EMPAT

Lukas meninggalkan klub malam dengan wajah jengkel.

Bukan gayanya untuk mengunjungi tempat seperti itu. Tapi Diaz yang menjadi tamunya hari ini, bersikeras ingin ke sana. Lukas menurut, walaupun akhirnya memilih untuk pulang terlebih dahulu.

Diaz hanya tersenyum bodoh saat Lukas berpamitan pulang.

Alkohol sudah mengambil alih otaknya. Tidak terlihat lagi wajah tegas, yang sedari tadi dihadapinya saat makan malam.

Jika tak ingat kontrak mereka yang bernilai jutaan dollar, dengan senang hati Lukas akan meninggalkannya di jalanan. Dia bukan orang yang mudah marah, tapi Lukas tak bisa mentolerir alkohol.

Lukas sangat membenci alkohol!

Lukas sudah akan berjalan menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh, ketika mendengar suara mencurigakan berasal dari lorong gelap di sebelah bangunan klub.

Suara dentuman musik yang keras, hampir membuat Lukas melewatkannya. Tapi sesaat tadi musik berhenti, dia mendengar nafas tersengal dan tidak teratur.

Setelah memperhatikan dengan lebih seksama, ia melihat sesuatu yang bergerak di kegelapan.

"Siapa di sana?" tanya Lukas sambil berjalan pelan dan waspada.

Tak ada jawaban, hanya suara nafas tertahan yang kembali terdengar. Lukas terus berjalan mendekat sambil menyalakan senter di ponselnya, agar bisa melihat dengan lebih jelas,

Ketika cahaya menyorot ke arah pinggiran lorong, Lukas langsung terpana.

Dia melihat seseorang memegangi dadanya, seperti terkena serangan jantung , sedang duduk di samping tubuh seorang gadis yang jelas sedang tidak sadar.

Hal pertama yang muncul di pikirannya adalah, dia sedang mengganggu kencan mesra dari mereka berdua, tapi kemudian pandangannya jatuh pada serpihan kain yang tercecer di sekitar tubuh gadis itu.

Seketika langsung jelas apa yang sebenarnya terjadi.

BUGHHH!!

Tanpa banyak pertimbangan, Lukas melayangkan tinju dengan sekuat tenaga, yang dengan telak menghantam pipi pria bejat itu.

Pria itu langsung terpelanting dan jatuh menabrak tong sampah.

"B*j*ng*n terkutuk!!! Apa yang kau lakukan?" bentaknya, dengan kasar.

Lukas menghampiri pria itu kemudian menarik kerah bajunya dengan sembarangan. Pria menjijikkan seperti itu tak perlu diperlakukan dengan baik.

Ketika Lukas akan melayangkan pukulannya sekali lagi, dia baru sadar, kalau pria itu telah pingsan dengan wajah yang sangat pucat. Kulit leher pria itu yang tersentuh oleh tangannya juga terasa sangat dingin.

Tanpa rasa simpati sedikitpun, Lukas melepas tangannya dan membiarkan tubuh lemas itu jatuh terbanting ke tanah dengan keras.

Lukas meraba bagian bawah hidung pria itu dan merasakan masih ada sedikit nafas di sana. Dia masih hidup, dengan jijik Lukas meludahi wajah pucat itu.

Dia lalu menghampiri gadis malang yang tergeletak tidak berdaya di sudut yang lain.

Baju atasannya sebagian besar telah robek menyisakan baju dalam berwarna hitam, tapi celana yang dipakainya masih utuh. Apapun yang ingin dilakukan pria itu padanya, belum berhasil.

Lukas seketika bersyukur dalam hati.

Apakah dia mendapat serangan jantung sebelum berhasil menodainya?

Lukas bertanya-tanya dalam hati. Tapi yang pasti Lukas berharap pria itu akan membusuk di neraka nantinya.

Lukas bukan orang suci, tapi dia tidak akan pernah menjadi golongan terkutuk seperti pria itu.

Lukas paling anti memaksa gadis untuk menerimanya. Dan hal itu tidak pernah terjadi, wajahnya memastikan tidak ada gadis yang pernah menolaknya.

