Aku tidak tahu kenapa aku membalas pesannya, dan memenuhi permintaanya untuk bertemu.
Aku mencoba untuk berpikir ulang, tapi rasa penasaran apa yang kali ini Dean inginkan dariku membuatku tetap menemuinya.
Aku mulai bersiap, sebelum pergi aku mengambil barang - barangku diatas meja, dan keluar dari kamar.
Aku tidak tahu apakah aku benar - benar harus menemuinya, tapi setidaknya dengan menemuinya aku bisa mengetahui apa yang ia inginkan
Aku tahu apa yang harus aku lakukan, jadi aku akan mengikuti permainannya.
Beberapa saat kemudian ....
Saat bertemu dengannya untuk kesekian kalinya, aku sadar ini bukan sebuah kebetulan.
Tapi ... apakah Dean memang sengaja mendekatiku? atau ia memang senang menggangguku?
Aku merasa sangat menjanggal, tapi ... masa Dean menyukaiku?
"Dean, gue mau tanya serius sama lo," ujarku, dengan nada serius.
"Apa?" tanyanya santai.
"Kenapa lo deketin, gue? apa tujuan, lo?" tanyaku, dengan tatapan serius.
Seolah - olah menegaskan, kalau aku serius dengan pertanyaanku.
"Haha ... lo curiga sesuatu, sama gue?" tanyanya, sambil tertawa. sementara aku menatap bingung ke arahnya.
"Tapi ... bener sih, gue punya tujuan tertentu." ucapnya.
Benarkan dugaanku selama ini, tapi kenapa aku merasa kecewa?
"Lo-lo punya tujuan tertentu sama, gue? apa?" tanyaku, dengan tatapan seolah ingin tahu jawabannya saat itu juga.
"Jawabannya ada dimata, gue." ucapnya.
"Hah?" Dean mendekatkan wajahnya, ia menatap dalam mataku, membuatku ikut melihat kedalam matanya.
"Apa yang lo, liat?" tanyanya.
"Lo, ngapain sih? bercanda ya, lo?" tanyaku, dengan tatapan penuh heran. yang membuatku, memalingkan pandanganku ke arah lain.
"Nggak serius, coba lo liat sekali lagi." pintanya. aku menghela nafas, aku melihat sekali lagi kedalam matanya.
"Apaan, sih? yang gue liat cuma pantulan gue, dimata lo." ucapku menahan kesal.
"Itu dia jawabnya," ujarnya, aku menatap bingung ke arahnya.
"Apan, sih? kayaknya bener lo ngerjain gue, iya kan?" tanyaku, hendak marah. hingga ...
"Gue suka sama lo, cuma lo yang selalu ada dimata, gue." aku terdiam, rasanya sulit menunjukkan reaksiku dengan benar disaat rasa tekerjut datang bersamaan.
Dean meraih tanganku, kemudian digenggamnya. ia menatapku seolah menunjukkan keseriusan atas ucapnya.
"Ini ... lo lagi, ngerjain gue lagi, ya?" tanyaku, menatap curiga ke arahnya.
Entah kenapa sikapnya yang selalu mengerjaiku, membuatku sulit untuk percaya kepadanya.
...Apakah aku bisa mempercayai perkataannya?...
Mungkin ia marah dengan perkataanku, jadi ia mengabaikan aku, dan hanya meresponku seadanya sepanjang kami bersama.
Selama selama setengah jam, Dean tak mengatakan apapun. Dean terlihat menahan sesuatu, sekita aku merasa serbah salah.
"Dean maaf, kalau gue sudah membuat lo marah." ucapku, dengan nada menyesal.
"Bukan salah lo kok, mungkin salahnya di gue juga," ujarnya seraya mencoba mengontrol dirinya.
"Bagus deh kalau sadar." ujarku, tanpa sadar. ia menatap bingung kearahku.
"Ya ... maksud gue, lo sadar nggak sih, sama sikap lo selama ini ke gue?" ia tampak memperhatikan aku berbicara, sementara aku bingung bagaimana melanjutkan apa yang ingin aku katakan.
"Gue sadar kok, tapi lo sadar juga, nggak? sama perasaan gue?" aku terdiam, aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
"Mana gue sadar lah, lo pikir gue cenayang, apa?!" seruku, seolah mencoba membela diri.
"Gue nggak ada bilang, kalau lo cenayang." ucapnya, aku menarik nafas mecoba mengatur emosiku.
"Dean, lo nyebelin sumpah." ia tak merespon perkataanku, ia menatap dalam kedalam bola mataku.
"Dean?" Dean memalingkan wajahnya, sementara aku menatap bingung ke arahnya.
