Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat

Hujan turun sejak siang tadi. Rintiknya menyapu jendela ruang tamu, menciptakan harmoni sendu yang biasanya kunikmati dengan segelas teh dan buku favorit. Tapi tidak malam ini. Malam ini aku duduk terpaku di ruang tamu, mengenakan jaket tipis, menatap kosong pada pintu yang belum juga terbuka sejak sore.

Ponselku sunyi. Tak ada pesan masuk. Tak ada notifikasi. Arvan belum pulang, lagi.

Sudah hampir sebulan ini ia pulang larut, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Dan aku tak pernah tahu di mana ia berada, dengan siapa ia menghabiskan malamnya. Aku hanya bisa menduga, dan mencoba menahan amarah agar tidak berubah menjadi luka baru.

Aku bukan perempuan cemburuan, tapi aku istri. Bahkan istri yang tidak pernah diberi ruang untuk sekadar menanyakan: "Kamu di mana?"

Ketika aku memberanikan diri mengirim pesan minggu lalu, jawabannya hanya:

"Jangan seperti anak kecil, Nayla. Aku sedang kerja."

Aku tertawa miris. Kerja? Jam satu pagi?

Tapi aku tidak melawan. Karena aku tahu, dalam hubungan ini, aku bukan siapa-siapa.

Malam ini, aku kembali menunggu. Seperti perempuan bodoh yang menggantungkan harapan pada seseorang yang bahkan tak pernah melihat keberadaannya.

Setiap jam yang berlalu terasa seperti tamparan.

Jam delapan.

Jam sembilan.

Jam sepuluh.

Akhirnya, pukul sebelas lewat lima belas, pintu depan terbuka. Arvan masuk, basah kuyup, jaketnya setengah terbuka, dan matanya mata itu tidak menunjukkan sedikit pun bahwa dia merindukan rumah ini.

Dia melihatku sekilas lalu melepas sepatunya.

"Aku sudah siapkan makan malam," kataku pelan. Kalimat itu keluar seperti gumaman. Aku tahu ia mendengar, tapi ia tidak menjawab.

Ia hanya berjalan menuju kamar, mengeringkan rambutnya dengan handuk, dan menghindari kontak mata denganku seolah aku adalah hantu masa lalu yang tak layak disentuh.

Aku menyusulnya ke kamar. Entah setan apa yang membisikiku malam ini, membuatku memberanikan diri bertanya.

"Kamu kenapa, Van? Kenapa akhir-akhir ini selalu pulang malam?"

Ia menoleh sekilas, menatapku dengan mata yang dingin, lalu menghela napas panjang.

“Nayla, tolong. Jangan mulai lagi. Aku lelah.”

Kalimat itu mematikan semangatku.

Aku tidak sedang menuduh, aku hanya bertanya.

Tapi begitulah Arvan. Selalu menghindar. Selalu menuduhku menyalahkan. Padahal aku hanya ingin bicara hanya ingin merasa sedikit penting.

"Aku bukan orang asing, Van," bisikku lirih, berharap ia masih mau mendengarkan.

Namun ia malah duduk di tepi ranjang, membuka laptopnya, dan memfokuskan pandangannya pada layar. Membiarkanku berdiri sendiri, menahan tangis yang menggantung di pelupuk mata.

“Aku tahu kamu nggak cinta aku,” lanjutku, masih dengan suara pelan. “Tapi apa salahnya mencoba saling terbuka? Aku juga manusia... aku istrimu.”

Kali ini ia menutup laptopnya, menatapku lurus. Tapi tatapan itu tak hangat. Justru membuat dadaku sesak.

“Dari awal aku sudah bilang, Nayla. Ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Kamu terlalu berharap. Aku menjalani ini karena kewajiban, bukan cinta.”

Kalimatnya seperti bilah pisau. Mengiris dalam, perlahan, tapi mematikan. Aku tidak kuat menahan air mata.

"Apa salahku?" tanyaku hampir tak terdengar.

Arvan tak menjawab. Ia hanya berdiri, mengambil bantal, dan berjalan keluar kamar. Malam itu, ia tidur di ruang tamu. Lagi.

Dan aku?

