NovelToon NovelToon

Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu

Bab 1: Pernikahan Tanpa Nama

Aku duduk di sisi ranjang yang dingin, memeluk lutut, dan menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Tak ada jejak langkah. Tak ada suara napas yang menandakan ia pulang. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku bertanya dalam hati: Apakah aku benar-benar tinggal serumah dengan seorang suami, atau hanya menumpang hidup bersama orang asing?

Namaku Nayla Amara. Usia 25 tahun. Sudah tiga tahun menikah dengan Arvan Mahendra, pria yang sejak awal tak pernah mencintaiku. Pernikahan kami bukan karena cinta, tapi karena restu keluarga tepatnya, karena wasiat almarhum ayah Arvan.

Aku ingat jelas detik-detik menjelang akad. Tanganku dingin, lutut gemetar, dan jantungku berdetak kacau. Tapi bukan karena bahagia. Karena aku sadar, lelaki yang akan menjadi suamiku bukan pria yang menginginkanku dalam hidupnya.

“Aku menikah karena Papa. Bukan karena aku menginginkanmu.” Itu kalimat pertama yang ia ucapkan setelah tamu terakhir meninggalkan pesta.

Sejak hari itu, aku tahu tempatku. Bukan di hatinya. Mungkin juga bukan dalam hidupnya. Tapi hanya sebagai nama dalam kartu keluarga. Sebagai pelengkap dalam narasi hidup yang tak ia kehendaki.

Pagi ini pun tak ada yang berbeda. Aku bangun lebih dulu, seperti biasa. Menyiapkan sarapan, menyetrika kemeja kerjanya, dan menyusun berkas yang ia butuhkan di meja. Semua kulakukan tanpa suara, karena sudah tahu: keberadaanku tak pernah diminta, jadi aku belajar untuk tidak merepotkan.

Tapi tetap saja, ia selalu pulang tanpa senyum dan berangkat tanpa pamit.

Sarapan yang kubuat masih utuh. Telur dadar kesukaannya dingin tak tersentuh. Kopi hitamnya bahkan tak disentuh. Dan itu membuatku bertanya-tanya: Masih pentingkah aku di rumah ini?

Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Tak ada bunga. Tak ada pesan. Bahkan tak ada kehadiran. Arvan pergi sejak fajar, seperti biasa.

Kupandangi meja makan yang sepi. Kupaksakan senyum yang tidak sampai ke mata. Tak ada yang peduli, dan aku pun berhenti berharap.

Malam menjelang. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Arvan belum pulang. Aku tak meneleponnya, karena sudah tahu jawabannya: “Jangan ganggu. Aku sibuk.”

Akhirnya aku tertidur di sofa, masih mengenakan daster dan selimut tipis.

Aku terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Arvan masuk dengan langkah berat. Aku berpura-pura tidur, hanya agar tak harus menatap wajahnya yang dingin. Tapi telingaku tak bisa bohong. Aku dengar deru napasnya. Lelah, tapi tak pernah hangat.

Dia melewati ruang tamu tanpa kata. Hanya suara kakinya yang menyentuh lantai. Lalu pintu kamar tertutup. Dunia kami tetap seperti biasanya: sunyi dan tak saling menyapa.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua pernikahan seperti ini?

Aku tahu jawabannya: tidak.

Banyak pasangan saling menyayangi, tertawa bersama, bahkan menangis bersama. Sementara kami? Kami seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama tapi hidup di semesta berbeda.

Aku mencoba bertahan. Tapi pelan-pelan, diriku seperti menghilang. Aku tidak tahu siapa diriku lagi. Aku bukan Nayla yang ceria seperti dulu. Aku bukan Nayla yang punya mimpi dan semangat. Aku hanya... perempuan yang menunggu cinta dari suaminya, dan terus kecewa.

“Nayla... sampai kapan kamu akan begini?”

Pertanyaan itu berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Tapi jawabannya selalu sama: Aku tak tahu.

Yang aku tahu, setiap kali aku hendak pergi, bayangan ibuku yang tersenyum bahagia saat pernikahan kami menghantuiku. Dan aku kembali diam. Bertahan. Dalam pernikahan yang tidak pernah menjadi pilihanku dan jelas-jelas bukan pilihannya juga.

