NovelToon NovelToon

Pemilik Hati #1

Bab 1

Ini adalah kisah ku dalam mencari cinta sejati.

(Keyza Mahari)

Ciwidey, Agustus 2013.

“Percuma kita sekolah tinggi-tinggi dan pintar kalau ilmu kita tidak bermanfaat bagi orang banyak, percuma kita kaya tapi harta kita hanya kita gunakan untuk berfoya-foya. Lebih baik kita hidup sederhana tapi hidup kita bermanfaat bagi orang lain.”

Itulah perkataan ayah yang membuatku menjadi aktivis kemanusian disela-sela jadwal kuliahku sebagai seorang mahasiswi design interior di salah satu perguruan tinggi yang berada di Bandung. Keyza Maharani, itu nama lengkapku tapi semua orang memanggilku Kekey, kecuali seseorang yang aku temui ketika aku mendatangi salah satu desa di daerah Ciwidey yang mengalami longsor. Dia memanggilku “Za”.

Ketika aku bertanya kenapa tidak memanggilku seperti yang lain, dia malah balik bertanya.

“Apa ada peraturan yang membuat semua orang harus mamanggilmu Kekey?”

Kaget? Iya, saat itu aku hanya bisa menganga kaget mendengar pertanyaannya, ok! Jujur saja aku pikir mungkin dia akan sedikit menggombal seperti pria lain yang akan memberikan jawaban standar yaitu karena itu adalah nama panggilan kesayangan dia untukku, yang tentu saja itu hanya akan membuatku menjauhinya.

“Tidak,” jawabku setelah terdiam beberapa saat.

“Apa aku melanggar hukum kalau memanggilmu dengan panggilan Za?”

Aku kembali mengangkat alis mendengar pertanyaannya, sebelum akhirnya menjawab, “Tidak.”

“Apa kau marah karena aku memanggilmu Za?”

“Tidak, tentu saja tidak.”

“Jadi kau tidak keberatan?”

Aku terdiam menatapnya yang juga menatapku dingin tanpa ekspresi seperti biasanya, “Tidak.”

“Jadi?”

Aku kembali mengangkat alis mataku bingung.

“Jadi…?"

“Jadi kenapa kau bertanya, kenapa aku memanggilmu Za kalau kau sendiri tidak keberatan.”

Ya Allah! Aku benar-benar kehabisan kata-kata saat itu dan ingin sekali mengucek mukanya memakai spon cuci piring, untuk saja dia ganteng kalau tidak sudah ku kucek pake kawat buat nyuci pantat panci! Dia masih menatapku tanpa ekspresi seolah tengah menunggu jawaban. Ok! Aku tak boleh kalah melawan seorang Sersan, ingat aku juga adalah putri seorang pensiunan TNI. Diam-diam aku mengatur napasku sebelum akhirnya kembali menatapnya.

“Apa ada peraturan yang mengatakan kalau aku tidak boleh bertanya kenapa kau memanggilku Za?”

Untuk sesaat aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya mendengar pertanyaan yang ku ajukan sama dengan yang dia tanyakan tadi.

“Tidak.”

“Apa kau keberatan kalau aku bertanya tentang itu?”

“Tidak.”

“Jadi?”

“Jadi…?"

Kini gilirannya yang mengangkat alis dan aku bisa melihat sorot matanya tengah memerlihatkan kalau dia sedang menahan senyum.

“Jadi kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, kalau kau tidak keberatan dengan itu?”

Dia terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaanku.

“Karena tidak ada alasan khusus, bukankah namamu Key-za? jadi ku pikir Za juga merupakan salah satu bagian dari namamu.”

Aku terdiam beberapa saat sebelum akhrinya mengangguk mengerti, dan jawaban itu memang masuk akal.

“Ok, aku mengerti,” ucapku sebelum akhirnya pergi meninggalkannya untuk kembali bergabung di dapur umum mempersiapkan makan siang untuk para pengungsi dan relawan.

“Za!”

Aku menghentikan langkahku ketika ku dengar dia memanggil namaku.

“Jadi, kenapa kau bertanya?”

“Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin bertanya saja,” jawabku santai sambil kembali berjalan.

Hari itu adalah hari ke 4 kami berada di desa Tenjolaya, sebuah desa yang berada di kawasan Pasirjambu, Ciwidey, Bandung, untuk membantu dan menyalurkan bantuan kepada korban longsor di sana. Jujur saja kami sudah sangat lelah secara fisik dan mental, kami hanya tidur 2-3 jam saja setiap harinya karena kondisi yang membuat kami tidak bisa benar-benar beristirahat.

Belum lagi banyaknya korban yang belum ditemukan membuat suasana di sana sarat akan rasa cemas dan juga sedih yang memengaruhi perasaan relawan, yang lama-lama seolah terikat secara emosi dengan para korban. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi, karena relawan juga bertugas untuk menghibur para korban supaya bisa melanjutkan hidup mereka.

“Key, bantuin ibu-ibu motongin sayuran buat bikin sayur asem, yuk!” ajak Mira, salah satu teman relawanku.

“Siap! Yang lain pada kemana?” tanyaku setelah melihat kalau para senior dan teman-tamanku yang lain tidak ada di tenda dapur umum.

