SATU

Rumah itu tepat berdiri tepat di cerukan lereng, sehingga memberinya pemandangan klasik pegunungan hijau penuh dengan pohon dan bunga.

Di sampingnya, terhampar hutan mini yang dipenuhi oleh pohon pinus dan cemara.

Tak jauh dari hutan itu, Lana bisa melihat tanah pertanian yang ditandai dengan tanaman sayuran berderet rapi.

Pemandangan yang ditawarkan, menyegarkan mata Lana yang terbiasa melihat hutan beton berwarna suram.

Lana mungkin puas dengan pemandangan yang menjadi latar belakang rumah itu, tapi bangunan rumah tua yang ada di hadapannya seolah meneriakkan kata 'pergi' pada Lana, karena sebagian besar  kayu yang membangunnya terlihat tua dan lapuk.

Cat putih yang seharusnya menempel di dinding, justru mengelupas dan menampakkan urat kayu pucat dibaliknya.

Rumah itu berbentuk pondok mungil dengan atap segitiga, khas rumah pedesaan yang asri. Lana yang sudah lama tertarik dengan arsitektur, akan langsung menyukai rumah seperti itu, seandainya rumah itu dalam keadaan yang lebih baik.

Halaman rumah itu juga lumayan luas, tapi sayang rumput liar merajai sebagian besar wilayahnya. Tinggi rumput itu memberi tanda pada Lana, bahwa ia harus bekerja keras, saat membersihkannya nanti.

Belum lagi di sudut yang agak tinggi dibelakang rumah kecil itu, terlihat kebun yang seharusnya berisi tanaman sayur, telah dipenuhi oleh semak lebat. Satu lagi pekerjaan bertambah dalam daftarnya.

Lana tahu, dengan jumlah uang yang dimilikinya, dia tak bisa berharap banyak. Properti yang dibelinya memang berada di pedesaan, tapi ini bukan desa biasa.

Desa ini adalah Grindelwald, yang terletak di kaki gunung Eiger, Swiss.

Pemandangan disini sangat indah, dan Grindelwald adalah salah satu tujuan wisata favorit turis asing. Karena itu properti yang dibelinya berharga mahal.

Lana hanya mampu membeli rumah bobrok itu, walaupun ia telah bersusah payah menabung selama hampir delapan tahun.

Beruntung masih ada sisa beberapa ribu dollar di tabungan. Karena dia yakin biaya perbaikan rumah ini akan menghabiskan banyak uang.

Tapi ia tetap bersyukur, karena atapnya masih terlihat utuh. Dan saat ini masih bulan Juli. Lana masih memiliki beberapa bulan sebelum udara menjadi benar-benar dingin saat salju datang nanti.

Lana berharap bisa bertahan ditempat ini sampai musim dingin, karena dia tak tahu lagi harus pergi kemana jika ternyata tempat ini tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya.

Berapapun sisa uang yang dimilikinya, setelah ia melakukan semua perbaikan pada rumah itu, jumlahnya tak akan cukup untuk membeli tiket kemanapun.

Ia mempertaruhkan semua harta yang dipunyainya pada tempat ini, tak ada rencana cadangan.

Tapi Lana sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan teliti.

Ia tahu negara ini memiliki catatan kriminal terendah di seluruh dunia. Menurut data tambahan yang dibacanya untuk kesekian kalinya beberapa minggu yang lalu, tidak pernah terjadi pembunuhan di desa ini selama hampir 50 tahun.

Dan lagi Swiss tak pernah ikut dalam perang dunia. Itu berarti tak ada korban perang di sekitar sini. Fakta itu semakin membuat Lana memimpikan tempat yang bisa ditinggali dalam waktu lama.

Tempat ini terlihat bagai surga untuk Lana.

Karenanya, semenjak delapan tahun yang lalu, Lana menabung dengan sangat cermat untuk bisa pindah dan memiliki rumah di daerah ini.

Lana menabung hampir seluruh gaji yang diperolehnya dan menghemat biaya makan, dengan memakan roti sisa atau makanan apapun yang bisa dibawa pulang dari tempatnya bekerja.

Dia hanya menggunakan uang untuk membayar sewa kamar kumuh yang ditinggalinya, serta untuk membeli beberapa hal yang dirasa sangat penting.