Bab 2: Aku, Istrinya yang Tak Pernah Ia Lihat

Hujan turun sejak siang tadi. Rintiknya menyapu jendela ruang tamu, menciptakan harmoni sendu yang biasanya kunikmati dengan segelas teh dan buku favorit. Tapi tidak malam ini. Malam ini aku duduk terpaku di ruang tamu, mengenakan jaket tipis, menatap kosong pada pintu yang belum juga terbuka sejak sore.

Ponselku sunyi. Tak ada pesan masuk. Tak ada notifikasi. Arvan belum pulang, lagi.

Sudah hampir sebulan ini ia pulang larut, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Dan aku tak pernah tahu di mana ia berada, dengan siapa ia menghabiskan malamnya. Aku hanya bisa menduga, dan mencoba menahan amarah agar tidak berubah menjadi luka baru.

Aku bukan perempuan cemburuan, tapi aku istri. Bahkan istri yang tidak pernah diberi ruang untuk sekadar menanyakan: "Kamu di mana?"

Ketika aku memberanikan diri mengirim pesan minggu lalu, jawabannya hanya:

"Jangan seperti anak kecil, Nayla. Aku sedang kerja."

Aku tertawa miris. Kerja? Jam satu pagi?

Tapi aku tidak melawan. Karena aku tahu, dalam hubungan ini, aku bukan siapa-siapa.

Malam ini, aku kembali menunggu. Seperti perempuan bodoh yang menggantungkan harapan pada seseorang yang bahkan tak pernah melihat keberadaannya.

Setiap jam yang berlalu terasa seperti tamparan.

Jam delapan.

Jam sembilan.

Jam sepuluh.

Akhirnya, pukul sebelas lewat lima belas, pintu depan terbuka. Arvan masuk, basah kuyup, jaketnya setengah terbuka, dan matanya mata itu tidak menunjukkan sedikit pun bahwa dia merindukan rumah ini.

Dia melihatku sekilas lalu melepas sepatunya.

"Aku sudah siapkan makan malam," kataku pelan. Kalimat itu keluar seperti gumaman. Aku tahu ia mendengar, tapi ia tidak menjawab.

Ia hanya berjalan menuju kamar, mengeringkan rambutnya dengan handuk, dan menghindari kontak mata denganku seolah aku adalah hantu masa lalu yang tak layak disentuh.

Aku menyusulnya ke kamar. Entah setan apa yang membisikiku malam ini, membuatku memberanikan diri bertanya.

"Kamu kenapa, Van? Kenapa akhir-akhir ini selalu pulang malam?"

Ia menoleh sekilas, menatapku dengan mata yang dingin, lalu menghela napas panjang.

“Nayla, tolong. Jangan mulai lagi. Aku lelah.”

Kalimat itu mematikan semangatku.

Aku tidak sedang menuduh, aku hanya bertanya.

Tapi begitulah Arvan. Selalu menghindar. Selalu menuduhku menyalahkan. Padahal aku hanya ingin bicara hanya ingin merasa sedikit penting.

"Aku bukan orang asing, Van," bisikku lirih, berharap ia masih mau mendengarkan.

Namun ia malah duduk di tepi ranjang, membuka laptopnya, dan memfokuskan pandangannya pada layar. Membiarkanku berdiri sendiri, menahan tangis yang menggantung di pelupuk mata.

“Aku tahu kamu nggak cinta aku,” lanjutku, masih dengan suara pelan. “Tapi apa salahnya mencoba saling terbuka? Aku juga manusia... aku istrimu.”

Kali ini ia menutup laptopnya, menatapku lurus. Tapi tatapan itu tak hangat. Justru membuat dadaku sesak.

“Dari awal aku sudah bilang, Nayla. Ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Kamu terlalu berharap. Aku menjalani ini karena kewajiban, bukan cinta.”

Kalimatnya seperti bilah pisau. Mengiris dalam, perlahan, tapi mematikan. Aku tidak kuat menahan air mata.

"Apa salahku?" tanyaku hampir tak terdengar.

Arvan tak menjawab. Ia hanya berdiri, mengambil bantal, dan berjalan keluar kamar. Malam itu, ia tidur di ruang tamu. Lagi.

Dan aku?

Aku kembali tidur sendiri. Di ranjang yang besar tapi terasa sempit karena tidak ada kehangatan. Di kamar yang tenang tapi begitu bising karena luka-luka yang tak bisa dibicarakan.

