PERJALANAN 2

Baiklah, akan aku ceritakan kisahku. Namaku Lian Clue. Remaja laki-laki berusia 16 tahun. Aku hidup di dunia yang kejam. Sedangkan setengah dari penduduk dunia telah melarikan diri ke angkasa sana. Mempertaruhkan hidup mereka di luar bumi. Karena bumi sudah menjadi daratan yang mengerikan sejak satu abad yang lalu. Dimana sebuah bencana besar mengguncang dunia.

Beberapa hari yang lalu. Aku masih memiliki kehidupan yang normal. Aku hidup disebuah pondok kayu di tengah desa padang rumput. Keluargaku baik. Orangtuaku perhatian dan penuh kasih sayang. Begitu pula dengan bibi, paman, dan sepupuku. Kami melengkapi satu sama lain. Itulah yang membuat kami masih bertahan di tengah kecamuk dunia.

Seluruh penduduk di desa kami menggunakan masker yang dihubungkan dengan tabung daur ulang udara seukuran botol minum. Yah, semuanya. Tidak ada yang mau mengambil resiko menghirup udara kotor ini. Mungkin hanya aku satu-satunya yang tak mengenakannya. Malas sekali membawa tabung itu ke mana-mana.

Beberapa orang sudah sering menegurku. Bilang aku bisa terkena penyakit, umurku akan pendek, dan berbagai alasan lainnya. Aku hanya melambaikan tangan tak peduli. Buktinya aku masih hidup selama 16 tahun ini. Bahkan aku masih sehat dan baik-baik saja. Entah hal apa yang membuatku berpikir untuk melepas maskerku sejak aku berusia 5 tahun.

Hari itu seperti biasanya. Aku, adikku, dan tiga orang sepupuku tengah berburu mencari makanan. Kami telah diajari berburu sejak usia kami 8 tahun. Hari itu, adalah hari pertama bagi adikku Liana berburu. Dia bersenandung gembira selama perjalanan. Tak terkecuali, perempuanpun harus bisa berburu. Demi bertahan hidup di dunia ini.

Kami membawa pulang tiga ekor kelinci dengan telinga besar dan badan yang kecil dengan ekor sepeti tikus. Mungkin kalian akan sulit membayangkan bagaimana bentuk kelinci ini. Semua hewan telah berevolusi sejak kejadian satu abad yang lalu. Mereka beradatapsi seiring berubahnya zaman.

Liana gagal mendapatkan hewan buruannya. Mengoceh sepanjang perjalanan. Kami hanya tertawa melihat wajah kesalnya.

“Kak, kenapa kakak tidak memakai masker?”

Aku menoleh, untuk pertama kalinya dia menanyakan hal tersebut. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mencari jawaban yang tepat.

“Liana, sebaiknya kau jangan mengikutiku. Aku tidak mau kau terkena penyakit hanya karena melepaskan maskermu. Lagipula kau tidak melakukannya dari kecil. Sangat berbahaya jika kau belum terbiasa dengan udara kotor ini.”

Dia mengangguk paham. Tidak bertanya lagi.

Kami masih dalam perjalanan. Menelusuri jalan setapak sembari menatap pemandangan disekitar kami. Sesekali Liana dan tiga sepupuku berhenti untuk bermain sejenak di puing-puing bangunan yang telah hancur. Terkadang mereka juga memainkan alat-alat atau mesin-mesin yang sudah usang.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Hingga pandanganku tertuju pada abu yang berterbangan disekitar kami. Semakin kami mendekati tujuan, abu-abu itu semakin banyak. Liana dan tiga sepupuku mulai terlihat pucat. Akupun mulai panik. Dan benar saja, malapetaka yang kami risaukan terjadi.

Di jarak 15 kilometer dari kami berdiri, sebuah api raksasa membentang bagai dinding. Asap hitam mengepul pekat dan membuat mendung. Kami terkejut, tubuh kami bergetar. Lihatlah! Desa kami terbakar. Aku, Liana serta tiga sepupuku berlari kencang. Melempar sembarang buruan kami.