Untuk pakaian, ia biasa memungut baju sisa yang masih pantas pakai di tempat pembuangan. Sampai sekarang ia tak pernah mengeluarkan sepeserpun uang untuk membeli baju, kecuali baju dalam, karena memakai baju dalam bekas pakai, akan membahayakan kesehatan, jika sampai dia tertular suatu penyakit.

Gaya hidupnya yang tak biasa, mengharuskan Lana untuk selalu sehat.

Tapi Lana tetap membatasi diri, dengan membeli baju dalam jenis yang paling murah, walaupun kadang bahannya yang kasar membuat kulitnya lecet. Kulit lecet bukan penyakit berat, dia masih bisa menanggungnya.

Menurut Lana penampilannya masih terlihat baik-baik saja. Dia sering tidak mengerti, kenapa orang bisa membuang baju yang masih pantas dengan begitu saja. Tapi-- ia memang tak mungkin mengerti jalan pikiran orang-orang kaya.

Selama delapan tahun itu, Lana berpindah tempat, lebih dari tujuh belas kali, dan selalu mengulang hal yang sama setiap kalinya. Pertama, dia akan mencari kamar dengan sewa paling murah dan yang terpenting tak ada siapapun yang meninggal di sana sebelumnya.

Kemudian dia akan mencari pekerjaan yang memungkinkannya untuk membawa makanan sisa. Pernah sekali waktu ia bekerja di dua tempat sekaligus, yaitu toko roti pada pagi hari dan malam hari ia bekerja di restaurant sebagai tenaga kasar.

Lana tak perlu menghabiskan delapan tahun untuk menabung, jika saja ia bisa bekerja di kota itu lebih lama, tapi tentu saja tidak. Lana hanya bisa tinggal di kota itu selama tiga bulan.

Setelah perpisahan dengan Beth dan Aaron delapan tahun yang lalu, Lana tak pernah lagi mencoba untuk mengenal siapapun dengan lebih dekat.

Di tujuh belas kota yang disinggahinya selama ini, Lana hanya menyapa seperlunya kepada rekan kerjanya.

Dia juga tak pernah mengangkat pandangan saat berjalan, sehingga tak perlu menyapa siapapun. Dan tentu saja selalu berpura-pura tak mendengar, saat salah satu tetangganya mencoba beramah-tamah.

Pada awalnya mereka sangat heran dengan sikapnya, tapi setelah beberapa hari hanya ditanggapi dingin oleh Lana, mereka biasanya akan menjauh dengan sendirinya .

Ia lebih sering dikenal sebagai pekerja rajin yang tidak ramah, dan itu cukup.

Lana hanya harus memastikan dia tidak akan dipecat, karena itu Lana selalu memastikan semua pekerjaan yang dilakukannya selesai dengan baik.

Semua kerja keras itu terbayar sekarang, rumah yang diimpikannya berdiri di hadapannya. Tidak sempurna tentu saja, tapi hal itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan perjuangannya selama ini.

Lana melihat ke arah langit, dan melihat matahari sebentar lagi akan tenggelam. Maka dengan menyeret koper besarnya, dia melangkah menuju pintu rumah.

Dia harus memperkenalkan diri kepada penghuni rumah itu saat malam tiba nanti. Dan ia harus mempersiapkan diri agar mereka tidak terkejut atas keberadaannya.

-------------0O0-------------

Sebagian besar lampu di rumah itu masih berfungsi, sayangnya lampu di dalam kamar utama mati. Itu berarti ia harus tidur di ruang tamu nanti. Lebih baik terjaga semalaman dari pada harus tidur di kegelapan. Lana tak suka tidur dalam gelap.

Sambil merapikan rambut panjangnya dengan jari, Lana duduk di sofa reyot di tengah ruangan. Sofa itu langsung melengkung ke dalam, tapi karena berat tubuh Lana yang tak seberapa, sofa itu bertahan dan tidak patah.

Tubuh Lana kurus. Makanan sisa bukan nutrisi yang akan membuat siapapun gemuk. Cukup untuk menjaganya tetap hidup, tapi tidak dalam bentuk tubuh yang prima.

Dengan gugup mata Lana melirik ke arah jendela. Matahari akan tenggelam beberapa detik lagi.

Lana memejamkan mata erat-erat, begitu langit di luar jendela benar-benar gelap. Ia sudah melakukan hal ini berulang kali, tapi rasa takut tetap saja merasukinya.

