“Kamu gak minum kopi, Key?”
Aku sedikit tersentak kaget mendengar pertanyaan Bang Eddy yang membuatku kembali dari menikmati alam mimpi.
“Tidak, Bang, lambung Kekey gak kuat.” Aku menjawab pertanyaan Bang Eddy yang mengangguk mengerti. Aaah untung saja suaraku masih terdengar normal, kalau tidak… itu akan sangat memalukan.
“Pak Karyo sudah lama bergabung dengan tim SAR?” sang Sersan bertanya sambil menyeruput kopinya.
“15 tahunan.”
“Wah, sudah lama banget dong, Pak.” Yudi menimpali yang mendapat anggukan dari Pak Karyo.
“Iya, dari saya masih seumuran sama kalian ini-lah, masih 20an.”
“Sudah kemana saja, Pak?” Teh Vita terlihat penasaran dengan kisah Pak Karyo.
“Sudah kemana-mana, hehe… dari mulai Aceh, Medan, Kalimantan, Sukabumi, pokoknya sudah banyak.”
“Bapak, ikut bergabung waktu tsunami Aceh?” Aku bertanya dengan penasaran, kedua siku-ku ku tumpukan di paha hingga tubuhku condong.
“Ikut, waktu itu saya masih awal-awal gabung dengan tim SAR dan harus langsung terjun menghadapi bencana besar itu.”
Aku bisa melihat Pak Karyo menerawang mengingat pengalamannya, kemudian membuang napas berat.
“Saya masih ingat bagaimana sebuah kota hancur hanya dalam hitungan detik karena alam yang murka. kota hancur, mayat bergelimpangan, mereka yang selamat bahkan seolah hanya sebuah tubuh kosong tanpa jiwa. Bagaimana mungkin mereka bisa normal ketika harus kehilangan keluarga, sahabat dan kerabat yang tak diketahui keberadaannya. Tsunami Aceh itu bukan hanya bencana nasional tapi jadi bencana dunia, bukan hanya relawan dari dalam negri yang datang tapi relawan dari negara-negara lain-pun datang, saat seperti itulah kita bisa merasakan indahnya saling membantu tanpa melihat latar belakang bangsa, suku dan agama, kami benar-benar bersatu atas nama kemanusiaan.”
Pak Karyo menyeruput kopinya sebelum kembali berkata,
“Sebenarnya besar atau kecil tetaplah namanya bencana bagi para korbannya, mereka kehilangan harta benda dan juga nyawa orang-orang terdekat, jadi kita-kita ini lah yang bekerja di bidang ini harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong mereka, jangan sampai dibeda-bedakan.”
Pak Karyo merupakan contoh segelintir orang yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusian, dan aku sangat menghormati orang seperti beliau-beliau ini. Mereka rela jauh dari keluarga bahkan rela berkorban nyawa demi menolong orang lain, mungkin bagi ku beliau-beliau ini merupakan salah satu contoh pahlawan di zaman sekarang. Semoga Allah senantiasa memberi kesehatan, keselamatan dan kebahagian bagi mereka semua, aamiin.
“Singkongnya mateng nih!”
Agus mengeluarkan singkong yang tadi mereka kubur di dalam bara api membuat kami semua kembali bersorak senang. Sang Sersan maju untuk mengambil singkong lalu kembali duduk di sampingku. Sambil meniupinya karena masih panas ia membelah singkong bakar itu menjadi dua bagian lalu memberikannya kepadaku satu.
“Hati-hati masih panas.”
Saat itu aku tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk sambil menerimanya, diam-diam aku tersenyum menatap singkong di tanganku seolah itu adalah benda paling berharga. Dan percayalah itu adalah singkong paling enak yang pernah kumakan!
Malam itu kami berkumpul sampai larut malam, menikmati singkong bakar di temani bergelas-gelas kopi hitam, saling bertukar kisah pengalaman hidup masing-masing dan diselingi gelak tawa.
Itulah malam terakhirku di Ciwidey, duduk di samping sang Sersan. Sesekali aku akan mencuri pandang ke arahnya dan berusaha menyimpannya dalam hati. Bisa duduk sedekat ini, melihat sedekat ini dan mendengar tawanya adalah hadiah yang ku dapatkan di akhir hariku sebagai relawan saat itu, sebelum akhirnya pagi menjemput dan aku-pun kembali ke Bandung tanpa bertemu lagi dengan sang Sersan walau hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.
