“Lian, pernahkah kau berharap untuk pergi ke angkasa sana?’
Seorang gadis berusia sekitar 7 tahun menatapku. Matanya tertupi rambutnya yang bewarna kecoklatan. Udara terasa sejuk dan damai. Menghempaskan dedaunan kering yang berjatuhan di sekitar kami.
“Aku benar-benar ingin kesana.” Gadis itu kembali berujar. Kali ini aku bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik rambutnya.
“Kau yakin mau ke sana?” Aku bertanya meyakinkan.
Namun, belum sempat gadis itu membalas. Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. Semakin jelas.
“Lian!”
Mataku terbuka. Cahaya matahari seakan menusuk mata. Aku masih mengerjap. Betapa terkejutnya aku. Mendapati Ibulah yang membangunkanku.
“Apa yang terjadi?” Tubuhku terasa lemas, bibirku kering. Keringat mengucur membasahi kening.
“Lian, Kau harus segera pergi!”
Aku tidak mengerti. Kepalaku masih terasa sakit. Liana masih pingsan.
“Lian, dengar! Ibu akan memberimu pesan. Terkadang petunjuk bisa datang dari diri kita. Pergilah ke arah utara dan cari kota mati bernama Batana. Temui pria berjanggut tebal dengan tangan besi. Beri pesan jika Zenzen sudah bergerak.”
“Lantas bagaimana dengan Ibu?” Aku bertanya cemas. Ibu terdiam sejenak. Menyerahkan sebuah senjata dan ransel kepadaku.
“Lian, hanya kau yang bisa melanjutkan perjalanan ini. Kesalahan Ibu di masa lalu terlalu berat untuk Ibu pikul. Ibu ingin mencoba memperbaikinya. Jadi, biarkan Ibu yang menghadapi mereka..”
“Menghadapi sia...” Ucapanku terhenti begitu mendengar suara tembakan. Suaranya nyaring membelah langit.
“Lian, ini pesan terakhir Ibu. Hanya kau yang bisa menyelamatkan dunia. Camkan itu baik-baik! ”
Lantas tanpa berkata-kata lagi. Ibu berlari meninggalkan kami. Aku berusaha berdiri. Mencoba menyusul. Namun kakiku seakan tidak mau lagi dipaksa bergerak. Kejadian itu begitu cepat. Aku hanya bisa menatap punggung ibu yang semakin menjauh. Bertanya dalam hati. Apakah ini perpisahan?
Aku kembali berjalan kaki. Beberapa saat kemudian Liana yang berada digendonganku terbangun.
“Kak, kita dimana?” Suaranya terdengar lemah.
“Kita akan mencari tempat yang aman, Liana. Kakak bersumpah.” Aku menjawab tegas. Berusaha menghiburnya.
“Dimana Ibu?”
Kali ini aku terdiam sejenak. Lantas aku memutuskan berbohong. Aku tidak ingin dia merasa sedih.
“Kakak juga tidak tahu, Liana. Namun jika kita sudah menemukan kota terdekat, kakak berjanji akan menemukan ibu.” Entah mengapa aku merasa sesak. Mengingat kejadian ibu meninggalkan kami begitu saja. Aku segera mengusik pikiran itu. Aku yakin ibu punya alasan.
“Kak, aku lapar. Perutku terasa sakit,” Liana mengeluh. Aku menurunkannya dari punggungku. Setidaknya ibu meninggalkan kami sebuah ransel. Aku mengecek isinya. Tersenyum tipis. Ada beberapa makanan yang tersedia. Aku menyodorkan sebuah roti. Dia meraihnya. Memakannya dengan lahap.
Kami kembali berjalan kaki. Liana tak lagi kugendong. Dia memutuskan berjalan sendiri, merasa tak enak padaku. Kami tak banyak bicara. Aku lebih banyak memikirkan semua perkataan Ibu. Tentang kota bernama Batana. Aku tidak pernah mendengar nama kota itu. Dan juga Zenzen. Siapa orang itu? Mungkinkah bandit beralis tebal yang kutemui di desa? Kesal karena tak mengerti semua ucapan Ibu, aku memilih untuk memperhatikan sekitar.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhi beberapa bangunan terbengkalai. Aku tidak pernah tahu jika diluar area desa kami masih banyak puing-puing bangunan. Kami menulusuri jalan setapak. Liana tidak banyak mengeluh. Justru dia tampak menikmati perjalanan. Sesekali kami beristirahat. Mengobrol sejenak, melontarkan candaan. Lantas kembali melanjutkan perjalanan. Matahari mulai tenggelam. Kami harus segera mencari tempat bernaung.
Kukira perjalanan kami akan berjalan lancar. Namun malam itu aku melihat sesuatu yang akan menjadi ketakutan terbesarku. Membuat malam terasa panjang. Dan mimpi bagai penyiksaan tiada henti. Malam itu, kami melihat sesuatu yang seharusnya tidak kami lihat. Robot Penjaga Perbatasan.
Lagi-lagi aku mendengar suara tembakan yang membelah langit. Suaranya nyaring, sampai-sampai Liana tersentak kaget mendengarnya. Memelukku erat. Kami memutuskan bersembunyi disela-sela puing bangunan. Entah mengapa suasana terasa mencekam. Jangkrik dan hewan malam lainnya terdiam. Seakan mereka bersembunyi dari sesuatu. Kukira itu adalah bandit. Namun dugaanku salah.
Ketika aku masih sibuk mengintip. Sepasang mata merah menatapku dari balik celah tempat aku mengintip. Aku terkejut. Dengan cepat meraih tangan Liana. Berlari kencang. Langsung saja, robot itu mengejar tanpa ampun. Suara mesinnya berderak seiring langkahnya. Aku tidak sempat memperhatikan bagaimana bentuknya. Suara tembakan itu pastilah dari robot tersebut.
Tangan kananku sibuk memegang senjata sedang tangan kiriku menggenggam erat tangan Liana. Aku terus berseru pada Liana untuk mempercepat langkahnya. Kami mencoba lari melewati celah-celah bangunan. Berharap robot itu kesulitan mengejar kami. Beberapa kali tubuhku terkena goresan puing bangunan. Lecet sana lecet sini. Setidaknya Liana tidak begitu kesulitan. Dengan tubuh kecilnya mudah saja dia bergerak dalam tempat sempit. Hingga tak sengaja kami menginjak puing yang rapuh.
Kami berdua terjatuh. Lenganku menghantam bebatuan tajam. Darah segar mengucur. Aku meringis kesakitan. Aku masih bisa mendengar derak mesin disekitar kami. Nafasku tertahan. Aku hanya bisa berharap kami selamat. Aku memejamkan mata. Jantungku berdegup kencang.
Harapanku terkabul. Suara mesinnya terdengar semakin jauh. Menyisakan binatang malam yang kembali bersenandung.
Aku langsung berlari menuju tubuh Liana. Dia terkapar tak jauh dariku. Aku terkejut mendapati kepalanya mengeluarkan darah. Aku berseru panik. Mencoba memanggil namanya. Berharap dia membuka mata. Aku mengecek denyut nadi dan nafasnya. Dia masih bernafas. Dengan cepat aku mengambil sebuah perban dalam ranselku. Membalutkan di kepalanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Bambang Ferdiansyah
mantap thor, lanjutkan
2022-09-25
1
–
Jird, penjelasan yang cukup masuk akal!
2020-05-26
0