabar ya...” ucap Ibuku pelan sembari mengusap lembut kepalaku, memelukku semakin erat, dan kamipun terlelap dalam lautan air mata.
Waktu berjalan begitu pelan ku rasa, aku tak lagi ingat kapan aku mulai terhenti meneteskan air mata, namun hati ini belum juga reda dan berhenti tuk menangis, ku tatap lingkaran berporos penunjuk angka waktu yang tergantung di atas pintu kamarku, namun selain detik jarum jam yang dapat ku dengar dari arah luar aku dapat mendengar suara seseorang yang sudah taka sing lagi ku tahu, iya aku Ingiat itu Mas Andre. Kurasa bapak lah yang memanggilnya datang kemari dan yang menjelaskan apa yang terjadi.
Dari dalam ku hanya mampu terbaring diam memeluk guling menahan teriakan yang sangat ingin sekali ku lepaskan bersama dengan cucuran air mata yang tak terbendung meski sudah habis ku rasa.
“Dik...” panggilanku yang diucapkan dari seseorang yang ku kenal, ku tak tahu kenapa, tapi yang pasti raga ini beranjak menujunya.
“Kenapa ?” tanyanya dengan pelan.
Iyaa, itu Mas Andre, tanyanya dari ruang tamu berdiri tepat di tengah pintu luar kamarku.
“Mas...” ucapku kembali, lirih dan ku baru sadar suaraku sudah menipis, tenagaku sudah terkuras, persendian ku semakin lemas dan tak berdaya lagi ku rasa, namun kaki ini tetap berusaha membuka pintu kamarku dan memutuskan untuk beranjak menujunya.
“Sudah ya, jangan nangis lagi,” ucapnya dengan senyum, namun tetesan air mata mengalir pelan melewati pipinya, sesaat setelah ku buka pintu kamar.
“Maaf Mas...” kataku dengan pelan, yang memang ku tahu aku tak berdaya tuk berbicara lebih banyak lagi.
Lutut ini semakin berat kurasa dan tersimpuhlah kaki ini. Perlahan Mas Andre menghampiriku lebih dekat sembari mengusap air matanya dan menutupi itu semua dengan senyum yang dapat aku rasakan itu palsu.
“Nggak apa - apa Dik, utusan dari abah kiai kan.” sangat jelas tergambar di wajah Mas Andre kepedihan, kesedihan, kekecewaan dan entahlah apalagi yang terasa sakit ia rasakan, dia hanya mampu menutupinya dengan senyum dan mata yang berkaca-kaca.
"Yasudah Dik, aku tak langsung pulang, nggak enak kalo berlama - lama, hati - hati ya.” Pesannya singkat dan padat namun meresap masuk kedalam lubuk hati yang terdalam.
Semakin aku mendengar kata darinya, hati semakin rapuh dan hancur, tak kuat rasanya mata ini membuka melihat kepergian kekasih tercinta.
“Sudah, jangan menangis terus," ucapnya pelan sembari mengelus ubun – ubun kepala ini dengan lembut.
Tanpa sadar reflex ku bergerak dengan sendirinya, tanganku menangkap telapak tangannya dan ku genggam erat tangan yang kurasa paling hangat dan nyata di antara alunan waktu dunia fana ini.
“Maaf Mas...” ucapku pelan sembari mencium tangan Mas Andre sebagai perwakilan rasa cinta yang selama ini telah ku emban.
Perlahan tangan kiri yang tadinya berada di ubun – ubun tak terasa lagi dan tanpa kusadari telapak tangan yang tadinya ku genggam telah pergi menjauh dariku, dan aku hanya mampu terdiam dengan tangis di ruang hampa ini melihatnya beranjak pergi menjauh berpamitan kepada bapak dan ibu. Dan aku tetep dengan sedihku terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sweet_Seventeen
jejak dulu
2020-11-06
1
Maya Min
mantep bgt tulisannya
2020-11-03
1