Dengan gontai aku berjalan menuju kerumanan teman-temanku, beberapa tim SAR dan TNI ikut bergabung di sana mengitari api unggun yang sengaja dibuat untuk menghangatkan tubuh dari cuaca dingin pegunungan yang menusuk sampai tulang.
“Sini, Key, Mira mana?” tanya Teh Devi sambil menggeser duduknya di atas potongan pohon mahoni yang tumbang.
“Masih di Mushola sama Yuni,” jawabku setelah duduk di samping Teh Devi, seniorku di Yayasan OASIS, tempat aku dan relawan lainnya bernaung selama ini.
“Si Agus kamana? (Agus kemana?)” tanya Kang Adit sambil celingukan mencari Agus.
“Pergi ma si Cepi, nyari singkong buat dibakar katanya,” jawab Fadhil temanku asal Pelambang.
Kang Adit hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala mendengarnya.
“Barang-barang yang buat dibawa pulang besok pada sudah diberesinkan?”
“Sudah Kang,” jawab kami serempak membuat Kang Adit mengangguk puas.
“Kalian jadi pulang besok?” tanya Pak Karyo, salah satu anggota tim SAR yang sudah kami kenal.
“Iya, Pak, tapi tak usah khawatir besok akan ada teman-teman pengganti yang akan membantu di sini,” jawab Kang Adit yang mendapat anggukan dari Pak Karyo.
“Kalian semua masih pada kuliah?”
“Iya, Pak, tapi ada juga yang sudah lulus, tapi sebagian sekarang sudah pada kerja jadi ga bisa turun ke lapangan lagi, paling jadi pembimbing dan donator saja.”
“Kalian itu hebat, masih muda tapi sudah peduli dan mau jadi relawan seperti sekarang.”
“Kalau bukan kita-kita yang muda siapa lagi, Pak, kita inilah generasi penarus.”
“Kalian benar, tapi kebanyakan anak muda zaman sekarang itu sepertinya lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong di mall atau internetan. Tapi kalian, lebih suka kedinginan, kurang tidur, kurang makan, untuk menolong orang lain.”
“Kalau itu sudah panggilan jiwa, Pak, seperti Pak Karyo, Mas Mul, Kang Dedi yang lebih memilih bekerja sebagai tim SAR daripada bekerja kantoran, bukankah menjadi anggota tim SAR lebih beresiko daripada bekerja di kantor? Apa lagi tentara harus siap bertarung nyawa, tapi karena sudah panggilan jiwa, ya susah.”
“Bener tuh, Key, tumben pinter,” ucap Kang Adit membuat kami tertawa.
“Baru minum vitamin, Kang, jadi masih encer otaknya, ga tau kalau beberapa menit lagi kayanya mulai beku lagi, kedinginan soalnya.”
“Hahaha… kurang ajar.” Aku memukul lengan Rendy yang kebetulan duduk di sampingku.
“Mas Yudha! Sini, Mas!”
Seketika aku langsung terdiam membeku ketika ku dengar Kang Adit memanggil nama sang Sersan. Perlahan aku mengalihkan pandanganku ke arah langkah seseorang yang semakin mendekat, dan di sanalah sang sersan berdiri berbalut jaket army dan celana jeans biru tua, dia terlihat baru selesai mandi terlihat dari rambutnya yang masih basah. Apa dia tidak kedinginan? Air di sini pada siang hari saja sudah seperti air es apalagi malam-malam kaya gini.
“Sini, Yud!” Bang Eddy, sesama anggota TNI menepuk tempat di sampingnya, dan sang Sersan langsung duduk di sana.
“Lagi pada ngobrolin apa?” tanyanya sambil menatap sekeliling.
“Ini, mereka besok bakalan balik ke Bandung,” jawab Bang Eddy, dan seketika matanya langsung menatapku yang juga tengah menatapnya.
Deg! Sial! Jantungku berdetak hebat hanya karena mata kami saling pandang, dan sialnya lagi, warna merah api dari api unggun malah membuatnya telihat sangat manly. Masyaallah, Makhluk ciptaan Allah yang satu ini memang luar biasa.
“Jadi, kalian besok pulang ke Bandung?”
“Iya, Mas, besok akan ada tim yang gantiin kami.”
Sang Sersan menganggukkan kepala mengerti, sedangkan aku masih belum bisa bereaksi apa-apa selain memainkan api di hadapanku menggunakan batang kayu.
