BAB 5 : Aku Bangkit

Senyum perlahan ku ukir tipis atas kesedihan jiwaku saat ini, di bangku busa empuk KAI ku torehkan pesan tersendiri akan kepergian ku menjauh dari sang pujaan hati menjemput takdir sang illahi. Berkali - kali ku lihat berbagai macam ekspresi terukir di setiap sudut gerbong besi yang melaju tanpa henti. Namun, tatap ku mulai terhenti ketika anak kecil kira-kira berusia 5 tahun mendekat kepadaku dengan mengulurkan tangan dan memberikan sehelai tisu yang ia pegang.

"Ehhh, terimakasih..." sahutku lembut dengan senyum, sembari mengelus kepala anak laki - laki itu.

"Sama - sama," Jawabnya malu - malu dan langsung berlari kepada ibunya.

Ku tatap wajah ibunya tersenyum kepadaku yang menandakan beliau sedang menyapa, dan langsung ku balas pula dengan senyum tipis ku sembari menganggukkan kepala. Ku pandangi sehelai tisu yang ada di tanganku, ku lipat menjadi dua, ku lipat lagi menjadi empat lapis, ku pandangi sehelai tisu itu lagi dengan lamun yang entah kemana pikiran ini berkeliling. Tiba - tiba ada tepukan tangan terasa di pundak ku.

"Mas, boleh duduk?"

"Ehhh... iya silahkan," jawabku terpatah - patah.

Yaa, itu adalah ibu dengan satu anak kecil yang tadinya memberikanku sehelai tisu yang kini ku pegangi dan ku tatap bersama sang lamun, beliau hendak meminta izin duduk di kursi depanku yang sejak tadi kosong.

"Nggak usah ragu mas, nggak ada salahnya bersedih itu menangis," ucapnya singkat sembari menjunjung anaknya untuk duduk di pangkuannya.

Yahhhh, kata yang sangat begitu dalam kurasa, mendengar nya langsung berat rasanya mata ini tuk berbohong, kelopak mata yang tadinya kering nan gersang kini telah teraliri tetesan demi tetesan air.

"Nggak ada yang salah lo Mas, bersedih dan menagis itu manusiawi, aku lihat dari senyummu tadi, terbesit kesedihan yg mendalam ya ?" tanya ibu itu sembari mengelus - elus rambut anaknya.

"Nggak Buk, cuman belum bisa menerima kenyataan saja," jawabku mencoba tuk tersenyum dengan nafas yang tersendat - sendat gegara tangis.

"Hehehe maaf ya mas, jadi sok tau sayanya," ujarnya dengan senyum manis malu - malu.

"Nggak apa - apa buk," jawabku dengan wajah masih tertunduk.

"Kenyataan di tinggal seseorang di cinta iku sakit ya," ujar ku kembali tanpa sengaja, namun terasa lebih baik dan nyaman setelah mengucapkannya.

"Iya Mas, saya paham." Tergambar jelas kesedihan diwajah ibu itu, sembari mengusap lembut rambut anak yang ia pangku.

"Ehh, maaf..." ucapku langsung karena merasa bersalah.

"Nggak apa - apa mas, aku cuman kasian sama Mas kalau terus - terusan bersedih, saya pernah di posisi kayak Mas, ditinggal orang yang di sayang, sekitar lima setengah tahun yang lalu, ketika saya mengandung Faiz." Potong ibu itu.

"Maaf, suaminya ya Bu ?" tanyaku kembali, dengan wajah kaget terbengong.

"Iyaa, dia pergi begitu saja, tanpa berpamitan dan tanpa kata." Terlihat jelas kesedihan itu tergambar dalam senyum Ibu itu.

"Hahaha, maaf ya Mas, jadi ikut kebawa suasana," ujarnya lagi sembari mengusap mata, yahhh ku lihat dengan jelas beliau mulai berkaca - kaca.

"Saya cuman nggak mau Mas yang masih muda ini larut dalam kesedihan yang mendalam seperti saya dulu, sedihnya sewajarnya saja, jangan kelamaan, kasihan orang yang kita kasihi, apalagi jika mereka tau kitanya terlalu lama larut di dalamnya," ujarnya lagi dengan senyum kepadaku.

"Iya Bu," jawabku singkat sembari berpikir tentang kata kata itu dan tentang semua yang terjadi kepadaku akhir - akhir ini.