Dari kejauhan, samar-samar terlihat beberarapa kendaraan dan sekumpulan orang berpakaian hitam. Mereka membawa senjata dan mengumpulkan beberapa makanan dan barang yang berguna. Aku menyuruh Liana dan tiga sepupuku untuk bersembunyi. Mataku terus menyelidik. Mencari keberadaan orangtuaku.

“Kak, dimana ayah dan Ibu?”

Liana mulai terisak. Matanya mulai berkaca-kaca. Disusul tiga sepupuku yang juga masih terbilang muda. Aku mencoba menenangkan mereka.

“Tenang saja. Mereka akan baik-baik saja. Aku akan mencoba mencari mereka. Kalian tetap berada disini dan jangan keluar apapun yang terjadi.”

Mereka mengangguk sebagai jawaban. Aku mulai mencoba memasuki desa dengan tetap waspada terhadap sekumpulan bandit tersebut. Tak lupa mebawa senjataku.

Asap mengepul semakin tebal. Udara terasa sesak. Api terus berkobar diseluruh penjuru desa. Beberapa penduduk berusaha menyelamatkan barang berharga dan mencoba kabur dari kejaran bandit. Aku terus melangkah dengan hati-hati. Tidak sempat menolong yang lain. Tujuanku hanya satu. Menyelamatkan keluargaku.

Aku terus menutupi hidung dan mulutku dengan tanganku. Sudah sepuluh menit lamanya aku mencari keberadaan keluargaku. Namun belum ada tanda-tanda keberadaan mereka. Asap tebal menghalangi pandanganku. Nafasku juga semakin sesak. Pandanganku mulai kabur. Terpaksa aku harus mengambil salah satu masker dari mayat yang tergeletak di sepanjang jalan. Aku kembali berlari sambil menghindari pertemuan dengan para bandit.

Akhirnya, aku berhasil menuju rumahku. Setidaknya rumahku belum terbakar. Aku langsung mendobrak masuk. Hening.

“AYAH! IBU! BIBI! PAMAN! DIMANA KALIAN?”

Aku berteriak panik. Memeriksa setiap ruangan. Dan...

Mataku terbelak tak percaya. Tubuhku bergetar hebat. Tenggorokanku seakan tercekik. Melihat setumpukan mayat yang sudah tidak berbentuk ditengah ruang keluarga. Aku terjatuh. Tak kuasa menahan tangis. Padahal baru tadi kami pergi dan semuanya sudah berubah dalam sekejap. Padahal baru tadi mereka mengucapkan kata hati-hati sebelum kami berburu. Aku tersungkur tidak berdaya. Seakan separuh tenagaku telah menghilang.

Dengan terisak aku mencoba keluar dari desa. Kakiku terasa berat, namun aku harus segera keluar. Setelah lima belas menit lamanya, akhirnya aku berhasil keluar. dengan cepat segera menuju tempat Liana dan tiga sepupuku berada. Namun, hal yang tak kusangka terjadi. Mereka menghilang.

Belum selesai aku menyadari apa yang terjadi. Tiba-tiba, seseorang memukul kepalaku dari belakang. Aku terjatuh. Kepalaku terasa sakit. Dengan cepat aku hendak mengambil senjataku. Namun aku kalah cepat. Sesosok itu lebih dulu melempar jauh senjataku. Aku menatap seseorang yang baru saja memukulku. Wajahnya terlihat tegas dengan rambut berantakan menutupi daun telinga. Matanya berwarna coklat terang dengan alis tebal.

“Akhirnya, aku menemukanmu, bocah.”

Mataku menatap tidak mengerti. Apa yang dia cari dariku?

“Bawa bocah ini!”