“Makasih, sudah membantu kami beberapa hari ini.”
“Sama-sama, Mas.”
“Mas Yudha sudah makan belum?”
Aku menantap Mira yang baru saja ikut bergabung dengan kami dan kini telah duduk di samping Kang adit. Aah.. andai aku seberani Mira, aku pasti sudah bertanya dari tadi! Dengan sedikit kesal aku menusukan kayu ke dalam bara api.
“Kok, yang ditanya cuma Yudha doang, Mir,” protes Bang Eddy sambil tersenyum jahil.
“Bang Eddy-kan tadi sudah makan, kalau Mas Yudha kan baru datang jadi pasti belum makankan, Mas? Mau dibikinin Indomie gak?”
“Awas, Mas, modus tuh, ujung-ujungnya pasti minta no telepon.”
Semua orang tertawa menggoda Mira, dan aku hanya bisa tertunduk sambil kembali menusukkan kayu yang aku pegang ke dalam api dengan sedikit bertenaga.
“Ih, jangan dengerin Kang Adit, Mas, tapi kalau mau ngasih no telepon sih ga apa-apa, Mas, ikhlas Mira mah.”
Semua orang kembali tertawa dan aku samakin bersemangat membakar kayu yang aku pegang dengan kesal.
“Makasih, Mir, tapi gak usah, masih kenyang.”
“Dari siang belum makan kok bisa kenyang.”
Aku berkata pelan tanpa mengalihkan tatapanku dari kayu-kayu yang berderak terbakar api, tapi rupanya perkataanku tidak sepelan yang ku kira, buktinya semua orang kini menatapku dengan senyum menggoda. Dengan bingung aku balik menatap semuanya.
“Ciee… rupanya ada yang diam-diam merhatiin, sampai tahu belum makan siang,” ucap Teh Devi membuat semua orang kini ikut menggoda.
“Ih, engga! Tadikan Kekey nanya Bang Kamal, siapa yang tidak pulang makan siang? Trus Bang Kamal ngasih tahu siapa-siapa saja yang gak makan siang.”
“Oooooh…”
Ya Allah… untung aja gelap trus depan api jadi aku rasa wajah merahku tak akan terlihat jelas, dan aku masih bisa melihat senyuman menggoda semua orang.
“Tadi siang Bu Lurah datang bawa makanan, jadi tadi aku makan di lokasi sama yang lainnya.”
“Tuh, Key, Mas Sersan-nya sudah makan siang, jadi kamu bisa tenang.”
Aku melotot ke arah Mira yang hanya nyengir kaya kuda.
“Kalau gak keberatan… kopi aja deh kopi.”
“Nah! Benar, kopi mantap tuh!” seru Pak Karyo yang mendapat sautan setuju dari yang lainnya.
“Oh… pada mau kopi, ya? Siap! Tar, kita bikinin kopi yang enak.”
“Bawa aja termos sama kopinya ke sini, Mir, biar ga ribet bawanya,” ucap Teh Devi yang dapat anggukan mengerti dari Mira.
“Yuk, Key, bantuin bawanya!”
Aku berdiri dan mulai berjalan menuju dapur umum dengan tangan saling berangkulan menguragi rasa dingin.
“Bayangin saja kalau yang merangkul tanganmu sekarang ini, Mas Sersan.”
“Ih, apaan sih, Mir!” Aku tertawa sambil membayangkan kalau yang dikatakan Mira itu menjadi kenyataan, aku yakin malam ini tiba-tiba akan penuh dengan bintang.
“Ini kesempatan terakhir, Key, sebelum besok pulang ke Bandung, kamu ga mau minta no telepon-nya apa?”
Aku terdiam beberapa saat, tanganku semakin merangkul erat lengan Mira.
“Engga ah, malu.”
“Gak usah malu daripada tar nyesel, apa mau aku yang mintain?”
Jujur saja hatiku sedikit tergoda untuk menjawab iya, tapi entah kenapa mulutku rasanya berat untuk mengatakan itu. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.
“Gak usah, Mir.”
“Yakin nih gak usah.”
“Ragu,” jawabku jujur membuat Mira tertawa.
“Ah kamu mah dasar, mintain jangan nih?”
“Ga usah.” Akhirnya aku bisa berkata dengan yakin membuat Mira menatapku sebelum akhirnya tersenyum mengerti.
