TIGA

Musim gugur mulai datang di Grindelwald, membuat warna hijau pepohonan di musim panas tersapu oleh guratan merah dan kuning.

Tapi bukan berarti pemandangan disana menjadi buruk, justru campuran warna cerah itu membuat turis semakin tergila-gila pada Grindelwald.

Belum lagi dengan adanya kabut tebal yang mengiringi pagi, seperti hari ini. Membuat pemandangan di desa menjadi semakin magis.

Lana bisa melihat bagaimana kabut itu mulai turun karena matahari sudah naik.

Semakin hari Lana melihat bagaimana jalanan desa penuh sesak oleh turis.

Dan tentu saja Melina juga terkena imbasnya. Meja di Melina selalu habis terbooking, baik pada saat makan siang ataupun malam.

Dua minggu terakhir ini, Lana selalu pulang dalam keadaan luar biasa letih. Pekerjaannya yang selalu menuntut kerja keras,  semakin menuntut Lana untuk membanting tulang.

Sampai-sampai Aubrey tak tega lagi mengajaknya mengobrol. Ia hampir jatuh tertidur di meja makan tadi malam. Aubrey langsung menyuruhnya tidur tanpa boleh membantah.

Hubungannya dengan Aubrey dan Barnabas bisa dikatakan unik.

Lana merasa memiliki kakek dan nenek yang sangat perhatian padanya. Tidak buruk, tapi tentu saja ada sedikit perbedaan, yaitu kakek dan nenek ini membuatnya merasa seperti masuk ke dalam kulkas setiap kali mereka mendekat.

Pelukan adalah terlarang,  dan Aubrey mengeluh hampir setiap hari karena hal ini.

Aubrey selalu menunggunya pulang dengan tak sabar,  dan mendengungkan serentetan pertanyaan ketika Lana pulang terlambat. Dan sejujurnya, Lana menyukainya. Sudah bertahun-tahun ia hidup sendiri, perhatian yang didapatnya dari Aubrey membuatnya merasa memiliki rumah.

Hari ini genap tiga bulan ia tinggal di Grindelwald dan Lana mulai merasa gamang. Untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun belakangan ini, ia merasa nyaman dan aman. Ini adalah perasaan yang tak pernah ia bayangkan akan datang kepadanya.

Joan dan Erich, seperti biasa, adalah tetangga yang luar biasa baik. Joan yang masih tak mengacuhkan sikap dingin Lana, hampir setiap minggu mengirimkan pie daging yang sangat lezat pada Lana.

Apalagi setelah tahu Lana sama sekali tidak bisa memasak sesuatu yang pantas disebut sebagai makanan, ia semakin bersemangat mengirimkan hasil masakannya pada Lana.

Tak lupa sambil menyerukan keheranan,  bagaimana bisa seseorang yang bekerja di restoran tidak tahu cara memasak?

Satu-satunya keterampilan yang di dapat Lana selama bertahun-tahun bekerja di restoran adalah, dia bisa mencuci setumpuk cucian piring kotor dalam waktu singkat.

Tapi sudah seminggu lebih Joan tidak muncul.  Dan tentu saja,  karena dia dan Erich pasti juga sedang sangat sibuk dengan mengalirnya wisatawan ke Grindelwald.

Mereka berdua mengelola tanah pertanian, tapi juga menerima kunjungan turis yang ingin merasakan kehidupan sebagai petani. Dan tentu saja banyak turis yang tertarik mengunjungi tanah pertanian mereka, untuk merasakan pengalaman unik.

Menurut Lana, hal ini absurd,  kenapa saat liburan mereka malah ingin bekerja keras menjadi petani? Seharusnya mereka bersantai di hotel.

Yang membuat Lana lebih heran lagi, dia mulai menantikan saat dimana Joan mengetuk pintu samping dengan keras, sambil menyerukan namanya.

Lana mendapati dirinya memandang pintu itu sambil bertanya-tanya kapan Joan akan datang. Kemudian Lana merasa bodoh, sejak kapan dia menantikan kedatangan tamu di rumahnya?

Lana menyambar sandwich seadanya, yang dibuatnya dengan terburu-buru. Ia terlalu lama melamun, padahal dia tadi terlambat bangun.