Aku kembali tidur sendiri. Di ranjang yang besar tapi terasa sempit karena tidak ada kehangatan. Di kamar yang tenang tapi begitu bising karena luka-luka yang tak bisa dibicarakan.

Kadang aku bertanya, jika cinta bukan alasan kami menikah, lalu untuk apa semua ini dipertahankan?

Tapi aku tak punya jawaban. Karena aku tahu, aku sudah terlalu jauh melangkah dalam hubungan yang tak pernah memberi ruang untuk pulang.

Tapi menyerah bukan berarti aku tak ingin dicintai. Aku hanya mulai mengerti, bahwa tidak semua yang kita perjuangkan akan kembali pada kita dalam bentuk yang kita harapkan.

Dan malam itu, sebelum mataku benar-benar terpejam, aku berjanji dalam diam. Jika esok masih sama, jika tak ada perubahan, maka aku akan memulai langkah. Mungkin bukan pergi. Tapi mulai mencintai diriku sendiri lebih dulu.

Pagi datang dengan sisa gerimis. Langit masih kelabu. Aku menyeduh teh, bukan kopi seperti biasa. Aroma melatinya menenangkan, meski hatiku belum sepenuhnya damai.

Arvan masih tidur di sofa, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Aku memandangi wajahnya yang tertidur. Lelaki yang dulu kukira akan jadi pelabuhan. Tapi ternyata hanya persinggahan yang tak pernah benar-benar membuka pintu.

Dia tampak tenang saat tidur. Tapi ketenangan itu bukan untukku. Ia milik dunianya sendiri dunia yang tak pernah mengikutsertakan aku di dalamnya.

Kupersiapkan sarapan seadanya. Sepiring telur dadar, nasi hangat, dan sambal favoritnya yang dulu pernah membuatnya tersenyum pada awal pernikahan kami. Tapi aku tahu, senyum itu tak akan muncul hari ini.

Dan memang benar. Saat Arvan bangun dan melihat meja makan, ia hanya menghela napas. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia mengambil gelas, menuang air sendiri, lalu duduk tanpa menatapku.

“Pagi,” ucapku pelan.

“Hm,” hanya itu yang ia balas.

Aku tahu, pagi ini akan sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku tidak marah. Tidak juga kecewa. Aku hanya merasa kosong. Perasaan yang lebih mengerikan dari luka.

“Aku mau keluar nanti siang,” ucapku, berusaha terdengar ringan.

Dia tidak bertanya ke mana. Tidak juga menanggapi.

“Ada janji dengan teman lama,” tambahku, mencoba memancing reaksi. Tapi lagi-lagi, hanya diam.

Dan diam itu... menyedihkan. Seolah aku tidak pernah penting. Seolah kepergianku tak perlu diketahui karena tak ada bedanya apakah aku ada atau tidak.

Setelah makan, aku masuk kamar. Menatap pantulan wajahku di cermin. Mata sembab karena kurang tidur. Bibir kering karena terlalu lama diam. Tapi dari dalam pantulan itu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Aku melihat Nayla yang mulai berani menatap dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.

Kupilih baju terbaik yang kupunya. Sederhana, tapi rapi. Kumasukkan buku harian itu ke dalam tas kecil, entah kenapa. Mungkin aku akan membacanya di luar. Atau membakarnya, kalau aku sudah cukup kuat.

Sebelum keluar kamar, aku menoleh sejenak. Melihat tempat tidur yang rapi tapi hampa. Kamar yang jadi saksi begitu banyak kebisuan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi hari ini, aku memilih melangkah.

Aku berjalan ke ruang tamu. Arvan masih di meja makan, memandangi ponselnya.

“Aku pergi dulu,” ucapku datar.

Kali ini, dia menoleh. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat hatiku berdesir aneh. Bukan karena harap. Tapi karena aku sadar, itu bukan tatapan seseorang yang takut kehilangan.

“Jangan lama,” katanya.

Dan itu saja. Tak ada tanya ke mana, dengan siapa, atau kenapa. Ia tidak peduli. Dan mungkin dari situlah aku tahu: waktunya benar-benar datang.

