“Apa yang harus kita lakukan pada bocah itu?”
Samar-samar, aku mendengar suara seseorang tengah berbincang.
“Kita harus memberi tahu walikota.”
“Tapi, bukannya semua orang yang bukan berasal dari kota ini harus diusir?”
“Kau ada benarnya. Namun permasalahan sebenarnya, kenapa bocah itu bisa masuk melewati gerbang utama? Seharusnya dia tidak bisa masuk kecuali jika dia penduduk kota ini. Jangan-jangan dulunya dia penduduk dari kota ini?”
“Mungkin saja gerbang utama rusak. Akhir-akhir ini saja banyak keluhan soal gerbang itu. Minggu lalu aku mendengar dari salah satu penduduk soal gerbang tersebut. Katanya, dia harus menunggu satu jam agar gerbang utama terbuka.”
Mereka terus memperdebatkan soal gerbang utama. Luka di tubuhku sudah dirawat, aku berusaha bangkit dari tempat tidur. Menatap sekitar.
Aku tak mendapati ada pintu dimanapun. Ruangan ini hanya disinari lampu usang yang tergantung di atap langit. Sesekali aku memegang kepalaku yang sakit. Berjalan terpincang-pincang ke arah dinding ruangan. Berusaha mencari jalan keluar.
Aku juga harus menyelamatkan Liana. Aku yakin prajurit itu pasti berbohong. Aku terus menyusuri dinding ruangan. Meraba-raba permukaannya, berharap ada celah di dinding tersebut.
Saat tanganku menyentuh salah satu permukaan dinding, sebuah cahaya kehijauan berpendar memenuhi dinding. Ajaib! Kini dihadapanku terdapat sebuah pintu. Aku bergegas melangkah keluar. Namun, tepat ketika aku keluar, dua orang penjaga menyambutku. Mereka terlihat terkejut. Reflek, aku meninju wajah salah satu penjaga. Dia terpental beberapa meter.
Hei! Sejak kapan aku sekuat itu? Aku tak sempat berpikir. Kini, prajurit satunya menyerangku. Melepaskan tembakan. Aku tak bisa menghindar. Begitu peluru tersebut menyentuh tubuhku, seketika, aku merasa tubuhku lemas. Aku terkulai, jatuh bedebam. Prajurit itu memasang alat seperti borgol ke tanganku.
“Sialan! Bocah ini meninju wajahku.” Keluh prajurit yang tadi kutinju.
Aku menggeram kesal. Tubuhku tidak bisa bergerak. Aku bahkan tak bisa mengeluarkan suara karena tembakan tadi. Kemungkinan besar peluru tadi semacam bius.
“Bagaimana bisa bocah ini membuka ruang sekap?” Tanya prajurit yang tadi menembakku.
“Mana aku tahu! Apa kau juga mau bilang kalau ruang sekap juga rusak seperti gerbang utama?”
Mereka berdebat kembali. Di tengah perdebatan mereka, segerombolan prajurit terlihat menghampiri. Di belakangnya terlihat seorang gadis berambut panjang dengan warna kecokelatan.
“Ada apa ini?” Gadis itu bertanya lembut. Menghentikan perdebatan mereka. Seketika mereka menunduk hormat.
“Maafkan kami, Nona Kei. Sebenarnya kami ingin memberi tahu masalah ini ke walikota secepatnya.”
“Masalah apa? Dan siapa laki-laki yang kalian borgol itu?” Mata gadis itu tertuju kearahku. Dia terdiam sesaat. Dan...
“Lian! Kau kah itu?” Dia terlihat terkejut. Lantas menghampiriku.
Bagaimana bisa dia mengenalku? Aku bahkan tidak tahu siapa gadis yang mungkin sebaya atau lebih muda dariku itu.
“Astaga! Lian, ini sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu. Prajurit, tolong lepaskan borgol di tangannya, dan berikan obat penawar agar dia kembali seperti semula!”
“Maafkan kami, Nona Kei. Kami tak bisa melakukannya tanpa seizin walikota, orang ini sepertinya berbahaya.”
“Kalau gitu, cukup buat suaranya kembali!”
Prajurit itu mengeluarkan serum, menyuntikkannya kepadaku. Tepat ketika cairan itu masuk ketubuhku, aku langsung menanyakan tentang Liana.
