Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna

Hari itu aku memutuskan untuk pergi lebih pagi ke pasar. Selain untuk mengisi waktu, aku butuh udara segar. Udara luar yang lebih jujur daripada udara dalam rumah kami yang terasa pengap oleh diam dan dingin.

Sambil berjalan menyusuri lorong pasar, aku sempat berpikir untuk membeli bahan makanan yang Arvan suka lagi. Tapi entah kenapa, langkahku terhenti di depan kios bunga. Aroma melati dan mawar mencuri perhatianku. Sudah lama sekali aku tak menerima bunga. Bahkan di hari ulang tahunku, atau ulang tahun pernikahan kami yang ke dua, yang hanya kuingat sendiri.

Pemilik kios bunga menyapaku dengan ramah.

“Mau pilih bunga, Mbak? Bagus-bagus ini, segar semua.”

Aku tersenyum samar. “Melatinya satu ikat, ya.”

Sampai rumah, aku letakkan bunga melati itu di vas kecil dekat jendela kamar. Hanya itu caraku menyenangkan diri. Tak ada yang lain.

Dan di siang yang terlalu tenang itu, aku melakukan satu kesalahan. Kesalahan kecil tapi fatal.

Ponsel Arvan tertinggal di ruang tengah. Biasanya ia sangat menjaga ponselnya, bahkan membawanya ke kamar mandi. Tapi hari ini, entah kenapa ia lupa.

Aku hanya berniat meletakkannya ke kamarnya. Tapi layar menyala ada notifikasi pesan masuk. Nama pengirimnya: Ailuna.

Aku bukan istri yang posesif. Tapi naluriku langsung menegang.

Aku tahu, aku tidak seharusnya membaca pesan itu. Tapi aku manusia, bukan robot. Dan isi pesan itu membuat seluruh dadaku tenggelam dalam dentuman sakit yang tak bisa kulukiskan.

“Kamu tidur jam berapa semalam? Aku nunggu kamu WA, Van. Aku nggak bisa tidur kalo belum denger suaramu.”

Tanganku gemetar.

Pesan lain muncul.

“Malam ini kita jadi ketemu, kan? Aku kangen.”

Aku meletakkan ponsel itu seperti benda panas yang baru saja membakar kulitku. Seluruh tubuhku bergetar. Ada suara berisik dalam kepalaku, mencoba menyangkal. Tapi aku tahu, itu nyata.

Arvan sudah memilih. Ia hanya belum punya keberanian untuk mengatakan. Ia hanya menjadikan aku sebagai peran figuran dalam drama yang tidak pernah kuinginkan.

Malam harinya, aku duduk di ruang tamu. Menunggu Arvan pulang. Biasanya aku sudah tidur lebih dulu, tapi malam ini aku ingin melihat wajahnya. Aku ingin tahu, apakah ia masih bisa menatapku setelah semua itu?

Jam sembilan malam. Suara mobil masuk halaman.

Arvan masuk, wajahnya lelah. Tapi tidak terkejut melihatku terjaga.

“Kamu belum tidur?” tanyanya datar.

Aku menatapnya. Lama.

“Kamu sayang dia?” tanyaku lirih.

Ia diam, tapi tidak bertanya 'siapa'. Itu sudah cukup menjadi jawaban.

Aku mengangguk pelan. Ada sesuatu yang runtuh di dadaku. Tapi anehnya, tidak ada air mata.

“Sejak kapan?” tanyaku lagi.

“Udah lama,” jawabnya singkat.

“Lebih lama dari pernikahan kita?”

Ia menunduk.

Hatiku seperti dipukul dari dalam. Jadi selama ini... semua ini hanya sebuah penjara yang ia bangun dari kebohongan.

“Kenapa kamu nikah sama aku kalau hati kamu udah milik orang lain?” suaraku pecah.

Arvan menggenggam pelipisnya. “Aku... nggak bisa lawan Papa waktu itu. Dia ancam cabut semua dukungan kalau aku nggak nikah sama kamu.”