Aku membuka pintu rumah pelan, membiarkan udara dingin menyambut wajahku. Hujan sudah reda. Tapi bau tanah basah masih menggantung di udara, seperti sisa luka yang belum sempat dikeringkan.

Aku melangkah.

Bukan untuk pergi meninggalkan semuanya, tapi untuk menemukan kembali siapa diriku sebelum semua ini mengaburkan siapa aku sebenarnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidak menunggu suara di belakangku memanggil. Karena aku tahu, suara itu tak akan datang.

Dan bahkan jika datang pun mungkin aku tak akan lagi menoleh.

Episodes
1 Bab 1: Pernikahan Tanpa Nama
2 Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat
3 Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna
4 Bab 4: Surat yang Tak Pernah Kukirimkan
5 Bab 5: Aku yang Menyerah, Bukan Karena Tak Cinta
6 Bab 6 : Hujan di Hari Ulang Tahun
7 Bab 7 : Diam yang Penuh Luka
8 Bab 8 : Perempuan Itu
9 Bab 9 : Bukan Aku yang Ia Cari
10 Bab 10 : Rasa yang Tak Kunjung Pergi
11 Bab 11 : Mata yang Tak Pernah Bohong
12 Bab 12 : Luka yang Tidak Pernah Dipilih
13 Bab 13 : Teman Lama, Luka Baru
14 Bab 14 : Surat yang Tak Pernah Selesai
15 Bab 15 : Di Antara Dua Pilihan
16 Bab 16 : Jalan Pulang yang Berbeda
17 Bab 17 : Perempuan yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri
18 Bab 18 : Tak Semua yang Hilang Harus Ditemukan Kembali
19 Bab 19 : Reuni yang Menyudahi Luka
20 Bab 20 : Perempuan yang Kembali Memilih Dirinya
21 Bab 21 : Aku Tak Lagi Menoleh ke Belakang
22 Bab 22 : Langkah yang Tak Lagi Menoleh
23 Bab 23 : Pelan-Pelan, Hatiku Belajar Menolak yang Menyakiti
24 Bab 24 : Luka Lama yang Mengetuk Pintu Kedamaian
25 Bab 25 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
26 Bab 26 : Ketika Dunia Mulai Menatap Tanpa Bertanya
27 Bab 27: Ketika Luka Tak Lagi Membutuhkan Peluk
28 Bab 28 : Dia yang Datang Saat Aku Tak Lagi Menunggu
29 Bab 29 : Antara Bayangan yang Kembali dan Cahaya yang Mulai Menyapa
30 Bab 30 : Luka yang Tersingkap di Hadapan Dunia
31 Bab 31 : Aku yang Kau Ingat Setelah Terlambat
32 Bab 32 : Luka yang Tak Bisa Dibagi
33 Bab 33 : Ada yang Tumbuh, Tapi Bukan Lagi Cinta
34 Bab 34 – Bicara untuk Menyembuhkan Luka
35 Bab 35 : Satu Langkah untuk Diri Sendiri
36 Bab 36 : Ketika Masa Lalu Mulai Mengetuk Lagi
37 Bab 37 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
38 Bab 38 : Bukan Luka yang Kupilih, Tapi Diri Sendiri
39 Bab 39 : Antara Rasa yang Baru dan Masa Lalu yang Tak Selesai
40 Bab 40 : Luka yang Kembali Menyeret, dan Arvan yang Tak Menyerah
41 Bab 41 : Di Antara Janji Baru dan Rasa yang Teruji
42 Bab 42 : Luka yang Tak Pernah Selesai
43 Bab 43 : Ketika Luka Tak Lagi Bisa Disembunyikan
44 Bab 44 : Rasa yang Belum Selesai, Luka yang Masih Menganga
45 Bab 45 : Hati yang Mulai Ragu, Tapi Masih Ingin Diselamatkan
46 Bab 46 : Lelaki dari Masa Lalu yang Membawa Janji Baru
47 Bab 47 : Tiket yang Tak Pernah Digunakan