“DIMANA ADIKKU?”
Prajurit itu memukul kepalaku. Aku mengaduh kesakitan. Menatap tajam prajurit itu.
“Sebaiknya kau jaga sopan santunmu kepada Nona Kei, Bocah!”
“Hei! Jangan bersikap kasar padanya!” Bentak gadis itu. Prajurit itu menunduk, meminta maaf.
“Lian, aku tahu ini sulit. Tapi kami sudah melakukan otopsi pada tubuh adikmu. Dia mengalami pendarahan di otak akibat benturan keras. Penyebab lainnya, tabung daur ulang udaranya hancur. Kuyakin dia menghirup udara kotor diluar sana sebelum kau masuk ke tempat ini.”
Seketika, tubuhku lemas. Bukan karena peluru tadi. Tapi tak lain karena penjelasan tersebut terdengar sangat masuk akal. Aku tertunduk. Ruang di dadaku serasa hampa. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku tidak menangis.
“Kalian tolong jangan sakiti dia sampai aku menanyakan hal ini kepada walikota.”
Dua prajurit itu mengangguk. Membawaku kembali masuk ke ruang sekap. Membiarkanku terbaring di atas lantai.
Aku hanya terdiam. Aku sama sekali tidak peduli dengan dinginnya lantai yang menyengat kulitku. Tatapanku kosong. Setelah selama ini melakukan perjalanan, semuanya berakhir sia-sia. Liana, dia...
Tanpa kusadari air mataku berlinang. Kali ini lebih menyakitkan. Aku tak bisa menerima fakta jika adikku meninggal. Rasa sakit ini perlahan mulai berubah menjadi penyesalan. Tangisanku mulai menggema memenuhi ruangan. Aku ingin sekali memukul-mukul dadaku. Menghilangkan rasa sakit di dalam dengan menyakiti tubuhku. Namun, apalah daya. Aku bahkan tak bisa bergerak.
***
Tangisanku baru terhenti setelah tak ada lagi air mata yang tersisa. Aku kelelahan. Lebih tepatnya lelah karena aku sudah tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tanpa adikku, rasanya dunia tak lagi berarti apa-apa bagiku. Bahkan aku melupakan tugas penting yang diberikan Ibu padaku. Soal pergi ke kota bernama Batana. Ibu? Aku bahkan tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.
Beberapa saat kemudian. Dua prajurit memasuki ruangan. Membopong tubuhku. Entah membawaku kemana. Aku hanya pasrah.
Aku dibawa menggunakan mobil. Sepertinya aku akan dipindahkan ke penjara. Terlihat dari kaca mobil yang dilapisi jeruji besi. Tubuhku sudah bisa bergerak. Sesaat sebelum aku diangkut ke mobil, mereka menyuntikkan obar penawar kepadaku. Namun, aku hanya diam. Menatap kosong lantai mobil yang kusam. Tidak tertarik melihat pemandangan kota.
Kami telah tiba. Penjara itu dikelilingi dinding besi setinggi 7 meter. Halamannya terlihat luas dan dipenuhi pepohonan. Gedung penjaranya sendiri memiliki 10 lantai. Mereka melepaskan borgol di tanganku, lantas memasangkan semacam gelang ke pergelangan tanganku.
“Untuk sementara ini, kau kami tahan di penjara sebagai masa percobaan. Gelang ini memberikan informasi semua perbuatanmu sekaligus memberi tahumu semua jadwal di penjara. Jika kau berbuat hal mencurigakan, gelang ini juga akan menyetrummu.”
“Apabila masa percobaanmu usai, kami akan membebaskanmu. Kau boleh tinggal di kota ini atau pergi.”
Aku hanya diam. Mengikuti semua instruksi mereka.
Mereka membawaku ke dalam gedung. Aku bisa melihat wajah-wajah sangar para tahanan. Mereka menatapku tajam. Aku seakan tahu apa yang ada dipikiran mereka. Sekali lagi, aku tidak peduli. Aku dibawa ke lantai paling atas.