Tubuhnya yang letih, membuat matanya berat terbuka. Tapi Lana harus tetap berangkat bekerja, dan lagi kemarin Marco menyuruhnya datang lebih awal.

Tak ada waktu untuk bersantai, Lana membatin sambil melangkah tegap meninggalkan rumah.

-------------0O0-------------

Melina hari ini sungguh luar biasa sibuk, Lana akan beruntung, jika bisa sedikit meluruskan punggungnya. Dia sudah berjam-jam berdiri di depan bak penuh cucian piring kotor yang seolah tak pernah berakhir.

Diantara itu semua, dia masih harus mencuci semua wajan dan panci kotor yang terus digunakan secara bergantian oleh Marco dan Petra.

Biasanya ia akan mendapat waktu istirahat saat makan siang dan juga sore hari menjelang dimulainya makan malam.

Tapi hari ini, adalah akhir pekan. Hal itu berarti aliran turis yang datang semakin padat. Mereka bahkan mengantri di depan restoran. Hal itu membuat Mr. Meier, meniadakan reses sebelum makan malam.

Tak ayal lagi, bukan hanya Lana, Marco dan Petra juga terlihat letih. Padahal masih ada tiga puluh lima meja yang menunggu giliran.

Lana meletakkan setumpuk panci di meja dan mengaturnya agar para Chef bisa dengan mudah mengambil saat mereka membutuhkannya. Dia kemudian memandang punggung Marco dengan ragu.

"Marco?" panggilnya pelan.

"Ada apa Lana?" Marco menjawab tanpa menoleh, karena tangannya masih sibuk mengaduk masakan di atas kompor.

"Aku harus ke toilet"

"Kau tak perlu meminta izin untuk itu" kata Marco, sambil menolehkan kepala memandang Lana. Wajahnya tersenyum geli.

Lana menunduk, kemudian langsung pergi, tanpa mendengar komentar Petra. Lana yakin komentar itu tidak sopan, karena ia mendengar Marco berteriak menyuruhnya menutup mulut.

Biasanya Lana memang tak perlu meminta izin jika ingin menggunakan toilet.

Tapi hari ini Melina benar-benar menguji kesabaran. Di hari yang super sibuk, toilet karyawan yang terletak di belakang, airnya malah tersumbat, entah karena apa.

Itu berarti, Lana harus menggunakan toilet tamu yang berada di depan, dan otomatis akan memakan waktu yang lebih lama. Karena itu ia meminta izin pada Marco.

Mr. Meier sudah menelpon seseorang untuk memperbaikinya tadi, tapi mereka beruntung jika bisa mendapatkan tukang besok. Sekali lagi karena turis yang datang, hampir semua tukang ledeng yang ada di Grindelwald mengurus masalah pipa yang ada di hotel-hotel.

Jika bisa, Lana ingin memperbaikinya sendiri, tapi kemampuannya belum setinggi itu untuk bisa mengurus instalasi perairan di sebuah restoran.

Toilet tamu lebih besar dari pada yang ada dibelakang, dan memiliki 5 bilik terpisah. Tapi antrian yang mengular sampai luar pintu nyaris membuat Lana menyerah. Dan seperti biasa pintu untuk toilet pria terlihat sepi.

Di belahan bumi manapun Lana berada, hal yang sama selalu terjadi.

Sebenarnya apa yang dilakukan para wanita di dalam toilet sehingga mereka membutuhkan waktu yang lama? Lana sendiri hanya memerlukan kurang dari dua menit untuk melakukan urusannya.

Bahkan sampai hantu yang ada ditemuinya di toilet, biasanya juga berjenis kelamin wanita.

Seperti saat ini, ia bisa melihat mereka sedang mondar-mandir sambil memandangnya dengan tertarik. Ini pertama kalinya roh yang ada di sana melihat Lana, ia belum pernah menginjakkan kakinya di sini.

Dengan perlahan, beberapa roh mendekat pada Lana, tapi dengan mudah ia tak mengacuhkan mereka, karena pikirannya sudah sangat kalut.

Matanya berkali-kali melirik ke arah pintu toilet pria yang sepi itu.

Apakah dia berani memasukinya? Tak terlihat siapapun di sana. Lana membayangkan cucian piringnya yang pasti akan semakin menumpuk, seiring lamanya ia mengantri.

Dengan menarik nafas panjang, Lana akhirnya berjalan memasuki toilet itu.