Kami kembali ke api unggun dengan tangan menenteng plastik berisi gelas plastik dan kopi instan, sedangkan Mira membawa termos berisi air panas. Ketika kami datang mereka tengah tertawa mendengar cerita Agus. Temanku yang satu itu mamang paling pintar mencairkan suasana. Aku, Mira dan Yuni mulai menyeduh kopi untuk semunya. Agus, Kang Adit, dan Yudi terlihat sedang mengubur singkong di dalam bara api.
“Jadi, Agus asli Cililin?” tanya Mas Mul.
“Iya, Mas.”
“Bandung coret, Mas,” kata Rendy sambil tertawa.
“Ulah salah (jangan salah) Cililin sekarang dah rame, dah punya mall.”
“Mall naon, Gus, molor meureun,” kata Kang Adit membuat kami tertawa, molor itu adalah pelesetan yang biasa orang sunda gunakan untuk mall yang artinya tidur.
“Ih! Ini mah aslina seriusan (Ini beneran serius) namanya tuh Ci-mol..Cililin mall.”
Kami semua kembali tertawa mendengar nama mall yang seperti jajanan itu, Agus memang paling bisa membuat kami tertawa dengan logat sundanya yang terdengar khas.
“Untung bukan cilok, Gus.”
“Cilok mah atuh Cililin loak, Key.”
Aku tertawa sambil membagikan kopi yang telah siap.
“Tapi kerupuk pedesnya enak tuh, Gus, yang pernah Agus bawa itu.” Aku mengingat kerupuk kecil-kecil panjang sebesar kelilingking dengan rasa gurih pedas yang pernah Agus bawa ketika dia pulang dari kampungnya.
“Oh kerupuk bokser, Kekey mau? Nantilah insyaallah Agus bawain sekarung buat Kekey mah.”
“Bener ya, Gus.”
“Kita gak dibawain, Gus?” protes Yuni.
“Minta saja sama Kekey, kalau bawa dua karung tar Agus di kata-in, eh Nicholas Saputra jualan kerupuk.”
“Hahahaha”
Kami kembali tertawa mendengar Agus yang semakin ngaco, dan tanpa sadar kini aku tengah berdiri di depan sang Sersan dengan kopi di tanganku, dengan masih tertawa kami saling pandang. Deg! Seketika jantungku kembali menggila, dengan berusaha bersikap normal aku meyodorkan gelas plastik berisi kopi yang langsung diterimanya.
“Makasih,” ucapnya dengan senyum lebar masih menghiasi wajah tampannya. Dan itu adalah pertama kalinya aku melihat sang Sersan tertawa seperti itu, Ya Allah! Ganteng banget!!!
“Sama-sama,” jawabku sambil ikut tersenyum. Aku baru akan kembali ke tempat dudukku ketika kulihat tempat itu kini telah di duduki Teh Vita, dan tak ada lagi tempat duduk yang tersedia. Mira dan Yuni kini telah duduk di samping Kang Adit.
“Duduk sini saja, Key.” Bang Eddy menawarkan tempat duduknya. Yang artinya aku akan duduk di samping sang Sersan! Ok, jujur saja ingin sekali aku langsung melompat duduk di sana, tapi tentu saja aku tidak melakukan itu, dengan jantung berdebar kencang aku akhirnya duduk di samping sang Sersan!
Wahai jantungku, bekerja samalah untuk sekali ini jangan sampai sang Sersan mendengar debaranmu yang menggila, dan wajahku bekerja samalah dengan tidak memerah, ok!?
Tapi bagaimana mungkin dadaku tidak berdebar kencang kalau duduk sedekat ini dengan sang Sersan? Karena ternyata bukan hanya jantungku saja yang menggila tapi darahku-pun seolah berdesir setiap kali tanpa sengaja tubuh kami bersenggolan, bahkan hidungku yang minimalis-pun ikut berkontribusi dalam membuat kerja otakku menurun setiap kali mencium wangi parfumnya yang segar dan terasa menyejukan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
💕febhy ajah💕
apa ini cerita orang tua arjuna, so dinovel arjuna nama ortunya nga disebutin.
2023-03-22
1
pipi gemoy
dari Arjuna anaknya baru ke lapak bapak nya😅
2023-01-17
0
Dwi Sasi
Bayangkan adegan api unggun kok jd senyum2 sendiri 🤭🤭
2022-11-23
0