Mereka membuka salah satu sel. Saat aku tiba di dalam, sel ini tidak terlihat seperti penjara. Lebih seperti apartemen dengan 3 kamar, serta kamar mandi di masing-masing ruangan. Lantai dan dindingnya bewarna putih. Mungkin ini penjara VIP.
“Yo! Kau pasti tahanan baru yang dibicarakan orang-orang.” Seseorang menyambutku. Dia terlihat ramah. Dilihat dari fisiknya, usianya mungkin lebih tua setahun atau dua tahun dariku.
“Vero, bisa kau tenang? Kau menggangguku!” Seru seorang tahanan lain yang tengah duduk di pojok ruangan sembari membaca buku. Tubuhnya terlihat kekar. Dengan kulit kehitaman dan kepala botak.
“Pastikan kalian berdua memperlakukan tahanan baru ini dengan baik. Jika terjadi sesuatu padanya, masa hukuman kalian akan diperpanjang.” Ujar salah satu prajurit.
“Oi! Itu artinya dia tahanan spesial? Bun, kita kedatangan tamu spesial.” Dia berseru lebih riang dari sebelumnya. Temannya terlihat tidak tertarik. Hanya menatapku sekilas. Kembali sibuk dengan bacaannya.
“Tapi ada apa dengan tahanan ini? Dia terlihat babak belur, macam habis bertempur di medan peperangan. Ini pasti perbuatan kalian para prajurit.”
“Kau jangan bicara sembarangan, Vero.” Ujar salah satu prajurit dengan ketus. Kelihatannya mereka saling mengenal.
Dua prajurit tersebut lantas pergi. Seketika, pintu penjara tertutup otomatis. Tidak bisa terbuka kecuali saat jadwal-jadwal tertentu.
“Hei, bagaimana jika kita berkenalan? Aku Veroka, kau bisa panggi aku Vero. Orang dingin, galak tak berperasaan yang ada di pojok itu namanya Bundara. Kau bisa memanggilnya Bun.
“Siapa yang kau bilang tak berperasaan, hah?” Ujar Bundara tak terima.
“Hahaha, itu kenyataan. Buktinya semua orang yang melihatmu untuk pertama kalinya bilang begitu.”
“Sialan! Bicara sekali lagi, aku lempar mukamu pakai buku tebal ini!” Kali ini dia melotot. Wajah sangarnya terlihat semakin seram.
“Maaf, aku hanya bercanda. Baiklah, kami sudah memperkenalkan diri. Selanjutnya kau, Bocah. Siapa namamu? Dan kenapa kau berakhir di penjara ini?”
Aku terdiam. Menunduk. Rasanya aku sedang tak ingin diajak berbicara dengan siapapun.
“Sepertinya kau sedang tak ingin diganggu. Ada baiknya kau beristirahat. Ini sudah malam. Besok, kita harus bangun pagi-pagi mengikuti jadwal penjara. Jika kau sudah bersedia bicara, jangan sungkan untuk berbincang denganku atau dengan Bun.”
Vero menunjukkan kamarku, lantas meninggalkanku sendirian.
Aku mematikan lampu, beranjak ke tempat tidur. Bahkan kasurnya terasa nyaman. Saat itulah, tepat ketika aku memejamkan mata, aku seakan melihat sepasang mata bulat. Aku terkejut. Tubuhku bergetar. Entah dari mana datangnya rasa takut ini. Aku mencoba memejamkan mataku kembali. Tidak bisa, lagi-lagi aku melihat sepasang mata merah itu. Aku terus mengulanginya berkali-kali. Percuma aku tidak bisa tidur, yang ada aku semakin ketakutan.
Belum kelar masalah tidurku, kali ini aku seakan mendengar raungan robot-robot itu. Aku mencoba menutup kedua telingaku. Tidak bisa, suara itu datang dari pikiran. Tubuhku bergetar hebat. Keringat mengucur di seluruh tubuhku.
“Waktu untuk tidur. Jika anda tidak mematuhi peraturan yang berlaku, kami akan menambah hukuman anda. Waktu untuk tidur...”
Kali ini, gelang yang berada di pergelangan tanganku terus mengeluarkan suara. Ini semakin memperburuk keadaanku. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku kembali memejamkan mata sembari menutup telinga. Suara dari gelangku terhenti. Sepertinya aku harus tetap memejamkan mataku, walau sangat menyiksa. Aku seakan bisa melihat reka adegan dimana aku dikejar dan diserang benda itu.