Dia tidak mempedulikan lirikan heran yang dilontarkan beberapa tamu yang sudah mengantri di belakangnya.

Lana bersyukur toilet itu kosong, ia tadi akan berbalik jika memang ada seseorang di dalam. tapi beruntung, tidak ada siapa-siapa di depan urinoir. Dengan cepat Lana memasuki salah satu bilik.

Punggungnya yang sedari tadi pegal, berteriak lega, karena akhirnya dia duduk. Lana memejamkan mata sejenak, menikmati waktu istirahat singkat itu.

Tapi bayangan piring menumpuk membuatnya tak nyaman. Maka begitu selesai, Lana segera keluar, sambil merapikan bajunya.

"What the...........!!?" seruan tanya dan terkejut membuat Lana terlonjak.

Petra sedang memandangnya dari depan urinoir dengan muka terperanjat.

Dengan cepat Lana menunduk, dan menutup matanya dengan tangan. Kenapa dari semua orang yang ditemuinya disini adalah Petra? Lana membatin dengan nelangsa.

"Apa yang kau lakukan disini?" Petra bertanya masih dengan heran.

"Maaf, maafkan aku. Aku akan pergi" Lana langsung mengambil langkah seribu, sambil terus menutupi matanya.

Jarak pintu tidak terlalu jauh, ia bisa menemukannya dengan mata tertutup. Petra masih meneriakkan beberapa hal, tapi Lana tak lagi mendengarnya.

Lana terus melangkah cepat, kemudian berhenti pada pojok tersembunyi di lorong dekat pintu yang menghubungkan antara dapur dan ruang depan restoran.

Ia mengatur nafas sambil memegang dadanya yang berdetak tak beraturan.

Ia benar-benar malu. Lana sama sekali tak mendengar ada orang yang datang tadi, ia pasti akan menunggu sampai Petra pergi sebelum keluar jika ia mendengarnya.

Lana menutup wajahnya dengan putus asa.

Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengannya lagi? Lana membatin dengan jengkel.

Ia memang tak melihat apapun, tapi Petra pasti akan menggunakan kejadian itu untuk lelucon kurang ajar.

Setelah godaannya ditanggapi dingin oleh Lana, Petra sekarang beralih, dengan selalu bersikap sedikit kejam pada Lana.

Ia sering melontarkan lelucon tentang bagaimana tidak menariknya bentuk tubuh Lana, dan juga tentang bagaimana postur tubuh Lana yang terlihat seperti nenek-nenek karena dia lebih sering menunduk.

Petra terutama melontarkan lelucon seperti itu, saat Marco sedang tidak ada. Karena Marco biasanya langsung menegur Petra dan menyuruhnya berhenti, seperti tadi.

Tapi apa yang bisa dilakukan oleh Lana?

Bersembunyi tak akan menyelesaikan apapun, ia tetap harus kembali ke dapur.

Maka dengan decakan kesal, Lana menurunkan tangan dari wajah, untuk mendapati sepasang mata pucat terbuka lebar memandangnya dari bawah.

Lana terkesiap pelan dan nyaris menjerit, tapi ia berhasil mencegahnya dengan cara menggigit lidahnya sampai sakit. Lana memejamkan mata untuk menenangkan diri.

Rupanya sesosok roh sedang berdiri di depannya, memandang persis ke wajahnya dengan rasa ingin tahu.

Hantu itu adalah hantu anak-anak yang berusia sekitar 7 tahun. Lana belum pernah melihatnya di Melina, ia pasti mengikuti salah satu tamu kesini.

"Kau bisa melihatku?" gadis kecil itu bertanya dengan parau.

Lana tak menjawab, karena sedang tak punya waktu untuk mendengarkan keluhan hantu saat ini. Bahkan tidak untuk hantu anak-anak yang terlihat mengenaskan.

Gadis itu dalam keadaan baik, hanya saja ia terlihat sangat basah.

Tetesan air tak nyata, tanpa henti turun dari baju yang dikenakannya. Lana tidak memerlukan otak pintar untuk menebak, jika gadis kecil itu meninggal karena tenggelam.

Lana pernah membantu tiga hantu anak-anak sebelum ini,  biasanya keinginan mereka sangat polos sehingga lebih mudah dipenuhi.

