“Mendadak kepikiran saat bermain petikan gitar, bisa menjadi warning kalau Avisa tahu, menginginkan sebuah kidung tersebut.”
Album terlampir lembar nostalgia, sambil memikirkan apa kesalahan diri di masa lalu, “tidak ada sama sekali.” Cetus Rara dengan getir.
Cinta yang di berikan oleh mantan, begitu sulit di lupakan, karena hanya ia dan Avisa menganggap dirinya manusia saat yang lain melihat sampah tidak berguna.
“Rara!” Teriak perempuan itu dari arah bawah, melihat dengan malas.
Hambar. Perasaan itu berkecamuk. Setiap kali ingin bernostalgia di tangga sendiri, selalu saja telinga Rara mendapatkan penuturan begitu berbalut keki dari sahabat.
“Kenapa sih masih hobi sendirian?! Tra baik melamun begini, nanti ko sakit lagi.” Avisa mengingatkan sambil mengelus pundak sahabatnya.
Sakit? Apa kah orang rumah bakal menaruh peduli saat tahu Rara merasakan sakit.
Avisa amnesia kah? Kalau di rumah saja, tidak memiliki tempat untuk pulang mengadu, kenapa harus peduli dirinya melamun begitu?
Kehilangan semangat. Saat Rey memilih pergi.
“Jangan siksa diri lagi, Ra. Kasihan badanmu.” Avisa mencoba menenangkan patah hatinya.
“Trada, hanya bingung saja sih. Padahal kan, dulu sa isikan Rey pulsa tanpa sepengetahuannya, supaya de tidak dapat marah, karna minta jatah pulsa di Mamanya ulang-ulang.” Ada yang sakit, saat mengatakan kalimat itu.
Avisa tertunduk melihat wajah yang masih sama, mencintai satu orang yang sulit terhapuskan begitu saja dalam dada.
“Bagaimana kalau kita ke kantin depan sekolah saja? Pen makan bakso,” rajuk Avisa dengan pupy eyesnya. Buat Rara tersenyum, lalu berdiri ke kelas mengambil dompet dalam ransel.
Saat sampai di sana,
“Kenapa ko lebih pilih masuk di smk sih? Bukannya ko mau masuk di smansa?” Rara heran sendiri sambil menunggu pesanan mereka datang.
Justru Avisa terdiam sambil memberikan senyum terbaik, itu bukan bahagia tapi menyembunyikan luka.
Tidak lama kemudian, “sa lebih pilih keperawatan saja, karena di smk ada ko, trapp sa sudah ikhlaskan teman- temanku di sana walau sempat di protes sih sa tra masuk sama-sama mereka.” Setelah itu di selingi tawa.
Bukan. Ada senyum miring di tampilkan, karena yang di butuhkan Rara adalah keterbukaan bukan menenangkan diri. Harus kah mengorbankan pertemanan untuk memilih Rara yang tidak sebaik mereka di sekolah yang berbeda dengannya?
Tidak, ini bukan kali pertama Rara mendengarkan alasan itu, karena dulu menunggu martabrak, lagi nyander di samping motor, “sa pengen jadi dokter, supaya bisa obati keluarga. Ko tahu sendiri toh, Ra? Kalau sa ade sering sakit-sakitan. Apalagi adeku yang paling kecil. Makanya, sa ambil jurusan keperawatan di smk.” Penuh dengan intonasi lirih pun bercampur harap.
Apa kah itu adalah alasan utama yang menjadi prioritas Avisa berada di smk?
Rara mengambil jurusan multimedia. Jurusan yang menjadi mimpi waktu masih sekolah menengah pertama. Tak luput dari gagal, saat pengambilan nilai raport di sekolah.
Ada cita ingin di kembangkan lewat jurusan yang di pilihnya. Hanya sebatas dalam angan pun di kemas sendiri tanpa bercerita, sebab otak di bawah rata-rata.
“Ra! Kenapa makan sambel banyak! Sa kasih tahu ko nenek sekarang nih?!” Avisa berseru kesal, tak memerhatikan sahabatnya menuangkan sambel terbilang banyak dalam mangkuk baksonya.
“Ih, jan lebay sudah, sedikit ini lagian macam ko brani lapor sa nenek saja.” Rara justru membalas dengan mencemooh.
Avisa berdecak pinggang, tak habis pikir dengan dia. Selalu saja mencari cela buat menyakiti diri sendiri, “jangan dzolimi diri sendiri, Allah tidak suka itu, Ra.” Kok mendadak Avisa sangkutpautkan agama sih?
Jelas Rara senang dan tidak ada protes yang di perlihatkan setiap kali di nasehati. Sebagai seorang sahabat bukan hanya senang saja melainkan mengajak ke jalan kebaikan. Hanya kalau sudah masuk persoalan sambel, Rara tetap ngeyel.
Mendengar tutur kata yang mencegat makan sambel, Rara teringat perkataan Faqih dalam membicarakan diri Rara yang tidak sesuai fakta. Itu sangat sakit. Rara tidak terfokus soal perasaan yang masih sama, melainkan kenangan manis yang di lakukan Avisa, sama persis.
“Katanya sih Mamanya Rey bilang ko orangnya matre, Ra. Makanya dia selalu dapat marah setiap kali minta uang jajan lebih, terutama uang pulsa. Selalu minta dan habis trus.” Terus terang Faqih kala Rara minta penjelasan to the point. “Tapi, Ra yang sa lihat dari matanya Rey, masih ada rasa sayang dengan ko. Tapi, dia berusaha tutupi dengan cara cuek setiap kali ketemu ko.” Lanjut Faqih, tapi Rara sudah berjalan gusar ke kantin tetap masih terdengar di telinga.
Menusuk tanpa melihat pembuktian nyata, dulu Rara sembunyi-sembunyi mengirimkan pulsa lebih. Kenapa, selalu saja di salah pahamkan sama orang lain? Mereka hanya pandai menilai dari cover namun bodoh dalam menganalisis lebih detail.
Selalu saja peka dan menangkap nestapa di wajah Rara. “Kenapa?” Lalu di berikan sebuah tanya penasaran.
“Ah, trada,” Rara berusaha mengelak.
●●●●●●
Lagi, terduduk dengan termangu menatap nostalgia tampak bertamu di pikiran Rara dengan belagu.
“Ra?” Ada yang memanggil dari arah bawah, tapi bukan suara Avisa.
Hanya melihat ke arah bawah dan memberikan senyum sekena saja.
Sejak Rey mengumandangkan pamit dari dua puluh empat januari, Rara merasakan sepi. Seolah-olah teman sejurusan pada pergi dari dirinya. Apalagi tahu Avisa belum keluar kelas.
Itulah yang buat dia hobi duduk melamun, bukan mencari validasi melainkan ketenangan diri yang bahkan sudah menjadi pusat perhatian warga smk sedang berlalu-lalang menggunakan tangga.
“Ra?” Lagi, dengan suara yang sama. Lalu di balas dehaman saja.
“Daa..”
“Eh?” Spontan buat Rara melongo.
Ah. Kenapa ada desir aneh lagi bertebaran di perut seperti.. Jatuh cinta?
“Dor! Kenapa melamun lagi sih? Masih pikir Rey? Sudah ah tra usah berharap dia kembali, soalnya cowoknya pengecut!” Bukan semangat, saat Avisa datang menghampiri melainkan sedikit risi, karena ada desir yang mengusik isi hati gadis itu.
Fiuh. Harus kah memaksa seseorang melupakan perasaan yang selama ini menanggapi nafsi manusia setelah di perilakukan tak adil di rumah?
Rara tidak banyak bicara, melainkan berjalan gontai ke kelas yang di susuli Avisa di belakang.
“Ra, kenapa sih, masih pikir dia? Kan, sudah sa bilang, kalau ko butuh buktikan saja dengan apa yang sudah di tuduhkan tidak-tidak sama mamanya. Jujur, sa juga tra suka sama mamanya, sombong.” Kesal Avisa.
Syukur sama sekali tidak ada teman sekelas Rara yang mengenal dekat Rey. Jadi, umpatan dari mulut Avisa tidak perlu di dengar. Lebih bagus lagi, kalau daaa barusan tidak perlu Avisa tahu. Bakal repot.
Sisi lain, menginginkan lebih dekat semenjak beberapa hari lalu mendengar kakak kelas itu jago bermain gitar pun barusan di berikan daaa begitu cukup manis bagi Rara.
Lucu memang. Tapi, tidak tahu kenapa ada angan sebatas imaji ingin menggandeng jemari itu menjadi kita bukan kakak-adik kelas saja.
“Ko sudah jarang tidur toh di kelas?” Sedikit terkejut, saat di bangunkan dari lamunan panjang, pun penuturan di luar nalar.
“Kenapa jadi kalau sa tidur dalam kelas? Apa ada yang sa
rugikan begitu?” Rara menjawab dengan sewot.
Avisa tersenyum sambil menghembuskan napas sabar, “bukannya begitu, Ra. Soalnya sa dengar teman-temanmu kalau ko bukan tidur tapi pingsan. Dan, sa tra percaya soal itu, kan sa tahu kalau ko tidur kek kebo, susah memang di kasih bangun.” Ucap Avisa dengan gemas.
Rara hanya tersenyum getir. Tidak tahu kenapa, badannya terasa berat, kalau sudah tidur nyenyak dalam kelas yang mengira dirinya pingsan.
Ini terjadi sejak putus dengan mantan kekasih.
Esok hari,
Rara tergesa untuk segera masuk ke kelas, karena ini jam pertama dari Bu Tri. Tapi, di lorong menuju toilet sekolah, dia bertemu tidak sengaja dengan kakak kelas yang selalu mengusik isi pikiran gadis itu, terdengar ledekan itu sangat akrab.
Kenapa bisa? Rara bertanya bingung.
Kadang merasa diri baka saat menggoda Avisa yang akhir-akhir ini selalu membicarakan kakak kelas mempunyai petikan gitar yang sudah mencuri dua hati perempuan itu.
Menyangkal, kalau Rara juga menyuarakan isi hati, tidak mau mengulang kisah terpahit; mantan sama. Dan menyimpan kecemburuan.
“Cie, sa sampaikan ko cinta ke dia kah?” Begitulah yang sempat Rara cetuskan.
“Ah.. Jangan-jangan! Biar saja sa yang pendam perasaan ini. Trapp kok. Sudah biasa tersakiti juga.” Hal paling sangat di benci Rara adalah kalimat tersakiti.
Kenapa cantik selalu di utamakan dalam percintaan? Bukan kah nyaman jauh lebih menguntungkan? \[\]
Notes :
Pen \= Pengen \*Singkatan Bahasa Gaul Papua\*
Trapp \= Tidak Apa-Apa \*Bahasa Papua\*
Trada \= Tidak ada \*Bahasa Papua\*
Baka \= Bodoh \*Bahasa Jepang\*
SMANSA adalah Sekolah SMA Negeri Satu Sentani
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
none
shutttt.
aku mampir'kakak
2021-08-20
2
Khusnul Winarlin
pusing bacanya mesti mengingat2 bahasa. kenapa tidak pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar aja??
2020-11-23
1