Tangannya mulai bergetar saat hawa dingin yang sangat kontras dengan musim panas di luar ruangan menghampirinya. Ruangan itu masih sunyi, tapi kulit Lana semakin lama semakin dingin.

Dengan perlahan, bisikan lembut mulai tertangkap oleh telinganya. Bisikan itu segera membuat jantungnya berpacu. Ia masih takut jika mereka datang dalam jumlah banyak sekaligus, dan jelas bisikan itu menandakan jumlah mereka lebih dari satu.

Suara mereka semakin keras, dan Lana meremas sofa yang didudukinya untuk mengumpulkan keberanian. Dengan pelan ia membuka matanya.

Dan Lana nyaris menangis bersyukur karena lega. Uangnya tak terbuang percuma, ia bisa tinggal di disini, mereka hanya berdua. Ini awal yang bagus.

Penghuni rumah ini terlihat baik-baik saja dan normal.

Normal untuk ukuran orang mati tentu saja!

Tubuh mereka terlihat utuh tanpa darah dan juga luka yang menganga.

Sosok yang sekarang berada di hadapan Lana nyaris terlihat seperti manusia pada umumnya. Hanya saja Lana tahu mereka bukan makhluk hidup, karena mereka memiliki kepadatan tubuh yang tidak sama.

Ada bagian yang padat seperti biasanya, tapi ada beberapa bagian yang terlihat seperti tabir transparan. Dan bagian transparan itu biasanya berpindah-pindah, menghasilkan efek seperti seperti wujud hologram yang terus berkedip.

Ia kadang bisa melihat menembus tubuh mereka, seperti saat ia melihat dari balik kain yang tipis. Agak sedikit sulit membedakan warna, tapi tetap ia bisa dengan jelas menyebut benda apa yang ada dibalik tubuh mereka.

Melihat kerutan yang memenuhi wajah mereka, Lana menyimpulkan mereka meninggal karena usia tua. Cara mati yang menjadi favoritnya.

Hantu yang meninggal karena usia tua biasanya masih memiliki sifat yang sama seperti saat mereka hidup. Melihat dari wajah mereka, Lana membayangkan mereka berdua adalah tipikal warga pedesaan biasa, yang menghabiskan masa tuanya dalam lingkaran keluarga yang hangat.

Saat ini, mereka berdua memandangnya dengan sangat tertarik. Bukan sesuatu yang luar biasa, Lana bisa menjelaskannya dengan mudah.

Setiap malam tiba, tubuhnya akan memancarkan sinar temaram berwarna biru yang hanya bisa dilihat oleh makhluk yang sudah mati.

Salah satu hantu ramah yang ditemuinya dulu menjelaskan padanya dengan suka rela.

Hantu  ramah itu bernama Hans. Ia menghuni salah satu kamar kumuh yang disewanya.

Berbeda dengan hantu lain yang menolak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kematian, dengan baik hati Hans menjelaskan semua hal yang menjadi sumber rasa penasaran Lana.

Sinar biru yang dipancarkan tubuh Lana menarik perhatian para hantu.

Karena itulah, biasanya para hantu penasaran akan mulai mengikuti Lana sepanjang tubuh tipis mereka mengijinkan. Pada jarak tertentu mereka memantul kembali kepada benda atau ruangan tempat mereka terikat.

Lana mengetahui hal ini, juga dari Hans.

Dengan sabar ia menjelaskan bahwa semua hantu yang berkeliaran di dunia, memiliki keterikatan dengan suatu objek. Biasanya yang menjadi objek obsesi para hantu adalah rumah atau harta dan juga keluarga.

Jika hal yang mengikat mereka adalah rumah, mereka tak akan bisa pergi jauh berkeliaran, karena rumah tak bisa berpindah tempat.

Mereka yang terikat kepada manusia sedikit lebih beruntung, karena bisa berkeliaran mengikuti manusia itu. Tubuh transparan hantu bisa menembus tembok atau halangan apapun, selama masih berada dalam jarak tertentu dari objek itu.

Dan untuk pasangan yang berada di depannya, jelas mereka terikat pada rumah ini. Seperti yang sudah diperkirakan.

Pasangan itu mulai berbisik dengan lebih ribut, membahas cahaya biru yang tak bisa dilihat oleh Lana. Mereka berbisik dalam bahasa Jerman yang tebal.

Lana mengerti tentu saja. Selama delapan tahun ini, ia mempelajari bahasa Jerman, Perancis dan Italy dengan gigih, begitu tahu bahwa bahasa yang digunakan di Swiss adalah tiga bahasa itu.

Dengan begitu total ada enam bahasa yang dikuasainya, termasuk bahasa Spanyol, Jepang, dan ia sedang dalam proses mempelajari bahasa Rusia.

Ia mempelajari semua itu dengan cara otodidak melalui buku. Lana mengunjungi toko loak untuk mendapatkan buku dan kamus murah.

Tak jarang Lana mendapatkan buku gratis dari para penjual, karena ia sengaja memilih buku yang sudah nyaris rusak.

Dengan buku-buku tua itulah, dia berhasil menguasai semua bahasa itu dengan fasih. Hanya mungkin agak sedikit kaku dalam pengucapan karena ia sangat jarang mempraktekannya.

Lana termasuk murid yang cerdas sebelum ia keluar dari sekolah, saat berumur lima belas tahun. Ia masuk dalam kategori murid pintar kesayangan para guru di sekolah, sebelum akhirnya mereka menyebutnya gila.

Lana tak selalu seaneh ini. Ia gadis normal yang tumbuh dalam keluarga biasa sampai ia berumur empat belas tahun. Hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat setelahnya.

Ia tak menyalahkan siapapun yang menyebutnya gila, karena pada awalnya Lana juga mengira bahwa ia sudah gila.

Tapi itu semua adalah masa lalu, dan kini Lana sudah tahu makhluk transparan yang dilihatnya adalah hantu.

Lana berdehem kecil untuk membuat mereka berhenti saling berbisik.

"Guten tag!" desis Lana dengan suara bergetar.

Lana sengaja memandang mereka tepat di wajah, untuk memberi tanda bahwa ia memang menyapanya.

Mereka langsung membelalakan mata mendengar sapaan Lana.

"Kau bisa melihat kami?"  hantu yang berwujud perempuan tua melesat mendekat kepadanya.

Tubuh Lana meremang karena dingin yang dihasilkan oleh hantu itu. Ia bisa merasakan kakinya mulai gemetar.

Lana menjawab dengan anggukan kecil.

"Oh, ini luar biasa"  hantu laki-laki yang dari tadi hanya melihat, ikut mendekatinya.

Hawa dingin sekarang membuat Lana menggigil, dua hantu membuat Lana merasa seperti sedang berada di jalanan saat musim dingin tanpa memakai mantel.

"Oh.. maafkan kami" hantu perempuan tua itu rupanya sangat pengertian.

Ia melihat tubuh Lana bergetar pelan, karena itu ia bergeser menjauh sambil menarik agar hantu satu lagi mengikutinya.

"Kami tak pernah melihat manusia sepertimu, nona. Maaf, karena telah membuatmu tidak nyaman karena rasa penasaran kami." lanjutnya, sambil menundukkan kepala dengan sopan.

Lana sekali lagi merasa lega. Ia sudah pernah bertemu hantu ramah, tapi wanita itu bahkan sangat sopan.

Haru dan bahagia, karena dia tidak salah memilih rumah kembali merasuki hatinya. Ia bisa bertahan jika mereka yang menghuni rumah ini. Semoga saja!

"Nama saya Solana, Solana Fayra. Senang bertemu dengan anda berdua" Lana menyapa dengan ramah.

"Oh.. kami adalah Faxon. Aubrey dan ini suamiku Barnabas" Aubrey dengan bersemangat memperkenalkan diri.

"Senang berkenalan dengan anda Mrs. Faxon, Mr. Faxon" Lana dengan sopan kembali sedikit menganggukkan kepala.

"Tak perlu sesopan itu kepada kami, kau bisa memanggilku Aubrey saja, dan panggil dia Barnabas"

Aubrey mengibaskan tangan transparan-nya pertanda ia tak suka dengan sikap Lana yang kaku.

Lana tersenyum "Tentu saja, terima kasih. Dan maafkan aku sebelumnya, tapi mulai hari ini aku akan menempati rumah ini. Aku harap kalian tidak keberatan"

"Memangnya apa yang bisa kami lakukan jika keberatan?" Kali kedua Barnabas berbicara.