Lana gampang merasa iba saat melihat mereka. Kehidupan mereka terputus dalam waktu singkat, itu saja sudah cukup membuat Lana kasihan.

Tapi tidak hari ini, ia harus segera kembali ke dapur.

Maka dengan berat hati, Lana melangkah ke lorong, menghindari pandangan gadis kecil itu. Setelah berbalik, Lana seolah masih bisa merasakan pandangan gadis itu menancap di punggungnya.

Lana ingin sekali mengumpat, ketika menemukan lorong itu, sedang diblokir oleh dua orang tamu yang sedang berdebat. Lana mencoba bersabar dan menunggu mereka selesai.

Tapi setelah mendengar sejenak, Lana sadar, dua orang itu sedang berdebat dalam bahasa yang berbeda.

Mereka berkali-kali menerjemahkan perbincangan melalui ponsel. Tapi karena aplikasi translator sepertinya tidak memberikan terjemahan yang tepat, perdebatan itu menjadi tak berujung.

Salah satu dari mereka sedang mencoba menjelaskan, ia harus mengurus perizinan sebelum bisa meneruskan kontrak mereka. Sedangkan pria yang ada di depannya bersikeras akan meneruskan kontraknya secepat mungkin.

Dengan menggelengkan kepala karena jengkel, Lana memanggil salah satu pria itu.

"Maaf, aku akan mencoba membantu" katanya dalam bahasa Spanyol, kemudian mengulangnya dalam bahasa Jerman untuk pria yang ada satu lagi.

Dengan lancar Lana menjelaskan duduk perkara mereka, dan kedua pria itu menyambut gembira bantuan  Lana.

Bahkan salah satu pria itu menahan Lana sampai bisa menemukan titik temu pada urusan mereka. Lana yang tak memiliki pilihan lain akhirnya berdiri di lorong itu selama beberapa menit.

Diiringi ucapan terima kasih yang bertubi-tubi, mereka kembali ke ruang depan.

Dan Lana meneruskan perjalanan kembali ke dapur. Sebelum ia mencapai pintu, kepala Marco melongok keluar dari pintu dapur.

"Kau sudah selesai?" tanya Marco.

"Maaf, aku seharusnya segera kembali" Lana menunduk dalam-dalam merasa bersalah.

"Kau sedang membantu tamu, tak perlu meminta maaf" kata Marco sambil menunjuk ke arah ruang depan dan tersenyum.

Marco memang mencarinya keluar setelah ia tak juga kembali. Tapi kemudian mendapati Lana sedang menolong tamu tadi. Karena itu ia urung memanggilnya.

Lana langsung lega, karena Marco mengira keterlambatannya hanya karena kejadian di lorong itu. Itu berarti Petra belum menceritakan kejadian tadi.

"Aku tak tahu kau bisa berbahasa Spanyol, Lana. Itu hebat sekali" Marco mengangkat jempolnya  dengan kagum.

Lana hanya menggeleng sambil tersenyum kecil menanggapi pujian itu. "Aku akan kembali bekerja" kata Lana sambil masuk ke dapur.

Petra terlihat sudah sibuk di depan kompor. Lana ragu, dia sebenarnya ingin meminta maaf sekali lagi.

Tapi Petra hanya melirik sekilas ke arahnya dan kembali sibuk mengatur api.

Lana akhirnya mengurungkan niat, dan langsung menuju ke tumpukan cucian yang sudah berkembang biak menjadi dua kali lipat selama kepergiannya.

Lana berharap sikap diam Petra berarti dia  mengerti dan melupakan kejadian memalukan tadi.

Lana harus bekerja cepat jika ingin kembali ke rumah tepat waktu. Aubrey akan mengomel jika ia terlambat lagi hari ini. Sudah hampir dua minggu dia tak pernah bisa pulang tepat waktu.

 

 

-------------0O0-------------

 

 

Lana mengunci pintu belakang Melina dengan tangan bergetar. Udara musim gugur saat tengah malam sudah cukup membuatnya menyesal, karena tidak menuruti nasehat Aubrey untuk memakai pakaian yang lebih tebal.

Lana bertugas mengunci Melina saat malam, bukan karena jabatannya yang penting, tapi karena memang ia harus datang lebih cepat dari pada pekerja dapur lain.

