"Dari mana kamu?" Laura berdiri di ambang pintu kamar Siena, menatap marah pada Angel yang baru saja pulang menonton acara pertandingan.
"Nenek, aku-?"
"Alasan apa yang kau berikan? sudah menjadi kebiasaanmu selalu membohongiku. Semakin besar, kau semakin sulit di atur!" bentak Laura memotong ucapan Angel.
"Nek, aku-?"
"Selama ini, aku mengajarimu untuk disiplin, tidak berbohong," ujar Laura berjalan mendekati meja, lalu mengambil kayu sebesar ibu jari.
Gadis itu berdiri, berjalan mundur mendekati Siena yang masih duduk di atas kursi roda dengan tatapan kosong.
"Nek, jangan.." ucap Angela pelan. Lalu ia menjatuhkan tubuhnya di bawah kaki Siena, melipat kedua tangan memohon ampunan pada Laura untuk tidak di hukum. Wanita itu kerap kali menghukum Angela jika gadis itu berbuat salah atau berbohong padanya.
"Berapa kali kau membohongiku? sudah kubilang, jangan melihat pertandingan seperti itu lagi."
"Ampun Nek, aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Angela tersenyum, wajahnya tengadah menatap Laura yang masih terlihat kesal.
"Tidak kumaafkan begitu saja untuk kali ini." Laura meminta Angela untuk membuka telapak tangannya. Mau tidak mau, akhirnya gadis itu mau mengikuti apa yang di katakan Laura, karena ia merasa salah.
"Plak!
"Plak!"
Laura berkali kali memukul tangan Angela, gadis itu hanya diam memejamkan mata saat tangannya di pukul. Ia tidak bersuara sedikitpun meski tangannya terasa panas dan sakit.
"Katakan apa?" bentak Laura.
"Aku salah!" sahut Angela.
"Lagi!
"Aku salah!" Terus berulang, hingga telapak tangan gadis itu memerah.
Tanpa mereka sadari, mata Siena berkaca kaca menatap putringa. Hal yang tak pernah terjadi selama 17 tahun lamanya.
"Plak!
"Plak!
Mata Siena semakin merembes, pelan tapi pasti. Bulir air mata itu jatuh di sudut netranya. Laura menghentikan hukumannya saat melirik ke arah Siena. Ia langsung jongkok di hadapannya.
"Nak? kau?" ucap Laura kelu, matanya ikut merembes. Bukan tanpa alasan Laura memukul Angel. Ia ingin melihat Siena sembuh, mungkin dengan melihat putrinya di pukul di depannya akan ada perubahan pada Siena. Meski tak yakin, namun Laura sangat bersyukur. Usahanya membuahkan hasil meski kecil.
"Ibu..." ucap Angela lirih, tangannya langsung menggenggam tangan Siena erat.
"Ibu..kau menangis?" Angela suaranya serak. "Nek, apa yang terjadi dengan ibu?"
"Aku belum tahu sayang, tapi berdo'a lah." Laura menyeka air matanya sendiri, begitu juga Angela.
"Ibu, katakan sesuatu. Aku ingin mendengar kau memanggil namaku, memarahiku, membelaiku. Katakan sesuatu Ibu!" Angela mengguncang tangan Siena. Namun wanita itu tetap sama tidak merespon apapun. Hanya air mata yang terus mengalir di sudut matanya. Tangan Angela terulur mengusap air mata Siena. Lalu memeluknya erat erat sembari menumpahkan air mata di bahu Siena.
Laura menundukkan kepalanya, menangis dalam diam. Meski mereka bukan darah dagingnya sendiri. Rasa sayangnya pada Siena dan Angela sangat besar. Hingga ia ingin, Angela menjadi gadis tangguh dan tak tertandingi untuk membalaskan dendam keluarganya sendiri. Perlahan Laura berdiri, lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan.
"Ibu, hanya kau yang kupunya. Tapi melihatmu seperti ini, hatiku hancur setiap detik. Apa yang terjadi padamu Bu...di mana Ayah.." bisik Angela pelan.
Saat otak tak mampu mengenali, saat pikiran tak mampu menjangkaunya lagi. Saat mata tak dapat melihat, hanya dengan perasaan Siena mampu mengenali itu semua. Mengapa ia menangis, karena rasa tidak pernah bohong.
***
Sementara di lain tempat, di sebuah rumah kosong yang sudah tidak terpakai. Jiro baru saja sampai, di tangannya membawa bungkusan makanan yang ia beli di jalan tadi. Ia langsung masuk ke dalam kamar, langkahnya terhenti sesaat menatap ke arah wanita yang terbaring lemah, berantakan dan terlihat sangat kurus.