“Teh Vita, Kang Pajar, Agus ma Yuni lagi ngajarin anak- anak di kantor Desa, kalau Teh Dian tadi pergi sama Kang Adit nyari gas, buat stok takut habis, Bang Kamal ma yang lainnya sudah pada jalan ke lokasi bantuin tim SAR sama TNI cari korban lainnya.”

Aku mengangguk mengerti, dan kami-pun bergabung bersama beberapa ibu-ibu yang membantu kami menyiapkan makanan. Kami semua duduk di atas tikar plastik dan mulai mengerjakan apa yang bisa kami kerjakan. Terdengar ibu-ibu saling bercerita tentang orang-orang yang belum ditemukan.

“Ya Allah, mudah-mudahan sing enggal kapendak karunya (mudah-mudahan cepet ketemu, kasihan),” ucap ibu-ibu yang memakai daster bunga-bunga warna kuning, aku lupa siapa namanya, yang mendapat sautan amin dari yang lainnya.

“Kamari ceunah tos kapendak deui 12, tapi duka saha wae da rusak mayitna teh (Kemarin katanya sudah ketemu lagi 12, tapi ga tahu siapa aja karena mayatnya sudah rusak).”

“Innalillahi wa innaillahi rojiun, sahanya? (Siapa ya?)”

Itulah segelintir percakapan sehari-hari yang terjadi di tempat pengungsian yang masih membahas tentang para korban yang masih belum ditemukan. Longsor kali ini terjadi pada pagi hari ketika semua warga baru terjaga dan bersiap-siap untuk melakukan aktivitas mereka ketika terdengar suara seperti gemuruh sebelum akhirnya bukit itu ambruk meluncur menimbun 30 rumah dan 60 jiwa yang berada di lereng bukit.

Warga yang mulai curiga langsung berhamburan menyelamatkan jiwa mereka, tapi sayang beberapa dari mereka terlambat untuk menyelamatkan diri yang akhirnya terkubur di dalam tanah dalam keadaaan hidup-hidup. Sebelum terjadinya bencana, desa itu merupakan perkebunan teh yang sangat cantik, tempat warga sekitar mencari nafkah dengan bekerja sebagai pemetik teh.

“Key, tadi aku lihat kamu ngobrol ma Mas Yudha ya?” Mira bertanya dengan penasaran, aku bisa melihat senyum jahil menghiasi wajahnya. Tapi sebenarnya aku bisa tahu kalau Mira berusaha mengalihkan perhatian ibu-ibu supaya sebentar saja melupakan tentang tragedi yang menimpa mereka.

“Ga ngobrol, cuma nanya aja.”

“Nanya apaan? Itu mah paling modus kamu aja biar bisa ngobrol ma dia.”

“Apaan sih, Mir, aku tuh tadi ketemu sama dia di jalan pas mau ke sini, karena canggung ya udah aku iseng-iseng aja nanya.”

“Nanya apa dia sudah punya pacar atau belum?”

“Engga ih, malu-maluin aja.”

“Ciee, malu padahal mah mau.”

“Apan sih, engga ah, orangnya judes gitu.”

“Lah! Gak sadar apa kalau kamu juga judes .” Mira tertawa membuat ibu-ibu kini mulai tertarik dengan pembicaraan kami.

“Mas Yudha yang ganteng itu ya, Neng?” tanya Bu Aan penasaran.

“Iya, Bu, yang ganteng kaya artis itu.” Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Mira.

“Wah kalau itu mah atuh, Neng, Ibu juga suka.”

“Tuh, Key, saingan ma Bu Aan.”

Suara tawa mulai terdegar dari mulut ibu-ibu dan itu membuatku sedikit lega.

“Yah, kalau saingan sama Neng Kekey mah, ibu ngakalah aja.”

“Bukan ngalah Bi Aan mah tapi takut sama Mang Aep.”

“Tah eta, benar, Cu (Nah itu bener, Cu) gawat atuh kalau si Bapak ngambek, moal kabagean jatah engke (gak bakal kebagian jatah entar).”

Kami kembali tertawa mendengar ucapan Bu Aan, itulah ibu-ibu dalam kondisi apapun kalau soal ngobrol tetap juaranya. Apa lagi menyangut hal-hal seperti ini membuat mereka semakin menjadi. Aku dan Mira perlahan pergi meninggalkan perkumpulan ibu-ibu yang kini pembicaraannya semakin menjurus dengan tawa mengiringi pembicaraan mereka. Kami saling pandang sambil tersenyum lega karena untuk beberapa saat mereka akan melupakan rasa sedih dan kehilangannya.

“Jadi, tadi nanya apaan?” sepertinya Mira masih penasaran dengan pertanyaannya tadi.

“Gak ada yang penting, aku hanya nanya kenapa dia memanggilku Za bukan Kekey kaya yang lainya,” jawabku sambil memasukan potongan ikan asin ke dalam minyak panas. Menu makan siang kali ini adalah, ikan asin, sayur asem, sambel sama goreng tempe, nikmat kan? Hehehe.

“Terus apa katanya?”

“Katanya ga apa-apa, karena namaku kan Key-Za.”

Mira tertawa mendengarku.

“Dia bener sih.”

“Emang.”

“Suka ya, Key, sama dia?”

“Enggalah, Mir.”

Aku menjawab tanpa menatap Mira karena takut dia akan mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Ok, awalnya aku tak percaya dengan istilah cinta pada pandangan pertama, tapi sialnya, aku memiliki kelemahan ketika melihat pria berseragam, terutama tentara, mereka akan terlihat dua kali lebih keren dari pada aslinya di mataku.

