Begitulah yang terjadi hingga kami bisa sampai seperti ini. Mataku terus menatap sendu ke arah sungai yang tenang. Aku bahkan tidak tahu apakah ada hari esok untuk kami. Apakah kami bisa bertahan dalam perjalanan ini. Aku saja sudah tak tahu dimana arah utara. Aku mendesah sejenak. Beranjak dari tempatku. Kembali ke dalam bangunan. Setidaknya aku harus mengistirahatkan tubuh dan pikiranku.
Aku terbangun begitu mendengar suara tembakan itu lagi. Dengan cepat, aku mengambil kain yang tergeletak sembarangan. Merobeknya dan membentuknya seperti tali. Lantas mengikat tubuh Liana ke tubuhku. Menjadikannya seperti gendongan. Setidaknya ini memudahkanku untuk bergerak leluasa. Terakhir, aku menghidupkan senter yang tergantung di senjataku. Kembali menelusuri hutan.
Aku berusaha menjauh dari suara tembakan tersebut. Hingga aku menemukan ujung dari hutan ini. Dan betapa terkejutnya aku, mendapati pemandangan yang membentang di hadapanku. Itu sebuah kota! Jaraknya sekitar 10 kilometer dari tempatku berdiri. Dikelilingi padang rumput dan lembah. Dengan perasaan gembira, aku berlari menuju ke kota tersebut. Berharap itu kota yang dibicarakan ibuku.
Aku kira semuanya akan berakhir begitu tiba di kota tersebut. Lagi-lagi aku salah. Aku benar-benar tidak tahu jika bahaya yang lebih besar akan datang. bersiap menunggu kapanpun seperti macan yang hendak menerkam mangsanya. Tepat ketika aku memasuki kota, suara tembakan itu bersautan. Menggema bagai mencakar langit. Sepasang, tidak, sekitar 10 pasang mata merah menatapku dari puncak bangunan. Aku terdiam sejenak. Kakiku bergetar. Diterangi cahaya rembulan, aku bisa melihat dengan jelas bentuk benda tersebut.
Ketika aku mencoba mengambil jalan kembali, salah satu robot menghadang jalanku. Aku terjatuh. Menatap ketakutan robot dengan tinggi 2 meter tersebut. Tubuhnya berbalut logam, dengan bentuk kepala lonjong. Wajahnya hancur setengah. Menambah kesan seram. Tangannya panjang menjuntai dengan jari-jari runcing bak pisau. Siap menghujam kapanpun ke arahku.
Spontan aku menembaknya dengan senjataku. Seketika robot itu hancur. Aku mengambil kesempatan ini untuk berlari. Robot-robot lain mulai bereaksi. Mereka mengejarku dari segala arah. Seakan menganggapku target yang sangat berbahaya. Aku berlari secepat yang aku bisa sembari melepaskan tembakan ke arah mereka. Kondisiku sangat tidak beruntung. Dengan keadaan menggendong Liana, aku harus menjaga keseimbangan tubuhku agar tidak terjatuh.
Sebuah robot melesat kearahku. Berusaha menerkam. Dengan gesit aku menghindar. Tanah disekitarku seakan terguncang setiap kali tangan robot-robot itu mencoba menangkapku. Aku mati-matian berusaha bertahan dari serangan robot-robot itu. Aku mencoba memasuki sebuah bangunan. Berharap robot-robot itu kesulitan menangkapku. Beberapa mengejar dari atap. Dan yang lain ikut menyusulku. Aku memasuki celah-celah bangunan. Mereka mencoba menjangkauku dengan tangan. Berhasil. Mereka tersangkut.
Saat aku mulai merasa senang. Saat aku mulai lega berhasil lolos dari kejaran mereka. Saat itulah, sebuah dentuman mengguncang bangunan. Robot-robot itu, mereka mengamuk. Mencoba menghancurkan seluruh bangunan. Seketika dinding-dinding disekitarku mulai runtuh. Aku berlari panik. Berusaha mencari jalan keluar ditengah kepulan debu. Beberapa tangan robot berhasil menerobos puing-puing disekitarku. Salah satu lengan robot mengenaiku. Menghantam tubuhku.