***
“Waktu untuk bangun. Jika anda tidak mematuhi peraturan yang berlaku, kami akan menambah hukuman anda.”
Tepat ketika gelang itu berbicara, dengan cepat aku membuka mataku. Nafasku tersengal. Seakan habis bertarung mati-matian. Aku masih merasakan tubuhku bergetar.
“Yo! Kau sudah bangun, Bocah. Bagaimana? Apa tidurmu nyenyak?” Sapa Vero dengan riang.
“Aku sama sekali tidak bisa tidur. Rasanya, malam seperti jadwal pertarungan bagiku.” Desahku dalam hati.
“Hei, wajahmu pucat macam habis dikejar beruang. Pasti kau bermimpi buruk.”
“Bagaimana mungkin aku bermimpi? Aku bahkan tidak tidur semalam.” Ingin sekali aku mengatakan kalimat itu. Tapi aku urungkan. Aku benar-benar tidak ingin diajak bicara siapapun.
“Vero, jangan ganggu dia!” Bundara berseru galak.
“Ini tidak ada hubungannya denganmu, Bun.”
“Kau tidak bisa lihat, hah? Dia jelas sedang tak ingin digangu.” Bundara melotot sembari mengacungkan tinjunya. “Sudah kubilang, tinggalkan ia!”
“Baik-baik, aku menyerah.” Vero meninggalkanku sembari memasang wajah kecut. Dia pasti kesal sekali tidak diizinkan berbicara denganku.
Pukul 07.00.
Pintu penjara terbuka. Gelang di tanganku memberi tahu jika ini adalah jadwal sarapan. Semua tahanan diharuskan untuk mengikuti semua jadwal yang berlaku. Vero menjelaskan banyak hal padaku. Seperti maksud dari bangunan penjara dibuat 10 lantai.
“Kau tahu? Alasan mengapa bangunan ini dibuat 10 lantai?”
Aku menggelengkan kepala pelan.
“Ini karena Walikota Keios membagi penjara menjadi 10 bagian.”
Aku baru tahu jika nama kota ini adalah Kota Keios.
“Lantai pertama diperuntukan untuk tahanan hukuman mati. Namun sistem hukuman mati di kota ini sedikit unik. Para tahanan hukuman diberikan pekerjaan berupa menjadi prajurit pemusnah robot-robot itu. Mereka tidak akan bisa lari ataupun bersembunyi saat tengah melakukan pertarungan di luar sana. Karena pada akhirnya mereka akan mati,”
Vero terdiam sejenak, lantas kembali melanjutkan kalimatnya. “Gelang mereka, dilengkapi racun yang mematikan. Jika mereka tidak bertarung, maka gelang ditangan mereka akan menyuntikan racun ke tubuh mereka. Pada akhirnya mereka juga akan mati.”
“Lantai ke-dua untuk para pelaku tindak kekerasan. Semua bentuk tindak kekerasan akan dimasukkan ke penjara lantai dua. Hukumannnya bisa 6 bulan sampai 10 tahun.”
Mendengar kata kekerasan aku jadi ingat salah satu prajurit yang kutinju sewaktu aku masih ditahan di ruang sekap. Bukannya itu juga salah satu tindakan kekerasan?
“Lantai ke-tiga diperuntukan untuk pencuri. Masa hukuman mereka tergantung seberapa besar benda yang mereka curi.”
“Lantai selanjutnya yaitu lantai ke-empat untuk para penjual dan pengguna barang-barang ilegal. Salah satu barang paling ilegal di Kota Keios adalah bangkai Robot Penjaga Perbatasan. Walikota sangat membenci benda itu. Dia bahkan tidak mengizinkan adanya daur ulang dari bangkai robot-robot itu. Jangankan bangkainya, bahkan baut dari robot itu tidak boleh diambil atau diperjual belikan.”
“Lalu lantai ke-lima. Penjara ini untuk para penipu. Ini jugal hal yang dibenci walikota. Itu karena walikota pernah memiliki pengalaman pahit dengan seorang penipu.”
“Selanjutnya, lantai ke-enam untuk para pejabat. Yah, kau tahu sendiri seperti apa perilaku seseorang jika sudah memiliki jabatan.”
