Hujan turun sejak siang, membasahi jendela kamar yang kini hanya menyisakan sepi. Di dalam, aku duduk termenung sambil memandangi pakaian Arvan yang masih tergantung rapi di lemari tak pernah disentuh, tak pernah ia pedulikan.
Gugatan cerai sudah aku ajukan. Bukan karena aku benci, bukan pula karena tak sanggup lagi mencintainya. Justru karena aku terlalu mencintai diriku sendiri, aku memilih pergi dari hubungan yang terus membuatku kehilangan harga diri.
Hari itu, Arvan pulang lebih awal. Tidak biasanya. Ia membuka pintu kamar perlahan, dan saat melihatku duduk memeluk lutut di tepi ranjang, ia terdiam sejenak.
“Kita bisa bicara?” tanyanya.
Aku menoleh. “Tentu. Kita sudah terlalu lama tidak benar-benar bicara.”
Ia duduk di kursi dekat meja rias, posisi yang cukup jauh dari tempatku. Mungkin itu menggambarkan jarak emosional yang selama ini ada di antara kami.
“Aku... kaget saat dapat surat pengajuan cerai itu. Aku kira kamu cuma butuh waktu,” ucapnya pelan.
“Aku memang butuh waktu, Arvan. Tapi kamu tak pernah memberikannya. Bahkan saat aku menangis diam-diam, kamu tetap sibuk dengan duniamu, dengan wanita itu.”
Arvan menunduk. “Aku salah, Nay.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Salah yang diulang terus-menerus bukan khilaf, Van. Itu pilihan. Dan kamu memilih untuk terus menyakitiku.”
Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang terdengar. Suara yang biasanya menenangkan, kini terasa seperti latar dari luka yang tak pernah sembuh.
“Aku nggak tahu harus bagaimana,” lanjutnya. “Aku... memang dekat sama Ailuna, tapi aku nggak pernah niat ninggalin kamu.”
“Dan itu lebih menyakitkan,” ucapku jujur. “Karena aku tahu kamu tak akan pernah pergi dariku, tapi juga tak akan pernah benar-benar memilihku.”
Ia menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tapi aku sudah lelah. Sudah terlalu sering aku melihat tangisnya, lalu ia kembali dengan luka yang sama di hari berikutnya.
“Aku bertahan selama ini bukan karena kuat, Van. Tapi karena aku berharap kamu akan berubah. Tapi ternyata, harapan itu justru yang paling melelahkan.”
Aku berdiri, berjalan ke arah lemari dan mulai mengambil beberapa pakaian. “Aku akan pindah ke rumah orangtuaku sampai semuanya selesai. Kita bisa bicarakan pembagian aset lewat pengacara.”
Arvan bangkit, berdiri di belakangku. “Jangan pergi...”
Tangannya menyentuh pundakku. Tapi kali ini, sentuhan itu tidak lagi membuatku merasa dicintai. Aku malah ingin menjauh.
Aku berbalik, menatap matanya yang basah.
“Arvan, aku menyerah bukan karena tak cinta. Tapi karena aku tahu, jika aku terus bertahan, aku akan kehilangan diriku sendiri.”
“Beri aku kesempatan...” bisiknya.
Aku menggeleng. “Kesempatan itu sudah aku berikan terlalu sering. Kamu hanya tak pernah benar-benar menggunakannya.”
Malam itu aku meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi bisu dari pernikahan yang tak pernah utuh. Aku membawa koper kecil, cukup untuk beberapa hari. Tapi lebih dari itu, aku membawa keberanian yang selama ini terpenjara.
Kupilih bertahan dulu karena cinta. Tapi kini, aku memilih pergi karena sadar bahwa cinta tak pernah cukup jika hanya aku sendiri yang memperjuangkan.
Di tengah perjalanan, aku menatap bayangan wajahku di kaca mobil. Aku bukan lagi Nayla yang dulu yang takut ditinggalkan, yang rela disisihkan. Aku Nayla yang baru, yang tahu bahwa hidup tak seharusnya dijalani dengan air mata setiap malam.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa... bebas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Mamah dini
mudah2an pilihanmu yg sekarang ada benarnya nay, jgn diam kalau GK di anggap
2025-07-22
1