Kadang aku bertanya, jika cinta bukan alasan kami menikah, lalu untuk apa semua ini dipertahankan?

Tapi aku tak punya jawaban. Karena aku tahu, aku sudah terlalu jauh melangkah dalam hubungan yang tak pernah memberi ruang untuk pulang.

Tapi menyerah bukan berarti aku tak ingin dicintai. Aku hanya mulai mengerti, bahwa tidak semua yang kita perjuangkan akan kembali pada kita dalam bentuk yang kita harapkan.

Dan malam itu, sebelum mataku benar-benar terpejam, aku berjanji dalam diam. Jika esok masih sama, jika tak ada perubahan, maka aku akan memulai langkah. Mungkin bukan pergi. Tapi mulai mencintai diriku sendiri lebih dulu.

Pagi datang dengan sisa gerimis. Langit masih kelabu. Aku menyeduh teh, bukan kopi seperti biasa. Aroma melatinya menenangkan, meski hatiku belum sepenuhnya damai.

Arvan masih tidur di sofa, tubuhnya terbungkus selimut tipis. Aku memandangi wajahnya yang tertidur. Lelaki yang dulu kukira akan jadi pelabuhan. Tapi ternyata hanya persinggahan yang tak pernah benar-benar membuka pintu.

Dia tampak tenang saat tidur. Tapi ketenangan itu bukan untukku. Ia milik dunianya sendiri dunia yang tak pernah mengikutsertakan aku di dalamnya.

Kupersiapkan sarapan seadanya. Sepiring telur dadar, nasi hangat, dan sambal favoritnya yang dulu pernah membuatnya tersenyum pada awal pernikahan kami. Tapi aku tahu, senyum itu tak akan muncul hari ini.

Dan memang benar. Saat Arvan bangun dan melihat meja makan, ia hanya menghela napas. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia mengambil gelas, menuang air sendiri, lalu duduk tanpa menatapku.

“Pagi,” ucapku pelan.

“Hm,” hanya itu yang ia balas.

Aku tahu, pagi ini akan sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tapi aku tidak marah. Tidak juga kecewa. Aku hanya merasa kosong. Perasaan yang lebih mengerikan dari luka.

“Aku mau keluar nanti siang,” ucapku, berusaha terdengar ringan.

Dia tidak bertanya ke mana. Tidak juga menanggapi.

“Ada janji dengan teman lama,” tambahku, mencoba memancing reaksi. Tapi lagi-lagi, hanya diam.

Dan diam itu... menyedihkan. Seolah aku tidak pernah penting. Seolah kepergianku tak perlu diketahui karena tak ada bedanya apakah aku ada atau tidak.

Setelah makan, aku masuk kamar. Menatap pantulan wajahku di cermin. Mata sembab karena kurang tidur. Bibir kering karena terlalu lama diam. Tapi dari dalam pantulan itu, aku melihat sesuatu yang berbeda. Aku melihat Nayla yang mulai berani menatap dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.

Kupilih baju terbaik yang kupunya. Sederhana, tapi rapi. Kumasukkan buku harian itu ke dalam tas kecil, entah kenapa. Mungkin aku akan membacanya di luar. Atau membakarnya, kalau aku sudah cukup kuat.

Sebelum keluar kamar, aku menoleh sejenak. Melihat tempat tidur yang rapi tapi hampa. Kamar yang jadi saksi begitu banyak kebisuan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi hari ini, aku memilih melangkah.

Aku berjalan ke ruang tamu. Arvan masih di meja makan, memandangi ponselnya.

“Aku pergi dulu,” ucapku datar.

Kali ini, dia menoleh. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat hatiku berdesir aneh. Bukan karena harap. Tapi karena aku sadar, itu bukan tatapan seseorang yang takut kehilangan.

“Jangan lama,” katanya.

Dan itu saja. Tak ada tanya ke mana, dengan siapa, atau kenapa. Ia tidak peduli. Dan mungkin dari situlah aku tahu: waktunya benar-benar datang.

Aku membuka pintu rumah pelan, membiarkan udara dingin menyambut wajahku. Hujan sudah reda. Tapi bau tanah basah masih menggantung di udara, seperti sisa luka yang belum sempat dikeringkan.

Aku melangkah.