Aku terdesak. Disekelilingku buntu. Satu-satunya jalan keluarku hanya celah yang berada dihadapanku. Namun sebuah robot menutupi jalan keluarku. Aku meluncurkan tembakan. Robot itu hancur. Namun, robot-robot lain menyusul. Berebut membunuhku. Kondisiku bagai gula diantara semut.
Aku sudah lelah. Peluruku tinggal satu. Robot-robot itu sama sekali tidak menyerah. Mereka semakin beringas. Tidak bisa menangkapku, mereka memutuskan menghancurkan puing-puing disekitarku. Aku seakan tahu apa yang mereka pikirkan. Mereka pasti ingin menguburku hidup-hidup. Aku terus berpikir.
Di detik-detik terakhir. Aku memutuskan melepaskan tembakan ke arah tanah. Dugaanku benar, dibawahku terdapat saluran air. Dengan cepat aku melompat. Dan saat itulah bangunan diatasku runtuh. Menutup lubang yang kubuat. Menyisakan robot-robot yang berteriak marah.
Aku menelusuri lorong-lorong yang gelap. Mengikuti aliran air. Tampaknya air tersebut merupakan air bersih. Hal ini membuatku semakin penasaran. Apakah masih ada penduduk di kota ini. Aku terus berjalan. Hingga hal mengejutkan menantiku.
Sebuah gerbang dengan tinggi 3 meter menyapaku di ujung lorong. Aliran air mengalir melewati sela dibawah gerbang. Lampu berwarna kehijauan menghiasi gerbang ditambah ukiran ornamen yang sulit kumengerti. Aku mencoba mendorong gerbang tersebut. Nihil. Gerbang itu tak berderak sedikitpun. Aku kembali memeriksa gerbang tersebut. Berharap ada cara lain. Dan mataku tertuju pada sebuah kamera.
Aku nyaris terlonjak kegirangan. Aku melambaikan tanganku ke arah kamera. Berharap seseorang melihatnya. Namun, setelah menunggu 5 menit tak ada yang terjadi. Aku nyaris putus asa. Terduduk sembari menyandarkan Liana di dinding lorong. Aku terus berpikir keras untuk melewati gerbang itu.
Setelah kucoba berbagai cara, aku memutuskan mengambil jalan lain. Kembali menggendong Liana di punggungku. Saat itulah. Saat aku menatap gerbang itu untuk terakhir kalinya, sebuah cahaya hijau menyiram wajahku.
“Identitas dikenali, Lian Clue. Selamat malam, semoga hari anda menyenangkan.” Tepat ketika suara itu keluar. gerbangpun terbuka. Aku menatap tak percaya. Bagaimana bisa identitasku tersimpan di kota ini? Dengan cepat aku berlari. Kemungkinan besar dibalik gerbang tersebut terdapat penduduk yang masih bertahan.
Dinding lorong telah dipenuhi lampu. Ini semakin membuatku yakin. Aku terus mempercepat langkahku. Tepat ketika aku berada di ujung lorong, aku disambut pemandangan menakjubkan.
Sebuah benteng dengan tinggi 8 meter menghadangku. Aku bisa mendengar keramaian yang menggema di balik benteng tersebut. Dengan cepat aku mendekati benteng. Berharap seseorang memberi pertolongan pada adikku. Namun, baru beberapa langkah, sebuah lampu diarahkan tepat kearahku disusul teriakan seseorang.
“PENYUSUP!”
Seketika, sekumpulan prajurit di atas benteng mengarahkan senapan mereka ke arahku.
“BERGERAK SEDIKIT SAJA, KAMI AKAN MENEMBAKMU. JIKA MENGERTI ANGGUKKAN KEPALAMU!”
