Dekapan embun lembut ku terima menjemput sang mentari, menyerahkan seuntai kata dalam belenggu lembaran putih tergores kan tinta akan tarian sang pena, berat rasanya mulut tuk berbicara, meski raga tanpa adanya cidera tapi entah kenapa dada terasa lara, rasa sesak yang merajalela dengan bijaksana kini telah kurasa bersama dengan kepergiannya, bidadari ku di dunia. Meski ini akhirnya, ku harap akan beda cerita kelak kita di surga, ku yakin sang Maha Cinta telah mendengar doa yang ku untaikan dalam palung jiwa, nan ku sematkan dengan kata beralaskan raga.
Bertemankan ular besi beroda tanpa jeruji ini ku mulai pergi mengenyam jarak dengan berat hati, ku tau sikapku ini kurang tepat dan terlalu kekanak-kanakan, disaat Aini dilanda kesedihan yang luar biasa aku yang hanya sekedar seorang hamba tak mampu bersanding menenangkannya, yahhh... Setidaknya ini yang dapat ku lakukan dan jalan inilah yang sekiranya ku anggap benar, ingin rasanya mata ini mengucurkan sumber mata airnya sembari berteriak sekeras mungkin, seakan membuang semua beban, masalah, dan kesedihan yang mendekap erat menyayat hati.
Teringat selalu pesan Alm. bapak dahulu, mumbuat diri ini malu akan tetesan air mata dan keterpurukan sang jiwa. "Jadi lelaki itu harus kuat, jangan dikit-dikit sakit hati, dikit-dikit nangis... masih banyak kesedihan menanti didepan, dan air matamu terlalu berharga untuk jatuh kalau hanya untuk bersedih." Yahh, sangat tergambar jelas pesan Alm. Bapak sembari menepuk punggung rapuhku, aku tak pernah mengira sebelumnya akan kenyataan ini terjadi padaku, namun rasa sakit ini begitu nyata kurasa.
Ku tak tau lagi kapan terakhir kali bibir ini tersenyum bersamaan dengan sang jiwa, terasa sungguh sangat lama, namun faktanya masih kemarin lusa aku rasa bahagia, sangat jelas terlihat di benak ini, momen ketika untaian kata melalui jemariku yang ku kirim dengan pesan digital kepadanya. Aini.
******
"Pagi dik, gimana kabarnya." Hmmm, pikirku melayang membaca pesan yang hendak ku kirim.
"Akkkhhhhh... kaga kaga," Ujarku sembari menghapus kembali pesan yang hendak terkirim.
"Gimana sehh." Ku lemparkan Gawai yang ku pegang ke bantal diikuti dengan ku rebahkan tubuhku dalam pulau kapuk kecilku.
Bingung rasanya, bagaimana cara mengabarkan kabar gembira ini kepadanya. Yahh... kebahagiaan ini telah membutakan akal dan pikiranku, tanpa sadar aku telah kehabisan kata-kata yang harusnya aku rangkai.
"Yokk, gini aja," ucapku lantang, dengan harapan meyakinkan raga untuk menuliskan sebuah untaian kata.
"Aini tidak suka berbasa-basi, langsung pembahasan.. okee,"
Ucapku bergeming sendiri.
Tretekk..tekk...tekk..tekkk... suara keyped Nokia Ekspres Musik ku jajaki dengan cepat, lebih dari seribu kata ku ketikkan kurasa, namun hasil akhir tetap tidak lebih dari satu kalimat singkat, haahhh... gini amat aku.
"Yokkk... kirimmm!!!" Ucapku dengan semangat sembari menekan tombol "send" Di layar tatap.
"Haahhhh, lega rasanya," ucapku sembari merebahkan tubuh rapuh ini.
Senang rasa hati mampu mengucapkan kata yang sejak dahulu ku impikan, tak terasa senyum tipis telah terukir dengan malu-malu di wajahku.
"Alhamdulillah," Ucapku singkat.
Tingg..tungg...suara notifikasi khusus berbunyi dari gawai tua ini, yang dapat ku pastikan itu adalah Aini. Degg..deggg...kurasa darahku langsung terkumpul di ubun - ubun kepala, tak mengira jawaban langsung ku terima secepat ini. Ku buka pesan perlahan dengan mengintip dari samping layar tatap ku.
"Hiiyyaaaaaa!" teriakku keras melihat jawaban dari Aini.