"Miko, aku pulang." Jiro langsung mendekati wanita itu yang tak lain adalah Miko. Namun Miko sama sekali tidak menjawab ucapan Jiro. Wanita itu hanya melirik dengan napas yang tersengal sengal.
"Kkau.." ucapnya.
Jiro menganggukkan kepalanya. "Kita ke rumah sakit sekarang, tapi kau makan dulu." Jiro membuka kantong makanan itu, lalu ia membuka kotak nasi.
"Sudah dua hari kau tidak makan, kau pasti lapar." Jiro mulai menyuapi Miko dengan tangannya, dengan mata berkaca kaca. Ia sendiri tengah merasakan lapar, tapi ia masih bisa menahannya.
"Kau makanlah," ucap Miko pelan nyaris tak terdengar, sakit yang di deritanya semakin hari semakin parah. Jiro tak mampu membiayainya untuk ke rumah sakit. Karena tak memiliki uang.
"Uhuk uhuk!
Miko terbatuk lalu mengeluarkan darah di mulutnya. Jiro yang baru saja hendak memasukkan makanan ke mulutnya, langsung ia tunda.
" Miko, kita ke rumah sakit sekarang!" Jiro langsung mengangkat tubuh miko dan menggendongnya.
"Uhuk! uhuk!"
Setengah berlari, Jiro keluar dari rumah menggendong tubuh wanita itu. Lalu berlari ke tepi jalan raya. Dengan menggunakan taksi, jiro membawa Miko ke rumah sakit terdekat.
"Bertahanlah.." ucap Jiro lidahnya kelu. Hatinya semakin hancur berkeping keping. Rasa bersalah yang besar, menyeruak di dalam dadanya. Amarah yang ia pendam selama 17 tahun lamanya. Pria itu hanya mampu menggigit bibir bawahnya, memendam kepahitan.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di rumah sakit. Jiro langsung membawa Miko ke ruang UGD.
"Bertahanlah Miko, hanya kau yang kupunya saat ini. Aku tidak tahu lagi, apa aku sanggup menjalani hidup tanpa siapapun di sisiku." Jiro menangkup wajahnya sendiri, duduk di kursi ruang tunggu selama pemeriksaan.
Tak lama kemudian Dokter keluar dari ruangan, menemui Jiro.
"Bagaimana Dok?" tanya Jiro.
"Pasien sudah menderita sakit yang cukup lama, kenapa anda baru hari ini membawanya ke rumah sakit?"
"Maaf Dok." Jiro menundukkan kepalanya. Ia tidak perlu menjelaskan apa apa, tentang tragedi yang menimpanya.
"Pasien harus segera di operasi." Dokter menjelaskan pada Jiro kalau kanker otak yang di alami Miko sudah sangat parah.
"Ya Tuhan.." ucap Jiro pelan, mengusap wajahnya. "Lakukan saja Dok, aku percayakan saudaraku pada Dokter."
"Baik."
Kemudian Dokter kembali masuk ke dalam ruangan. Jiro masih berdiri terpaku dengan menundukkan kepalanya. Hatinya saat ini benar benar hancur dan merasa sendirian. Ia tidak tahu lagi harus pada siapa menyandarkan bahu dan berbagi kesusahan. Samar samar, ia mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.
"Dok! ada pasien yang sangat membutuhkan Dokter sekarang!"
"Baik Sus, aku segera menyusul."
"Ryu?" matanya melebar memperhatikan sekitar. Lalu ia berlari ke arah suara, terdengar suara langkah kaki tergesa gesa di lorong rumah sakit. Jiro kembali berlari mengejar arah suara. Namun, di sana tidak ada siapa siapa. Ia menjatuhkan tubuhnya, mencengkram lantai rumah sakit.
"Ya Tuhaaann.. aku merindukan keluargaku..." ucapnya lirih dengan derai air mata yang menetes membasahi lantai rumah sakit.
"Aku sudah gila, aku pikir Ryu. Tidak, mereka sudah tiada meninggalkanku sendirian di dunia ini."
"Tidaaakk." Jiro menjerit kecil, menahan perih di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
pertemukan mereka thor kasian mereka udah lama terpisah...
2021-10-03
1
Dwi Rahayu
nangis Bombay....😭😭😭😭😭
2021-08-26
1
Dewi Ansyari
Kenapa harus banyak mengeluarkan air mata,terlalu banyak penderitaan yg mereka hadapi😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-07-06
0