NovelToon NovelToon

Cinta Duka

BAB 1 : Apa, siapa, kenapa ???

Seperti halnya hari-hari biasa pagi yang cerah ini ku mulai dengan doa kepada sang maha Cinta akan kelancaran segala urusan yang akan terlimpahkan agar mendapat kemudahan dengan jalan terbaik Nya. Dua kali dering bel berbunyi dari lorong bilik penimba ilmu putri, berlaga indah dalam gendang telinga yang masih jauh dari kata sempurna.

“Akan mendapat petuah seperti apakah hari ini ?.”

Dari situlah ragaku langsung bergegas menghampiri penghujung bunyi yang menandakan panggilan bagi kami, santriwati. Dengan perawakan kaki kecil ini aku berlari menghampiri kediaman sang kiai.

“Kesini mbak,” ujar ibu Nyai pengasuh pondok tempat kami menimba ilmu.

“Iya Buk,” jawabku dengan menundukan pandangan.

“Kamu nanti ikut aku menjenguk Ning Zahra ya,” ujar Bu Nyai mengajakku untuk menemaninya menjenguk putri kedua sekaligus teman baikku dari kecil yang sekarang ini sedang menuntut ilmu di luar kota.

“Sekarang, itu dikemasi dulu,” ujar bu nyai lagi sambil menunjuk ke arah gundukan jajanan.

“Iya Buk," jawabku dengan senyum, sambil mengemasi barang barang yang hendak dibawa nanti ketika berangkat menjenguk neng Zahra.

Tak lama aku berkemas merapihkan barang yang hendak dibawa nanti, tiba-tiba semua santriwati shalaf dipanggil menghadap Abah Kiai.

“Tumben Abah manggil semua santriwati, ada kasus apalagi ni,"

ujar ku dalam hati, karena selama aku menjejakkan kaki dalam penjara suci ini sangat jarang sekali Abah Kiai mengumpulkan semua santriwati Shalaf kalau tidak ada kasus yang besar.

Tak lama berselang setelah semua santriwati berkumpul mereka semua di suruh bubar kembali oleh Abah.

“Tumben sekali, ada apa ya,” ujarku dalam hati.

“Buk.. Bukk.., siapa itu yang di situ?” tanya Abah Kiai kepada Ibu Nyai.

“Ain Bah.., ada apa?” jawab ibu nyai sambil kembali bertanya.

“Coba suruh kesini sebentar,” sahut Abah Kiai lagi

“Iya Bah.” Jawab Ibu Nyai, sambil menyuruhku menghadap abah kiai.

“Ada apa ya, tumben sekali Abah,” ucapku dalam hati sambil bertanya - tanya.

“Haa!! ya ini Gus,” ucap seorang pemuda yang ada dihadapan Abah Kiai.

“Haa, kenapa ? apaa ? siapa ?” ucapku dalam hati dengan raut muka kebingungan tak mengerti apa topik dalam pembicaraan Abah Kiai dan Pemuda itu.

“Yaudah, sekarang orang tuamu suruh kesini secepatnya,” ucap Abah Kiai dengan gembira.

“Ada apa Bah,” sahut Ibu Nyai kebingungan.

“Sudahlah Buk, samian tenang aja aman - aman,” jawab Abah Kiai sambil senyum-senyum tipis bergembira.

Kebingungan ini membawa pikiranku semakin liar membuat kemungkinan- kemungkinan buruk dan baik yang akan terjadi, selalu terngiang-ngiang dalam benak ini, ekspresi Abah Kiai dan Pemuda yang tak ku kenal siang tadi.

Di atas kebahagiaanku hari ini terselip pertanyaan yang membuat gundah setiap detik waktu ini. Hanya beberapa kata yang mampu bibir ini ucap ketika berbicara antar jarak dengan ibu bapak di rumah. “Pak, sama Abah Kiai di suruh menghadap."