Lana menjadi tahu bahwa ia tak seramah Aubrey.

"Oh jangan pedulikan dia. Tentu saja kau bisa tinggal di sini. Kau sudah membeli tempat ini bukan? Sayang sekali tak ada cucu kami yang mau tinggal di sini. Tapi aku senang mereka mendapatkan pembeli sepertimu. Bayangkan kau bisa melihat dan berbicara pada kami"

Aubrey langsung menceritakan panjang lebar soal keluarganya yang hampir semua kini tinggal di Bern. Hanya ada dua orang cucunya yang tinggal di desa, dan mereka sudah memiliki rumah sendiri. Karena itu bangunan rumah ini menjadi terbengkalai.

Lana mendengarkan semua itu dengan sabar.

Ia tidak terkejut dengan perilaku Aubrey yang bercerita panjang lebar soal kehidupannya tanpa diminta. Menjadi hantu juga berarti tak akan ada yang mendengarmu berbicara.

Sebenarnya Aubrey cukup beruntung karena suaminya ada disini, tapi melihat sikap diamnya, Lana menebak Barnabas bukan tipe yang banyak bicara, sangat kontras dengan Aubrey.

Hantu yang sering ditemuinya di kamar sewaan, rata-rata terdampar di sana sendirian.

Kadang Lana harus mendengarkan cerita mereka semalaman sebelum mereka puas dan membiarkannya tidur. Cerita Aubrey masih bisa dibilang singkat jika dibandingkan dengan mereka.

Setelah beberapa jam bercerita, Barnabas menarik tangan Aubrey dengan keras. Mata Lana langsung terbuka lebar saat melihat gerakan itu.

Perjalanannya menuju kesini sangat panjang. Ia sudah sangat lelah, tapi ia tetap mendengarkan cerita Aubrey sedari tadi. Tapi saat ini sudah tengah malam lewat, ia nyaris tak sanggup membuka mata lagi.

"Dear... maafkan aku, kau pasti  sudah sangat lelah. Tapi aku malah mengajakmu mengobrol. Tidurlah, kita akan berbicara kembali besok" Aubrey langsung menjauh menuruti tarikan tangan Barnabas, saat sadar mata Lana sudah sangat merah karena mengantuk.

"Tentu saja Aubrey. Kita akan berbincang lagi besok malam" Lana tersenyum, dan seiring dengan lambaian tangan, sosok mereka berdua semakin samar, sampai akhirnya Lana tak bisa melihatnya, karena mereka menembus tembok yang memisahkan ruangan.

Dengan sisa tenaga yang ada, Lana menarik keluar selimut tebal dari koper dan menempatkan dirinya senyaman mungkin di sofa reyot itu.

Perkenalan tadi cukup lancar, dan karena itu, Lana memastikan ia akan tidur nyenyak malam ini. Ia tak perlu takut lagi pada Aubrey dan Barnabas.

Kegiatan perkenalan dengan hantu yang menghuni tempat tinggalnya adalah hal rutin yang harus dilakukannya, jika ia ingin hidup tenang.

Lana pada awalnya memilih untuk tidak mengacuhkan mereka, tapi ia tak bisa terus melakukan hal itu dalam waktu lama.

Gangguan kecil berupa wujud mereka yang biasanya tidak normal, sering membuat Lana terperanjat dan membongkar kepura-puraannya.

Dan sudah pasti setelah kemampuannya terbongkar, hidupnya tak akan tenang.

Hans yang mengajarinya untuk lebih berani berkenalan, dan menjelaskan semua keadaanya dengan jujur.

Tapi tentu saja perbuatan ini mengandung resiko, jika hantu yang menghuni kamar sewanya ternyata tidak bisa menerima Lana, ia harus bersiap pergi. Tapi jika Lana sedang beruntung seperti hari ini, ia bisa dengan tenang tinggal di tempat itu.

Sambil tersenyum lega, Lana memejamkan mata dan tertidur pulas.

Terpopuler

Comments

Ryan Dani

Ryan Dani

oh, hantu kali ini 🤭. smg tdk menakutkan ya...

2020-12-19

0

Zhanshi04

Zhanshi04

hantunya family friendly sekali

2020-07-22

2

L A

L A

siap nerusin bacanya thor😁

2020-07-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!