...“Sebatas bersemuka lewat delusi, tak dipermasalahkan selagi bisa mendekap kidung tanpa batas bahkan pengetahuan sahabat sendiri.”...
♡♡♡
Masih terbayang-bayang mengenai candaan yang tak sengaja bertabrakan lewat lorong koridor samping kelas akuntansi.
Tersenyum sumringah.
Kenapa sih, Visa, mamanya Reihan jahat sama sa? Apa..apa yang buat dia benci sampe nilai sa seburuk itu?! Lagian selama pacaran dengan dia juga, sa tra pernah nuntut lebih kok. Apalagi suruh dia rajin beli pulsa. Tetiba saja kalimat itu terulang
lagi.
“Ra..kenapa melamun?!” Suara itu mampu buat dia tertegun, meneguk ludah setengah mati.
Luthfi. Yang menengur cukup buat dia tertampar keras.
Hanya tersenyum membalas teguran itu. Kok masih saja di pandang lama-lama di bawah lalu balas dengan senyum ramah. Semakin buat Rara mengerucutkan bibir kesal.
Agak risi di pandang seperti itu. Walau sekalipun itu dari Luthfi.
Detik kemudian cowok itu pun masuk dalam kantin, buat Rara bernapas lega.
“Ra..” Ih, buat dia dongkol dipanggil lagi. Dengan cepat berdeham hm sangat manis menampilkan wajah itu.
Kok, “daa..” Dibalas cuek begini, buat Rara mencak-mencak kesal.
Rara pun bangkit dan berjalan kasar masuk kelas, menyumpal headset ke telinga yang diselimut jilbab.
“Ra..”
“Apa?!” Ketusnya.
“Dih, PMS kah? Sangar sampe..” Ujar teman sekelasnya dengan heran, Radit.
Rara melihat sekilas dengan sinis lalu kembali ke HP, ah daripada capek main lebih baik dia tidur saja.
“Ra..” Lagi, ada pengganggu semakin buat pemilik nama itu bangun dengan kesal.
“Ada Avisa cari ko.” Mendadak lunak dan mengarahkan bola matanya ke pintu kelas,
tersenyum riang menyambut kedatangan sahabatnya.
Setelah duduk di panggung sekolah yang jauh dari kelas mereka berdua, cukup buat Rara tak bisa menutupi wajah palsu depan sahabatnya sendiri.
“Kenapa tadi ko badmood di kelas?” Akhirnya Avisa buka percakapan.
“Trada, bosan saja duduk dalam kelas.” Sambil mengayunkan kaki dengan santai melihat pandangan ke lapangan lihat ade dan kakak kelas bermain basket.
“Kenapa? Soal Naura lagi?” Avisa mengambil jeda, “Ra? Sampai kapan ko mau seperti ini? Teman-temanmu humble dan jurusan lain tra punya itu!” Kesal Avisa dengan penekanan penuh tegas.
Dih, Rara berbalik tidak suka dengan penegasan sahabat sendiri, “kok tumben serius
begini? Bukannya ko tra suka sama Naura? Trus..siapa juga yang buat sa jauh sama mereka kalau bukan perempuan itu?!” Ucap Rara dengan ketus, tak mengalihkan pandangan dari lapangan basket.
“Ra, sa tahu dia yang buat ko jauh dari mereka, setidaknya jan habiskan waktumu dengan penyesalan di lain hari. Karena masa-masa ini tra bakal terulang dan asal ko tahu, suatu saat nanti ko bakal rindu keributan mereka saat belajar di kelas.”
Benar, apa yang sudah disampaikan Avisa dan itu cukup buat Rara bungkam dan tak ingin menonjolkan perasaan peduli ke teman multimedia, karena nanti bakal ada cemooh tak terduga dari mereka.
“Ko tra bakal bisa ngerti apa yang sa rasa, tapi cukup sa hargai ko saran.” Kata Rara dengan tulus.
“Sa ngerti dan asal ko tahu, dong tuh masih care hanya saja ko selalu menutupi diri dari
mereka.”
Deg. Apa benar yang dicetuskan oleh sahabatnya sendiri? Tapi kok yang dilihat Rara cuek dan tidak mengajak ngobrol membiarkan dia terlantar dari family multimedia.
Tertawa miris.
“Kenapa?” Avisa justru bingung.
"Kalau memang mereka humble apa yang ko nilai, kenapa tra kasih bukti kalau bakar-bakar tra pernah ajak sa? Apa itu disebut masih care sama sa? Sejak putus deng ko om sa benar-benar terasingkan.” Bahkan..mereka lebih prioritaskan Mayland daripada sa, yang jelas-jelas perempuan itu bukan sejurusanku. Imbuh Rara dalam batin dengan perasaan berdesir hebat.
Reihan yang dipanggil om adalah nama panggilan dan tradisi orang Padang. Biar sekalipun di jelaskan berulang kali tetap masih buat Rara bingung sampai sekarang.
Avisa menggeleng sangat pelan dan tertunduk gemas, “hanya ko perasaan saja, Ra. Mankanya jan datang ke sekolah dengan wajah galak, kalau sama kita wajar karna sudah tahu sifatmu. Kalau ko bikin ke mereka mana mengerti,” jeda tiga detik, “berusaha untuk terbuka dengan mereka.”
Apa yang disampaikan sahabatnya benar adanya sudah tidak bisa menyangkal lagi. Karena kalau sedang badmood dan memasang wajah sangar ke sahabatnya sudah jelas kalau ingin di manjakan.
Apa Rara cukup dingin dengan teman sejurusan sendiri?
Yang jelas masih belum ingin terbuka apalagi tahu otak tak sepintar mereka dan kesulitan berbicara fasih makanya kebanyakan diam dalam kelas, namun diam-diam menyimpan asa mereka ngajak ngobrol atau nongking di sekolah.
♡♡♡
SATU hari ini tidak belajar, hanya asik bermain dalam kelas dan kerjaan Rara hanya tidur benar dugaan Avisa.
“Rara pingsan?!” Buat mereka panik, saat tidak berhasil membangunkan gadis itu.
Dan bangun-bangun sudah tiba di sofa kepala sekolah. Bodohnya kenapa ngigau memanggil nama Reihan semakin menjadi bahan lelucon mereka.
Segera bangun dengan sedikit pusing di kepala, pengen pulang guru-guru melarang dan kata mereka sudah menelpon orangtuanya buat datang jemput.
Sempurna. Apalagi lihat ekspresi pongah milik Reihan yang sedang berdiri di samping
pintu terhubung di ruang guru.
Arg. Gemeretak dalam hati, kenapa sih mereka mengambil keputusan membawa dia ke
kantor? Kenapa tidak meninggalkan Rara saja dalam kelas dan simpan kunci biar nanti
besok buka pintu kelas, susah kah?
Ih, sumpah..Rara jadi kesal sekali. Menjadi tontonan guru dan teman sekelasnya yang
masih ada beberapa tinggal menemani. Tiba-tiba teringat kata sahabat sendiri mereka
masih care sama ko, tersenyum miring.
Di rumah,
Malas mengambil pusing mengenai hal memalukan tadi. Melainkan mengiramakan
sebuah not dalam imajinasi terbang begitu saja dengan manis lewat ruang pikir Rara sendiri.
Kembali memotret wajah penuh ramah itu, tersenyum.
“Visa, maaf..kalau sa mengkhianati persahabatan kita.” Gumam Rara, tersadar dari keasikannya sendiri.
Tapi, selagi sahabat nafsi tidak tahu-menahu persoalan perasaan, tetap akan melambungkan irama simfoni bermain dalam kidung delusi.
Dan, Rara tahu juga sadar diri kalau kemampuan menulisnya masih absurt, tak masalah sudah menceritakan tentang membayangkan mengenai kidung dalam delusi miliknya.