48 Bab 48 : Di Antara Dua Pintu yang Terbuka
49 Bab 49 : Dilema Sebuah Awal Baru
50 Bab 50 : Pelan Tapi Pasti, Cinta Itu Menyembuhkan
51 Bab 51: Luka yang Belum Selesai
52 Bab 52 : Di Antara Pilihan dan Peluang Baru
53 Bab 53 : Bertumbuh Bersama Waktu
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Bab 1: Pernikahan Tanpa Nama
2
Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat
3
Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna
4
Bab 4: Surat yang Tak Pernah Kukirimkan
5
Bab 5: Aku yang Menyerah, Bukan Karena Tak Cinta
6
Bab 6 : Hujan di Hari Ulang Tahun
7
Bab 7 : Diam yang Penuh Luka
8
Bab 8 : Perempuan Itu
9
Bab 9 : Bukan Aku yang Ia Cari
10
Bab 10 : Rasa yang Tak Kunjung Pergi
11
Bab 11 : Mata yang Tak Pernah Bohong
12
Bab 12 : Luka yang Tidak Pernah Dipilih
13
Bab 13 : Teman Lama, Luka Baru
14
Bab 14 : Surat yang Tak Pernah Selesai
15
Bab 15 : Di Antara Dua Pilihan
16
Bab 16 : Jalan Pulang yang Berbeda
17
Bab 17 : Perempuan yang Menyembuhkan Dirinya Sendiri
18
Bab 18 : Tak Semua yang Hilang Harus Ditemukan Kembali
19
Bab 19 : Reuni yang Menyudahi Luka
20
Bab 20 : Perempuan yang Kembali Memilih Dirinya
21
Bab 21 : Aku Tak Lagi Menoleh ke Belakang
22
Bab 22 : Langkah yang Tak Lagi Menoleh
23
Bab 23 : Pelan-Pelan, Hatiku Belajar Menolak yang Menyakiti
24
Bab 24 : Luka Lama yang Mengetuk Pintu Kedamaian
25
Bab 25 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
26
Bab 26 : Ketika Dunia Mulai Menatap Tanpa Bertanya
27
Bab 27: Ketika Luka Tak Lagi Membutuhkan Peluk
28
Bab 28 : Dia yang Datang Saat Aku Tak Lagi Menunggu
29
Bab 29 : Antara Bayangan yang Kembali dan Cahaya yang Mulai Menyapa
30
Bab 30 : Luka yang Tersingkap di Hadapan Dunia
31
Bab 31 : Aku yang Kau Ingat Setelah Terlambat
32
Bab 32 : Luka yang Tak Bisa Dibagi
33
Bab 33 : Ada yang Tumbuh, Tapi Bukan Lagi Cinta
34
Bab 34 – Bicara untuk Menyembuhkan Luka
35
Bab 35 : Satu Langkah untuk Diri Sendiri
36
Bab 36 : Ketika Masa Lalu Mulai Mengetuk Lagi
37
Bab 37 : Ketika Luka Menemukan Tempatnya Sendiri
38
Bab 38 : Bukan Luka yang Kupilih, Tapi Diri Sendiri
39
Bab 39 : Antara Rasa yang Baru dan Masa Lalu yang Tak Selesai
40
Bab 40 : Luka yang Kembali Menyeret, dan Arvan yang Tak Menyerah
41
Bab 41 : Di Antara Janji Baru dan Rasa yang Teruji
42
Bab 42 : Luka yang Tak Pernah Selesai
43
Bab 43 : Ketika Luka Tak Lagi Bisa Disembunyikan
44
Bab 44 : Rasa yang Belum Selesai, Luka yang Masih Menganga
45
Bab 45 : Hati yang Mulai Ragu, Tapi Masih Ingin Diselamatkan
46
Bab 46 : Lelaki dari Masa Lalu yang Membawa Janji Baru
47
Bab 47 : Tiket yang Tak Pernah Digunakan
48
Bab 48 : Di Antara Dua Pintu yang Terbuka
49
Bab 49 : Dilema Sebuah Awal Baru
50
Bab 50 : Pelan Tapi Pasti, Cinta Itu Menyembuhkan
51
Bab 51: Luka yang Belum Selesai
52
Bab 52 : Di Antara Pilihan dan Peluang Baru
53
Bab 53 : Bertumbuh Bersama Waktu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!