Begitu juga ketika melihat Sersan Yudha Adipati Pratama (Aaahhh!! Bahkan namanya-pun terdengar keren di telingaku), ketika pertama kali melihatnya ia hanya mengenakan kaos hijau tentara dengan celana loreng khasnya lengkap dengan sepatu both hitam, tubuhnya bersimbah keringat dan kotor oleh lumpur di beberapa bagian. Tapi entah kenapa saat itu ia telihat sangat keren di mataku, mungkin karena ada yang salah dengan mataku atau dengan tipe priaku?

Tentu saja tidak! Itu terbukti ketika sore hari kami bertemu lagi dengan sang Sersan dan saat itu dia baru selesai mandi, para senior dan teman-teman perempuan sesama relawan-pun dibuat menganga dengan mata berbinar menatapnya. Hahaha, itu membuktikan kalau mata dan tipe priaku tidak salah sama sekali.

“Hati-hati, Key, katanya kalau tentara itu playboy, banyak ceweknya karena sering pindah-pindah tugas.”

“Ah, kalau itu mah tergantung orangnya kali, Mir, buktinya tetanggaku aja si Beno yang pengangguran ceweknya banyak, dan Ayah tetap aja setia sama Ibu walaupun Ibu cerewet.”

“Hahaha, bener oge sih (Benar juga sih).”

Ok, sekarang aku akan sedikit mengenalkan keluargaku. Ayahku asli dari Yogyakarta, seorang pensiunan TNI yang alhamdulillah masih diberi kesehatan hingga bisa beraktifitas dengan melakukan bisnis kecil-kecilan dengan teman-temannya, Ibuku adalah mojang Bandung asli dan ibu rumah tangga biasa yang hobi masak dan menyalurkan hobinya itu dengan membuka catering di rumah kami yang berada di Jl. Bima, Padjadjaran-Bandung.

Aku memiliki dua orang kakak laki-laki yaitu Kak Dimas, kakak pertamaku yang telah bekerja di salah satu perusahaan BUMN, telah menikah dan kini tinggal di Semarang. Mas Juang adalah kakak keduaku yang akan meneruskan profesi ayah sebagai anggota TNI yang kini tengah menimba ilmu di Akmil. Yang terakhir Dirga adalah adik bungsuku yang masih duduk di kelas 2 SMAN 2 Bandung.

Itulah pengenalan singkat mengenai anggota keluargaku, lain kali aku akan mengenalkan mereka lebih lanjut lagi, tapi untuk sekarang aku sedang bersemangat untuk mengenalkan sang Sersan kepada kalian semua hehehe.

Ngomong-ngomong tentang sang Sersan, dia itu sangat irit kalau berbicara, kayanya kalau ga penting-penting banget dia malas untuk ngomong. Selama hampir seminggu di Ciwidey, mungkin pengalaman tadi adalah ngobrol kami yang paling lama. Biasanya dia hanya akan memanggilku ketika ada perlu saja, seperti…

“Za, bisa minta air minum untuk yang berada di lokasi! Terimakasih.” Dia langsung pergi tanpa menunggu jawabanku.

“Za, bisa minta tolong ambilkan kotak P3K! Terimakasih.” Dia langsung pergi tanpa mengatakan kemana aku harus membawa kotak P3K itu, alhasil aku harus berkeliling mencarinya dan akhirnya bisa menemukannya di bawah pohon jambu tengah menolong seorang anak yang jatuh dari pohon, untung saja lukanya tidak parah.

“Za, bisa minggir sedikit! Terimakasih.” Dan seperti biasa dia langsung pergi setelah aku bergeser memberinya jalan untuk keluar dari tenda tempat para pengungsi.

Tapi itu membuatku semakin merasa penasaran padanya, disela kesibukanku menjadi relawan aku akan mencari keberadaan sosok berbadan tinggi tegap dengan kulit coklat terbakar matahari itu, dan diam-diam aku akan tersenyum ketika melihatnya walau hanya sekilas. Selama ini dia lebih banyak berada di lokasi longsor sedangkan aku berada di tempat pengungsian terutama dapur umum karena tugasku sebagai seksi konsumsi.

Tapi ketika waktunya untuk makan siang atau sore ketika tim SAR, anggota TNI dan para relawan kembali ke tempat pengungsian untuk makan dan beristirahat. Pada saat itulah aku akan diam-diam mencari sosoknya, seperti saat ini ketika semua orang telah kembali untuk makan siang, tapi aku tak menemukan sosoknya dimana-pun.

“Semua sudah balik ke sini kan, Bang?” tanyaku kepada Bang Kamal, koordinator lapangan yang bertugas untuk bencana kali ini.

“Belum, beberapa anggota tim SAR dan anggota TNI masih pada di lokasi, ngurusin mayat yang baru ketemu,” jawab Bang Kamal sambil menyuap nasinya sesendok penuh, “Kenapa emang?”

“Engga, cuma nanya aja takut makanannya habis, kan kasihan kalau ada yang gak kebagian.” Aku mencari alasan yang untung saja Bang Kamal sepertinya memercayai alasanku.

“Ini hari terakhir kita di sini, besok tim 2 bakalan datang buat gantiin, jadi hari ini kita harus beresin kerjaan sebisa mungkin biar mereka ga keteteran nanti.”