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa senja yang dulunya ada nan indah kini telah hilang dan hendak kembali lagi dengan goresan kelabu tipis, kegundahan dalam hati berat rasanya raga ini beranjak menyambut mentari pagi. “Kriinggg." Nada khas Nokia N70 punya Ibuku yang kini aku bawa berdering dengan sopan dalam gendang telinga. “Mas Andre.” Itulah notifikasi yang kulihat.

“Tumben sekali jam segini,” kata ku dalam hati, sembari membuka pesan SMS darinya.

“Selamat pagi dik, besok hari rabu samian bisa pulang sebentar ? saya dan Bapak Ibu, mau berkunjung."

Guncangan kebahagian jelas terasa dalam hati ini, perlahan bibir ini mulai menggoreskan senyum tipis, jiwa ini tak lagi sanggup membendung limpahan air mata yang terus mendesak ingin menetes, rasa gembira, bahagia, nan senang di dalam hati ini sudah lagi tak sanggup terlahir kan dalam suatu media apapun, perlahan jari ini memencet papan tombol keyboard kelabu. “Iya Mas, Ain tunggu." Serasa terlahir kembali raga ini, mendengar kabar dari sang pujaan hati yang hendak menjajakan kaki bersama dalam sebuah romansa bersajakan rumah tangga, yang telah kami harapkan bersama.

Senyum yang sudah tidak dapat terhenti lagi, kegundahan yang sesaat tadi pernah mendekap kini sirna akan kabar dari seorang hamba bernama Andre Setiawan yang pada akhirnya telah mengucapkan kalimat dambaan hati santriwati ini.

“Tumben pondok ramai sekali, ada banyak tamu, ehh itu Pemuda yang kemarin, ada perlu apa lagi ya sama Abah,” pertanyaanku dalam hati ketika melihat banyak kerumunan insan di depan gerbang pondok, sambil mengayunkan ijuk ke lantai pikiran ini berayun kemana - mana. “Alah biarin saja.” Dengan senyum hati ini menyanggah.

Kabar pagi ini telah menutupi semua kegundahan, keraguan, dan kebingungan yang ada, bersama dengan embun yang kian waktu semakin memudar berganti dengan sinar sang mentari menandakan waktu pagi telah siap berjalan lagi. “pas sekali, hari ini bapak ibuk juga kesini, nanti langsung bilang aja” kataku dalam hati sambil tersenyum-senyum sendiri teringat pesan yang kubaca pagi ini.

“Tapi Bah, gimana dengan Reza,” ujar bu Nyai dari ruang keluarga kediaman Abah Yai.

“Sudahlah buk, samian tenang aja, samian ya nggak ngomong kalo Reza dijo-” ucapan Abah Kiai terhenti ketika melihatku menyapu di ruangan sebelah.

“Yasudah Bah, saya ikut saja,” ujar Bu Nyai dengan mata berkaca – kaca perlahan beranjak pergi meningggalkan ruangan yang canggung itu.

“Ada apa ya,” tanyaku dalam hati.

“Mbak Ain, bapak ibu sudah sampai.” Menepuk pundak ku dari belakang, tangan lembut dari ketua pengurus pondok putri mengagetkanku ditengah renungan hati ini bertanya – tanya akan seperti apa skenario dari sang Maha Cinta .

“Ooo, iya Mbak sebentar lagi selesai,” jawabku singkat, dengan kaget membangunkan ku dari renungan dalam.

Waktu itu serasa membingungkan, seringkali aku melewati ruangan canggung kediaman abah kiai, aku melihat ibu nyai dan abah kiai membicarakan hal – hal yang kurang jelas dengan berbagai nama asing menghunus ke telingaku di iringi dengan asma yang tak lagi asing bagiku, namaku “Aini." Hari itu aku tidak mau membebani pikiran ini dengan spekulasi-spekulasi yang membuat hari bahagia ini menjadi ternoda.

“Assalamu’alaikum, Pak Buk."

“Eh, Ain... gimana kabarnya?” tanya Ibuku kepada ku.

“Alhamdulillah, sehat Buk,” jawabku sembari sungkem dengan beliau.

“Ada apa Ain, kok tumben abah kiai memanggil suruh menghadap ?” tanya bapak kepadaku

“Entah ya Pak, cuman disuruh kesini gitu aja,” jawabku dengan kebingungan juga.

“Aini apa kesandung kasus?” tanya Ibuk dengan khawatir.

“Nggak dong Buk, Aini di sini tertib, kaga aneh - aneh,” jawabku cemas, berharap memang aku tidak melakukan kesalahan sehingga orangtuaku dipanggil abah.

“Kalo nggak ya nggak ada apa - apa berarti,” jawab Bapak dengan santai sembari menghisap sepuncung rokok selaras dengan hembusan angin yang terbawa awan.

Serasa tak ada beban waktu itu, seperti halnya kunjungan biasanya, kami bercerita panjang lebar apa yang telah kami lalui di hari – hari kemarin. Sampai pikiran ini menuntunku pada ingatan pagi tadi.

“Ehh iya Buk... anu.” kata ku terhenti dengan senyum malu- malu.

“Ada apa Aini?” tanya Ibuk penasaran, dengan bapak yang terlihat memasang wajah penasaran hanya melirik sembari menghisap sepuncung oksigen api milik bapak yang kian waktu semakin mengecil.

“Anu..." Malu yang semakin terkumpul sembari menutup wajah, seakan mulut ini terkunci rapat dan tak sanggup mengucapkan kabar yang menggembirakan itu.

“Gimana to Ainn,” tanya Ibuk sambil mencubit kecil pinggang kecil ini.

“Bentar to Buk, masih malu ini lo," jawabku dengan malu malu sambil menghindari setiap cubitan – cubitan yang layangkan terhadapku.

“Makanya cepat.” Sahut Ibuk sambil terus mengkelitik dan mencubit kecil.

“Udahlah Buk, kalo Ain masih malu entar aja,” sahut bapak dengan santai.

“Bapak nii... apa enggak penasaran,” jawab Ibuk dengan nada manja – manja kepada Bapak.

“Yaa penasaran sih.” Sambil menghisap oksigenya bapak senyum – senyum tipis.

“Laiya to Pak,” sahut Ibuk sambil terus mencubiti ku.

“Udah Buk... udah... jadi gini be-” mulut ini tak sanggup mengucap, seringkali selalu ingin tersenyum. Aku membayangkan mungkin kali ini wajahku sedang memerah sangat.

“Jadi begini.” Tegasku sembari menghirup nafas dalam- dalam dan panjang.

“Mohon maaf, sudah di tunggu abah kiai di dalam.” Tiba- tiba mbak Nisa, dari sekertaris kantor pondok menyela pembicaraan kami.

“Ehh, sekarang mbak? kayaknya masih ada tamu di dalam," jawab bapak dengan kaget.

“Iya Pak, tidak apa - apa.”

“Ooo, iya Mbak," jawab Bapak, sembari mematikan puncung rokoknya dan berdiri siap memasuki kediaman abah kiai

“Yasudah, Ibuk sama Bapak mau masuk dulu, nanti Aini harus cerita," ujar Ibuk sambil mengelus lembut ubun- ubun kepala ini.

“Iya Buk, siap” jawabku tegas dengan senyum malu.

BAB 2 : Maaf

Melihat bapak dan ibu memasuki ruang tamu kediaman abah kiai, entah kenapa hati ini terasa begitu sesak dan merasa akan ada sesuatu yang berharga bagiku akan hilang dariku tapi entah apa. Namun berbeda dengan bibir ini, hanya mampu tersenyum, mungkin ini palsu, tapi aku terus memperlihatkannya dan menyakinkan diri ini. Aku bahagia.

Perlahan kakiku melangkah, menuju kamar sembari menunggu bapak ibu selesai dengan urusan bersama abah, namun aku hanya mampu bertanya-tanya, ada apa, kenapa, mungkinkah, oh tidak pikiran ini kacau.

Tiba- tiba langkahku terhenti dengan tepukan lembut dipundak yang tak asing kurasakan. “Ain, ayo ikut saya.” Betapa kagetnya hati ini, perlahan ku memalingkan wajahku, tak pernah ku sangka dan ku kira, dengan kedua tangan lembutnya Bu Nyai menuntunku dari belakang sembari menuju perkumpulan insan dalam ruang tamu kediaman abah kiai.

Ku lihat dengan jelas mata Bu Nyai memerah sangat, dapat ku tahu sesuatu yang tak enak akan terjadi. Mulut ini terdiam dan kaku, hanya mampu menurut tampa ada perlawanan sedikitpun.

Semkin kesini kegelisahan dan kebingunganku semakin menjadi- jadi, aku tak pernah tau apa yang sedang terjadi, namun yang ku tahu aku melihat ada senyum di bibir kedua orangtuaku, dan hati ini hanya mampu mengucap “Hah, ini yang terbaik."

“Nak Aini, samian mau nikah sama nak Dimas ?” tanya Abah Kiai menusuk dan membelah hati ini menjadi berkeping – keping, hanya bingung dan sedih yang aku rasakan. Aku tak tau ekspresi seperti apa yang aku pakai saat ini, itu sangat sulit diutarakan.

“Nikah? maaf maksudnya nikah?” tanyaku kembali mencoba lebih memperjelas apa yang ku dengar dan tak terasa kini air mata menetes tanpa sebab sembari tersenyum tipis di iringi dengan ucapan tanya.

“Nikah Ain, jadi suami istri,” ujar Abah Kiai begitu tegas dan menyayat hati, aku begitu bingung dan bimbang, aku hanya menoleh kiri dan kanan, banyak wajah yang menorehkan senyum tipis di masing – masing raut merek, hanya saja ada salah satu dari kesekian wajah, yang menggambarkan raut kesedihan begitu tergambar jelas di mataku, Bu Nyai.

“Ehh... gimana ya Bah,” jawabku dengan secara tak sadar kepala ini tertunduk dengan sendirinya menutupi setiap tetesan air mata ini, namun bibir ini tetap saja tersenyum tanpa sadar dan tak mau tau dengan hati yang mengais.

“Saya ikut Bapak sama Ibu aja,” jawabku pelan disertai menahan kesedihan tangis qalbu.

“Bagaimana Pak, Bu ?” tanya Abah Kiai kembali kepada Bapak dan Ibu.

“Kalo Aini gitu, saya ikut Pak Kiai aja,” jawab Bapak dengan sopan.

“Yasudah, kalau begitu saya ijab kan disini langsung saja gimana ?” tanya Abah Kiai kepada kedua belah pihak.

“Ngikut saja,” sahut Bapak kepada Abah Kiai, dan diikuti para tamu yang lain.

Yahh… semua itu terjadi begitu singkat dan sekejap, kurasa baru beberapa menit yang lalu hati ini mendapat kabar yang sangat amat menggembirakan, namun apa daya, semua itu sudah terjadi, meski bibir tersenyum namun air mata ini sudah tak bisa lagi tuk berbohong.

“Alhamdulillah, sekarang ini masih ijab siri terlebih dahulu, masalah untuk negara gimana, saya atur,” ujar Abah Kiai kepada pemuda yang baru ku ketahui namanya, Kang Mas Muhammad Dimas.

Tidak sampai 2x60 menit kami kedua keluarga kecil duduk sakral dalam satu atap, mempersatukan dua keluarga melalui dua insan yang tak tau dari mananya mengucapkan janji suci kepada Allah dihadapan Abah Kiai. Setelah semua usai kedua belah pihak diperbolehkan pulang ke rumah masing- masing terlebih dahulu, sembari menunggu proses yang sedang berjalan.

