Sebuah mitos mengatakan siapapun yang melempar koin ke dalam air mancur ini akan kembali lagi ke Roma. Sejak menginjakkan kaki di kota ini, tidak ada sedikitpun niatanku untuk pergi meninggalkan Roma. Tapi di sini aku sekarang, seperti biasanya, hal yang rutin aku lakukan setiap bulan, melempar koin ke dalam kolam. Apakah karena aku ingin suatu saat nanti bisa kembali lagi ke kota ini, ataukah kembali ke 'Roma' yang lain?
"Semalam kamu tidak pulang ke apartemen?" pertanyaan Sadeva membuat aku tersedak. Semalam? Aku pun tidak bisa mengingat kejadian semalam. Pagi itu aku tidak mendapati siapa-siapa di kamar Tuan Muda Baird. Hanya sebuah catatan kecil di sebelah tempat tidur bertuliskan buon lavoro, yang berarti good job. Ketika aku turun dan bertanya pada Tuan Martinelli, dia hanya memberikan informasi bahwa setelah selesai menata kamar Tuan Muda aku tidak pernah turun ke lantai bawah, bahkan hingga Tuan Muda datang dan pergi lagi di pagi setelahnya.
Sadeva mengamati lekat-lekat ekspresi kebingungan di wajahku dari kursinya. Tangannya masih memegang secangkir kopi yang menemani sarapan paginya di salah satu cafe di depan Trevi Fountain.
"Ah, semalam. Ya, aku lembur" untuk kesekian kalinya aku berbohong pada lelaki ini.
"Dimana?"
Aku menelan ludah, "Di.. di tempat kerja. Oh ya, bagaimana pesanan pakaian pengantin kita?" aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dua minggu lagi bisa diambil." Ada jeda sebentar sebelum dia melanjutkan kalimatnya, "Ky, minggu depan keluargaku akan ke sini. Mereka pengen ketemu kamu"
Aku terdiam. Keluarga Sadeva tidak pernah benar-benar menerimaku dengan suka cita. Mereka punya patokan yang tinggi terhadap kriteria calon menantu mereka, dan aku tentu saja berada jauh di bawah kriteria mereka.
"Iya" dengan nada berat aku menarik sebuah senyum di wajahku.
***
"Apa hari ini Tuan Muda akan ke sini?" aku mencoba mencari informasi dari lelaki berambut putih ini.
"Saya tidak tahu, Nona" balasnya dengan sopan.
"Jam berapa biasanya dia pulang?"
"Tidak tentu, tergantung kesibukan Tuan Muda"
Aku mengangguk.
"Aku ingin bertemu dengannya. Bisakah kau atur untukku?"
Dia menghembuskan nafas berat, "Tuan Muda sangat sibuk Nona. Saya tidak yakin. Tapi nanti akan coba saya sampaikan pada Tuan Muda."
"Grazie" aku berterima kasih pada lelaki tua ini.
"Prego" dia membalas ucapan terimakasihku.
Hari ini aku memutuskan untuk menunggu Tuan Muda sampai dia pulang. Aku tidak peduli walau sampai larut malam sekalipun. Aku penasaran siapa sebenarnya orang ini. Dan aku lebih penasaran lagi apa yang terjadi malam itu. Kenapa aku bisa berakhir telanjang di ranjangnya?
Tapi lagi-lagi aku tertidur. Ketika terbangun, aku sudah dalam keadaan yang sama seperti malam sebelumnya. Telanjang di atas tempat tidurnya, tanpa sehelai benangpun. Hanya saja pagi ini, aku temukan bercak-bercak kemerahan di sekitar leher dan dadaku. Sial. Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan katakan dia mengambil keuntungan sewaktu aku tak sadarkan diri. Keparat. Aku harus dengar penjelasan dia.
"Tuan Muda tidak bisa ditemui sekarang Nona" sudah kesekian kalinya resepsionis di kantornya menasihati. Tapi aku tetap keras kepala.
"Kalau dia tidak mau menemui saya, biar saya yang temui dia" langkahku dihentikan oleh beberapa orang berseragam security.
Huh, mencoba menghentikan satu perempuan dengan empat laki-laki yang terlatih secara professional? Sungguh tindakan yang sangat gentlemen Tuan Baird. Tapi jangan pikir aku akan menyerah gitu aja.
"Sebentar Nona" salah satu petugas resepsionis menghentikan aku, "Tuan Muda sudah tidak ada di ruangannya"
"Apa?"
"Dia ada meeting di Catania"
Brengsek. Coba melarikan diri?
"Tapi Tuan Muda berpesan dia akan menemui Nona di rumah sekembalinya dari Catania. Tolong, Nona tunggu saja di rumah Tuan Muda. Jangan membuat keributan di sini."
Oke. Akan ku berikan satu kesempatan. Aku kembali menunggu Tuan Muda Baird di rumahnya sambil menyelesaikan pekerjaanku mendekorasi tempat tinggal barunya. Sengaja aku pilihkan perabotan dan aksesori bernilai mahal untuk setiap detail ruangannya, bukan karena nilai seninya, tapi karena rasa kesalku terhadap laki-laki ini. Bodoh memang, meskipun aku yakin seberapa banyak aku berbelanja menghabiskan isi blackcard-nya tak akan bisa membuat lelaki kaya itu bangkrut, tapi paling tidak aku merasa puas telah berhasil menguras uangnya.
Lagi, entah bagaimana aku tertidur lagi. Bertelanjang polos dibalik selimut hangat Tuan Muda. Aku mengerjap sekali.. dua kali.. Bukan langit-langit putih yang meyambut indera pengelihatanku kali ini, tapi sebuah dada bidang, dada bidang yang polos dan begitu menggiurkan. Sekali lagi aku mengerjap, memastikan aku sudah sadar sepenuhnya.
"Buongiorno, Stella"
Stella? Hanya satu orang yang memanggil ku dengan nama itu.
"Kau bilang ingin bertemu denganku?" lelaki yang kini terbaring disampingku berbisik lirih.
Suara itu.. tidak mungkin. Tidak mungkin dia kan?
Pandanganku naik perlahan, menyusuri otot-otot yang terpahat sempurna di dada bidangnya, semakin ke atas menuju lehernya yang kokoh, dan ke atas lagi. Bibir itu.. bibir yang berulang kali datang ke dalam mimpiku. Jangan bilang..
"Stella.." bibir itu mengucap namaku. Nama yang tidak pernah disebut orang lain selain dia. Dengan takut pandanganku terus naik hingga akhirnya tatapan kita bertemu.
Deg.
Aku serasa dipukul mundur melintasi waktu dan kembali ke masa lalu.
Sudah aku bilang kan Roma adalah cinta pertamaku.
Iya, Kaivan Alromano, dia cinta pertamaku.
Dan sekarang dia ada di sini, bertelanjang polos dengan tubuhku dalam dekapannya. Dia masih sama, hanya terlihat lebih matang dan lebih dewasa. Matanya, bibirnya, bahkan senyumnya, semuanya sama. Tapi tubuhnya lebih berisi, otot-ototnya lebih terbentuk, dan miliknya...
Hah? Apa?
Dia ada di dalam diriku?
Tiba-tiba kesadaranku kembali sepenuhnya.
Dasar brengsek. Laki-laki sialan.
Aku mencoba berontak, meronta-ronta dan memukul-mukul dadanya. Tapi gerakanku justru membuat kegagahannya terpancing kembali.
"Stella.. stop!" perintahnya tidak aku gubris sama sekali. Tidak, aku tidak mau dia. Aku tidak mau. Please, tell me it's just a dream. Please...
Gerakanku semakin membabi buta, tapi itu hanya membuat kelopak matanya semakin menyipit. Akhirnya dia menarik kedua tanganku ke atas kepala dan menahannya. Tubuhnya kini ada di atas tubuhku, mengungkungku dengan kegagahannya.
"You wanna play with me so badly, huh? Allright, I'll give you then" setelah mengatakannya, lelaki itu mendorong dirinya jauh ke dalam diriku, menyentuh titik yang belum pernah dikunjungi siapapun. Belum pernah, kecuali dia.
Fontana de Trevi.
Mitos itu membawa ku kembali ke Roma. Roma ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Novita Sari
novel ini baru aq baca setelaah sekian lama aq favoritkan..sampe sini suka banget sama bahasanya...aq bacanya benar2 pelaaan..menikmati banget tiap kalimatnya😍😍👍
2022-11-28
0
Tania Indah Purnama
kaistal emang favorit ku banget
2022-08-07
0
Mamah Abizi
coba bahasa inggris nya ada terjemahaan nya.
2021-06-21
2