Antara terkejut, bahagia karena bisa pulang ke rumah tapi juga kecewa karena itu artinya aku tak bisa lagi melihat sang Sersan, aku hanya pura-pura tersenyum sambil mengangguk mengerti.

Seharian itu aku tak melihat sang Sersan kembali ke camp pengungsian, sampai pada malam hari setelah aku selesai sholat isya, aku melihatnya sekilas dengan tanah yang telah mengering melekat di tubuh dan pakaiannya. Dengan cepat aku melipat mukenaku lalu keluar dari tenda yang berfungsi sebagai mushola dadakan itu, tapi terlambat aku telah kehilangan jejaknya.

*****

Haiii... cerita baru, nuansa dan suasana baru, mudah-mudahan semua suka ya 😍💗A.K💗

Bab 2

Dengan gontai aku berjalan menuju kerumanan teman-temanku, beberapa tim SAR dan TNI ikut bergabung di sana mengitari api unggun yang sengaja dibuat untuk menghangatkan tubuh dari cuaca dingin pegunungan yang menusuk sampai tulang.

“Sini, Key, Mira mana?” tanya Teh Devi sambil menggeser duduknya di atas potongan pohon mahoni yang tumbang.

“Masih di Mushola sama Yuni,” jawabku setelah duduk di samping Teh Devi, seniorku di Yayasan OASIS, tempat aku dan relawan lainnya bernaung selama ini.

“Si Agus kamana? (Agus kemana?)” tanya Kang Adit sambil celingukan mencari Agus.

“Pergi ma si Cepi, nyari singkong buat dibakar katanya,” jawab Fadhil temanku asal Pelambang.

Kang Adit hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala mendengarnya.

“Barang-barang yang buat dibawa pulang besok pada sudah diberesinkan?”

“Sudah Kang,” jawab kami serempak membuat Kang Adit mengangguk puas.

“Kalian jadi pulang besok?” tanya Pak Karyo, salah satu anggota tim SAR yang sudah kami kenal.

“Iya, Pak, tapi tak usah khawatir besok akan ada teman-teman pengganti yang akan membantu di sini,” jawab Kang Adit yang mendapat anggukan dari Pak Karyo.

“Kalian semua masih pada kuliah?”

“Iya, Pak, tapi ada juga yang sudah lulus, tapi sebagian sekarang sudah pada kerja jadi ga bisa turun ke lapangan lagi, paling jadi pembimbing dan donator saja.”

“Kalian itu hebat, masih muda tapi sudah peduli dan mau jadi relawan seperti sekarang.”

“Kalau bukan kita-kita yang muda siapa lagi, Pak, kita inilah generasi penarus.”

“Kalian benar, tapi kebanyakan anak muda zaman sekarang itu sepertinya lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong di mall atau internetan. Tapi kalian, lebih suka kedinginan, kurang tidur, kurang makan, untuk menolong orang lain.”

“Kalau itu sudah panggilan jiwa, Pak, seperti Pak Karyo, Mas Mul, Kang Dedi yang lebih memilih bekerja sebagai tim SAR daripada bekerja kantoran, bukankah menjadi anggota tim SAR lebih beresiko daripada bekerja di kantor? Apa lagi tentara harus siap bertarung nyawa, tapi karena sudah panggilan jiwa, ya susah.”

“Bener tuh, Key, tumben pinter,” ucap Kang Adit membuat kami tertawa.

“Baru minum vitamin, Kang, jadi masih encer otaknya, ga tau kalau beberapa menit lagi kayanya mulai beku lagi, kedinginan soalnya.”

“Hahaha… kurang ajar.” Aku memukul lengan Rendy yang kebetulan duduk di sampingku.

“Mas Yudha! Sini, Mas!”

Seketika aku langsung terdiam membeku ketika ku dengar Kang Adit memanggil nama sang Sersan. Perlahan aku mengalihkan pandanganku ke arah langkah seseorang yang semakin mendekat, dan di sanalah sang sersan berdiri berbalut jaket army dan celana jeans biru tua, dia terlihat baru selesai mandi terlihat dari rambutnya yang masih basah. Apa dia tidak kedinginan? Air di sini pada siang hari saja sudah seperti air es apalagi malam-malam kaya gini.

“Sini, Yud!” Bang Eddy, sesama anggota TNI menepuk tempat di sampingnya, dan sang Sersan langsung duduk di sana.

“Lagi pada ngobrolin apa?” tanyanya sambil menatap sekeliling.

“Ini, mereka besok bakalan balik ke Bandung,” jawab Bang Eddy, dan seketika matanya langsung menatapku yang juga tengah menatapnya.

Deg! Sial! Jantungku berdetak hebat hanya karena mata kami saling pandang, dan sialnya lagi, warna merah api dari api unggun malah membuatnya telihat sangat manly. Masyaallah, Makhluk ciptaan Allah yang satu ini memang luar biasa.

“Jadi, kalian besok pulang ke Bandung?”

“Iya, Mas, besok akan ada tim yang gantiin kami.”

Sang Sersan menganggukkan kepala mengerti, sedangkan aku masih belum bisa bereaksi apa-apa selain memainkan api di hadapanku menggunakan batang kayu.

“Makasih, sudah membantu kami beberapa hari ini.”

“Sama-sama, Mas.”

“Mas Yudha sudah makan belum?”