Dia melepaskan jaket yang dipakainya, kemudian menyelimutkannya pada tubuh gadis itu. Dia tidak akan membiarkan tubuh itu dilihat banyak orang nantinya.

Lukas kemudian berdiri sembari memanggil polisi dari ponselnya.

Ia juga menambahkan informasi soal keadaan mereka yang pingsan, sehingga memerlukan ambulance. Setelah selesai, Lukas berjongkok untuk memeriksa dengan lebih teliti keadaan gadis itu.

Lukas bisa melihat beberapa memar dan juga warna merah pada wajah dan lehernya, tapi selain itu tidak terlihat ada luka yang membahayakan.

Lukas kemudian mendekatkan hidung ke bibir gadis itu, tapi tidak tercium bau alkohol atau apapun. Dia malah mencium bau pinus segar yang menurutnya aneh.

Gadis itu tidak mabuk, dia dalam keadaan sadar ketika pria busuk itu memaksanya.

Lukas semakin merasa kasihan padanya. Lukas lalu mencoba merapikan beberapa helai rambut terserak di wajah gadis itu, agar keadaannya terlihat lebih baik.

"Oh.. God!!" Lukas berseru dengan terkejut.

Lukas menyadari sesuatu, ia mengenal gadis itu. Dia bertemu dengannya beberapa saat yang lalu.

Gadis itu adalah pekerja Melina yang menolongnya tadi. Lukas tidak langsung mengenali karena penampilannya sangat berbeda sekarang.

Rambut panjangnya yang hitam tergerai lepas, tidak lagi tertutup topi konyol putih yang menjadi bagian dari seragam kerjanya.

Gadis ini sempat membuatnya terheran-heran, karena sangat jarang ada seorang pekerja restoran yang sangat fasih berbahasa Spanyol.

Lukas tidak akan terlalu heran jika ia bertugas sebagai pramusaji, tapi melihat seragam yang dipakainya, ia adalah pekerja biasa di Melina , bukan juga seorang Chef.

Lukas melihat dengan takjub saat gadis itu menerjemahkan dengan mudah istilah-istilah yang tidak dikenal oleh translator di ponselnya. Dia juga ingat bagaimana mata abu-abu gadis itu, berbinar cerdas saat Diaz berterima kasih padanya.

Lukas sebenarnya ingin berbicara lebih panjang padanya, tapi Diaz sudah menariknya kembali ke meja makan.

Lukas masih tidak bisa melepaskan pikiran dari gadis itu selama beberapa saat, tapi rasa penasaran itu terlupakan oleh Lukas, karena jengkel harus menemani Diaz pergi ke klub malam.

Lukas senang, bisa berkesempatan untuk bertemu lagi dengan gadis itu, tapi sekaligus juga merasa menyesal karena mereka harus bertemu dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan.

Dan semua karena b*j*ng*n itu.

Tiba-tiba Lukas mempunyai keinginan aneh untuk menginjak kepala pria bejat itu atau mungkin menendangnya dengan sekuat tenaga, amarahnya kembali terbit.

Sayang ia harus mengurungkan rencana itu, karena suara sirine telah mendekat.

-------------0O0-------------

Lana memandang ke sekelilingnya dengan bingung, dia sama sekali tak bisa pikir sedang berada dimana.

Apakah aku sudah mati dan sedang berada di surga? batinnya.

Lana kemudian meragukan hal itu, karena selain fakta bahwa seluruh tubuhnya terasa sakit, dia juga sangat yakin, di surga dirinya tidak akan memerlukan infus. Di sebelah kanan ranjang tempatnya berbaring,  instalasi infus tertancap di tangan kanannya.

Tapi tidak mungkin juga, jika dia sedang berada dirumah sakit. Ruangan ini terlalu mewah untuk sebuah rumah sakit. Ranjang yang dipakainya berukuran king size, bahan selimut dan seprai yang ada di atas ranjang itu sangat halus, yang Lana yakin akan berharga sangat mahal.

Dan lagi tirai-tirai yang bergantung di jendela sangat indah, penuh dengan renda dan motif warna pastel.

Dia juga bisa menduga pintu cokelat yang ada di pojok ruangan itu adalah kamar mandi.