Dia memerintah bandit lain untuk membawaku. Belum sempat mereka memegangku. Suara tembakan terdengar memekakkan telinga. Seorang bandit terkapar tak bernyawa dengan darah mengucur di kepalanya. Disusul beberapa bandit lain. Pria yang tadi memukulku berseru garang. Memperhatikan sekitar. Peluru terus berdatangan entah dari mana. Kemungkinan besar beberapa penduduk mencoba balik melawan. Bandit-bandit lain mulai berlarian menyelamatkan diri. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur.

Aku berlari sekuat tenaga. Melewati puing-puing bangunan. Terus berlari. Tak terasa, air mataku kembali berlinang. Jatuh seiring langkahku. Dadaku terasa sesak. Bukan karena asap yang berada di sekitarku. Namun karena aku kehilangan adikku satu-satunya.

Ketika aku sudah putus asa, ketika langkahku mulai terhenti. Aku mendengar suara seseorang memanggilku. Suara yang kukenal.

“Lian!”

Aku menoleh. Mencari arah suara yang memanggilku. Dan betapa terkejutnya aku. Ibuku. Dialah yang memanggilku. Disampingnya terlihat Liana berseru riang.

“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Ibu selamat?” Aku terbelak tak percaya.

“Tidak ada waktu. Nanti saja penjelasannya. Sebaiknya kita lari terlebih dahulu, tempat ini sudah tidak aman lagi.”

Aku mengangguk. Lantas berlari menyusul Ibu dan Liana.

Setelah cukup jauh. Kami memutuskan berhenti.

“Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimana yang lain?” Aku bertanya tidak sabaran.

“Maafkan Ibu. Mereka semua tidak bisa Ibu selamatkan. Tiga sepupumu tertangkap. Namun Ibu sempat menyelamatkan Liana,” Wajah Ibu terlihat sedih.

“Kalau begitu kenapa tidak kita selamatkan?” Aku hendak beranjak. Namun Ibu sudah lebih dulu menahan langkahku.

“Jangan Lian! Itu terlalu berbahaya. Di saat seperti ini kita harus mementingkan diri sendiri.”

Aku mengangguk terpaksa. Tak bisa mengelak. Ada kalanya Ibu benar. Namun entah mengapa dadaku terasa sesak. Dan pikiranku masih penuh dengan pertanyaan. Kenapa Ibu bisa selamat? Dan mengapa bandit-bandit itu mencariku?

Malam mulai menjelang. Bulan mulai mengambang di angkasa. Disusul formasi bintang yang setia menemani. Suara lolongan serigala mulai terdengar. Serangga malam tak mau kalah bersenandung. Angin malam berhembus pelan menerpa rumput-rumput setinggi lututku. Kami memutuskan berhenti di sebuah pohon raksasa yang berada di tengah padang rumput. Membuat api unggun. Beristirahat.

Aku terduduk diam. Masih memikirkan kejadian tadi. Liana sudah terlelap. Setelah berjalan kaki cukup jauh pasti melelahkan baginya.

“Lian, ada yang ingin Ibu bicarakan padamu.”

Aku menoleh. Ibu menatapku. Menghela nafas sejenak.

“Sebenarnya Ibu bukan dari desa itu. Selama ini Ibu merahasiakannya darimu,” Ibu terdiam sejenak. Kembali menarik nafas. “Sebenarnya, dulu Ibu adalah seorang ilmuan di sebuah negara. Ibu dan rekan-rekan Ibu diperintahkan oleh kepala negara tertinggi untuk membangun kembali teknologi yang telah menghilang di dunia ini. Kami memulainya dari Robot Penjaga Perbatasan.”

“Robot Penjaga Perbatasan?” Aku bertanya penasaran. Aku tidak tahu hal itu.

“Robot Penjaga Perbatasan merupakan robot yang dibuat untuk menjaga perbatasan negara. Karena saat itu perang tengah berkecamuk. Hampir setiap negara memiliki robot ini. Robot ini telah lama dinonaktifkan sejak 70 tahun yang lalu. Dan robot itu sudah menjadi benda terlarang. Kami juga tidak tahu alasan kepala negara menyuruh kami membangkitkan kembali robot-robot itu. Kami hanya bisa pasrah. Tanpa bisa melawan,” Kali ini  raut wajah Ibu terlihat sedih. Kembali melanjutkan perbincangan.