****
Kejadian di Ciwidey itu terjadi pada bulan Agustus 2013, dan sekarang adalah bulan April 2014 yang artinya hampir 1 tahun setelah pertemuanku dengan sang Sersan, seorang pria yang memberikanku kesan mendalam bahkan sampai sekarang.
Memang hampir tidak ada kenangan khusus yang terjadi antara kami berdua saat itu, tapi entahlah setiap aku melihat seseorang memakai seragam tentara tubuhku langsung bereaksi berlebihan dengan berharap kalau itu adalah sang Sersan. Ketika aku melihat kumpulan para tentara aku akan mencari sosoknya berharap dia akan berada di sana, tapi semua sia-sia karena aku tak pernah bertemu lagi dengannya.
Suatu hari kesempatan itu datang ketika tanpa sengaja aku dan Mira bertemu dengan Bang Eddy di Istana Plaza (IP), sebuah mall yang berada di antara perempatan Jl. Padjadjaran dan Jl. Pasir Kaliki, tak jauh dari rumahku.
“Kaya Bang Eddy.” Mira berkata sambil menatap sekumpulan pria yang tengah duduk di food court.
“Mana?”Aku ikut melihat ke arah Mira menatap.
“Itu, yang pake kemeja kotak-kotak.”
“Bener, Mir, Bang Eddy!”
“Ke sana, yuk.”
“Lagi sama temen-temennya, Mir, gak enak.”
“Bentar, cuma nyapa doang siapa tahu ada Mas Yudha, ayo bentar doang!”
Mira menarik tanganku menuju meja di mana Bang Eddy terlihat sedang tertawa bersama teman-temannya. Dengan jantung yang berdebar kencang karena berharap sang Sersan ada di sana duduk di antara teman-teman Bang Eddy, aku pun pasrah mengikuti Mira.
“Permisi, Bang Eddy ya?” sapa Mira menarik perhatian enam pria di meja itu.
“Mira? Kekey?” Bang Eddy terlihat kaget sekaligus gembira melihat kami.
“Iya, Bang, ini Mira sama Kekey.”
“Ya ampun, apa kabar kalian?” tanya Bang Eddy sambil berdiri menyalami kami berdua.
“Alhamdulillah baik, Bang. Bang Eddy apa kabar?” Aku balik bertanya sambil menyalaminya.
“Baik… duduk dulu yuk!” ajak bang Eddy sambil menarik kursi yang ada di meja sebelah.
“Gak usah, Bang, kita cuma mau nyapa aja.”
“Siapa tuh, Bang, kenalin dong!"
“Tuh, pada minta dikenalin, mau ya Abang kenalin sama jomblo-jomblo ngenes kaya mereka?”
Aku dan Mira hanya tersenyum mendengar pertanyaan Bang Eddy.
“Ini Mira, dan ini Kekey, mereka berdua ini relawan waktu di Ciwidey.”
“Wah, kalau tahu ada relawan cantik kaya mereka, ikut deh kemarin.”
Kami hanya tersenyum mendengar godaan-godaan dari teman-teman Bang Eddy, ada yang bertanya sudah punya pacar belum? Sampai ada yang minta no telepon segala. Jujur saja, aku bahkan tak begitu menghiraukan itu semua karena aku sibuk mencari sosok sang Sersan, tapi aku tak melihatnya di sana, dan seketika perasaan kecewa menderaku.
“Duduk dulu yuk bentar, kebetulan ada sesuatu yang mau Abang titipin buat teman-teman yang lain.”
Aku dan Mira saling pandang kemudian mengangguk setuju dan akhirnya ikut duduk bergabung bersama mereka.
“Kalian lagi jalan-jalan?”
“Iya, Bang, baru pulang kuliah terus ke gramedia nyari buku,” jawab Mira mendapat anggukan Bang Eddy.
“Yang lain apa kabarnya? Abang lupa minta no telepon jadi kita benar-benar hilang kontak deh. Maklum kondisi saat itu boro-boro inget minta no telepon, tahu sendiri kondisinya seperti apakan?”
Kami mengangguk mengerti.
“Alhamdulillah pada baik semua, Bang. Yang lain apa kabar, Bang?”
“Yang lain? Jujur saja Abang gak tahu kabar yang lain karena kita ditugaskan di tempat beda-beda, paling cuma beberapa yang masih tugas bareng dan Alhamdulillah mereka semua baik-baik saja.”
“Kalau Mas Yudha?” Mira bertanya membuat Bang Eddy tertawa.
“Oh, jadi yang ditanyain Yudha, bilang dong dari tadi. Siapa nih yang penasaran sama kabar Yudha? Mira atau Kekey?”