“Lantai ke-tujuh untuk pencemar nama baik. Jadi, ada baiknya kau tidak menjelek-jelekkan walikota, Bocah.” Vero mengatakan kalimat itu dengan berbisik.
“Lantai ke-delapan untuk pemberontak. Bagi mereka yang melakukan pemberontakan karena tidak setuju dengan peraturan-peraturan yang berlaku akan ditahan di penjara ini. Tapi jika para pemberontak sudah melakukan tindakan kriminal lainnya, mereka akan dimasukkan ke penjara lain.”
“Penjara lantai sembilan untuk tahanan yang mendapatkan hukuman tambahan. Penjara itu sangat kecil dan hanya muat untuk satu orang. Bahkan aku dengar fasilitas di dalamnya buruk. Tapi tidak seburuk penjara lantai satu.”
“Dan yang terakhir penjara kita yaitu lantai sepuluh,” Vero tersenyum bangga. Kembali menjelaskan. “Penjara kita adalah penjara yang paling elit di antara penjara lain. Itu karena kita adalah tahanan istimewa, Bocah”
“Semua yang ditempatkan di penjara lantai sepuluh adalah orang-orang penting di kota ini yang melakukan kesalahan. Tapi tentu saja kesalahan kecil. Bocah, maukah kau memberi tahuku mengapa kau bisa berada di tempat ini?”
Astaga! Aku baru tahu mengapa dia sengaja menjelaskan semua hal tentang penjara ini. Semua itu tak lain hanya demi mendengarkan ceritaku. Tentu saja aku menolak. Aku meninggalkannya dengan mempercepat langkahku. Aku tak ingin membiarkan diriku larut dalam kesedihan dengan mengingat kembali kenangan burukku.
“Tu, tunggu! Setidaknya beri tahu alasan mengapa kau bisa berada di penjara ini!” Vero berteriak parau. Aku tidak memedulikannya, semakin mempercepat langkahku.
“Ck ck ck. Itu salahmu, Vero. Bocah itu jelas tidak ingin berbicara denganmu.” Ujar bundara sembari menggelengkan kepala.
“Diam, Bun! Aku kan hanya ingin membuatnya bisa lebih dekat dengan kita. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya.”
Mereka berdua terus berdebat. Aku tidak menghiraukan mereka. Saat ini sibuk mengantri untuk mendapatkan jatah sarapan. Walau sebenarnya aku sedang tak berselera untuk makan.
Bundara dan Vero telah menyusulku. Mereka mengantri tepat di belakangku. Aku beraharap Vero tidak menanyakan apapun padaku.
“Bocah, setidaknya beri tahu kami siapa namamu. Aku tidak tahu harus memanggilmu apa.” Vero bertanya memelas.
Aku mendesah pelan. Sepertinya dia tidak akan berhenti bertanya sampai aku menjawab pertanyaannya. Namun lagi-lagi aku tidak berbicara. Kali ini bukan karena aku tidak mau, tapi sudah giliranku untuk mendapatkan makanan. Jelas aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari petugas yang tengah membagikan makanan. Aku khawatir sikap tidak sopanku terhadap petugas di penjara akan menambah jatah hukuman.
Aku berlalu menuju salah satu meja makan. Tak kusangka Vero tetap mengikutiku. Aku benar-benar heran dengan sikap gigihnya.
“Jadi siapa namamu?”
“Lian.” Aku menjawab singkat.
Vero tersenyum puas. Sepertinya ia benar-benar senang hanya sekedar tahu namaku.
Aku berusaha menelan makananku. Entah mengapa, terbesit wajah Liana di benakku. Seketika rasa makanan yang kukunyah terasa pahit. Dadaku kembali sesak. Rasa tidak enak ini berubah menjadi rasa mual. Sepertinya aku tidak akan sanggup menghabiskan makananku.
“Ada apa bo...Eh, maksudku, ada apa, Lian?”
Aku beranjak dari tempat dudukku. Vero menatapku heran. Tapi sepertinya ia paham dengan kondisiku. Dia memutuskan untuk tidak mengikutiku.
Pukul 08.00
Gelang di tanganku kembali berbunyi. Memberi tahu jadwal selanjutnya.