“Kami benar-benar bodoh menyalakan kembali robot itu. Kini kami tahu alasan mengapa robot itu merupakan benda terlarang. Karena robot itu membenci manusia,”

“Apa maksud Ibu?” Aku memotong pembicaraan. Membenarkan posisi. Mulai tertarik.

“Robot itu memiliki kecerdasan buatan. Mempelajari manusia. Bahkan mempelajari sifat-sifatnya. Robot-robot itu mulai memahami rasa kekuasaan, keserakahan, dan nafsu.  Fungsi awal mereka yang sebagai penjaga perbatasan mulai berubah menjadi senjata makan tuan. Mereka menganggap semua manusia merupakan makhluk berbahaya. Dan mulai membantai manusia. Menganggap seluruh manusia merupakan musuh utama yang harus dibasmi,” Suara Ibu tercekat. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Kami benar-benar tidak tahu fakta itu. Dan kini seluruh  robot di dunia ini sudah bangkit. Saat itu Ibu belum tahu cara mematikan robot-robot itu. Kami sudah mencoba berbagai cara untuk menghancurkan robot-robot itu. Namun bukannya memperbaiki keadaan, kami malah memperburuknya. Robot-robot itu semakin beringas menyerang. Hingga akhirnya Ibu memutuskan kabur menyelamatkan diri. Membiarkan robot-robot itu tersebar diseluruh penjuru dunia. Membantai ratusan manusia.”

“Belum selesai masalah robot-robot itu, masalah baru datang. beberapa negara mencoba memusnahkan robot itu dengan senjata nuklir. Salah satu senjata terlarang. Akibatnya juta-an  nyawa kembali melayang. Dan radiasi yang diakibatkan senjata nuklir itu berdampak pada manusia. Radiasinya dapat merusak sel otak manusia. Dan yang terkena dampaknya akan menjadi agresif. Menyerang siapapun yang ada disekitarnya, pada akhirnya perbuatan kami hanya menambah korban.”

“Tunggu sebentar, jika dunia benar-benar sekacau itu, mengapa kita masih bisa hidup tenang sebelum bandit-bandit itu menyerang? Masalah kita hanya udara kotor. Bukannya seharusnya robot-robot itu atau radiasi bisa memusnahkan kita? Tapi mengapa di desa  kita seakan tidak pernah terjadi apa-apa?” Aku kembali menyela. Semua penjelasan Ibu seakan tidak masuk akal.

Belum sempat Ibu menjawab. Kami mendegar suara teriakan. Dari kejauhan terlihat sekumpulan cahaya bergerak mendekat.

“Lian, kita harus pergi!”

Dengan cepat aku membangunkan Liana. Dia terlihat bingung. Aku langsung menariknya. Kembali berlari.

“Apa yang terjadi, Kak?” Wajah Liana terlihat pucat. Aku tidak sempat menjawab.

Bandit-bandit itu berhasil menemukan kami. Namun jarak mereka masih terbilang jauh. Kami berlari tak menentu arah. Nafasku tersengal. Keringat dingin terus mengucur di keningku. Dari kejauhan aku bisa mendengar mereka berseru galak. Mengejar. Kami terdesak. Kini dihadapan kami terlihat jurang yang cukup curam. Namun dibawahnya terdapat sungai yang cukup deras.

“Ibu, apa yang harus kita lakukan? Bandit-bandit itu semakin dekat.” Aku bertanya panik.

“Tidak ada jalan lain. Kita harus melompat, Lian. Jangan lepaskan Liana apapun yang terjadi!”