Bukan untuk pergi meninggalkan semuanya, tapi untuk menemukan kembali siapa diriku sebelum semua ini mengaburkan siapa aku sebenarnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku tidak menunggu suara di belakangku memanggil. Karena aku tahu, suara itu tak akan datang.

Dan bahkan jika datang pun mungkin aku tak akan lagi menoleh.

Bab 3: Perempuan Bernama Ailuna

Hari itu aku memutuskan untuk pergi lebih pagi ke pasar. Selain untuk mengisi waktu, aku butuh udara segar. Udara luar yang lebih jujur daripada udara dalam rumah kami yang terasa pengap oleh diam dan dingin.

Sambil berjalan menyusuri lorong pasar, aku sempat berpikir untuk membeli bahan makanan yang Arvan suka lagi. Tapi entah kenapa, langkahku terhenti di depan kios bunga. Aroma melati dan mawar mencuri perhatianku. Sudah lama sekali aku tak menerima bunga. Bahkan di hari ulang tahunku, atau ulang tahun pernikahan kami yang ke dua, yang hanya kuingat sendiri.

Pemilik kios bunga menyapaku dengan ramah.

“Mau pilih bunga, Mbak? Bagus-bagus ini, segar semua.”

Aku tersenyum samar. “Melatinya satu ikat, ya.”

Sampai rumah, aku letakkan bunga melati itu di vas kecil dekat jendela kamar. Hanya itu caraku menyenangkan diri. Tak ada yang lain.

Dan di siang yang terlalu tenang itu, aku melakukan satu kesalahan. Kesalahan kecil tapi fatal.

Ponsel Arvan tertinggal di ruang tengah. Biasanya ia sangat menjaga ponselnya, bahkan membawanya ke kamar mandi. Tapi hari ini, entah kenapa ia lupa.

Aku hanya berniat meletakkannya ke kamarnya. Tapi layar menyala ada notifikasi pesan masuk. Nama pengirimnya: Ailuna.

Aku bukan istri yang posesif. Tapi naluriku langsung menegang.

Aku tahu, aku tidak seharusnya membaca pesan itu. Tapi aku manusia, bukan robot. Dan isi pesan itu membuat seluruh dadaku tenggelam dalam dentuman sakit yang tak bisa kulukiskan.

“Kamu tidur jam berapa semalam? Aku nunggu kamu WA, Van. Aku nggak bisa tidur kalo belum denger suaramu.”

Tanganku gemetar.

Pesan lain muncul.

“Malam ini kita jadi ketemu, kan? Aku kangen.”

Aku meletakkan ponsel itu seperti benda panas yang baru saja membakar kulitku. Seluruh tubuhku bergetar. Ada suara berisik dalam kepalaku, mencoba menyangkal. Tapi aku tahu, itu nyata.

Arvan sudah memilih. Ia hanya belum punya keberanian untuk mengatakan. Ia hanya menjadikan aku sebagai peran figuran dalam drama yang tidak pernah kuinginkan.

Malam harinya, aku duduk di ruang tamu. Menunggu Arvan pulang. Biasanya aku sudah tidur lebih dulu, tapi malam ini aku ingin melihat wajahnya. Aku ingin tahu, apakah ia masih bisa menatapku setelah semua itu?

Jam sembilan malam. Suara mobil masuk halaman.

Arvan masuk, wajahnya lelah. Tapi tidak terkejut melihatku terjaga.

“Kamu belum tidur?” tanyanya datar.

Aku menatapnya. Lama.

“Kamu sayang dia?” tanyaku lirih.

Ia diam, tapi tidak bertanya 'siapa'. Itu sudah cukup menjadi jawaban.

Aku mengangguk pelan. Ada sesuatu yang runtuh di dadaku. Tapi anehnya, tidak ada air mata.

“Sejak kapan?” tanyaku lagi.

“Udah lama,” jawabnya singkat.

“Lebih lama dari pernikahan kita?”

Ia menunduk.

Hatiku seperti dipukul dari dalam. Jadi selama ini... semua ini hanya sebuah penjara yang ia bangun dari kebohongan.

“Kenapa kamu nikah sama aku kalau hati kamu udah milik orang lain?” suaraku pecah.

Arvan menggenggam pelipisnya. “Aku... nggak bisa lawan Papa waktu itu. Dia ancam cabut semua dukungan kalau aku nggak nikah sama kamu.”