Seberapa sering rumah sakit menyediakan kemewahan seperti ini? Lana sangat jarang ke rumah sakit, tapi kemewahan ini berlebihan.

Belum lagi pemandangan diluar jendela, jelas-jelas memperlihatkan bahwa kamar ini dibangun khusus untuk menikmati pemandangan itu.

Dari tempat tidurnya Lana bisa melihat langsung pemandangan gunung Eiger yang berkabut tebal.

Lana akan betah memandanginya sampai berjam-jam, jika saja jelas sedang berada di mana dia sebenarnya.

Tapi diantara semua itu, yang paling membuat Lana yakin bahwa bangunan ini bukan rumah sakit, adalah seluruh tembok kamar dan lantai ruangan itu dilapisi kayu.

Kayu mengkilap dengan warna coklat teduh. Rumah sakit tidak memerlukan detail seperti itu.

Lana kemudian mencoba menggali ingatan terakhirnya, agar keberadaannya di kamar ini menjadi lebih masuk akal.

"Aaaaaaghhh!!!"

Lana berteriak histeris saat ingatannya terbentuk dengan sempurna. Ingatan itu langsung membuat Lana kehilangan pengendalian diri.

Dia masih ingat bagaimana tangan Petra menyentuh badannya, Lana masih ingat bagaimana mulut berbau busuk milik Petra menciumi lehernya.

Perut Lana mual dengan hebat, karena rasa jijik. Isi perutnya langsung menantang gravitasi dan menyerbu mulutnya.

Dengan sekuat tenaga, Lana menahan muntahan dengan tangan. Dia turun dari tempat tidur dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi.

Lana tidak peduli saat suara berisik timbul ketika tiang infusnya jatuh, maupun saat jarum yang menempel di tangannya tercabut paksa.

Lana memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam kloset.

Tubuhnya terasa kotor dan hina, dia tidak bisa membayangkan bagaimana Petra bisa melakukan hal itu. Air mata Lana bercucuran tak terkendali.

Di dalam kamar mandi mewah itu, bergaung suara tangis Lana yang menyayat.

Lana terus terisak dengan tubuh gemetar. Sementara tangannya tanpa henti menggosok leher dan juga wajah, tempat di mana Petra menyentuhnya. Lana merasa bagian itu pasti sangat kotor.

Lana sedang melakukan perbuatan yang mustahil, berusaha menyingkirkan noda yang tidak tampak.

"Ya.. Tuhan!! Apakah kau baik-baik saja?" suara berat seorang lelaki, menyentak seluruh tubuh Lana.

Dalam bayangannya, Petra datang kembali. Lana langsung bergeser menjauhi pintu dengan panik, sambil menoleh untuk melihat siapa yang datang.

Selama seperdelapan detik Lana merasa lega karena pria itu bukan Petra, tapi kemudian rasa takut peristiwa yang sama akan terulang, membuatnya kembali dirundung ketakutan yang amat sangat, karena dia sama sekali tidak mengenal pria itu.

"Siapa kau?! Mau apa kau ada disini?!!!" Lana berteriak dengan histeris.

"Pergi!!" seru Lana, sambil berusaha meraih gagang shower untuk menggunakannya sebagai senjata.

Tangannya bergetar hebat, sehingga tidak bisa melakukan hal semudah itu dengan cepat, kakinya yang masih lemas juga tak mendukung rencana itu.

Berkali-kali ia terpeleset sebelum akhirnya berhasil bangun,

"Kumohon tenanglah. Kau sudah aman, tidak akan ada yang menyakitimu disini"

Pria itu mencoba menenangkannya, tapi Lana sama sekali tak mendengar.

Telinganya seakan tertutup, karena pikirannya terus mengulang-ulang bagaimana saat Petra mulai merobek bajunya dan menyentuh badannya dengan tidak senonoh.

Benci, amarah dan juga jijik kembali menelan hati Lana, Lana terus berteriak histeris dan mengusir pria itu keluar.

Sebelum akhirnya tubuhnya kembali kehilangan kesadaran, dan terkulai lemas di lantai kamar mandi.

-------------0O0-------------

Lukas belum pernah melihat makhluk yang terlihat begitu rapuh, tapi sekaligus garang dan berbahaya.

Solana... Solana.

