Abhi masih tersenyum menuju jalan raya, dia ingin memesan taksi online untuk bisa menuju ke hotel tempatnya menginap, namun sebelum ponselnya berhasil ditemukan, Abhi memilih untuk memberhentikan taksi umum yang lewat.
Di dalam taksi, dibukanya satu kemasan rokok dan menarik satu stripnya Dipandangnya bolak-balik benda berbentuk tabung itu, entah kenapa yang terbayang justru wajah penjualnya.
“Korek Mas?” tanya sopir taksi yang memperhatikan ekspresi kebingungan Abhi.
“Eh Tidak,pak. Terimakasih.”
Abhi mengingat penjelasan singkat yang tadi dia dengar saat Red mendeskripsikan keunggulan produk yang jelas-jelas membahayakan ini.
“Apa iya segar dan menenangkan?”
Abhi menyelipkan pangkal lintingan tembakau itu di antara bibirnya, kemudian mengecap-ecap rasa manis dan mint dari benda itu.
“Sial, kenapa yang terbayang justru bibir merah penjualnya?”
Buru-buru Abhi melepaskan rokok itu dari mulutnya.
“Tapi bener juga, menenangkan!” Dia tersenyum miring.
Supir taksi di depannya mengira Abhi sedang mabuk dan tidak waras karena sejak tadi tersenyum, bicara sendirian dan menghisap rokok yang tidak menyala.
“Sudah sampai, Mas,” ucap pak supir mengingatkan saat mobil mereka berhenti tepat di depan pintu hotel.
Abhi langsung turun dan membayar ongkosnya.
“Mas, rokoknya?” teriak Pak supir ketika melihat dua box rokok tertinggal di dalam mobilnya.
“Buat Bapak aja!” ucap Abhi santai dan berlalu tanpa menoleh ke belakang.
Sedikitnya terbesit penyesalan di hati supir taksi karena sudah menyangka penumpangnya tadi gila.
***
Setelah mencuci wajah, sikat gigi, dan memakai krim malam, Red mengganti pakaiannya. Sebelum meletakkan jaket coklat itu ke dalam keranjang baju kotor, diciumnya sekali lagi bau parfum yang masih lekat di permukaan kain.
Wangi juga, Huum.
Sesuatu berbunyi keras saat baju itu dicampakkan ke dalam keranjang, Red mengambil dan memeriksa semua saku jaket yang tadi dipinjamkan untuknya.
“Astaga, ceroboh banget sih tuh orang?”
Red mengeluarkan sebuah ponsel yang ternyata tertinggal di saku jaket itu dan meletaknya di atas meja rias.
Lalu dia merapikan jumlah uang dan mencatat total penjualan, walau ada sedikit insiden tapi hari ini dia mencapai targetnya.
Lembaran rupiah itu dirapikan sebelum diselipkan ke dalam buku jurnal penjualan. Red meraih ponselnya, ada sepuluh panggilan tak terjawab, dari Abah.
Sebentar lagi jam dua belas, tidak biasa orang tuanya itu menghubungi tengah malam. Red segera membuat panggilan balik.
“Abah, ada apa?”
“Kamu dari mana Aruna Nureda? Udah seratus kali Abah telpon baru sekarang kamu telpon balik!” omel lelaki paruh baya dari sebrang sana.
“Runa baru selesai bikin tugas, Abah.” Ucapnya berbohong. “Abah telpon Runa baru sepuluh kali Bah, bukan seratus.” Red membela diri, abahnya memang kerap begitu sejak ditinggal Ibu, mengomel dengan majas hiperbola, kadang menggunakan diksi rumit yang sulit dipahami daya tangkap anaknya yang pas-pasan itu.
“Kamu sudah shalat isya belum?”
Walau usia Red kini sudah dua puluh lima tahun, tapi Abah tidak pernah berhenti mengingatkannya untuk shalat lima waktu.
“Sudah, Bah.” Red berbohong agar diksi Abah tidak semakin tinggi atau dia harus membuka KBBI untuk dapat mengartikan kalimat pujangga sang Abah, “kenapa Abah telpon malam-malam gini?”
“Razqa demam, dari tadi manggil Daddy,” ucap lelaki itu dengan nada khawatir.
“Beneran demam Bah? Sudah di ukur suhunya?”
Tanya Red mengkonfirmasi, karena sikap Abah yang kadang berlebihan termasuk dalam hal membaca suhu tubuh. Pernah sewaktu Razqa batuk pilek biasa, Abah langsung meminta Red memeriksakan cucunya itu ke dokter THT hanya karena abah terpengaruh melihat postingan lewat di laman fesbuknya.
“Soal kesehatan Razqa Abah tidak pernah berlebihan, Runa!”
Ternyata Abah menyadari dirinya berlebihan kecuali tentang Razqa.
“Besok Runa coba hubungi Mas Rangga ya Bah, semoga dia bisa ketemu Razqa.”
Red menghela nafas berat, ditatapnya potret foto keluarga kecil yang terbingkai indah di atas meja riasnya. Pose saat dia berada di antara Rangga mantan suaminya dan Razqa putera semata wayang mereka.
Hati Red pedih setiap kali Razqa memanggil sang ayah, memang baru dua bulan dia mendapatkan resmi surat cerai dari pengadilan, tapi mereka sudah hampir enam bulan tidak tinggal bersama.
Masa iddahnya sudah lewat, tapi tidak dengan cinta suci yang Red bina selama hampir lima tahun pernikahan mereka.
“Abah tak sudi melihat laki-laki itu datang ke rumah ini!” hardik sang Abah penuh drama.
“Abah … Razqa mau ketemu Daddynya, Runa belum bisa pulang, harus ngejar dosen buat bimbingan supaya bisa cepat selesai dan bisa sidang bulan depan.” Red coba menjelaskan.
Red menyembunyikan pekerjaannya saat ini pada Abah, karena Abah pasti tidak setuju dan akan menceramahinya habis-habisan.
Red hanya bisa berharap, abahnya tidak pernah tau apa yang dia kerjakan sampai nanti dia selesai membiayai kuliahnya dengan pekerjaan ini. Hanya tinggal sedikit lagi, dan dia akan meninggalkan semuanya.
“Ah terserah kalian lah! Jenuh Abah melihatnya, karna urusan orang dewasa yang tidak becus membina cinta, cucu Abah yang jadi korbannya!” gerutu Abah.
Sesaat kemudian, terdengar suara Razqa yang terbangun karena mendengar kakeknya mengomel terlalu keras. Abah menyerahkan ponsel itu pada cucunya.
“Assalamualaikum, Mimi …” panggilnya manja.
“Razqa anak Mimi, soleh, ganteng. Kenapa belum tidur sayang?”
“Mimi, kapan jemput Abang? kapan kita tinggal sama-sama lagi? Abang kangen mimi, juga Daddy.”
Red menjauhkan ponsel itu dari kupingnya, biar hatinya saja yang memanas, kupingnya jangan. anak lelakinya yang baru berusia 4 tahun itu hampir mirip dengan sang kakek, pandai merangkai kata.
Padahal Razqa dibesarkan murni dari didikan Red dan Rangga, baru enam bulan sejak mimi dan Daddynya harus pisah rumah, Razqa diantar ke Tanjungpinang untuk tinggal bersama kakeknya.
Walau sudah hampir setengah tahun, rengekan Razqa masih sama. Ingin tinggal bersama Daddy dan Mimi seperti biasanya. Berat untuk Red menjelaskan pada Razqa kenyataan yang sebenarnya sehingga dia memilih berjuang agar Rangga benar-benar memegang janji untuk merujuknya kembali.
“Razqa sekarang bobok sama kakek dulu ya nak, besok Daddy kesana main sama Razqa, oke boy?” Red menahan isaknya.
“Cuma main ya mi? Abang Razqa gak boleh ikut Daddy pulang ke rumah?” tanya Razqa baik-baik.
Red menutup mulutnya, tak ingin suara tangis itu didengar puteranya. Ternyata di sebrang sana, Abah mengambil alih ponsel itu dan kembali berbicara dengan puterinya.
“Sudahlan Runa, sebaiknya kamu istirahat juga. Razqa biar Abah yang hibur disini. Jangan lupa kamu hubungi sekarang juga fakboy itu suruh besok temui anaknya. Yang sopan bilang kalau bertamu ke rumah orang!”
“Astaga, Abah. Kok fakboy sih? Itu Razqa masih denger Abah ngatain Daddynya begitu.”
“Runa … Runa … Ibu dan Abah mendidik kamu dengan penuh cinta, kamu lihat sendiri kan hanya maut yang memisahkan kami berdua, Abah masih sendiri sampai sekarang untuk memberi contoh kepada mu bahwa kesetiaan itu mahal harganya, tapi anak Abah sendiri malah harus merasakan pedihnya pengkhianatan dan memberikan tontonan drama kehancuran rumah tangga kepada buah hati kalian! dan bodohnya lagi kamu masih bertahan dan berharap dia kembali!” tutur Abah yang masih tidak terima jika Red masih terus membela mantan suaminya. Untuk Abah, kesalahan Rangga dan keluarganya hampir tidak termaafkan.
“Yasudah Abah, Runa hubungi Mas Rangga dulu. Abah juga istirahat ya, jaga kesehatan.”
Setelah mengakhiri panggilannya dengan sang Abah, Red segera menghubungi Rangga, dia masih menyimpan kontak Rangga dengan nama Razqa’s Daddy. Selamanya tidak akan terganti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
may
Lain kali jangan suudzon ya pak sopir🤭
2025-01-28
0
may
Abah ngerti fakboy juga🤣
2025-01-28
0
Rosida maghrib
sedih thor kasian razqa
2024-09-24
0