“Lalu Ailuna?”

“Dia disuruh mundur. Tapi kami tetap komunikasi diam-diam.”

Diam-diam. Kata yang terdengar seperti tikaman. Sejak awal, aku adalah orang luar. Aku bukan istrinya. Aku hanya penyamar legal di rumah ini.

Aku berdiri. Melihatnya seperti melihat bayangan lelaki yang tak pernah benar-benar kumiliki.

“Kalau begitu... malam ini kamu tidur di kamar kita. Bukan karena aku ingin dekat, tapi karena mulai malam ini, kita tidak lagi bersembunyi di balik formalitas. Aku akan ajukan cerai.”

Arvan menatapku kaget. Tapi aku sudah melangkah.

Untuk pertama kalinya, aku memilih diriku sendiri.

Dan anehnya, malam itu aku tidur lebih tenang dari biasanya.

Bukan karena luka itu hilang. Tapi karena akhirnya aku tahu bahwa aku tak lagi perlu menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Aku tak perlu terus berharap pada cinta yang tak pernah diberi, hanya dipinjamkan sesaat saat keadaan menguntungkan.

Pagi harinya, aku bangun sebelum matahari muncul sepenuhnya. Udara masih lembap bekas hujan semalam. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap keluar jendela tempat bunga melati yang kubeli kemarin mulai merekah perlahan.

Aromanya menyusup pelan ke dalam ruangan, seolah membisikkan bahwa hidup tetap akan berjalan, meski hati kita sempat porak-poranda.

Arvan masih di kamar. Tidurnya gelisah. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya sekarang, dan sejujurnya, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku tak peduli.

Aku membuat sarapan seperti biasa. Bukan untuk dia, tapi untukku. Telur rebus, roti panggang, dan teh hangat. Tak ada kopi pagi ini. Tak ada harapan yang kutaruh di meja makan.

Ponselku penuh pesan dari Dina, sahabat lamaku yang sudah seperti saudara sendiri. Ia menanyakan kabarku, mungkin karena semalam aku sempat mengetik satu kalimat pendek yang seolah tak selesai.

"Aku akhirnya tahu."

Itu saja. Dan mungkin dari situ ia mengerti bahwa sesuatu dalam diriku telah berubah.

Setelah mencuci piring, aku duduk di ruang tengah. Arvan keluar dari kamar tak lama kemudian. Rambutnya kusut. Wajahnya seperti belum tidur semalaman. Tapi aku tak menoleh.

“Apa kamu serius?” tanyanya pelan.

Aku tetap menatap lurus ke depan. “Aku sudah terlalu lama pura-pura tidak tahu. Sudah terlalu lama berpura-pura tidak sakit.”

“Nayla, aku bisa jelasin”

“Tidak perlu.” Aku memotong. Lembut, tapi tegas. “Kamu mencintai orang lain. Dan aku lelah memaksa diriku menjadi rumah buat orang yang tak pernah ingin tinggal.”

Ia menarik napas panjang, menunduk, lalu duduk di kursi seberangku. Wajahnya tak lagi menyimpan arogansi seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin karena dia tahu aku sudah berbeda. Aku bukan Nayla yang akan menunduk sambil bertanya kenapa. Aku adalah Nayla yang akhirnya sadar: cinta tak bisa dipaksa tumbuh di tanah yang penuh kebohongan.

“Apa... kamu yakin cerai solusi terbaik?” tanyanya perlahan.

Aku hanya diam, dan tidak menjawab pertanyaan Arvan, karena yang aku inginkan dari dulu dalam hidupku pernikahan itu cuma sekali saja seumur hidup. Tapi di lain sisi aku juga tidak bisa bertahan dengan situasi seperti ini. Dimana aku merasakan sakit hati dan tidak pernah dihargai sedikitpun oleh suamiku sendiri.

Sebagai seorang istri ingin sekali merasakan perhatian dari seorang suami, tapi yang aku rasakan selama bertahun-tahun aku tidak pernah merasakan kebahagiaan sama sekali. Aku benar-benar diposisi yang tidak tahu arah harus bagaimana. Bertahan sakit melepaskan juga sakit.

Aku harus bagaimana supaya Arvan sadar, sepertinya juga percuma saya pertahankan rumah tangga ini. Hanya membuat aku makan hati setiap hari.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!