“Berdua, Bang.” Bang Eddy kembali tertawa sedangkan aku hanya bisa tersenyum malu.
“Yudha, baik-baik saja, baru naik pangkat dia.”
Rasa bangga menyeruak kepermukaan membuatku tersenyum lebar.
“Sudah bukan Sersan lagi?” tanyaku dengan antusias.
“Kata siapa dia Sersan?” Bang Eddy tertawa mendengar pertanyaanku, “kemarin tuh dia sudah jadi Letda, Letnan dua, salah satu lulusan terbaik akmil dia.”
“Letnan?” Aku dan Mira menganga tak percaya.
“Iya, Letnan,” jawab Bang Eddy dengan senyum lebar, “Makanya aku heran kenapa waktu itu kalian memanggilnya Mas Sersan.”
“Kekey kira masih Sersan, Bang, soalnya masih muda.”
“Iya, pikiran Mira kalau Letnan itu dah Bapak-Bapak.”
Bang Eddy kembali tertawa, “Maksudnya dah tua macam Bang Eddy?”
“Bukan, Bang, hahaha… maksudnya, waktu Ayah Kekey jadi Letnan, Ayah sudah punya anak 3, kalau Mas Yudha kan masih muda.”
“Oh, Ayah Kekey orang angkatan juga?”
“Iya, Bang, tapi Ayah sudah pensiun.”
Bang Eddy mengangguk mengerti, “Nah kayanya Ayah Kekey dulu lulusan dari Secatam atau Secaba, kalau kita dari akmil jadi langsung Letda ya walaupun Bang Eddy telat masuknya dibanding Yudha hehehe.”
“Oh gitu ya, Bang.” Aku mengangguk mengerti.
“Kamu harusnya tahu, Key, secara Ayah orang angkatan dan Kak Juang kan Taruna akmil.”
Aku hanya bisa nyengir mendengar ucapan Mira, “Hehehe… gak tertarik kalau Ayah sama Kakak-kakak lagi ngobrol soal militer, aku mending kabur… pusing dengernya.”
“Kalau ngobrolin militernya sama Yudha, pasti langsung semangat ya, Key.”
“Hahaha.. benar tuh, Bang.”
Aku tersenyum malu dan ku yakin wajahku sudah memerah.
“Oh, iya tadi mau nitipin apa, Bang?” aku mencoba mengalihkan perhatian Bang Eddy yang sepertinya sudah mulai tahu tentang perasaanku kepada sang Sersan, eh sang Letnan, hehehe.
“Oh iya, hampir lupa.”
Bang Eddy terlihat mencari sesuatu di dalam tasnya.
“Nah! Ini dia, untung masih ada yang kosong satu.” Di tangan Bang Eddy kini telah ada sebuah kartu undangan berwarna krem.
“Ada pulpen gak?”
Aku mengambil pulpen di dalam tasku lalu memberikannya kepada Bang Eddy.
“Nama lembaga kalian tuh OASIS-kan ya?” Bang Eddy bertanya sebelum akhirnya menuliskannya di atas kartu undangan setelah mendapat anggukan dari kami berdua.
“Ini, ajak semuanya ya.”
Aku dan Mira membaca undangan berwarna krem bertuliskan nama Letda Eddy Sinaga dan Renata Chaniago, SE, dengan tinta emas, membuat aku dan Mira menganga dengan mata membulat.
“Bang Eddy mau nikah?”
“Hehehe iya,” jawab Bang Eddy dengan malu-malu.
“Waah! Selamat ya, Bang!” Aku dan Mira tak bisa menutupi kegembiraan kami lagi, kami menyalaminya dengan tulus.
“Makasih, jangan lupa datang ya, ajak yang lain.”
“Insyaallah, Bang, kita semua datang.”
“Mas Yudha diundang gak?” Mira bertanya membuat Bang Eddy tertawa.
“Pastilah diundang, makanya kalian berdua dandan yang cantik ya.”
“Siap!”
Mira menjawab dengan semangat berbeda denganku yang lebih semangat membaca undangan pernikahan Bang Eddy untuk mencari kapan pernikahan itu dilangsungkan, dan itu minggu depan! Yang artinya aku akan bertemu dengan sang Letnan minggu depan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
sakura🇵🇸
singkong bakar arang memang terbaik sih....wanginya nempel sampe ingatan meskipun dah tua🤭
2025-04-13
0
Alea
Aamiin aamiin ya rabbal'alamiin
2023-10-10
0
Dwi Sasi
Asiikk....
2022-11-23
0