Kata - kata ibu itu yang begitu dalam membuat jiwa yang kini ku kira lumpuh menjadi mampu bangkit kembali dan tersadar, memang seperti inilah hidup. Penuh dengan kejutan.

"Hmmm..." ku hela nafasku dalam - dalam, dan ku bayangkan semua kesedihan, kepedihan, kekecewaan, dan rasa sakit yang tadi ku nikmati kini ku telan mentah mentah semua, dan ku tutup dengan senyuman kepada seorang Ibu yang duduk di depanku yang mungkin seumuran dengan ibuku.

"Alhamdulillah... sudah lega Bu," ucapku lagi dengan senyum yang bisa ku rasa murni.

"Alhamdulillah, eh ngomong - ngomong Mas mau kemana ini?" sahut Ibu itu dan di ikuti dengan pertanyaan.

"Saya mau melanjutkan sekolah Bu, di Malang," jawabku dengan hati yang lumayan tenang dan ikhlas atas keadaan sekarang.

"Ooo, anak kuliah yaa?" tegas Ibu itu.

"Iya Bu, mau melanjutkan S2."

"Lololooo.., udah S2? kok masih kinyis - kinyis gini," ujar ibu itu mencoba mengajakku bercanda.

"Alah apa Bu Buu..." sahutku malu - malu.

"Mengambil jurusan apa Mas ?" tanya Ibu itu kembali.

"Hehehe, matematika murni Bu."

"Nah, pass... bisa ngajarin Faiz ni," sahut Ibu itu dengan mencubit lembut pipi anaknya Faiz.

"Aaaa..." jawab Faiz malu - malu mencoba mengelak.

"Maaf Buu, ini mau kemana sama Faiz ?" tanyaku kembali kepada Ibu itu.

"Sama Mas, saya mau ke Malang juga, rumah saya deket UM," jawab Ibu itu.

"Ooo, Bisa bersama - sama ya Bu," sahutku merasa lega mendapatkan teman dalam perjalanan.

"Kalau boleh tau Mas dari mana ?" tanya Ibu itu kepadaku.

"Dari Trenggalek Bu."

"Ooo, Nggalek, yang istrinya Bupati artis itu kan?" tanya Ibu itu kembali dengan lucu aku lihat.

"Hehehe, iya Bu," jawabku sembari senyum - senyum tipis.

"Ini Ibu dari mana?" tanyaku, mencoba berganti bertanya.

"Saya kemaren dari Blitar Mas, ke rumah Budhenya Faiz, anaknya baru nikahan," jawab Ibu itu dengan logat khas ibu- ibu.

Dalam perjalanan menuju tempat tujuan kami pun terus berbincang - bincang saling bertukar pengalaman dan cerita, tanpa terasa kini perjalanan yang tadinya sangat lama dan jauh kurasa sekarang tinggal lah beberapa menit lagi sudah sampai akan tujuan. Seakan ruangan ini bekerja sama dengan sang waktu membungkam semua indra perasa kami.

"Ayo nak, dipersiapkan barang - barangnya, sudah mau sampai," ucap ibu itu kepada Faiz anaknya yang tadinya terlelap di pangkuannya selama perjalanan dan selama kami berbincang - bincang.

"Ayo Iz, bangun," ajak ku sembari menarik pelan tangannya yang bergelantung satu.

Waktu yang seperti ini serasa begitu berharga bagiku, banyak cerita dan pengalaman yang aku dapat di hari ini. Bertemu dengan seorang Ibu yang baik hati yang mampu tuk membangkitkan suasana kesedihan hati. Meski hanya beberapa waktu aku bersama beliau, dalam gerbong kereta ini akan menjadi saksi akan ilmu yang aku peroleh darinya, terutama soal masalah hati.

Inci demi inci kaki ini mulai melangkah, mencoba membuka lembar baru di atas kesedihan waktu yang dulu sudah berlalu. Ku tatap langit tua yang kini telah mulai berwarna kelabu, goresan senyum mulai ku retakan dalam bibirku nan tersadar akan suatu kepastian hukum dalam untaian ruang dan waktu.

..."Ketika kita menginginkan sesuatu seperti apa yang kita mau, dan saat itu kita telah mendapatkannya, ada hal kecil yang harus kita persiapkan dan harus siap kapanpun itu terjadi, yakni kepergian dan kehilangan"....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!