Aku menantap Mira yang baru saja ikut bergabung dengan kami dan kini telah duduk di samping Kang adit. Aah.. andai aku seberani Mira, aku pasti sudah bertanya dari tadi! Dengan sedikit kesal aku menusukan kayu ke dalam bara api.

“Kok, yang ditanya cuma Yudha doang, Mir,” protes Bang Eddy sambil tersenyum jahil.

“Bang Eddy-kan tadi sudah makan, kalau Mas Yudha kan baru datang jadi pasti belum makankan, Mas? Mau dibikinin Indomie gak?”

“Awas, Mas, modus tuh, ujung-ujungnya pasti minta no telepon.”

Semua orang tertawa menggoda Mira, dan aku hanya bisa tertunduk sambil kembali menusukkan kayu yang aku pegang ke dalam api dengan sedikit bertenaga.

“Ih, jangan dengerin Kang Adit, Mas, tapi kalau mau ngasih no telepon sih ga apa-apa, Mas, ikhlas Mira mah.”

Semua orang kembali tertawa dan aku samakin bersemangat membakar kayu yang aku pegang dengan kesal.

“Makasih, Mir, tapi gak usah, masih kenyang.”

“Dari siang belum makan kok bisa kenyang.”

Aku berkata pelan tanpa mengalihkan tatapanku dari kayu-kayu yang berderak terbakar api, tapi rupanya perkataanku tidak sepelan yang ku kira, buktinya semua orang kini menatapku dengan senyum menggoda. Dengan bingung aku balik menatap semuanya.

“Ciee… rupanya ada yang diam-diam merhatiin, sampai tahu belum makan siang,” ucap Teh Devi membuat semua orang kini ikut menggoda.

“Ih, engga! Tadikan Kekey nanya Bang Kamal, siapa yang tidak pulang makan siang? Trus Bang Kamal ngasih tahu siapa-siapa saja yang gak makan siang.”

“Oooooh…”

Ya Allah… untung aja gelap trus depan api jadi aku rasa wajah merahku tak akan terlihat jelas, dan aku masih bisa melihat senyuman menggoda semua orang.

“Tadi siang Bu Lurah datang bawa makanan, jadi tadi aku makan di lokasi sama yang lainnya.”

“Tuh, Key, Mas Sersan-nya sudah makan siang, jadi kamu bisa tenang.”

Aku melotot ke arah Mira yang hanya nyengir kaya kuda.

“Kalau gak keberatan… kopi aja deh kopi.”

“Nah! Benar, kopi mantap tuh!” seru Pak Karyo yang mendapat sautan setuju dari yang lainnya.

“Oh… pada mau kopi, ya? Siap! Tar, kita bikinin kopi yang enak.”

“Bawa aja termos sama kopinya ke sini, Mir, biar ga ribet bawanya,” ucap Teh Devi yang dapat anggukan mengerti dari Mira.

“Yuk, Key, bantuin bawanya!”

Aku berdiri dan mulai berjalan menuju dapur umum dengan tangan saling berangkulan menguragi rasa dingin.

“Bayangin saja kalau yang merangkul tanganmu sekarang ini, Mas Sersan.”

“Ih, apaan sih, Mir!” Aku tertawa sambil membayangkan kalau yang dikatakan Mira itu menjadi kenyataan, aku yakin malam ini tiba-tiba akan penuh dengan bintang.

“Ini kesempatan terakhir, Key, sebelum besok pulang ke Bandung, kamu ga mau minta no telepon-nya apa?”

Aku terdiam beberapa saat, tanganku semakin merangkul erat lengan Mira.

“Engga ah, malu.”

“Gak usah malu daripada tar nyesel, apa mau aku yang mintain?”

Jujur saja hatiku sedikit tergoda untuk menjawab iya, tapi entah kenapa mulutku rasanya berat untuk mengatakan itu. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.

“Gak usah, Mir.”

“Yakin nih gak usah.”

“Ragu,” jawabku jujur membuat Mira tertawa.

“Ah kamu mah dasar, mintain jangan nih?”

“Ga usah.” Akhirnya aku bisa berkata dengan yakin membuat Mira menatapku sebelum akhirnya tersenyum mengerti.

Kami kembali ke api unggun dengan tangan menenteng plastik berisi gelas plastik dan kopi instan, sedangkan Mira membawa termos berisi air panas. Ketika kami datang mereka tengah tertawa mendengar cerita Agus. Temanku yang satu itu mamang paling pintar mencairkan suasana. Aku, Mira dan Yuni mulai menyeduh kopi untuk semunya. Agus, Kang Adit, dan Yudi terlihat sedang mengubur singkong di dalam bara api.

“Jadi, Agus asli Cililin?” tanya Mas Mul.

“Iya, Mas.”

“Bandung coret, Mas,” kata Rendy sambil tertawa.

“Ulah salah (jangan salah) Cililin sekarang dah rame, dah punya mall.”

“Mall naon, Gus, molor meureun,” kata Kang Adit membuat kami tertawa, molor itu adalah pelesetan yang biasa orang sunda gunakan untuk mall yang artinya tidur.

“Ih! Ini mah aslina seriusan (Ini beneran serius) namanya tuh Ci-mol..Cililin mall.”

Kami semua kembali tertawa mendengar nama mall yang seperti jajanan itu, Agus memang paling bisa membuat kami tertawa dengan logat sundanya yang terdengar khas.