Ada dua orang yang memegang kunci pintu itu, yaitu Marco dan dirinya. Biasanya Marco membantu sampai semua pekerjaan membersihkan dapur selesai. Tapi tadi ia harus segera pulang karena istrinya sedang sakit.

Lana pulang terlambat lagi hari ini, jadi ia akan menerima omelan panjang lagi dari Aubrey saat sampai dirumah,

Sambil merapatkan sweater tua kedodoran dan tipis yang dipakainya, Lana meninggalkan lorong sunyi itu dengan langkah cepat.

Lorong itu memang sunyi tapi bukan berarti tidak ada siapapun.

Beberapa hantu melihatnya dari atas bangunan di sekeliling Melina. Dan mereka hanya melihatnya, karena Lana tidak pernah berusaha menyapa ataupun menampakkan tanda bahwa ia bisa melihat mereka.

Saat pertama kali Lana melewati lorong ini, seperti biasa para hantu itu mengerumuninya dengan penasaran.

Tapi saat itu, Lana dengan sukses berpura-pura tidak melihat atau merasakan apapun. Padahal tubuhnya sudah nyaris tak bisa menahan gemetar karena dingin.

Hantu sebanyak itu membuat tubuh Lana terasa seperti sedang berenang di kolam yang berisi es.

Sekarang Lana biasanya langsung menuju jalan raya di depan tanpa menoleh. Berada di keramaian jalan membuatnya lega, karena tak lagi hanya dikelilingi oleh hantu.

Masih banyak turis yang berlalu lalang di sana. Jalan itu nyaris tidak pernah tidur.

"Pulang tanpa menyapaku?" suara berat yang berasal dari sebelah kanan membuat Lana terlonjak kaget.

Petra terlihat sedang bersandar di tembok sambil merokok.

Sedari tadi Lana memfokuskan matanya ke depan, karena beberapa meter lagi sampai di jalan raya.  Ia tak melihat Petra ada di sana.

"Maaf, aku tak melihatmu tadi" kata Lana masih dengan sopan.

Petra kemudian berjalan menghampirinya. Dengan reflex Lana mundur beberapa langkah menghindar, karena wajah Petra sekarang membentuk senyuman yang aneh.

Tapi Lana lupa bahwa lorong itu sempit, dengan segera punggungnya menghantam tembok.

"Kau menyukainya bukan?" Petra terus tersenyum miring dan maju merapat.

"Menyukai apa?" tanya Lana dengan bingung.

Lana mencoba bergeser ke kanan menghindar, tapi jalan keluarnya di blokir oleh tangan Petra.

"Jangan berlagak bodoh, kau menyukai semua godaan yang aku lontarkan bukan? Kau berpura-pura bersikap dingin, tapi sebenarnya kau menyukainya. Karena itu kau menungguku di toilet tadi" kata Petra, seraya kembali memblokir badan Lana yang mencoba bergeser ke kiri dengan tangan kanannya.

"Apa?!!"

Lana berhenti bergerak karena kaget mendengar tuduhan Petra yang tak masuk akal.

Saat itu, Lana sudah berada dalam kukungan tangannya.

"Kau sengaja meminta izin pada Marco untuk memberi tanda, dan kemudian kau menungguku di sana. Aku harus akui, cara itu sangat pintar"

Petra kembali mengucapkan omong kosong yang membuat Lana bergidik.

Ia sama sekali tak tertarik pada Petra. Kehidupannya sudah cukup sibuk tanpa adanya pria manapun.

Setelah Aaron, Lana sama sekali tak tertarik dengan siapapun. Dan juga memang karena Lana tak menginginkan adanya kesalahan.

"Kau salah paham, Petra" kata Lana, tanpa sadar tersenyum karena geli dengan sikap Petra yang terlalu percaya diri.

"Aku berada di sana karena toilet wanita sangat penuh. Aku tak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaan. Karena itu aku menggunakan toilet pria. Aku tak tahu kau akan ke sana" jelas Lana panjang lebar sambil tersenyum lega.

Petra seharusnya bisa mengerti karena alasannya sangat jelas.

"Kau menertawakanku!!?"  Petra membentak Lana dengan kasar sambil mencengkram wajah Lana dengan tangan kanannya.

Senyuman lega Lana langsung musnah, dan berganti dengan ketakutan.

Ia melihat bagaimana wajah Petra yang biasa, kini berganti menjadi sangat menyeramkan.