Sesampainya di rumah, hati ini sudah tak sanggup lagi menahan semua kesedihan yang teramat sakit, bingung dan serasa semua sudah berakhir dan tak berarti lagi.

“Aaaaa!!” teriakku keras di dalam kamar, tak kuasa lagi menahan cucuran air mata yang kian waktu semakin tidak dapat ku kendalikan.

“Sudah Ain, kamu lepaskan,”ujar ibuku sembari memelukku dan mengusap kepalaku, dan baru ku sadari, Ibuku juga meneteskan air mata.

“Bukk…”ucapku menangis, sembari mencoba membuka pembicaraan tentang kabar dari Mas Andre, namun apa daya, kesedihan ini telah mengambil alih kendali tubuhku.

Satu jam lebih aku tertunduk dalam pelukan malaikat tak bersayap ku sembari membasahi hijab panjangnya dengan tetesan air mata yang tak ku sengaja telah terlinang sungai eluh ini.

“Akuharus kuat, aku harus secepatnya memberitahu Mas Andre tentang hari ini” ujarku dalam hati.

“Buk, Mas Andre besok mau ke sini bersama keluarga,” ucapku kepada Ibuku, namun ada yang salah menurutku, sekali saja aku mengucapkan nama itu, mata ini malah semakin menjadi.

“Kesini gimana Ain ?” tanya Ibuku dengan mata yang berkaca- kaca dan ku tahu, itu akan menetes lagi.

“Aaa!!" teriakku lagi sambil menangis dan kembali jatuh dalam dekapan, tak kuasa menjawab pertanyaan dari Ibuku, yang dapat aku pastikan Ibuku sudah paham akan maksud ucapan ku.

“Ain yang sabar ya...” ucap Ibuku pelan sembari mengusap lembut kepalaku, memelukku semakin erat, dan kamipun terlelap dalam lautan air mata.

Waktu berjalan begitu pelan ku rasa, aku tak lagi ingat kapan aku mulai terhenti meneteskan air mata, namun hati ini belum juga reda dan berhenti tuk menangis, ku tatap lingkaran berporos penunjuk angka waktu yang tergantung di atas pintu kamarku, namun selain detik jarum jam yang dapat ku dengar dari arah luar aku dapat mendengar suara seseorang yang sudah taka sing lagi ku tahu, iya aku Ingiat itu Mas Andre. Kurasa bapak lah yang memanggilnya datang kemari dan yang menjelaskan apa yang terjadi.

Dari dalam ku hanya mampu terbaring diam memeluk guling menahan teriakan yang sangat ingin sekali ku lepaskan bersama dengan cucuran air mata yang tak terbendung meski sudah habis ku rasa.

“Dik...” panggilanku yang diucapkan dari seseorang yang ku kenal, ku tak tahu kenapa, tapi yang pasti raga ini beranjak menujunya.

“Kenapa ?” tanyanya dengan pelan.

Iyaa, itu Mas Andre, tanyanya dari ruang tamu berdiri tepat di tengah pintu luar kamarku.

“Mas...” ucapku kembali, lirih dan ku baru sadar suaraku sudah menipis, tenagaku sudah terkuras, persendian ku semakin lemas dan tak berdaya lagi ku rasa, namun kaki ini tetap berusaha membuka pintu kamarku dan memutuskan untuk beranjak menujunya.

“Sudah ya, jangan nangis lagi,” ucapnya dengan senyum, namun tetesan air mata mengalir pelan melewati pipinya, sesaat setelah ku buka pintu kamar.

“Maaf Mas...” kataku dengan pelan, yang memang ku tahu aku tak berdaya tuk berbicara lebih banyak lagi.

Lutut ini semakin berat kurasa dan tersimpuhlah kaki ini. Perlahan Mas Andre menghampiriku lebih dekat sembari mengusap air matanya dan menutupi itu semua dengan senyum yang dapat aku rasakan itu palsu.