Lukas menggumamkan namanya berulang kali, sambil duduk termangu, memandang ke arah ranjang tempat gadis itu berbaring.

Sekali lagi dia berhasil membuat Lukas takjub. Jiwa gadis itu sedang terluka dan selangkah lagi menuju kehancuran, atau mungkin sudah. Tapi masih ingin melawannya dengan gigih, tanpa menyerah.

Dia masih berusaha keras menjauh darinya, serta mencari senjata untuk menyerangnya, walaupun jelas-jelas tubuh lemah itu tak mampu lagi berbuat banyak.

Lukas menjadi semakin kagum padanya.

Bukti lain yang tidak kalah kuat adalah, laporan polisi yang sempat dibocorkan kepadanya sekilas.

Pada tubuh pria bejat itu, polisi menemukan banyak luka cakaran di wajah, dan juga memar pada bagian kaki.

Tidak diragukan lagi dari mana asalnya. Gadis itu pasti melawan dengan segala daya dan upaya yang dipunyainya sebelum pingsan.

Gadis itu terlihat seperti kelinci yang lemah, tapi sebenarnya, dia adalah kucing hutan yang galak. Sayangnya kucing hutan masih tidak bisa menang jika melawan b*b* bodoh seperti pria itu.

Tubuh Solana sangat kurus.

Lukas tadi dengan mudah mengangkatnya dari lantai kamar mandi menuju ranjang, tanpa terengah sedikitpun. Solana tidak mungkin memiliki kesempatan menang melawan Petra. Tapi toh dia tidak menyerah.

"Solana Fayra"

Lukas kembali menggumamkan namanya.

Dia sudah mengingat dimana ia pernah membaca nama unik itu. Lukas sendiri yang menandatangani surat perjanjian pemindah tanganan tanah dan rumah miliknya, menjadi atas nama Solana Fayra.

Tapi Lukas dulu membayangkan, Solana adalah wanita berumur tujuh puluh tahun yang sedang ingin mencari tempat untuk menikmati masa pensiun, apalagi dia menolak tawaran agen properti yang disewanya, untuk melihat keadaan rumah yang akan dibeli.

Solana hanya ingin segera membeli rumah itu, bagaimanapun keadaannya.

Mendengar laporan itu, jelas Lukas menduga Solana adalah perempuan tua yang keras kepala dan ceroboh.

Karena dia membuang uang begitu saja, tanpa melihat barang yang dibelinya. Dia tidak menyangka Solana akan berwujud seperti ini. Lukas memperkirakan Solana berumur tidak lebih dari dua puluh lima tahun, beberapa tahun lebih muda darinya.

Pada awalnya, Lukas masih tidak tahu siapa Solana, sampai ketika dia menelpon Meier untuk bertanya soal keluarganya.

Meier terguncang hebat ketika mendengar apa yang akan dilakukan Petra padanya.

Lukas membutuhkan waktu lama, sebelum akhirnya Meier tenang dan bisa bertanya soal alamat dan keluarga Solana.

Lukas terkejut saat mendengar alamat tempat tinggalnya dan langsung sadar siapa gadis itu.

Setelahnya Lukas kembali terheran-heran dengan segala benang takdir tidak nampak yang menghubungkannya dengan gadis itu.

Dari penjelasan Meier pula, yang akhirnya membuat Lukas memutuskan membawa Solana kesini.

Dia tidak bisa membiarkan gadis itu berada dalam satu atap -- walaupun itu hanya rumah sakit-- yang sama dengan pria yang memperkosanya, membayangkan hal itu saja membuatnya marah.

Lukas berniat menghubungi keluarganya agar bisa segera membawa Solana pulang setelah visum dokter selesai.

Tapi Meier jelas sekali menerangkan bahwa Solana sebatang kara di desa ini. Tanpa banyak pertimbangan, ia meminta kepada polisi agar bisa membawanya ke hotel.

Pada kasus biasa, Polisi tidak akan mungkin mengijinkan hal itu, tapi Kepala Polisi di Grindelwald, yaitu Neff, adalah saudara sepupunya. Dia dengan gampang meluluskan niat baik Lukas.