“Untung bukan cilok, Gus.”

“Cilok mah atuh Cililin loak, Key.”

Aku tertawa sambil membagikan kopi yang telah siap.

“Tapi kerupuk pedesnya enak tuh, Gus, yang pernah Agus bawa itu.” Aku mengingat kerupuk kecil-kecil panjang sebesar kelilingking dengan rasa gurih pedas yang pernah Agus bawa ketika dia pulang dari kampungnya.

“Oh kerupuk bokser, Kekey mau? Nantilah insyaallah Agus bawain sekarung buat Kekey mah.”

“Bener ya, Gus.”

“Kita gak dibawain, Gus?” protes Yuni.

“Minta saja sama Kekey, kalau bawa dua karung tar Agus di kata-in, eh Nicholas Saputra jualan kerupuk.”

“Hahahaha”

Kami kembali tertawa mendengar Agus yang semakin ngaco, dan tanpa sadar kini aku tengah berdiri di depan sang Sersan dengan kopi di tanganku, dengan masih tertawa kami saling pandang. Deg! Seketika jantungku kembali menggila, dengan berusaha bersikap normal aku meyodorkan gelas plastik berisi kopi yang langsung diterimanya.

“Makasih,” ucapnya dengan senyum lebar masih menghiasi wajah tampannya. Dan itu adalah pertama kalinya aku melihat sang Sersan tertawa seperti itu, Ya Allah! Ganteng banget!!!

“Sama-sama,” jawabku sambil ikut tersenyum. Aku baru akan kembali ke tempat dudukku ketika kulihat tempat itu kini telah di duduki Teh Vita, dan tak ada lagi tempat duduk yang tersedia. Mira dan Yuni kini telah duduk di samping Kang Adit.

“Duduk sini saja, Key.” Bang Eddy menawarkan tempat duduknya. Yang artinya aku akan duduk di samping sang Sersan! Ok, jujur saja ingin sekali aku langsung melompat duduk di sana, tapi tentu saja aku tidak melakukan itu, dengan jantung berdebar kencang aku akhirnya duduk di samping sang Sersan!

Wahai jantungku, bekerja samalah untuk sekali ini jangan sampai sang Sersan mendengar debaranmu yang menggila, dan wajahku bekerja samalah dengan tidak memerah, ok!?

Tapi bagaimana mungkin dadaku tidak berdebar kencang kalau duduk sedekat ini dengan sang Sersan? Karena ternyata bukan hanya jantungku saja yang menggila tapi darahku-pun seolah berdesir setiap kali tanpa sengaja tubuh kami bersenggolan, bahkan hidungku yang minimalis-pun ikut berkontribusi dalam membuat kerja otakku menurun setiap kali mencium wangi parfumnya yang segar dan terasa menyejukan.

*****

Bab 3

“Kamu gak minum kopi, Key?”

Aku sedikit tersentak kaget mendengar pertanyaan Bang Eddy yang membuatku kembali dari menikmati alam mimpi.

“Tidak, Bang, lambung Kekey gak kuat.” Aku menjawab pertanyaan Bang Eddy yang mengangguk mengerti. Aaah untung saja suaraku masih terdengar normal, kalau tidak… itu akan sangat memalukan.

“Pak Karyo sudah lama bergabung dengan tim SAR?” sang Sersan bertanya sambil menyeruput kopinya.

“15 tahunan.”

“Wah, sudah lama banget dong, Pak.” Yudi menimpali yang mendapat anggukan dari Pak Karyo.

“Iya, dari saya masih seumuran sama kalian ini-lah, masih 20an.”

“Sudah kemana saja, Pak?” Teh Vita terlihat penasaran dengan kisah Pak Karyo.

“Sudah kemana-mana, hehe… dari mulai Aceh, Medan, Kalimantan, Sukabumi, pokoknya sudah banyak.”

“Bapak, ikut bergabung waktu tsunami Aceh?” Aku bertanya dengan penasaran, kedua siku-ku ku tumpukan di paha hingga tubuhku condong.

“Ikut, waktu itu saya masih awal-awal gabung dengan tim SAR dan harus langsung terjun menghadapi bencana besar itu.”

Aku bisa melihat Pak Karyo menerawang mengingat pengalamannya, kemudian membuang napas berat.

“Saya masih ingat bagaimana sebuah kota hancur hanya dalam hitungan detik karena alam yang murka. kota hancur, mayat bergelimpangan, mereka yang selamat bahkan seolah hanya sebuah tubuh kosong tanpa jiwa. Bagaimana mungkin mereka bisa normal ketika harus kehilangan keluarga, sahabat dan kerabat yang tak diketahui keberadaannya. Tsunami Aceh itu bukan hanya bencana nasional tapi jadi bencana dunia, bukan hanya relawan dari dalam negri yang datang tapi relawan dari negara-negara lain-pun datang, saat seperti itulah kita bisa merasakan indahnya saling membantu tanpa melihat latar belakang bangsa, suku dan agama, kami benar-benar bersatu atas nama kemanusiaan.”

Pak Karyo menyeruput kopinya sebelum kembali berkata,

“Sebenarnya besar atau kecil tetaplah namanya bencana bagi para korbannya, mereka kehilangan harta benda dan juga nyawa orang-orang terdekat, jadi kita-kita ini lah yang bekerja di bidang ini harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong mereka, jangan sampai dibeda-bedakan.”