“Nggak apa - apa Dik, utusan dari abah kiai kan.” sangat jelas tergambar di wajah Mas Andre kepedihan, kesedihan, kekecewaan dan entahlah apalagi yang terasa sakit ia rasakan, dia hanya mampu menutupinya dengan senyum dan mata yang berkaca-kaca.

"Yasudah Dik, aku tak langsung pulang, nggak enak kalo berlama - lama, hati - hati ya.” Pesannya singkat dan padat namun meresap masuk kedalam lubuk hati yang terdalam.

Semakin aku mendengar kata darinya, hati semakin rapuh dan hancur, tak kuat rasanya mata ini membuka melihat kepergian kekasih tercinta.

“Sudah, jangan menangis terus," ucapnya pelan sembari mengelus ubun – ubun kepala ini dengan lembut.

Tanpa sadar reflex ku bergerak dengan sendirinya, tanganku menangkap telapak tangannya dan ku genggam erat tangan yang kurasa paling hangat dan nyata di antara alunan waktu dunia fana ini.

“Maaf Mas...” ucapku pelan sembari mencium tangan Mas Andre sebagai perwakilan rasa cinta yang selama ini telah ku emban.

Perlahan tangan kiri yang tadinya berada di ubun – ubun tak terasa lagi dan tanpa kusadari telapak tangan yang tadinya ku genggam telah pergi menjauh dariku, dan aku hanya mampu terdiam dengan tangis di ruang hampa ini melihatnya beranjak pergi menjauh berpamitan kepada bapak dan ibu. Dan aku tetep dengan sedihku terdiam.

BAB 3 : See You Next Time

Detik waktu berjalan begitu lambat kurasa, tak ku sadar sudah banyak waktu yang tersita dengan sia – sia, namun apa daya ketika mata hendak terbuka ingatan yang terbesit waktu yang lalu selalu saja menyita perhatian dalam alunan kepedihan. Beberapa kali aku mencoba bangun dari mimpi buruk ini, namun tak semudah itu.

“Ini kenyataan Aini”, ucap hati kecil ini, terus dan terus, entah sampai kapan aku ini akan tersadar dan bangun dari kehancuran kisah nyata yang ku rasa.

“Aini ayo bangun,” ucap Ibuku lembut mengusap kepalaku yang tak tau kapan beliau beranjak kemari, yahh... kurasa indra ku sudah mulai kacau. Ku hanya terdiam mendengar ucapan beliau.

“Aini, jangan begini dong,” ujar Ibuku pelan dengan mata yang mulai berkaca – kaca kutahu, yahh... itulah hal yang membuatku terbangun, tetesan air mata beliaulah yang kurasa dapat aku terima lebih sakit.

“Susah juga ya buk, mengemban pengetahuan," ucapku pelan menghampiri dekapan beliau.

“Ngomong apa to Ain," jawab ibuku pelan sembari memelukku dengan lembut.

“Kita diberi pengetahuan, namun apa daya diri kita yang membawa beban tersebut harus tersakiti, tanpa ada keberanian untuk menetapkan pilihan,” ucapku pelan dengan tetesan air mata yang kian berjatuhan.

“Bukan beban Ain, tapi tanggung jawab," sahut bapak dari sisi belakang Ibuku, yang entah sejak kapan beliau ada di sana, mendengan ucapan Bapak yang begitu dalam membuat hati ini terdiam dalam tangisan ,namun secuil kata itulah yang membuat hati ini mulai mampu menikmati sakit yang kurasa.

“Tapi pak, kenapa harus aku,” tanyaku kembali dengan pelan, yah... memang tenaga ini sudah banyak terbuang padamu air mata.

“Yaa, memang cuman Aini yang kuat dan bisa, Bapak sama Ibu nggak bakal kuat menghadapi cobaan kayak samian, kenapa too Allah kok milih Aini untuk menghadapi cobaan ini? ya karena cuman Aini yang kuat dan sanggup, cuman Aini seorang," tutur Bapak pelan dan sekali lagi meresap sampai ke dasar palung hati, tetesan air mata ini tak kuasa ku tahan lagi, kupeluk erat mereka kedua malaikatku, Bapak dan Ibu.

“Astagfirullah, maaf pak, buk…Ain khilaf, Ain egois sama hati Ain," ucapku dengan tersendat – sendat nafas terisak tangis, akhirnya hati ini bangkit akan keterpurukan ini.

“Ain bakal berusaha sekuat Ain, Ain bakal belajar menerima, Ain bakal belajar sabar, Ain bakal sadar Pak, Buk,” ucapku dengan tangis.

Yah, kurasa momen itu adalah waktu yang paling ku ingat dalam hidupku kelak, dimana Ain yang lebih dewasa terlahir dengan sadar kesakitan yang aku alami selama waktu terakhir ini masihlah bersifat fana. Yah, kusadari tuhan memberi kita sebuah cobaan bukan karena kebetulan semata, namun lebih di khususkan kepada pribadi kita, dan hanya kita yang mampu mengembannya, hanya kita seorang.

Tepat dihari itu, kamis 19 Juli 2018 tutur Bapak yang singkat namun begitu dalam membangunkan jiwa raga ini untuk menjalani sebuah kenyataan yang amat begitu berat ku sangka, namun ya mau tidak mau, siap tidak siap, seperti ini kenyataan yang harus kujalani, dan ku hadapi. Yah diruang waktu ini pula ku bulatkan tekad untuk menyerahkan jiwa raga dan kesetiaan ini pada seorang insan dengan asma Dimas Ardiansyah.

Hari ini tepat jarum jam menunjuk angka delapan pagi ku sudah bersiap menjejakkan kaki melangkah menjemput masa depan yang ku yakini pasti yang terbaik, mungkin sekarang ini bukan untukku namun ku yakin semua kesedihan ini pasti akan terbayar lunas di ke depan hari, karena inilah garis dari Nya, sang Maha Cinta.

“Ain yang sekarang harus lebih kuat !!” ujar ku sambil menghadap di depan cermin.

Tok..tok..tok.., suara pintu kamarku di ketuk dan diikuti dengan panggilan ibuk “Aini, dapat surat.”

“Surat ?, surat apa Buk ?” tanyaku balik dengan nada bertanya – tanya, kok masih ada yang bermain surat – suratan di era serba modern seperti sekarang ini.

“Nggak tau aku Ain, coba ini dilihat dlu,” jawab Ibuk masih dibalik pintu.

“Iya Buk,” jawabku sembari membuka pintu kamar.

“Rembulan yang hadir dalam gelap ku ?” baca ku dari amplop bagian depan pojok atas surat itu, tertulis jelas dengan tulisan tangan yang kurasa tak asing lagi bagiku.

“Siapa Buk yang ngantar tadi ?”sahutku kembali, yaa... mata ini mulai berkaca – kaca lagi. Ini sangatlah lucu sekali, padahal belum ku ketahui juga apa isi dan siapa pengirim pasti surat ini, namun apa perasaan ini.

“Pak sayur Ain, tadi katanya di titipin seorang pemuda," jawab Ibu dengan kebingungan juga yang tak tau apa – apa.

“Aku baca sendiri ya Buk,” ujar ku dengan air mata yang kembali menetes.

Tanpa menunggu Ibuku memberi jawaban, perlahan pintu kamar ku tutup, langkah kecil dan berat mulai kurasakan kembali, menghampiri tempat tidur yang tidak jauh dariku, ku coba meraihnya. Iyah, lucu sekali kusadari, masih beberapa detik yang lalu ku ucapkan dengan lantang bahwa Aini yang sekarang jauh lebih kuat dari yang kemari, namun ternyata kenyataanya tak begitu mudah.

Tertulis dengan jelas dan dengan sempurna mendarat pada batin ini.

...Assalamualaikum dik…gimana kabarnya ? sudah lebih baik yahh…aamiin…...

...Pagi ini ku titipkan seuntai kalimat pada tetangga sebelah lewat goresan tinta ini, hehehe.. maaf yaa kaga sempat bilang langsung. Yahhh, menurutku untuk saat ini seperti inilah yang terbaik hehehe....

...Oh iyaaa, aku ada cerita dikit nih dapet dari tempat biasa aq liat pemandangan awan yang begitu tenang hehehe, jadi gini ceritanya. Pada suatu hari ada seorang lelaki yang haus akan kasih dan cinta, sudah terlalu banyak waktu terlampaui namun tak kunjung juga meredakan kehausan yang kian mendahaga. Suatu hari pemuda itu hendak menenangkan pikiran dengan berjalan – jalan di alun – alun kota. Seperti hari-hari biasanya, banyak orang bermain layang – layang, main dengan buah hati, ketemu kekasih, pejuang rupiah, pejuang kalori, atlit lari, dan masih banyak lagi. Namun ada yang berbeda di tempat yang biasanya pemuda itu duduki, ia melihat seorang wanita yang duduk sendiri hanya bersama dengan lamunan, dan sebotol air mineral yang ia genggam....

...Mungkin terlihat aneh, namun dari apa yang pemuda itu lihat membuat atmosfir dan udara sekitar berubah, pemuda itu merasakan seakan waktu bergerak begitu lambat, kicauan burung yang tadinya tersamarkan oleh mesin bermotor kini terdengar dengan jelas, dan angina yang tadinya ia rasakan hanya hembusan udara kini berubah menjadi tiupan lembut bagaikan embun pagi yang menenangkan jiwa....

...Mungkin memang terdengar konyol, namun memang itu yang pemuda itu rasakan .dengan mengumpulkan semua keberanian, akhirnya pemuda itu dapat berbicara dengan wanita yang duduk sendiri, awalnya wanita itu takut, yahh mungkin wajah pemuda itu kayak penjahat kali yaa... hehehehe…...

...Kian hari waktu kian berlalu, tak terasa sudah hampir lebih tiga tahun pemuda dengan wanita itu mulai saling mengenal, yahhh… kurasa dahaga yang dulu pemuda itu rasakan kini mulai sirna, itu yang pemuda itu pikirkan. Namun ternyata penghilang dahaga selama ini dan yang ia yakini seutuhnya miliknya hanyalah fatamorgana....

...Tidak ada yang berhak menjadi penghilang dahaga jika itu bukanlah miliknya, itu yang pemuda itu rasakan setelah mengetahui kebenaran yang terlihat. Dan pemuda itu akan mengembalikan sesuatu yang bukan miliknya, di tempat yang dulu dia pernah mengambilnya, namun tidak untuk lamun dan sendiri, pemuda itu akan dengan senang hati membawanya....

...Dikk… hari ini aku melepaskan mu… terimakasih atas semua kasih dan sayang yang selama ini engkau berikan, aku sangat bersyukur sang Maha Cinta telah mempertemukan kita dihari tanpa sengaja itu, aku sangat bersyukur detik itu keberanian ku terkumpul menuju kearah mu, dan aku sangat bersyukur pula bisa nan mampu melihat senyummu yang begitu tulus lahir batin dengan begitu dekat. Permintaanku yang terakhir cuman satu, “berbahagialah, ini perintah…, jangan biarkan kesedihan menyita waktu bahagia mu”....

...Oh iyaa... hampir lupa, hari ini aku akan pergi agak jauh, hehehe… melanjutkan pendidikan di daerah sebrang, mungkin kita akan lumayan lama tidak bertemu, doakan Akang Mu ini dapet jodoh di sana yaa… hehehe…. See you next time…...

...Wassalamu’alaikum ......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!