Yang pasti, Lukas sangat lega, ketika hasil visum dokter menegaskan bahwa pria busuk itu memang belum sempat melakukan apapun sebelum akhirnya malah tumbang karena sakit.

Ada sedikit bekas penganiayaan pada wajah dan leher Solana, tapi hanya itu.

Keadaan yang lebih parah justru diderita oleh pelaku, yaitu Petra.

Lukas juga sudah mengetahui semua tentang pria itu dari Meier.

Dokter yang memeriksanya menyimpulkan dengan terpaksa bahwa memang ia terkena serangan jantung, walaupun sebenarnya hal itu meragukan.

Bagaimanapun mereka melihatnya, Petra adalah pria yang sangat sehat.

Belum lagi tanda-tanda serangan jantung yang dialaminya sangat janggal. Tubuh Petra lemah dengan suhu yang sangat dingin ketika tiba dirumah sakit.

Detak jantung Petra nyaris berhenti, karena hawa dingin membuat detak jantungnya melambat. Dokter belum pernah menemui kasus aneh seperti ini.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mati kedinginan saat musim gugur?

Udara malam itu memang dingin, tapi hanya cukup untuk membuat seseorang terserang flu, bukan mati kedinginan.

Tapi Lukas tak ingin memikirkan hal itu lebih lanjut, dia akan bahagia jika Petra semakin menderita.

Pria manapun yang tega melakukan perbuatan hina seperti itu kepada seorang gadis lebih pantas mati.

Gerakan pelan pada jari tangan Solana membuat Lukas bangun dari kursi. Ia menarik ponsel dari sakunya, dan menekan nomor satu.

"Kemarilah, dia sepertinya akan siuman" kata Lukas singkat dan memutuskan panggilan itu begitu saja.

Lukas tidak ingin tragedi di kamar mandi terulang untuk kedua kalinya, karena itu dia memanggil bala bantuan, agar Solana tak lagi histeris dan bisa dengan tenang beristirahat, karena dia sangat membutuhkannya.

Dokter mengatakan bahwa tubuh Solana menderita kelelahan yang sangat kronis, selain karena ketakutan yang amat sangat karena perbuatan Petra. Hal itulah yang menyebabkannya pingsan di lorong gelap itu.

Solana menghabiskan waktu dua hari memerangi demam tinggi, sebelum akhirnya dia sadar tadi pagi.

Dan kemudian Lana kembali pingsan karena dirinya.

Lukas tak ingin mengambil resiko membuatnya sakit lagi, jika bersikeras menunggunya siuman seorang diri.

Karena itu, Lukas memanggil Darla, dengan harapan Solana akan lebih tenang jika melihat wanita, bukannya pria saat ia membuka mata.

Tak lama Lukas mendengar ketukan pelan di pintu, ia membukanya dengan terburu-buru karena Solana mulai menggeliat pelan.

Darla muncul dengan nafas terengah di depan pintu.

"Cepatlah!" kata Lukas menyuruhnya segera masuk.

"Kau pergilah ke Lobby, Joan mencarimu. Dia marah ketika aku mengatakan kau sedang tak ingin menerima tamu" kata Darla sambil berbisik pelan.

"Joan?" Lukas bertanya dengan heran.

Dia sudah lama tidak bertemu Joan maupun suaminya Erich. Mereka dulu pernah akrab, tapi setelah neneknya meninggal. Lukas jarang mengunjungi mereka.

Untuk apa mereka mencarinya?

"Cepatlah, kau tahu bagaimana Joan jika sedang marah" Darla kembali berbisik. Dia kemudian duduk di kursi sebelah ranjang, bersiap memberi penjelasan pada Solana.

Solana sendiri sudah mulai menggerakkan tangan.

Lukas akhirnya memutuskan untuk pergi. Mungkin lebih baik begitu, kehadiran laki-laki di dekatnya setelah mengalami kejadian seperti itu bukan ide yang bagus.

Terpopuler

Comments

Zhanshi04

Zhanshi04

ah yaampun penggambaran traumanya Lana dapet banget

jadi sedih

2020-07-22

2

Anjana Annabella Ratna

Anjana Annabella Ratna

novelnya bagus!!!! biasanya gk suka yg genre horor gini tp ini bahasanya semua2nya aq suka👍

2020-03-30

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!