Pemilik Hati #1

Pemilik Hati #1

Bab 1

Ini adalah kisah ku dalam mencari cinta sejati.

(Keyza Mahari)

Ciwidey, Agustus 2013.

“Percuma kita sekolah tinggi-tinggi dan pintar kalau ilmu kita tidak bermanfaat bagi orang banyak, percuma kita kaya tapi harta kita hanya kita gunakan untuk berfoya-foya. Lebih baik kita hidup sederhana tapi hidup kita bermanfaat bagi orang lain.”

Itulah perkataan ayah yang membuatku menjadi aktivis kemanusian disela-sela jadwal kuliahku sebagai seorang mahasiswi design interior di salah satu perguruan tinggi yang berada di Bandung. Keyza Maharani, itu nama lengkapku tapi semua orang memanggilku Kekey, kecuali seseorang yang aku temui ketika aku mendatangi salah satu desa di daerah Ciwidey yang mengalami longsor. Dia memanggilku “Za”.

Ketika aku bertanya kenapa tidak memanggilku seperti yang lain, dia malah balik bertanya.

“Apa ada peraturan yang membuat semua orang harus mamanggilmu Kekey?”

Kaget? Iya, saat itu aku hanya bisa menganga kaget mendengar pertanyaannya, ok! Jujur saja aku pikir mungkin dia akan sedikit menggombal seperti pria lain yang akan memberikan jawaban standar yaitu karena itu adalah nama panggilan kesayangan dia untukku, yang tentu saja itu hanya akan membuatku menjauhinya.

“Tidak,” jawabku setelah terdiam beberapa saat.

“Apa aku melanggar hukum kalau memanggilmu dengan panggilan Za?”

Aku kembali mengangkat alis mendengar pertanyaannya, sebelum akhirnya menjawab, “Tidak.”

“Apa kau marah karena aku memanggilmu Za?”

“Tidak, tentu saja tidak.”

“Jadi kau tidak keberatan?”

Aku terdiam menatapnya yang juga menatapku dingin tanpa ekspresi seperti biasanya, “Tidak.”

“Jadi?”

Aku kembali mengangkat alis mataku bingung.

“Jadi…?"

“Jadi kenapa kau bertanya, kenapa aku memanggilmu Za kalau kau sendiri tidak keberatan.”

Ya Allah! Aku benar-benar kehabisan kata-kata saat itu dan ingin sekali mengucek mukanya memakai spon cuci piring, untuk saja dia ganteng kalau tidak sudah ku kucek pake kawat buat nyuci pantat panci! Dia masih menatapku tanpa ekspresi seolah tengah menunggu jawaban. Ok! Aku tak boleh kalah melawan seorang Sersan, ingat aku juga adalah putri seorang pensiunan TNI. Diam-diam aku mengatur napasku sebelum akhirnya kembali menatapnya.

“Apa ada peraturan yang mengatakan kalau aku tidak boleh bertanya kenapa kau memanggilku Za?”

Untuk sesaat aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya mendengar pertanyaan yang ku ajukan sama dengan yang dia tanyakan tadi.

“Tidak.”

“Apa kau keberatan kalau aku bertanya tentang itu?”

“Tidak.”

“Jadi?”

“Jadi…?"

Kini gilirannya yang mengangkat alis dan aku bisa melihat sorot matanya tengah memerlihatkan kalau dia sedang menahan senyum.

“Jadi kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, kalau kau tidak keberatan dengan itu?”

Dia terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaanku.

“Karena tidak ada alasan khusus, bukankah namamu Key-za? jadi ku pikir Za juga merupakan salah satu bagian dari namamu.”

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhrinya mengangguk mengerti, dan jawaban itu memang masuk akal.

“Ok, aku mengerti,” ucapku sebelum akhirnya pergi meninggalkannya untuk kembali bergabung di dapur umum mempersiapkan makan siang untuk para pengungsi dan relawan.

“Za!”

Aku menghentikan langkahku ketika ku dengar dia memanggil namaku.

“Jadi, kenapa kau bertanya?”

“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin bertanya saja,” jawabku santai sambil kembali berjalan.

Hari itu adalah hari ke 4 kami berada di desa Tenjolaya, sebuah desa yang berada di kawasan Pasirjambu, Ciwidey, Bandung, untuk membantu dan menyalurkan bantuan kepada korban longsor di sana. Jujur saja kami sudah sangat lelah secara fisik dan mental, kami hanya tidur 2-3 jam saja setiap harinya karena kondisi yang membuat kami tidak bisa benar-benar beristirahat.

Belum lagi banyaknya korban yang belum ditemukan membuat suasana di sana sarat akan rasa cemas dan juga sedih yang memengaruhi perasaan relawan, yang lama-lama seolah terikat secara emosi dengan para korban. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi, karena relawan juga bertugas untuk menghibur para korban supaya bisa melanjutkan hidup mereka.

“Key, bantuin ibu-ibu motongin sayuran buat bikin sayur asem, yuk!” ajak Mira, salah satu teman relawanku.

“Siap! Yang lain pada kemana?” tanyaku setelah melihat kalau para senior dan teman-tamanku yang lain tidak ada di tenda dapur umum.

“Teh Vita, Kang Pajar, Agus ma Yuni lagi ngajarin anak- anak di kantor Desa, kalau Teh Dian tadi pergi sama Kang Adit nyari gas, buat stok takut habis, Bang Kamal ma yang lainnya sudah pada jalan ke lokasi bantuin tim SAR sama TNI cari korban lainnya.”

Aku mengangguk mengerti, dan kami-pun bergabung bersama beberapa ibu-ibu yang membantu kami menyiapkan makanan. Kami semua duduk di atas tikar plastik dan mulai mengerjakan apa yang bisa kami kerjakan. Terdengar ibu-ibu saling bercerita tentang orang-orang yang belum ditemukan.

“Ya Allah, mudah-mudahan sing enggal kapendak karunya (mudah-mudahan cepet ketemu, kasihan),” ucap ibu-ibu yang memakai daster bunga-bunga warna kuning, aku lupa siapa namanya, yang mendapat sautan amin dari yang lainnya.

“Kamari ceunah tos kapendak deui 12, tapi duka saha wae da rusak mayitna teh (Kemarin katanya sudah ketemu lagi 12, tapi ga tahu siapa aja karena mayatnya sudah rusak).”

“Innalillahi wa innaillahi rojiun, sahanya? (Siapa ya?)”

Itulah segelintir percakapan sehari-hari yang terjadi di tempat pengungsian yang masih membahas tentang para korban yang masih belum ditemukan. Longsor kali ini terjadi pada pagi hari ketika semua warga baru terjaga dan bersiap-siap untuk melakukan aktivitas mereka ketika terdengar suara seperti gemuruh sebelum akhirnya bukit itu ambruk meluncur menimbun 30 rumah dan 60 jiwa yang berada di lereng bukit.

Warga yang mulai curiga langsung berhamburan menyelamatkan jiwa mereka, tapi sayang beberapa dari mereka terlambat untuk menyelamatkan diri yang akhirnya terkubur di dalam tanah dalam keadaaan hidup-hidup. Sebelum terjadinya bencana, desa itu merupakan perkebunan teh yang sangat cantik, tempat warga sekitar mencari nafkah dengan bekerja sebagai pemetik teh.

“Key, tadi aku lihat kamu ngobrol ma Mas Yudha ya?” Mira bertanya dengan penasaran, aku bisa melihat senyum jahil menghiasi wajahnya. Tapi sebenarnya aku bisa tahu kalau Mira berusaha mengalihkan perhatian ibu-ibu supaya sebentar saja melupakan tentang tragedi yang menimpa mereka.

“Ga ngobrol, cuma nanya aja.”

“Nanya apaan? Itu mah paling modus kamu aja biar bisa ngobrol ma dia.”

“Apaan sih, Mir, aku tuh tadi ketemu sama dia di jalan pas mau ke sini, karena canggung ya udah aku iseng-iseng aja nanya.”

“Nanya apa dia sudah punya pacar atau belum?”

“Engga ih, malu-maluin aja.”

“Ciee, malu padahal mah mau.”

“Apan sih, engga ah, orangnya judes gitu.”

“Lah! Gak sadar apa kalau kamu juga judes .” Mira tertawa membuat ibu-ibu kini mulai tertarik dengan pembicaraan kami.

“Mas Yudha yang ganteng itu ya, Neng?” tanya Bu Aan penasaran.

“Iya, Bu, yang ganteng kaya artis itu.” Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Mira.

“Wah kalau itu mah atuh, Neng, Ibu juga suka.”

“Tuh, Key, saingan ma Bu Aan.”

Suara tawa mulai terdegar dari mulut ibu-ibu dan itu membuatku sedikit lega.

“Yah, kalau saingan sama Neng Kekey mah, ibu ngakalah aja.”

“Bukan ngalah Bi Aan mah tapi takut sama Mang Aep.”

“Tah eta, benar, Cu (Nah itu bener, Cu) gawat atuh kalau si Bapak ngambek, moal kabagean jatah engke (gak bakal kebagian jatah entar).”

Kami kembali tertawa mendengar ucapan Bu Aan, itulah ibu-ibu dalam kondisi apapun kalau soal ngobrol tetap juaranya. Apa lagi menyangut hal-hal seperti ini membuat mereka semakin menjadi. Aku dan Mira perlahan pergi meninggalkan perkumpulan ibu-ibu yang kini pembicaraannya semakin menjurus dengan tawa mengiringi pembicaraan mereka. Kami saling pandang sambil tersenyum lega karena untuk beberapa saat mereka akan melupakan rasa sedih dan kehilangannya.

“Jadi, tadi nanya apaan?” sepertinya Mira masih penasaran dengan pertanyaannya tadi.

“Gak ada yang penting, aku hanya nanya kenapa dia memanggilku Za bukan Kekey kaya yang lainya,” jawabku sambil memasukan potongan ikan asin ke dalam minyak panas. Menu makan siang kali ini adalah, ikan asin, sayur asem, sambel sama goreng tempe, nikmat kan? Hehehe.

“Terus apa katanya?”

“Katanya ga apa-apa, karena namaku kan Key-Za.”

Mira tertawa mendengarku.

“Dia bener sih.”

“Emang.”

“Suka ya, Key, sama dia?”

“Enggalah, Mir.”

Aku menjawab tanpa menatap Mira karena takut dia akan mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Ok, awalnya aku tak percaya dengan istilah cinta pada pandangan pertama, tapi sialnya, aku memiliki kelemahan ketika melihat pria berseragam, terutama tentara, mereka akan terlihat dua kali lebih keren dari pada aslinya di mataku.

Begitu juga ketika melihat Sersan Yudha Adipati Pratama (Aaahhh!! Bahkan namanya-pun terdengar keren di telingaku), ketika pertama kali melihatnya ia hanya mengenakan kaos hijau tentara dengan celana loreng khasnya lengkap dengan sepatu both hitam, tubuhnya bersimbah keringat dan kotor oleh lumpur di beberapa bagian. Tapi entah kenapa saat itu ia telihat sangat keren di mataku, mungkin karena ada yang salah dengan mataku atau dengan tipe priaku?

Tentu saja tidak! Itu terbukti ketika sore hari kami bertemu lagi dengan sang Sersan dan saat itu dia baru selesai mandi, para senior dan teman-teman perempuan sesama relawan-pun dibuat menganga dengan mata berbinar menatapnya. Hahaha, itu membuktikan kalau mata dan tipe priaku tidak salah sama sekali.

“Hati-hati, Key, katanya kalau tentara itu playboy, banyak ceweknya karena sering pindah-pindah tugas.”

“Ah, kalau itu mah tergantung orangnya kali, Mir, buktinya tetanggaku aja si Beno yang pengangguran ceweknya banyak, dan Ayah tetap aja setia sama Ibu walaupun Ibu cerewet.”

“Hahaha, bener oge sih (Benar juga sih).”

Ok, sekarang aku akan sedikit mengenalkan keluargaku. Ayahku asli dari Yogyakarta, seorang pensiunan TNI yang alhamdulillah masih diberi kesehatan hingga bisa beraktifitas dengan melakukan bisnis kecil-kecilan dengan teman-temannya, Ibuku adalah mojang Bandung asli dan ibu rumah tangga biasa yang hobi masak dan menyalurkan hobinya itu dengan membuka catering di rumah kami yang berada di Jl. Bima, Padjadjaran-Bandung.

Aku memiliki dua orang kakak laki-laki yaitu Kak Dimas, kakak pertamaku yang telah bekerja di salah satu perusahaan BUMN, telah menikah dan kini tinggal di Semarang. Mas Juang adalah kakak keduaku yang akan meneruskan profesi ayah sebagai anggota TNI yang kini tengah menimba ilmu di Akmil. Yang terakhir Dirga adalah adik bungsuku yang masih duduk di kelas 2 SMAN 2 Bandung.

Itulah pengenalan singkat mengenai anggota keluargaku, lain kali aku akan mengenalkan mereka lebih lanjut lagi, tapi untuk sekarang aku sedang bersemangat untuk mengenalkan sang Sersan kepada kalian semua hehehe.

Ngomong-ngomong tentang sang Sersan, dia itu sangat irit kalau berbicara, kayanya kalau ga penting-penting banget dia malas untuk ngomong. Selama hampir seminggu di Ciwidey, mungkin pengalaman tadi adalah ngobrol kami yang paling lama. Biasanya dia hanya akan memanggilku ketika ada perlu saja, seperti…

“Za, bisa minta air minum untuk yang berada di lokasi! Terimakasih.” Dia langsung pergi tanpa menunggu jawabanku.

“Za, bisa minta tolong ambilkan kotak P3K! Terimakasih.” Dia langsung pergi tanpa mengatakan kemana aku harus membawa kotak P3K itu, alhasil aku harus berkeliling mencarinya dan akhirnya bisa menemukannya di bawah pohon jambu tengah menolong seorang anak yang jatuh dari pohon, untung saja lukanya tidak parah.

“Za, bisa minggir sedikit! Terimakasih.” Dan seperti biasa dia langsung pergi setelah aku bergeser memberinya jalan untuk keluar dari tenda tempat para pengungsi.

Tapi itu membuatku semakin merasa penasaran padanya, disela kesibukanku menjadi relawan aku akan mencari keberadaan sosok berbadan tinggi tegap dengan kulit coklat terbakar matahari itu, dan diam-diam aku akan tersenyum ketika melihatnya walau hanya sekilas. Selama ini dia lebih banyak berada di lokasi longsor sedangkan aku berada di tempat pengungsian terutama dapur umum karena tugasku sebagai seksi konsumsi.

Tapi ketika waktunya untuk makan siang atau sore ketika tim SAR, anggota TNI dan para relawan kembali ke tempat pengungsian untuk makan dan beristirahat. Pada saat itulah aku akan diam-diam mencari sosoknya, seperti saat ini ketika semua orang telah kembali untuk makan siang, tapi aku tak menemukan sosoknya dimana-pun.

“Semua sudah balik ke sini kan, Bang?” tanyaku kepada Bang Kamal, koordinator lapangan yang bertugas untuk bencana kali ini.

“Belum, beberapa anggota tim SAR dan anggota TNI masih pada di lokasi, ngurusin mayat yang baru ketemu,” jawab Bang Kamal sambil menyuap nasinya sesendok penuh, “Kenapa emang?”

“Engga, cuma nanya aja takut makanannya habis, kan kasihan kalau ada yang gak kebagian.” Aku mencari alasan yang untung saja Bang Kamal sepertinya memercayai alasanku.

“Ini hari terakhir kita di sini, besok tim 2 bakalan datang buat gantiin, jadi hari ini kita harus beresin kerjaan sebisa mungkin biar mereka ga keteteran nanti.”

Antara terkejut, bahagia karena bisa pulang ke rumah tapi juga kecewa karena itu artinya aku tak bisa lagi melihat sang Sersan, aku hanya pura-pura tersenyum sambil mengangguk mengerti.

Seharian itu aku tak melihat sang Sersan kembali ke camp pengungsian, sampai pada malam hari setelah aku selesai sholat isya, aku melihatnya sekilas dengan tanah yang telah mengering melekat di tubuh dan pakaiannya. Dengan cepat aku melipat mukenaku lalu keluar dari tenda yang berfungsi sebagai mushola dadakan itu, tapi terlambat aku telah kehilangan jejaknya.

*****

Haiii... cerita baru, nuansa dan suasana baru, mudah-mudahan semua suka ya 😍💗A.K💗

Terpopuler

Comments

Fitri Handayani

Fitri Handayani

di baca lagi untuk kesekian kalinya saking bagusnya semua novel mbak autor alana

2024-09-04

2

Nurhayati Hafidz

Nurhayati Hafidz

sukaaaaa

2024-08-12

0

Iva Rahmawan

Iva Rahmawan

Kangen sama Novel2 Tante author,...
Jadi ku baca Ulang,...

2024-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!