“Lalu Ailuna?”

“Dia disuruh mundur. Tapi kami tetap komunikasi diam-diam.”

Diam-diam. Kata yang terdengar seperti tikaman. Sejak awal, aku adalah orang luar. Aku bukan istrinya. Aku hanya penyamar legal di rumah ini.

Aku berdiri. Melihatnya seperti melihat bayangan lelaki yang tak pernah benar-benar kumiliki.

“Kalau begitu... malam ini kamu tidur di kamar kita. Bukan karena aku ingin dekat, tapi karena mulai malam ini, kita tidak lagi bersembunyi di balik formalitas. Aku akan ajukan cerai.”

Arvan menatapku kaget. Tapi aku sudah melangkah.

Untuk pertama kalinya, aku memilih diriku sendiri.

Dan anehnya, malam itu aku tidur lebih tenang dari biasanya.

Bukan karena luka itu hilang. Tapi karena akhirnya aku tahu bahwa aku tak lagi perlu menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Aku tak perlu terus berharap pada cinta yang tak pernah diberi, hanya dipinjamkan sesaat saat keadaan menguntungkan.

Pagi harinya, aku bangun sebelum matahari muncul sepenuhnya. Udara masih lembap bekas hujan semalam. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap keluar jendela tempat bunga melati yang kubeli kemarin mulai merekah perlahan.

Aromanya menyusup pelan ke dalam ruangan, seolah membisikkan bahwa hidup tetap akan berjalan, meski hati kita sempat porak-poranda.

Arvan masih di kamar. Tidurnya gelisah. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang, dan sejujurnya, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku tak peduli.

Aku membuat sarapan seperti biasa. Bukan untuk dia, tapi untukku. Telur rebus, roti panggang, dan teh hangat. Tak ada kopi pagi ini. Tak ada harapan yang kutaruh di meja makan.

Ponselku penuh pesan dari Dina, sahabat lamaku yang sudah seperti saudara sendiri. Ia menanyakan kabarku, mungkin karena semalam aku sempat mengetik satu kalimat pendek yang seolah tak selesai.

"Aku akhirnya tahu."

Itu saja. Dan mungkin dari situ ia mengerti bahwa sesuatu dalam diriku telah berubah.

Setelah mencuci piring, aku duduk di ruang tengah. Arvan keluar dari kamar tak lama kemudian. Rambutnya kusut. Wajahnya seperti belum tidur semalaman. Tapi aku tak menoleh.

“Apa kamu serius?” tanyanya pelan.

Aku tetap menatap lurus ke depan. “Aku sudah terlalu lama pura-pura tidak tahu. Sudah terlalu lama berpura-pura tidak sakit.”

“Nayla, aku bisa jelasin”

“Tidak perlu.” Aku memotong. Lembut, tapi tegas. “Kamu mencintai orang lain. Dan aku lelah memaksa diriku menjadi rumah buat orang yang tak pernah ingin tinggal.”

Ia menarik napas panjang, menunduk, lalu duduk di kursi seberangku. Wajahnya tak lagi menyimpan arogansi seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin karena dia tahu aku sudah berbeda. Aku bukan Nayla yang akan menunduk sambil bertanya kenapa. Aku adalah Nayla yang akhirnya sadar: cinta tak bisa dipaksa tumbuh di tanah yang penuh kebohongan.

“Apa... kamu yakin cerai solusi terbaik?” tanyanya perlahan.

Aku hanya diam, dan tidak menjawab pertanyaan Arvan, karena yang aku inginkan dari dulu dalam hidupku pernikahan itu cuma sekali saja seumur hidup. Tapi di lain sisi aku juga tidak bisa bertahan dengan situasi seperti ini. Dimana aku merasakan sakit hati dan tidak pernah dihargai sedikitpun oleh suamiku sendiri.

Sebagai seorang istri ingin sekali merasakan perhatian dari seorang suami, tapi yang aku rasakan selama bertahun-tahun aku tidak pernah merasakan kebahagiaan sama sekali. Aku benar-benar diposisi yang tidak tahu arah harus bagaimana. Bertahan sakit melepaskan juga sakit.