Pak Karyo merupakan contoh segelintir orang yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusian, dan aku sangat menghormati orang seperti beliau-beliau ini. Mereka rela jauh dari keluarga bahkan rela berkorban nyawa demi menolong orang lain, mungkin bagi ku beliau-beliau ini merupakan salah satu contoh pahlawan di zaman sekarang. Semoga Allah senantiasa memberi kesehatan, keselamatan dan kebahagian bagi mereka semua, aamiin.

“Singkongnya mateng nih!”

Agus mengeluarkan singkong yang tadi mereka kubur di dalam bara api membuat kami semua kembali bersorak senang. Sang Sersan maju untuk mengambil singkong lalu kembali duduk di sampingku. Sambil meniupinya karena masih panas ia membelah singkong bakar itu menjadi dua bagian lalu memberikannya kepadaku satu.

“Hati-hati masih panas.”

Saat itu aku tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk sambil menerimanya, diam-diam aku tersenyum menatap singkong di tanganku seolah itu adalah benda paling berharga. Dan percayalah itu adalah singkong paling enak yang pernah kumakan!

Malam itu kami berkumpul sampai larut malam, menikmati singkong bakar di temani bergelas-gelas kopi hitam, saling bertukar kisah pengalaman hidup masing-masing dan diselingi gelak tawa.

Itulah malam terakhirku di Ciwidey, duduk di samping sang Sersan. Sesekali aku akan mencuri pandang ke arahnya dan berusaha menyimpannya dalam hati. Bisa duduk sedekat ini, melihat sedekat ini dan mendengar tawanya adalah hadiah yang ku dapatkan di akhir hariku sebagai relawan saat itu, sebelum akhirnya pagi menjemput dan aku-pun kembali ke Bandung tanpa bertemu lagi dengan sang Sersan walau hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

****

Kejadian di Ciwidey itu terjadi pada bulan Agustus 2013, dan sekarang adalah bulan April 2014 yang artinya hampir 1 tahun setelah pertemuanku dengan sang Sersan, seorang pria yang memberikanku kesan mendalam bahkan sampai sekarang.

Memang hampir tidak ada kenangan khusus yang terjadi antara kami berdua saat itu, tapi entahlah setiap aku melihat seseorang memakai seragam tentara tubuhku langsung bereaksi berlebihan dengan berharap kalau itu adalah sang Sersan. Ketika aku melihat kumpulan para tentara aku akan mencari sosoknya berharap dia akan berada di sana, tapi semua sia-sia karena aku tak pernah bertemu lagi dengannya.

Suatu hari kesempatan itu datang ketika tanpa sengaja aku dan Mira bertemu dengan Bang Eddy di Istana Plaza (IP), sebuah mall yang berada di antara perempatan Jl. Padjadjaran dan Jl. Pasir Kaliki, tak jauh dari rumahku.

“Kaya Bang Eddy.” Mira berkata sambil menatap sekumpulan pria yang tengah duduk di food court.

“Mana?”Aku ikut melihat ke arah Mira menatap.

“Itu, yang pake kemeja kotak-kotak.”

“Bener, Mir, Bang Eddy!”

“Ke sana, yuk.”

“Lagi sama temen-temennya, Mir, gak enak.”

“Bentar, cuma nyapa doang siapa tahu ada Mas Yudha, ayo bentar doang!”

Mira menarik tanganku menuju meja di mana Bang Eddy terlihat sedang tertawa bersama teman-temannya. Dengan jantung yang berdebar kencang karena berharap sang Sersan ada di sana duduk di antara teman-teman Bang Eddy, aku pun pasrah mengikuti Mira.

“Permisi, Bang Eddy ya?” sapa Mira menarik perhatian enam pria di meja itu.

“Mira? Kekey?” Bang Eddy terlihat kaget sekaligus gembira melihat kami.

“Iya, Bang, ini Mira sama Kekey.”

“Ya ampun, apa kabar kalian?” tanya Bang Eddy sambil berdiri menyalami kami berdua.

“Alhamdulillah baik, Bang. Bang Eddy apa kabar?” Aku balik bertanya sambil menyalaminya.

“Baik… duduk dulu yuk!” ajak bang Eddy sambil menarik kursi yang ada di meja sebelah.

“Gak usah, Bang, kita cuma mau nyapa aja.”

“Siapa tuh, Bang, kenalin dong!"

“Tuh, pada minta dikenalin, mau ya Abang kenalin sama jomblo-jomblo ngenes kaya mereka?”

Aku dan Mira hanya tersenyum mendengar pertanyaan Bang Eddy.

“Ini Mira, dan ini Kekey, mereka berdua ini relawan waktu di Ciwidey.”

“Wah, kalau tahu ada relawan cantik kaya mereka, ikut deh kemarin.”

Kami hanya tersenyum mendengar godaan-godaan dari teman-teman Bang Eddy, ada yang bertanya sudah punya pacar belum? Sampai ada yang minta no telepon segala. Jujur saja, aku bahkan tak begitu menghiraukan itu semua karena aku sibuk mencari sosok sang Sersan, tapi aku tak melihatnya di sana, dan seketika perasaan kecewa menderaku.

“Duduk dulu yuk bentar, kebetulan ada sesuatu yang mau Abang titipin buat teman-teman yang lain.”

Aku dan Mira saling pandang kemudian mengangguk setuju dan akhirnya ikut duduk bergabung bersama mereka.

“Kalian lagi jalan-jalan?”

“Iya, Bang, baru pulang kuliah terus ke gramedia nyari buku,” jawab Mira mendapat anggukan Bang Eddy.

“Yang lain apa kabarnya? Abang lupa minta no telepon jadi kita benar-benar hilang kontak deh. Maklum kondisi saat itu boro-boro inget minta no telepon, tahu sendiri kondisinya seperti apakan?”

Kami mengangguk mengerti.

“Alhamdulillah pada baik semua, Bang. Yang lain apa kabar, Bang?”

“Yang lain? Jujur saja Abang gak tahu kabar yang lain karena kita ditugaskan di tempat beda-beda, paling cuma beberapa yang masih tugas bareng dan Alhamdulillah mereka semua baik-baik saja.”

“Kalau Mas Yudha?” Mira bertanya membuat Bang Eddy tertawa.

“Oh, jadi yang ditanyain Yudha, bilang dong dari tadi. Siapa nih yang penasaran sama kabar Yudha? Mira atau Kekey?”

“Berdua, Bang.” Bang Eddy kembali tertawa sedangkan aku hanya bisa tersenyum malu.

“Yudha, baik-baik saja, baru naik pangkat dia.”

Rasa bangga menyeruak kepermukaan membuatku tersenyum lebar.

“Sudah bukan Sersan lagi?” tanyaku dengan antusias.

“Kata siapa dia Sersan?” Bang Eddy tertawa mendengar pertanyaanku, “kemarin tuh dia sudah jadi Letda, Letnan dua, salah satu lulusan terbaik akmil dia.”

“Letnan?” Aku dan Mira menganga tak percaya.

“Iya, Letnan,” jawab Bang Eddy dengan senyum lebar, “Makanya aku heran kenapa waktu itu kalian memanggilnya Mas Sersan.”

“Kekey kira masih Sersan, Bang, soalnya masih muda.”

“Iya, pikiran Mira kalau Letnan itu dah Bapak-Bapak.”

Bang Eddy kembali tertawa, “Maksudnya dah tua macam Bang Eddy?”

“Bukan, Bang, hahaha… maksudnya, waktu Ayah Kekey jadi Letnan, Ayah sudah punya anak 3, kalau Mas Yudha kan masih muda.”

“Oh, Ayah Kekey orang angkatan juga?”

“Iya, Bang, tapi Ayah sudah pensiun.”

Bang Eddy mengangguk mengerti, “Nah kayanya Ayah Kekey dulu lulusan dari Secatam atau Secaba, kalau kita dari akmil jadi langsung Letda ya walaupun Bang Eddy telat masuknya dibanding Yudha hehehe.”

“Oh gitu ya, Bang.” Aku mengangguk mengerti.

“Kamu harusnya tahu, Key, secara Ayah orang angkatan dan Kak Juang kan Taruna akmil.”

Aku hanya bisa nyengir mendengar ucapan Mira, “Hehehe… gak tertarik kalau Ayah sama Kakak-kakak lagi ngobrol soal militer, aku mending kabur… pusing dengernya.”

“Kalau ngobrolin militernya sama Yudha, pasti langsung semangat ya, Key.”

“Hahaha.. benar tuh, Bang.”

Aku tersenyum malu dan ku yakin wajahku sudah memerah.

“Oh, iya tadi mau nitipin apa, Bang?” aku mencoba mengalihkan perhatian Bang Eddy yang sepertinya sudah mulai tahu tentang perasaanku kepada sang Sersan, eh sang Letnan, hehehe.

“Oh iya, hampir lupa.”

Bang Eddy terlihat mencari sesuatu di dalam tasnya.

“Nah! Ini dia, untung masih ada yang kosong satu.” Di tangan Bang Eddy kini telah ada sebuah kartu undangan berwarna krem.

“Ada pulpen gak?”

Aku mengambil pulpen di dalam tasku lalu memberikannya kepada Bang Eddy.

“Nama lembaga kalian tuh OASIS-kan ya?” Bang Eddy bertanya sebelum akhirnya menuliskannya di atas kartu undangan setelah mendapat anggukan dari kami berdua.

“Ini, ajak semuanya ya.”

Aku dan Mira membaca undangan berwarna krem bertuliskan nama Letda Eddy Sinaga dan Renata Chaniago, SE, dengan tinta emas, membuat aku dan Mira menganga dengan mata membulat.

“Bang Eddy mau nikah?”

“Hehehe iya,” jawab Bang Eddy dengan malu-malu.

“Waah! Selamat ya, Bang!” Aku dan Mira tak bisa menutupi kegembiraan kami lagi, kami menyalaminya dengan tulus.

“Makasih, jangan lupa datang ya, ajak yang lain.”

“Insyaallah, Bang, kita semua datang.”

“Mas Yudha diundang gak?” Mira bertanya membuat Bang Eddy tertawa.

“Pastilah diundang, makanya kalian berdua dandan yang cantik ya.”

“Siap!”

Mira menjawab dengan semangat berbeda denganku yang lebih semangat membaca undangan pernikahan Bang Eddy untuk mencari kapan pernikahan itu dilangsungkan, dan itu minggu depan! Yang artinya aku akan bertemu dengan sang Letnan minggu depan.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!