"Lo lupain aja ucapan gue yang barusan, bisa kan?" tanyanya. aku tak menanggapi pertanyaannya, dan mencoba mencerna apa yang ia katakan sejak awal kami bicara.
"Maksud lo apa, sih? lo mempermainkan gue, ya?" aku bersiap pergi saking kesalnya, namun Axell menahan tanganku.
"Satu hal yang perlu ingat, gue nggak ada niat buat mempermainkan lo." terdiam, sementara ia tersenyum menatapku.
"Cuma gue nggak mau, terlalu memaksakan perasaan lo, ngertikan?"
Aku tersenyum menatapnya sebegitukah ia memikirkanku? selama ini sejauh mana ia memikirkanku?
"Mmm ... gue _ "
"Kita bahas ini lain kali, ok?" tanyanya. kini mentapnya yang bersiap untuk pergi.
"Tapi _ " ia menarik tanganku, tak memberikan aku bicara sama sekali.
Ia mengantar aku pulang, kemudian ia pulang ke rumahnya.
Aku melihatnya masuk kembali ke mobil setelah berpamitan, dan pergi.
Tak kusangka hubungan kami menjadi begitu rumit, setelah hari ini bagaimana aku bisa menghadapinya?
...Keesokan harinya .......
...Pukul 06 : 00...
Aku terbangun, dan jantungku berdegub kencang sekali.
Aku mengambil segelas air, dan mengambil ponselku.
Ada pesan masuk dari Dean, aku membaca kemudian membalas pesan darinya.
Disaat bersamaan, aku mendengar pintu kamarku diketuk disertai suaranya.
"Shania, ayo sarapan." ucapnya.
"Iya, Ma!" sahutku.
Aku meletakan ponselku, lalu keluar dari kamar.
Aku menuruni anak tangga, dan melihat koper berdiri dengan tegapnya.
...Koper milik siapa, itu?...
Aku masuk keruang makan, dan melihat kedua orang tuaku tengah menikmati sarapan mereka.
"Ma, tadi Shania melihat koper diruang tamu, punya siapa ya?" tanyaku, mereka dia dan saling tatapan satu sama lain.
Papa beranjak dari tempatnya, dan berdiri di hadapanku.
Perasaanku tak karuan, perasaanku bercambur aduk.
Papa meletakan tangannya pada wajahku, mata kami bertatapan.
Entah mengapa ada hal yang ingin Papa katakan, dan sepertinya aku akan segera tahu.
"Pa?" aku melihat Papa menarik nafas, sebelum akhir ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
"Sayang, kamu ingat Papa pernah bahas soal kepergian Papa, kan?" tanyanya.
Aku mengingat - ingat, kemudian mengangguk ragu.
"Papa akan pergi jam 10 nanti, jadi ... " ia tampak memberi jeda, sebelum akhirnya ia melanjutkan bicaranya.
"Mulai sekarang, Papa percayakan perusahaan sama kamu, ya," ujarnya. seketika aku mematung.
Hari itu akhrinya tiba, tapi apakah aku mampu?
"Pa, Papa yakin?" tanyaku, Papa menganggukkan kepalanya menanggapiku.
Ia menyingkirkan rambutku dari bahuku, dan membelai kepalaku.
"Putri kecil Papa sekarang sudah besar, apalagi yang perlu Papa khawatirkan?" ucapnya dengan penuh percaya diri, aku hanya tersenyum canggung.
"Udah dulu bahasnya, kita sarapan lagi yuk." sela Mama. aku dan Papa tersenyum menatap Mama.
"Ma, nanti Shania ikut nganter Mama ke bandara, ya." Mama mengangguk menanggapiku, lalu kami kembali menikmati sarapan kami.
...Beberapa saat kemudian .......
...Bandara .......
Sebelum Papa dan Mama masuk kedalam pesawat keduanya mencium keningku, dan kami berpisah sejak hari itu.
Mereka berdua pergi, dan aku merasakan kesepian.
Aku merasakan ada sesuatu yang kosong, aku butuh udara segar.
...Sekarang .......
...Kira - kira saatnya jam makan siang .......
Aku berjalan menyusuri jalan dengan mobilku, seraya memikirkan tentang hidupku.
Hari ini aku harus menjalani takdirku, menjadi penerus.
Apakah aku benar - benar mampu? atau justru sebaliknya?
Tiba - tiba aku ingin menghubungi seseorang, aku ingin berbagi keluh kesah ku, aku mengeluarkan ponselku, dan menekan sebuah nomor.
"Hallo."
...Gawat!!! suara ini!!!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments