Kehancuran Batana
Sore itu begitu tenang.
Langit jingga tampak membentang indah. Semburat merah terlihat elok menghias angkasa sore. Sang raja siang terlihat tenggelam di ujung danau yang berkilauan. Suara air danau bergemericik pelan. Menambah irama nuansa senja yang menentramkan. Dahan pohon saling bergesek ditiup angin timur. Dedaunannya berjatuhan dibawa angin yang berhembus mengitari danau. Di atas sana, formasi burung angsa tampak eksotis, dengan anggunnya mereka mengepakkan sayapnya. Seakan mereka begitu menikmati sore ini.
Sedang dibawah sini, aku berlari dengan tergesa-gesa. Tak kuhiraukan sedikitpun senja yang terus menggodaku. Tak kuhiraukan sedikitpun udara sejuk yang menerpa pelan wajahku. Tak kuhiraukan bunga-bunga yang merekah indah di bawah pijakkanku. Tak kuhiraukan air danau walau dahaga mencekikku. Tak peduli apapun itu, aku harus terus berlari.
Rambutku bergoyang pelan mengikuti irama tubuhku. Tangan kiriku terus menyibak kasar dedaunan ilalang yang menghadang jalanan. Sedangkan tangan kananku mengenggam erat sebuah senjata laras panjang yang sudah terlihat usang. Di punggungku, seorang gadis berusia 8 tahun pingsan tak berdaya. Tubuh dinginnya membuatku semakin panik. Berlari kencang seperti orang gila.
Aku harus bergegas mencari tempat bernaung sebelum malam. Atau aku dan gadis malang ini berada dalam bahaya. Tidak ada tempat aman di dunia ini. Hanya bahaya yang terus mengintai tanpa lelah.
Nafasku tersengal. Berhenti sejenak menatap hutan dengan pohon raksasa yang berjajar rapat. Senja semakin hilang, digantikan malam yang mencekam. Aku tak punya pilihan, tujuanku ada dibalik hutan ini. Aku menerobos masuk. Dengan cekatan menepis semak belukar yang menutupi pandanganku. Sesekali aku berhenti ketika mendengar suara seperti tembakan. Lantas melaju kembali begitu suara itu menghilang.
Hutan ini terasa lembab. Lumut-lumut tampak tumbuh di sekitar bebatuan. Aku harus berhati-hati ketika melangkah, atau aku akan tergelincir. Suara jangkrik terdengar nyaring memenuhi hutan. Beberapa jamur tampak mengeluarkan cahaya kehijauan. Aku tetap melaju dengan waspada. Entah bahaya apa yang akan menghampiri. Beberapa kali tubuhku terkena goresan duri atau ranting yang tajam. Tapi aku tidak peduli.
Hutan semakin gelap. Kabut tipis mulai menutupi jalan. Menambah nuansa suram. Keringat dingin mengucur membasahi seluruh tubuhku. Sudah hampir tiga jam aku melintasi hutan ini. Belum kutemukan ujungnya. Hingga pandanganku tertuju pada sebuah bangunan tua di pinggir sungai yang tenang. Aku bergegas menuju bangunan tua tak terurus itu.
Aku mencoba memperhatikan bangunan itu. Dindingnya telah dipenuhi akar dan lumut. Lantainya dipenuhi rumput liar. Aku mengitari bangunan tersebut. Setidaknya memastikan bangunan itu benar-benar aman. Lantas memasukinya.
Aku menghidupkan senter yang tertanam pada senjata laras panjangku. Lantas mencari ruangan yang nyaman untuk beristirahat. Aku meletakkan gadis berusia 8 tahun itu dengan posisi bersandar. Kemudian aku mengumpulkan beberapa kayu bakar. Menyalakan api.
Aku mencoba memeriksa keadaan gadis malang itu. Dia sudah pingsan sejak 24 jam yang lalu. Nafasnya terasa tipis. Setidaknya dia masih hidup. Aku mengganti tabung yang tergantung di pinggangnya dengan yang baru. Membenarkan posisi maskernya. Lalu mengganti perban yang membalut kepalanya.
Satu hal tentang dunia ini. Udara tidak lagi ramah. Bumi telah berubah menjadi daratan maut. Kami para manusia terpaksa menggunakan tabung daur ulang udara kemanapun kami pergi. Seperti yang dialami gadis malang ini.
Namun aku tidak. Aku lebih memilih beradaptasi. Bukan melakukan penolakan. Walau setiap harinya aku harus menghirup udara kotor yang menyesakkan. Membuat paru-paru terasa berat. Sekali lagi aku tidak peduli. Jika tidak ada adaptasi, bagaimana manusia akan terus hidup.
Pandanganku kembali tertuju pada gadis itu. Gadis yang merupakan adikku satu-satunya. Keluargaku satu-satunya. Setelah para bandit sialan itu membantai seluruh keluargaku. Dan membuatku terpaksa kabur bersama adikku. Yang sekarang terkapar tak berdaya.
Aku memutuskan keluar untuk berjaga. Setidaknya aku bisa mengumpulkan apapun yang berguna untuk melanjutkan perjalanan. Aku mencoba mendekati bibir sungai. Mengecapnya lantas memasukkan airnya ke dalam botol. Aku kembali berkeliling. Memastikan agar kami tetap aman.
Sudah setengah jam lamanya aku berkeliling. Tidak ada apapun yang menarik dari hutan ini. Bahkan aku belum menemukan ada bahaya yang mengancam. Aku memutuskan duduk menatap sungai. Beberapa kunang-kunang terlihat terbang disekitarnya. Kabut tipis juga terlihat mengambang di atas permukaan sungai. Pemandangan yang indah. Namun tidak indah lagi jika kau menikmatinya dengan perasaan gundah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Bambang Ferdiansyah
karya nya mantap thor, semangat
2022-09-25
0
Ryosa
aku datang bawa banyak like, like balik ya thor
2021-10-20
0
Gribelion
bisa luang kan waktu anda untuk membaca novel ku Hidden Feeling 😁✌️
2020-08-18
1