Mata Petra sedikit memerah, dan aroma tembakau yang kuat tercium dari mulutnya.

Lana langsung mendapatkan firasat buruk.

Ia harus segera pergi, apalagi wajahnya yang berada dalam genggaman Petra mulai sakit.

Dengan tangannya yang kurus Lana mencoba menyingkirkan tangan Petra. "Lepaskan aku, apa yang akan kau lakukan?" kata Lana dengan suara yang lebih tegas.

Lana mencoba untuk melawan, walaupun rasa takut telah menguasai hatinya.

Ini adalah pertama kalinya Lana merasa takut kepada manusia setelah sekian lama.

Wajah Petra saat ini, menurut Lana, lebih menyeramkan dibanding dengan hantu Menara jam.

Bibir Lana bergetar hebat karena takut, ketika Petra kembali tersenyum miring.

"Yang akan aku lakukan adalah menghapus wajah sombong ini" kata Petra sambil mendesakkan kepala Lana ke tembok di belakangnya.

"Lepaskan aku!!" Lana kembali berseru, sambil melirik ke jalan raya.

"Tak akan ada yang mendengar teriakanmu!" sergah Petra.

Dan dia benar, bangunan disamping Melina adalah klub malam yang berisik. Musik yang keras menenggelamkan semua suara di jalan. Apalagi jarak mereka masih beberapa meter dari jalan.

"Lepaskan aku!!" Lana menjerit sekuat tenaga sekarang, karena ia bisa merasakan tangan Petra merayap memasuki sweaternya.

Tangan itu dengan kasar menarik sweater tua Lana dan merobeknya.

"Tidak!!!" Lana mulai menangis dan meronta.

Jijik, marah dan ketakutan, membuatnya meronta sekuat tenaga mencoba lepas dari kungkungan Petra.

Tangannya yang bebas meraih dan mencakar tubuh Petra yang berada dalam jangkauannya. Kakinya menendang ke segala arah dengan liar

Tapi tubuhnya yang kurus sama sekali bukan lawan yang seimbang bagi Petra.

Dengan mudahnya ia menahan kedua tangan Lana ke atas dan kembali merobek kemeja yang dipakainya. Membuat tubuh bagian atas Lana terbuka.

"Tidaakkkk, lepaskan aku. Berhenti!!!!"

Lana menjerit sekuat tenaga, ia mulai merasa sangat mual karena jijik.

Air mata Lana mengalir deras membasahi wajah dan lehernya. Tapi Petra tak peduli, ia malah mulai menciumi leher Lana dengan senyum lebar.

Lana meraung semakin keras. Ini adalah pertama kalinya ia memohon agar seseorang mati.

Ia berharap Petra mati saat itu juga, atau mungkin juga dirinya. Lana tak peduli lagi, ia hanya ingin mimpi buruk ini berhenti.

Semua penderitaan hidup yang dialaminya tak pernah membuatnya seputus asa ini. Tapi rasa jijik dan terhina karena perbuatan Petra membuatnya ingin mati.

Tendangan Lana dan juga teriakan seolah justru menjadi sorakan penyemangat bagi Petra.

Ia sekarang menarik lepas sweater Lana, dan membuat sobekan lebih besar lagi di bagian depan kemejanya.

Lana kembali menjerit dan sekarang  mulai memohon pada Petra agar menghentikan semua ini, yang tak menghasilkan apapun, karena Petra seolah tuli.

Lana sama sekali tak bisa memikirkan hal apapun, "Tolong aku" Lana menjerit sekali lagi dengan segala daya yang masih tersisa.

Mata Lana mulai gelap karena kesadarannya yang mulai menipis, tapi ia bisa merasakan udara di sekelilingnya menjadi dingin menusuk. Dalam sisa cahaya kabur yang ada di matanya, Lana melihat pendaran buram berwarna biru mengelilingi Petra.

"Aku mohon, tolong aku!" bisiknya lemah.

Setelah itu hanya kegelapan yang mengisi pandangan Lana

Terpopuler

Comments

Zhanshi04

Zhanshi04

wah apa nda ada yg nolong
serem bgt

2020-07-22

1

L A

L A

kayak Lui.....😄

2020-07-07

1

Gloria Ars

Gloria Ars

seru

2020-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!