Aku mengangguk. Mengikuti semua instruksinya.
“SEKARANG DUDUKLAH DI TEMPATMU SEMBARI ANGKAT KEDUA TANGANMU, DAN JANGAN BERGERAK SAMPAI KAMI TIBA!”
Sekali lagi aku mengikuti instruksi tersebut.
Beberapa menit kemudian tiga orang prajurit menghampiriku dengan membawa senapan. Mereka menodongkan senjata ke arahku. Seakan aku orang yang berbahaya.
“Bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini?” Salah satu prajurit mengajukan pertanyaan kepadaku.
“Aku juga tidak tahu. Saat aku tiba, gerbangnya terbuka sendiri.”
“Bohong! Periksa dia!”
Dua orang mengarah padaku. Merasa bahaya , dengan cepat aku mengambil tindakan. Aku meraih senapanku dan menodong ke salah satu prajurit.Padahal tidak ada peluru yang tersisa pada senapanku. Mereka serentak mengarahkan senapan mereka kearahku. Atmosfir terasa menegangkan. Keringat dingin mengucur deras dari keningku. Aku menyeringai.
“Sebaiknya kau jangan melakukan tindakan bodoh, Bocah!” Salah satu prajurit memberiku peringatan.
“Sebaiknya kalian dengarkan aku terlebih dahulu, atau aku hancurkan kepala salah satu prajurit!” Aku membentak sebagai balasan. Berharap mereka memberiku kesempatan untuk berbicara.
Salah satu prajurit mengangguk disusul kedua prajurit lainnya. Sambil tetap menodongkan senjata ke arahku. Mereka membiarkan aku berbicara terlebih dahulu.
“Tolong selamatkan adikku, biarkan dia mendapatkan perawatan. Kami akan pergi dari tempat ini jika kalian memberikan perawatan untuk menyembuhkan luka adikku.” Aku tercekat. Berusaha menahan air mata.
“Bagaimana bisa kami percaya padamu?” Salah satu prajurit bertanya menyelidik.
Aku melepaskan senapanku. Dengan cepat menurunkan Liana dari gendongan. Membaringkannya di atas tanah., lantas membuka tudung yang menutupi wajahnya. Terlihat sudah wajah pucat pasihnya. Ditambah kepala yang terbalut perban.
Aku tak bisa menahan tangisku begitu melihat wajah Liana. Dengan suara terisak, aku kembali memohon.
“Kumohon, tolong selamatkan adikku. Aku berjanji, aku berjanji akan pergi. Aku berjanji akan pergi begitu dia....” Aku berusaha mengatur nafas. Memaksa dadaku yang sesak untuk tenang.
“Begitu dia mendapatkan perawatan.” Aku tertunduk. Aku sudah tidak tahu cara apalagi yang bisa kulakukan jika mereka menolak dan menyuruh kami pergi.
Salah satu prajurit mengangguk. lalu salah satunya memeriksa keadaan adikku sedang yang lain tetap menodongkan senjata mereka. Setelah beberapa menit, menunggu dengan perasaan tegang. Dan hasilnya...
“Dia sudah meninggal.”
Aku seperti dihantam batu besar. Tidak, tidak mungkin. Aku masih merasakan nafasnya tadi. Merasa tak terima, tubuhku bergerak sendiri. Mencengkram salah satu prajurit.
“TIDAK MUNGKIN! TIDAK MUNGKIN DIA MENINGGAL. AKU, AKU BISA MERASAKAN DIA BERNAFAS TADI. KALIAN PASTI...”
Belum selesai perkataanku. Prajurit tersebut mendorongku, lantas memukul kepalaku dengan keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Ryosa
lanjut thor
2021-10-20
0
–
Kekurangan! Pada saat adegan actionnya. Liana tidak terlalu disorot keadaannya, saya bingung untuk menggambatkan keadaan liana.
Saya minta untuk diedit lagi~
2020-05-26
1