Aku harus bagaimana supaya Arvan sadar, sepertinya juga percuma saya pertahankan rumah tangga ini. Hanya membuat aku makan hati setiap hari.

Episodes
1 Bab 1: Pernikahan Tanpa Nama
2 Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat
3 Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna
4 Bab 4: Surat yang Tak Pernah Kukirimkan
5 Bab 5: Aku yang Menyerah, Bukan Karena Tak Cinta
6 Bab 6 : Hujan di Hari Ulang Tahun
7 Bab 7 : Diam yang Penuh Luka
8 Bab 8 : Perempuan Itu
9 Bab 9 : Bukan Aku yang Ia Cari
10 Bab 10 : Rasa yang Tak Kunjung Pergi
11 Bab 11 : Mata yang Tak Pernah Bohong
12 Bab 12 : Luka yang Tidak Pernah Dipilih
13 Bab 13 : Teman Lama, Luka Baru
14 Bab 14 : Surat yang Tak Pernah Selesai
15 Bab 15 : Di Antara Dua Pilihan
16 Bab 16 : Jalan Pulang yang Berbeda
17 Bab 17 : Perempuan yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri
18 Bab 18 : Tak Semua yang Hilang Harus Ditemukan Kembali
19 Bab 19 : Reuni yang Menyudahi Luka
20 Bab 20 : Perempuan yang Kembali Memilih Dirinya
21 Bab 21 : Aku Tak Lagi Menoleh ke Belakang
22 Bab 22 : Langkah yang Tak Lagi Menoleh
23 Bab 23 : Pelan-Pelan, Hatiku Belajar Menolak yang Menyakiti
24 Bab 24 : Luka Lama yang Mengetuk Pintu Kedamaian
25 Bab 25 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
26 Bab 26 : Ketika Dunia Mulai Menatap Tanpa Bertanya
27 Bab 27: Ketika Luka Tak Lagi Membutuhkan Peluk
28 Bab 28 : Dia yang Datang Saat Aku Tak Lagi Menunggu
29 Bab 29 : Antara Bayangan yang Kembali dan Cahaya yang Mulai Menyapa
30 Bab 30 : Luka yang Tersingkap di Hadapan Dunia
31 Bab 31 : Aku yang Kau Ingat Setelah Terlambat
32 Bab 32 : Luka yang Tak Bisa Dibagi
33 Bab 33 : Ada yang Tumbuh, Tapi Bukan Lagi Cinta
34 Bab 34 – Bicara untuk Menyembuhkan Luka
35 Bab 35 : Satu Langkah untuk Diri Sendiri
36 Bab 36 : Ketika Masa Lalu Mulai Mengetuk Lagi
37 Bab 37 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
38 Bab 38 : Bukan Luka yang Kupilih, Tapi Diri Sendiri
39 Bab 39 : Antara Rasa yang Baru dan Masa Lalu yang Tak Selesai
40 Bab 40 : Luka yang Kembali Menyeret, dan Arvan yang Tak Menyerah
41 Bab 41 : Di Antara Janji Baru dan Rasa yang Teruji
42 Bab 42 : Luka yang Tak Pernah Selesai
43 Bab 43 : Ketika Luka Tak Lagi Bisa Disembunyikan
44 Bab 44 : Rasa yang Belum Selesai, Luka yang Masih Menganga
45 Bab 45 : Hati yang Mulai Ragu, Tapi Masih Ingin Diselamatkan
46 Bab 46 : Lelaki dari Masa Lalu yang Membawa Janji Baru
47 Bab 47 : Tiket yang Tak Pernah Digunakan
48 Bab 48 : Di Antara Dua Pintu yang Terbuka
49 Bab 49 : Dilema Sebuah Awal Baru
50 Bab 50 : Pelan Tapi Pasti, Cinta Itu Menyembuhkan
51 Bab 51: Luka yang Belum Selesai
52 Bab 52 : Di Antara Pilihan dan Peluang Baru
53 Bab 53 : Bertumbuh Bersama Waktu
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Bab 1: Pernikahan Tanpa Nama
2
Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat
3
Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna
4
Bab 4: Surat yang Tak Pernah Kukirimkan
5
Bab 5: Aku yang Menyerah, Bukan Karena Tak Cinta
6
Bab 6 : Hujan di Hari Ulang Tahun
7
Bab 7 : Diam yang Penuh Luka
8
Bab 8 : Perempuan Itu
9
Bab 9 : Bukan Aku yang Ia Cari
10
Bab 10 : Rasa yang Tak Kunjung Pergi
11
Bab 11 : Mata yang Tak Pernah Bohong
12
Bab 12 : Luka yang Tidak Pernah Dipilih
13
Bab 13 : Teman Lama, Luka Baru
14
Bab 14 : Surat yang Tak Pernah Selesai
15
Bab 15 : Di Antara Dua Pilihan
16
Bab 16 : Jalan Pulang yang Berbeda
17
Bab 17 : Perempuan yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri
18
Bab 18 : Tak Semua yang Hilang Harus Ditemukan Kembali
19
Bab 19 : Reuni yang Menyudahi Luka
20
Bab 20 : Perempuan yang Kembali Memilih Dirinya
21
Bab 21 : Aku Tak Lagi Menoleh ke Belakang
22
Bab 22 : Langkah yang Tak Lagi Menoleh
23
Bab 23 : Pelan-Pelan, Hatiku Belajar Menolak yang Menyakiti
24
Bab 24 : Luka Lama yang Mengetuk Pintu Kedamaian
25
Bab 25 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
26
Bab 26 : Ketika Dunia Mulai Menatap Tanpa Bertanya
27
Bab 27: Ketika Luka Tak Lagi Membutuhkan Peluk
28
Bab 28 : Dia yang Datang Saat Aku Tak Lagi Menunggu
29
Bab 29 : Antara Bayangan yang Kembali dan Cahaya yang Mulai Menyapa
30
Bab 30 : Luka yang Tersingkap di Hadapan Dunia
31
Bab 31 : Aku yang Kau Ingat Setelah Terlambat
32
Bab 32 : Luka yang Tak Bisa Dibagi
33
Bab 33 : Ada yang Tumbuh, Tapi Bukan Lagi Cinta
34
Bab 34 – Bicara untuk Menyembuhkan Luka
35
Bab 35 : Satu Langkah untuk Diri Sendiri
36
Bab 36 : Ketika Masa Lalu Mulai Mengetuk Lagi
37
Bab 37 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
38
Bab 38 : Bukan Luka yang Kupilih, Tapi Diri Sendiri
39
Bab 39 : Antara Rasa yang Baru dan Masa Lalu yang Tak Selesai
40
Bab 40 : Luka yang Kembali Menyeret, dan Arvan yang Tak Menyerah
41
Bab 41 : Di Antara Janji Baru dan Rasa yang Teruji
42
Bab 42 : Luka yang Tak Pernah Selesai
43
Bab 43 : Ketika Luka Tak Lagi Bisa Disembunyikan
44
Bab 44 : Rasa yang Belum Selesai, Luka yang Masih Menganga
45
Bab 45 : Hati yang Mulai Ragu, Tapi Masih Ingin Diselamatkan
46
Bab 46 : Lelaki dari Masa Lalu yang Membawa Janji Baru
47
Bab 47 : Tiket yang Tak Pernah Digunakan
48
Bab 48 : Di Antara Dua Pintu yang Terbuka
49
Bab 49 : Dilema Sebuah Awal Baru
50
Bab 50 : Pelan Tapi Pasti, Cinta Itu Menyembuhkan
51
Bab 51: Luka yang Belum Selesai
52
Bab 52 : Di Antara Pilihan dan Peluang Baru
53
Bab 53 : Bertumbuh Bersama Waktu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!