“Waktu untuk kerja. Anda mendapatkan tugas sebagai pembantu dokter. Silahkan menuju rumah di sebelah kanan gedung penjara.”
“Astaga! Lian, kau ini benar-benar tamu istimewa.” Vero terlihat terkejut. Kelihatannya dia juga tengah bersiap-siap untuk bekerja. Dari dugaanku sepertinya dia menjadi cleaning service.
Bundara menatapku heran. “Jarang-jarang ada tahanan yang mendapatkan tugas bersama orang penting di Kota Keios.”
“Aku curiga, Bun. Sepertinya Lian memang bukan tahanan. Bisa jadi dia orang yang hanya numpang menginap di penjara kita.” Vero berseru menyelidik.
Aku sedikit heran dengan sistem penjara di kota ini. Para tahanan diberikan pekerjaan masin-masing. Vero menjadi cleaning service, dan Bundara mendapatkan pekerjaan menjadi penggali tambang.
Gelang di tanganku memberi tahu apa saja yang harus kulakukan dalam pekerjaanku. Memberi tahuku hal-hal terlarang yang bisa membuatku tersetrum atau mendapatkan hukuman tambahan.
Aku menuju tempat tujuanku. Sebuah rumah disamping gedung penjara. Rumah tersebut terlihat besar. Memiliki 2 lantai dengan arsitektur sederhana. Di halamannya terdapat berbagai macam tanaman. Beberapa ada yang kukenali.
Aku mengetuk pintu. Sebisa mungkin bersikap sopan.
“Masuk!” seseorang di dalam menyuruhku untuk masuk.
Aku membuka pintu perlahan. Seketika, bau obat-obatan tercium.
“Kau pasti Lian, kan?” Seorang pria tua menyambutku. Tubuhnya terlihat masih segar bugar.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Pria tua itu terkekeh. Usianya mungkin sekitar 70 tahun. Wajahnya terlihat ramah dan teduh.
“Baiklah, karena hari ini adalah hari pertamamu, kita hanya akan saling berkenalan.”
Pria tua itu mempersilahkanku untuk duduk. Dia menyeduhkan teh untukku, lantas memberikannya kepadaku.
“Cobalah kau minum teh herbalku. Ini adalah hasil dari kebunku.”
Aku mengangguk, lantas meminum teh tersebut. Dan...
UHUK! Aku terbatuk. Rasa teh itu benar-benar mengerikan. Aromanya memang sedap namun rasanya tidak bisa dijelaskan. Pria tua itu sekali lagi tertawa. Apakah ia baru saja mengerjaiku?
“Tenang saja, aku tidak berniat mengerjaimu. Aku mendapatkan informasi jika kau tidak bisa tidur tadi malam. Teh yang barusan kau minum adalah salah satu obat yang kubuat untukmu. Tentu saja aku juga memiliki obat lain untuk kau minum.”
Dia kembali tertawa, seakan bisa membaca raut masamku.
“Aku akan memperkenalkan diriku. Aku Dokter Ruzdora. Sebenarnya aku kurang suka jika orang-orang memanggilku dengan gelar tersebut. Jadi khusus untukmu, panggil aku Ruz atau Ruzdora”
Aku kembali mengangguk.
“Kau ini benar-benar pendiam sekali, Lian. Ah, kita tidak usah basa-basi. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan padamu.”
Ruzdora mengubah posisi duduknya. Dia mendekatkan dirinya padaku. Seakan ingin membicarakan hal yang sangat penting.
“Lian, sebenarnya kau tidak memiliki pekerjaan apapun. Aku membawamu kemari lantaran Nona Kei lah yang memintanya langsung padaku,” Ruzdora terdiam sejenak. Wajahnya terlihat serius. “Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan Nona Kei. Tapi bagi Nona Kei, kau adalah orang yang sangat penting baginya.”
Bagaimana bisa aku menjadi orang penting bagi orang yang bahkan tidak kukenali?
“Kudengar, sebelum kau dipindahkan ke penjara, Nona Kei berdebat dengan ayahnya alias Walikota Keios. Dia ingin Walikota Keios membebaskanmu. Bahkan Aku dengar Nona Keios sampai menangis memohon pada ayahnya.”