Merasa kegirangan akan jawaban dari sang pujaan hati, bahagiaku tak dapat lagi ku torehkan dengan media lagi. Yahh, ini sungguh membuatku bahagia.
"Bukk, jadi besok." teriak ku dari dalam ruang hampa ku terbaling.
"Alhamdulillah..yasudah cepat pergi ke pasar berbelanja sama kakak," jawab Ibuku dengan bahagia dari ruang depan masuk ke kamarku.
"Siap komandan," jawabku dengan sikap tegap memberi hormat kepada Ibuku dan langsung mencium pipi beliau.
"Kak!! ayok ke pasar." Teriakku sembari menggedor pintu kamarnya.
Waktu terasa begitu cepat kurasa, tak ku sadari yang tadinya mentari kini telah menjadi matahari yang membumbung tinggi tepat di atas kepala, dekapan sinar UVI menyelimuti tubuh lemah ku, dengan kuda besi Vario 150 aku menjajaki kerikil berbalut aspal hitam pekat menemani setiap detik ruangan waktu ku berlabuh mempersiapkan segala hal sesuatu yang diperlukan esok.
"Lohh, kok ada motor, tamunya siapa ni?" tanyaku dalam hati, melihat ada motor yang ter parkir di pekarangan rumah menyambut ku dari jalan depan.
"Ehhh...." langkahku terhenti mendengar isak tangis dari ibuku, yang dapat ku dengar dengan jelas dari depan, bukan karena tangisan bahagia, ini sangat jelas ku dengar dan ku pahami, ini tangisan kesedihan.
"Mohon maaf sekali." Jantung ini serasa berhenti berdetak, suara yang tak asing lagi ku dengar, dan hinggap di daun telingaku.
Spekulasi ku beterbangan ke sana kemari, mendengar bapak dari sang pujaan hati datang bertamu dan mengucapkan maaf, serta di ikuti dengan isak tangis ibuku, perasaan ini semakin takut akan kenyataan yang akan terjadi, perlahan langkahku mulai bergerak menuju pintu depan guna mencari kenyataan yang terjadi.
"Assalamu'alaikum," ucapku pelan, menutupi semua kebingungan dengan senyumku.
Mbak Rani, sebagai kakakku tiba-tiba beranjak dari tempat duduk dan memelukku, dan diikuti dengan pecahnya tangisan.
"Ehh Mbakk, ada apa?" tanyaku kebingungan, sembari mencoba melepaskan pelukan dari Mbak Rani. meskipun aku tau ini akan ada kabar buruk, aku tetep dengan keyakinan ku.
Perlahan-lahan Mbak Rani melepaskan pelukannya, dan beranjak pergi meninggalkan kami semua ke kamarnya. namun tak ku sangka seseorang yang aku anggap akan menjadi mertua, yang tadinya duduk kini berdiri mendekatiku dan melingkarkan kedua tangannya ke tubuhku, sembari berkata "Nakk Andre, Bapak minta maaf ya."
Singkat, padat, dan berisi... yahh... aku sudah tau inti dari semua percakapan ini. Perlahan ku raih pundak beliau yang kini kedua tangannya telah melingkar tepat ke tubuhku.
"Sudah Pak, nggak apa - apa... saya mau dengar ceritanya langsung, jadi gimana," ucapku pelan sembari melepaskan rangkulan beliau.
Panjang lebar kisah yang beliau jabarkan kini telah aku pahami dan mengerti, rasa sakit yang aku rasa kini mungkin tidaklah seberapa jika di bandingkan dengan yang kini Aini rasakan. Aku sungguh sadar dan mengerti bagaimana posisi kami saat ini, namun aku juga tidak dapat egois dengan perasaanku kini. Intinya aku mengerti.
Seusai menjelaskan semua yang terjadi Bapak Aini kembali pulang dengan meninggalkan kata maaf yang sangat membesit di dalam hati. Ku lihat beliau perlahan pergi meninggalkan gerbang rumah kami, bersamaan beliau pergi air mata ini tak kuasa terdiam lagi, dan beronta untuk pergi. Bersamaan dengan apa yang terjadi, dari arah barat laut ibuku beranjak mendekap dan menciumiku, sembari mengucapkan kata yang kuharap membuat jiwa ini menjadi lebih terkendali. "Sabar ya nak." Yahhhh... lautan air mata tak terelakkan lagi.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments