Bab 5

Aku kembali memakai celana training di balik gaunku yang cantik, tapi kali ini aku memakainya di dalam mobil Mira, tadinya Mira mau mengantarkanku pulang tapi aku menolaknya karena gak enak sama Arga. Bagaimana bisa aku pulang naik mobil Mira sedangkan Arga yang memang sengaja datang untuk menemaniku harus pulang sendiri naik motornya. Setelah pamit sama yang lainnya, aku dan Arga-pun mulai meninggalkan gedung Bhayangkara.

“Jadi dia benaran gak datang?” tanya Arga sedikit berteriak karena suaranya teredam suara mesin kendaraan yang lalu lalang sekitar kami.

“Engga, kata Bang Eddy lagi tugas keluar.”

Arga mengangguk mengerti.

“Terus?” tanya Arga lagi membuatku mengangkat alis bingung.

“Terus apa?”

“Terus apa yang bikin nyengir dari tadi?”

“Hehehe..” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Arga yang menghentikan motornya karena lampu merah di perempatan patung Husein.

“Bang Eddy ngasih no telepon aku ke Mas Letnan, katanya nanti dia bakal ngehubungin aku.”

“Oooh.” Arga mengangguk-angguk mengerti, “Tapi jangan terlalu berharap, tar malah sakit hati,” lanjut Arga sambil kembali melajukan motornya.

“Memangnya kenapa?”

“Kan dianya lagi tugas di luar jadi pasti sibuk, apalagi kalau tugas ke luar negri ada perbedaan waktu di sini sama sana.”

Aku terdiam baru menyadari hal itu.

“Memang tugas luarnya kemana?”

“Gak tahu, Bang Eddy cuma bilang tugas ke luar.”

“Kalau masih yang deket seputaran Asia perbedaan waktunya gak bakalan terlalu jauh, nah kalau ternyata tugasnya di Eropa, Amerika atau Afrika kan jauh bedanya. Jadi mendingan jangan terlalu berharap daripada kecewa nanti.”

Arga membelokan motornya masuk ke Jl. Baladewa, yang artinya sebentar lagi sampai di rumahku di Jl. Bima.

“Mendingan sekarang fokus sama yang depan mata aja.”

“Siapa?”

“Itu Bang Kamal sama Rendy kayanya masih suka sama kamu, dari tadi ngeliatin terus. Atau sama si Dude anak Management yang sudah ngejar-ngejar kamu dari semester pertama.”

“Enggak, ah!” teriakku di telinga Arga.

“Kenapa? Mereka juga baik kok.”

Kami telah berbelok ke Jl. Bima.

“Iya, cuma akunya aja yang gak mau.”

Arga menghentikan motornya di depan rumah, aku turun membuka helm lalu menyerahkannya kepada Arga yang masih menatapku di atas motor.

“LDR-an itu berat, apa lagi sama orang yang belum begitu kita kenal.”

“Iya, tapi kalau harus maksain pacaran sama orang yang gak kita suka juga buat apa?”

Arga mengangguk setuju.

“Ya sudah, pokoknya jangan terlalu berharap tinggi-tinggi nanti jatuhnya sakit.”

“Iya… gak masuk dulu, Ga?”

“Engga, mau nonton sama Wina.” Arga tersenyum lebar sambil bersiap-siap pergi.

“Ckk… pacaran aja terus.”

“Biarin… udah ah, pamitin sama Ibu ya… assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Aku berdiri di luar pagar sampai akhirnya motor Arga semakin menjauh sebelum masuk melintasi halaman rumahku yang cukup luas, tipe rumah-rumah zaman dulu. Bangunan rumah kami memang sudah direnovasi tapi masih memertahankan bentuk bangunannya seperti dulu. Dari luar mungkin masih terlihat seperti bangunan zaman dulu yang asri dan terkesan sejuk, tapi bagian dalam akan terasa lebih modern dengan nuansa minimalis tapi juga kental dengan pernak-pernik tradisional koleksi Ayah.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Terdengar suara ibu dan Dirga menjawab salamku dari arah dapur.

“Kok, cepet, Key?”

“Di Bhayangkara kok, Bu, undangannya.” Jawabku sambil mengambil minum di dalam kulkas. Jarak dari rumah ke gedung Bhayangkara memang hanya membutuhkan waktu 10 menitan kalau naik motor dan gak macet.

“Di bungkus gak, Kak, makanannya?” tanya Dirga dengan mulut penuh dengan bolu keju yang baru ibu bikin.

“Emang warteg.”

Dirga hanya nyengir sambil kembali mengambil potongan bolu keju.

“Tadi menunya apa saja? Enak-enak gak?”

Seperti biasa ibu selalu penasaran dengan menu-menu di resepsi, katanya buat referensi dalam membuat menu baru, biar tidak ketinggalan sama catering lainnya.

“Biasa saja, Kekey cuma makan sate ayamnya, malas ngantrinya panjang.” Padahal bukan soal ngantrinya yang bikin malas tapi tadi aku lebih bersemangat mencari sang Letnan yang bahkan tidak datang.

“Yaah, coba kamu lihatin siapa tahu ada menu baru yang ibu belum tahu.”

“Dirga tahu, Bu, menu yang belum Ibu tahu.”

“Apa?” ibu bertanya dengan semangat sambil menatap Dirga yang tengah menelan bolunya.

“Ayam ngumpet!” jawab Dirga dengan serius membuat ibu mengerutkan alisnya berpikir.

“Ayam ngumpet? Apaan tuh? Rasanya gimana? Enak gak?”

“Nah itu, Bu, Dirga juga gak tahu soalnya ayamnya ngumpet pas mau dimasak,” jawab Dirga dengan wajah polos tak berdosa, membuatku langsung tertawa sambil berjalan menuju kamar, dari arah dapur terdengar Dirga mengaduh yang artinya ibu telah berhasil mencubitnya.

Aku telah berganti pakaian dengan celana pendek dan kaos longgar, pakaian rumah yang paling nyaman menurutku. Sambil tiduran di atas kasur aku melihat ponselku dengan senyum lebar membayangkan ada pesan yang masuk dari sang Letnan. Tapi kemudian menaruhnya di atas meja setelah menyalakan MP3-nya ketika mengingat ucapan Arga yang sebagian besar benar.

Suara merdu Adele yang menyanyikan lagu Hallo mulai mengisi kamarku siang itu. Pikiranku melayang pada ucapan Arga tentang Bang Kamal dan Rendy yang katanya masih menyukaiku. Salah satu kelemahanku yaitu tidak pernah menyadari kalau ada laki-laki yang menyukaiku, apalagi kalau itu adalah temanku sendiri.

Dulu aku mengetahui itu dari Mira. Awalnya perhatian mereka aku anggap sebagai perhatian antar teman sampai akhirnya Mira memberitahuku kalau mereka berdua sebenarnya memiliki perasaan lebih, setelah itu aku barulah menyadari kalau perhatian mereka memang lebih daripada yang lain. Tapi aku tak ingin merusak pertemanku jadi perlahan aku akan menarik garis batas dengan mereka dan menyakinkan mereka kalau aku hanya menganggap mereka teman tidak lebih dari itu.

Begitu juga di kampus biasanya kalau ada yang mengodaku, aku hanya akan terus berjalan tanpa menolehkan kepala itulah kenapa aku terkenal judes. Padahal bukan karena itu, aku ini lumayan pemalu dan sedikit introvert, aku tak nyaman berada di antara orang-orang yang belum aku kenal, aku lebih menyukai sendiri di keheningan daripada berada di antara suasana yang hingar bingar.

Dan di OASIS ini-lah aku belajar untuk bersosialisai dengan orang dan lingkungan baru, perlahan rasa percaya diriku tumbuh walaupun kadang masih canggung, tapi sekarang sudah jauh lebih baik daripada dulu.

Siang itu aku tertidur dengan harapan ketika bangun nanti akan ada pesan yang masuk dari sang Letnan. Tapi hal itu tak kunjung datang, hari berganti tapi jangankan panggilan masuk, pesan-pun tak ada. Setiap ponselku berbunyi dengan semangat 45 aku langsung mengangkatnya tapi semua panggilan dan pesan itu bukan dari seseorang yang aku tunggu.

Hampir satu bulan semenjak pernikahan Bang Eddy, dan aku-pun telah menyerah dengan sang Letnan. Seperti yang dikatakan Arga aku berusaha melupakannya dan hampir berhasil melupakannya ketika pada hari rabu jam 11 malam, saat itu aku bersiap untuk tidur ketika ponselku berbunyi manandakan ada pesan yang masuk.

Dengan malas aku membukanya, tapi tiba-tiba aku melonjak terduduk di atas tempat tidur, mataku seolah mau keluar melihat isi pesan singkat di layar ponsel karena tak percaya dengan apa yang aku baca. Aku bahkan membacanya berulang-ulang, tapi isi pesan itu masih sama.

Assalamu’alaikum… apa kabar, Za?

Za! Di sana tertulis, Za! Dan hanya ada satu orang yang memanggilku seperti itu… sang Letnan.

*****

Terpopuler

Comments

sakura🇵🇸

sakura🇵🇸

namanya hati ya...kadang emang memilih yg masih abu2 bahkan blm kelihatan samsek hilalalnya,padahal ada yg dekat dan pasti tp malah g mau lihat🤭

2025-04-15

0

Dwi Sasi

Dwi Sasi

Deg2an

2022-11-23

0

ida

ida

gak gak

2022-10-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!