“Karena Nona Kei merupakan putri satu-satunya Walikota Keios, dia mengizinkan untuk membebaskanmu dengan syarat kau harus menjalani masa percobaan. Pertanyaanku, apakah kau mengenal Nona Kei?”
Aku menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak mengenalinya.
“Kalau begitu izinkan aku untuk melakukan pemeriksaan pada tubuhmu. Kemungkinan besar ada sesuatu yang bermasalah dengan ingatanmu. Kemarin malam, Nona Kei sempat bercerita sedikit tentangmu. Dia bilang kau sangat akrab dengannya saat usiamu berumur 8 tahun.”
Entah mengapa, kepalaku terasa pusing. Seakan pikiranku berusaha mengingat sesuatu.
“Tidak perlu memaksakan ingatanmu, Lian. Aku akan mecoba menemukan masalah yang ada pada pikiranmu.
Ruzdora mengajakku ke suatu ruangan. Di dalamnya terdapat sebuah tabung seukuran pria dewasa yang disambungkan dengan monitor. Dia memintaku untuk berbaring dalam tabung tersebut.
“Alat ini akan memeriksa seluruh keadaan tubuhmu dan menampilkan melalui monitor. Kau cukup berbaring 5 menit dalam tabung tersebut.”
Aku mengangguk paham. Melakukan semua instruksinya. Cahaya kehijauan menyiram tubuhku dengan perlahan. Dimulai dari kepalaku dan dilanjutkan sampai ke ujung kaki. Seperti perkataan Ruzdora, keadaan dalam tubuhku muncul di dalam monitor.
Ruzdora memperhatikan informasi yang tertera di monitor. Wajahnya terlihat sangat serius. Tangannya bergerak-gerak, seakan tengah membaca novel.
Beberapa saat kemudian dia terlihat terkejut. Seakan tidak percaya pada keterangan dalam monitor. Kali ini pandangannya tertuju padaku.
“Lian! Ini benar-benar mengejutkan!” Ruzdora mendekatiku, memegang erat pundakku. Kembali berujar. “Apapun yang terjadi, jangan sampai ada orang yang tahu soal ini.”
Soal apa? Aku sama sekali tidak mengerti maksud pembicaraannya.
“Ada suatu alat yang tertanam di dalam tubuhmu, Lian. Alat itulah yang memblok ingatanmu. Aku yakin orang yang menanamkan alat itu padamu tidak ingin kau mengingat sesuatu.” Ruzdora mengusap wajahnya, ia terlihat tidak senang. “Sebenarnya, aku tidak yakin jika alat itu hanya berfungsi sebagai pemblok ingatan. Aku yakin pasti ada tujuan lain. Namun satu hal yang aku takuti, jika alat itu dicabut dari tubuhmu kau bisa mati, Lian.”
Aku menelan ludah. Aku tidak tahu jika selama ini ada alat yang tertanam di tubuhku. Lebih mengerikannya lagi, alat itu menentukan kehidupanku.
“Saat ini aku belum tahu fungsi lain dari alat tersebut. Tapi aku pasti akan berusaha mencari tahu hal tersebut. Ingat! Jangan pernah beri tahu siapapun tentang hal ini, Lian! Bahkan Nona Kei sekalipun. Jika dia menceritakan tentang masa lalumu, pura-pura saja kau mengingatnya,”
“Untuk hari ini kita cukupkan dulu. Kemungkinan besar aku akan begadang untuk mengetahui alat apa yang tertanam di tubuhmu.”
Ruzdora mengantarku sampai pintu depan. Tak lupa dia memberiku obat-obatan. Pasti ini soal masalah tidurku.
“Pastikan kau meminumnya, Lian. Jangan disisakan satupun. Aku juga menambahkan teh yang kubuat barusan.”
Aku mendesah pelan. Ruzdora hanya tersenyum simpul.
“Lian, apapun yang terjadi dalam kehidupanmu, kau harus menerima semuanya. Bukannya melakukan penolakkan.”
Entah mengapa kata-kata itu seakan menampar wajahku. Begitu telak sampai-sampai aku berpikir, jangan-jangan dia tahu soal kenangan burukku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
–
Dapet ide dari mana?!
2020-05-26
0