Aku mengangguk tegas. Lantas menggendong Liana. Dia berteriak takut. Kami tidak punya pilihan selain meluncur ke bawah. Ibu lompat terlebih dahulu. Aku menyusulnya. Kami terjatuh ke dasar sungai. Terbawa arus. Namun aku tetap memegang Liana. Di atas sana bandit-bandit itu terlihat marah. Beberapa mencoba menyusul. Meluncur mengikuti arus.

Aku tidak sempat mengkhawatirkan bandit-bandit yang mengejar kami. Saat ini aku susah payah menghindari bebatuan yang menghadang. Ditambah aku dalam posisi membawa Liana. Beberapa kali aku tertelan air. Liana terus berteriak panik. Aku tidak bisa melihat posisi Ibu. Bandit-bandit itu sepertinya juga kehilangan jejak kami.

Aku memutuskan menepi. Tubuhku basah kuyup. Lebam disekujur tubuh. Wajah Liana pucat pasih. Namun dia baik-baik saja. Aku belum menemukan keberadaan Ibu. Kami memutuskan untuk berjalan. Khawatir jika bandit-bandit itu kembali menyusul. Aku terus membujuk Liana untuk berjalan kaki. Namun dia terlihat sangat lelah. Aku terus menyemangatinya. Bilang semuanya akan baik-baik saja.

Sudah hampir setengah jam kami menelusuri hulu sungai. Liana sudah mengeluh. Kakinya sakit dibuat berjalan.

“Kak, aku ingin melepaskan masker yang ku pakai. Rasanya berat sekali membawa tabung ini kemana-mana...” Wajahnya terlihat lesu. Ini pengalaman terburuk yang pernah dia rasakan. Pasti sangat berat bagi anak seumurnya.

Aku memutuskan menggendongnya. Kembali melanjutkan berjalan kaki. Memaksa tubuhku untuk terus bergerak. Udara dingin mulai menusuk. Ditambah baju kami basah. Sesekali aku tersengal, namun kembali menempuh jalan yang berbatu. Saat ini tidak ada tempat aman bagi kami. Senjataku-pun sudah hilang sejak di sungai tadi.

Aku sudah tidak tahu, apakah Liana terlelap atau pingsan. Akupun sudah lelah. Sudah tiga jam lamanya aku berjalan. Sesekali aku terjatuh. Kembali bangkit sembari menahan rasa sakit. Tubuhku menggigil dan pandanganku mulai remang. Keringat dingin terus mengucur. Perlahan gendonganku terhadap Liana mulai meregang. Dan benar saja, setelah beberapa langkah aku roboh. Jatuh bedebam di atas bebatuan sungai. Aku sampai lupa Liana juga ikut terjatuh. Perlahan mataku mulai tertutup. Gelap.

 

 

Terpopuler

Comments

–

Pertanyaan.

Apakah pengarang menyukai Tokutatsu zero one?

2020-05-26

0

lihat semua
Episodes
1 PERJALANAN
2 PERJALANAN 2
3 PERJALANAN 3
4 PERJALANAN 4
5 PENJARA
6 PENJARA 2
7 VERO DAN BUNDARA
8 AKADEMI LANGIT
9 AKADEMI LANGIT 2
10 AKADEMI LANGIT 3
11 MISI
12 MISI 2
13 REUNI
14 REUNI 2
15 DESA PADANG RUMPUT
16 SI PENGEMBARA
17 KOTA THE-PI
18 KOTA THE-PI 2
19 LAUT
20 LAUT 2
21 PULAU
22 BAHAGIA
23 NOMADEN
24 NOMADEN 2
25 PENGKHIANAT?
26 PENGKHIANAT? 2
27 PENGKHIANAT? 3
28 FALCON
29 FALCON 2
30 TANGAN BESI
31 TANGAN BESI 2
32 TANGAN BESI 3
33 TANGAN BESI 4
34 TERLUPAKAN
35 TERLUPAKAN 2
36 TERLUPAKAN 3
37 TERLUPAKAN 4
38 TERLUPAKAN 5
39 PENJELASAN
40 PENJELASAN 2
41 RENCANA
42 MOMEN
43 AKU ZENZEN
44 AKU ZENZEN 2
45 AKU ZENZEN 3
46 AKU ZENZEN 4
47 KEBENCIAN ZENZEN
48 KEBOHONGAN ZENZEN
49 KEBOHONGAN ZENZEN 2
50 KEBOHONGAN ZENZEN 3
51 PEMBUKTIAN ZENZEN
52 PEMBUKTIAN ZENZEN 2
53 PEMBUKTIAN ZENZEN 3
54 PEMBUKTIAN ZENZEN 4
55 TERCIPTANYA MONSTER
56 TERCIPTANYA MONSTER 2
57 TERCIPTANYA MONSTER 3
58 TERCIPTANYA MONSTER 4
59 TERCIPTANYA MONSTER 5
60 PERGINYA ZENZEN
61 PERGINYA ZENZEN 2
62 PERGINYA ZENZEN 3
63 PERGINYA ZENZEN 4
64 PERGINYA ZENZEN 5
65 PERGINYA ZENZEN 6
66 PERGINYA ZENZEN 7
67 BIONIK
68 BIONIK 2
69 BIONIK 3
70 BIONIK 4
71 BIONIK 5
72 BIONIK 6
73 BIONIK 7
74 RENCANA ZENZEN
75 AKHIR KISAH ZENZEN
76 PENGUMUMAN
Episodes

Updated 76 Episodes

1
PERJALANAN
2
PERJALANAN 2
3
PERJALANAN 3
4
PERJALANAN 4
5
PENJARA
6
PENJARA 2
7
VERO DAN BUNDARA
8
AKADEMI LANGIT
9
AKADEMI LANGIT 2
10
AKADEMI LANGIT 3
11
MISI
12
MISI 2
13
REUNI
14
REUNI 2
15
DESA PADANG RUMPUT
16
SI PENGEMBARA
17
KOTA THE-PI
18
KOTA THE-PI 2
19
LAUT
20
LAUT 2
21
PULAU
22
BAHAGIA
23
NOMADEN
24
NOMADEN 2
25
PENGKHIANAT?
26
PENGKHIANAT? 2
27
PENGKHIANAT? 3
28
FALCON
29
FALCON 2
30
TANGAN BESI
31
TANGAN BESI 2
32
TANGAN BESI 3
33
TANGAN BESI 4
34
TERLUPAKAN
35
TERLUPAKAN 2
36
TERLUPAKAN 3
37
TERLUPAKAN 4
38
TERLUPAKAN 5
39
PENJELASAN
40
PENJELASAN 2
41
RENCANA
42
MOMEN
43
AKU ZENZEN
44
AKU ZENZEN 2
45
AKU ZENZEN 3
46
AKU ZENZEN 4
47
KEBENCIAN ZENZEN
48
KEBOHONGAN ZENZEN
49
KEBOHONGAN ZENZEN 2
50
KEBOHONGAN ZENZEN 3
51
PEMBUKTIAN ZENZEN
52
PEMBUKTIAN ZENZEN 2
53
PEMBUKTIAN ZENZEN 3
54
PEMBUKTIAN ZENZEN 4
55
TERCIPTANYA MONSTER
56
TERCIPTANYA MONSTER 2
57
TERCIPTANYA MONSTER 3
58
TERCIPTANYA MONSTER 4
59
TERCIPTANYA MONSTER 5
60
PERGINYA ZENZEN
61
PERGINYA ZENZEN 2
62
PERGINYA ZENZEN 3
63
PERGINYA ZENZEN 4
64
PERGINYA ZENZEN 5
65
PERGINYA ZENZEN 6
66
PERGINYA ZENZEN 7
67
BIONIK
68
BIONIK 2
69
BIONIK 3
70
BIONIK 4
71
BIONIK 5
72
BIONIK 6
73
BIONIK 7
74
RENCANA ZENZEN
75
AKHIR KISAH ZENZEN
76
PENGUMUMAN

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!