Akan tetap terkemas rapi dan takkan menyiarkan ke Avisa.
Mengenai tulisan yang absurt itu adalah hobi Rara sejak SMP saat mengenal apa namanya merah jambu. Masih mengenakan buku dilabelkan diary cukup alay sih saat mengenang masa-masa just for fun saat bercerita dalam diary sendiri.
Dan kalau tidak salah ingat, Rara sempat diajak bersama teman SMP ke toko buku terdekat, melihat-lihat ada novel menarik perhatian gadis itu lalu dibawa langsung ke kasir.
Setelah pulang dari sana, dia tidak sabar buat baca dan menjadi kebiasaannya buat datang ke toko buku sampai sekarang.
Tetiba saja ada ide dalam memupukkan mimpi menjadi penulis, kala itu Rara ditunjuk oleh guru bahasa indonesianya, Bu Tri untuk ikut kompetensi menulis cerpen. Darisana sudah terproduksi banyak cerpen mengenai Reihan.
Sebatas kesenangan saja dalam menuangkan perasaan Rara, belum ada niat untuk dapatkan gelar novelis dan dijadikan mimpi saja dulu.
“Rara?” Suara yang berasal dari luar pintu kamar gadis itu.
“Kenapa, Ma?” Berhenti menulis lalu menutup buku tersebut.
“Avisa ada di luar itu.”
Eh? Bentar, kok Rara bingung sih sejak kapan anak itu bisa diizinkan orangtuanya keluar apalagikan ini malam.
Kok Rara terkekeh lucu. Lalu membuka pintu kamar, sudah tidak melihat Fahmi, Mamanya. Mungkin di dapur, pikir Rara dengan santai.
“Cie..anak rumahan bisa keluar sendiri. Tumben, biasanya tunggu sa datang dulu baru
bisa keluar.” Disambut dengan ejekan dong.
“Yeh..kalau sa tra disuruh beli sayur, mungkin sa tra mampir di ko rumah. Mau ikut
keluar makan kah tidak nih?” Kesal Avisa tapi ujung-ujungnya ngajak makan diluar.
“Traktir nih ceritanya?” Kok Rara semakin meledek sahabatnya.
“Sa pulang nanti nih?!” Avisa semakin dongkol.
Masih terdengar tawa menderai tak henti masuk kamar buat pakai jilbab diekori sahabat sendiri.
“Ko pakai celana tidur nih, Ra? Tra salah lihat kah?” Kata Avisa protes.
“Kenapa jadi? Buat apa gaya-gaya kalau hanya mo makan saja diluar, bukan mo ke gramedia mo.” Jawab Rara dengan santai.
“Ayo sudah, keburu sa orangtua telpon suruh pulang tra jadi traktir tuh.” Avisa pun malas mengambil pusing dengan setelan sahabatnya yang benar-benar menurut ia aneh.
Dalam perjalanan tidak tahu kenapa Rara membahas tempat parkir perempuan itu.
“Paling beta eh parkir di depan panggung sekolah.”
“Malas yah kalau parkir depan SD susah keluar.”
“Haha..bilang saja tra bisa kasih geser motor yang halangi ko buat keluar.” Ih, Avisa langsung menimpuk kepalanya yang terpakai helm itu.
Meringis sakit, “kepala masih dipake!” Rara berujar protes.
“Siapa suruh cari masalah trus.”
“Besok ke sekolah sama-sama kah? Sa jemput?” Kata Rara mengusulkan.
“Boleh..boleh, tapi ko jan datang ngaret nanti yang ada kita bisa di hukum sama Pak Rizki karena terlambat. Besok upacara tuh.” Avisa mengingat.
Tidak tahu kenapa mendengar kekegembiraan sahabat, ada satu ruas patah dan menyesal kenapa bisa menumbuhkan perasaan itu. Rara tidak bisa menghindari rasa suka yang datang dengan alami itu. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments