Sajadah Terakhir
"Mas. Aku bingung ini mas. Besok kita mau makan apa? Beras sudah habis, uang pun nggak punya."
"Sabar, dek. Jangan takut kelaparan. Allah maha kaya, maha pemberi rizki. Sangat mudah bagi-Nya untuk memberi kita rizki agar kita tak kelaparan. Tinggal kitanya saja, bisa atau tidak merayu-Nya agar mau memberikan rizki itu ke kita."
"Ya aku tau, mas. Tapi kan kita mesti ikhtiar juga toh. Rasanya aku pingin kerja lagi, mas. Sementara saja, sampai kamu bisa bekerja kembali seperti dulu."
Kecelakaan saat mudik hari raya, tepatnya 3 bulan yang lalu, membuat Mas heru jadi beristirahat lama di rumah. Kakinya patah dan remuk. Harus membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihannya. Belum lagi pengobatannya yang membutuhkan banyak waktu dan biaya. Ya, meski semua biaya pengobatan saat operasi dan rawat inap ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Namun untuk biayaku makan sehari-hari dan ongkos bolak-balik ke rumah sakit membuatku harus pinjam sana-sini.
"Terus yang urus Aris nanti siapa, dek? Kamu tau sendiri, aku mengurus diriku saja susah. Gimana mau mengurus Aris?"
"Ya 'kan mas bisa coba ngomong ke ibu. Minta tolong jaga Aris selama aku tinggal kerja. Sepulang dari kerja, langsung di ambil lagi Arisnya. Toh cuma sementara. Nggak selamanya."
Mas heru yang tengah rebahan hanya menatap langit-langit. Ia tak menimpali perkataanku. Karena Dia tahu, Ibunya tak akan mau mengurusi Aris yang masih berusia 4 tahun. Padahal Aris merupakan satu-satunya cucu Ibu mertuaku. Semua bukan tanpa sebab. Ibu mertua tak pernah menyukaiku. Dari awal Mas heru dekat denganku, Ibu mertuaku sudah memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Mas heru sebenarnya sudah dijodohkan dengan anak juragan tanah. Tapi Mas heru lebih memilihku untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya Ibu mertua tak suka dengan Aris.
"Ya sudah, dek. Besok aku coba bicara sama ibu. Barangkali ibu terketuk hatinya mau menolong kita menjaga Aris."
"Iya, mas. Mudah-mudahan, InshaAllah. Yowis, mas istirahat. Sudah larut malam. Aku mau nyetrika pakaian dulu, mumpung Aris tidur."
Mas heru tersenyum dan mengangguk pelan. Ku matikan lampu kamar, kemudian bergegas keluar menghampiri pakaian yang sedari tadi memanggil-manggil diriku. Tanganku asik menggosok maju mundur alat yang biasa ku pakai untuk melicinkan pakaian. Tiba-tiba, bayangan masalalu pun berputar kembali menggelayut di depan mataku.
--
"Restu seorang ibu sangat penting, heru! Kalau kamu tetap menikahi perempuan miskin ini, mana bisa kamu memperbaiki derajat dan martabat keluarga? Bahkan untuk membuat ibumu bahagia saja, kamu enggan. Tanpa restu ibumu, bagaimana kamu akan mendapat ridho dari-Nya?"
"Bu, aku sangat paham, ridho ibu adalah ridho-Nya. Tapi bagaimana mungkin, aku menuruti kemauan ibu untuk menikahi gadis yang sama sekali tak aku cinta? Justru aku akan sangat berdosa bila menikahinya, bu."
"Sudahlah, heru. Kalau kamu tetap bersikeras menikahinya. Jangan harap ibu merestui dan menerimanya di keluarga ini. Ayahmu sudah tak ada, jadi seharusnya kamu mendengar apa yang ibu perintahkan."
Aku yang dibawa mas heru ke rumahnya untuk diperkenalkan dengan ibunya sebagai calon istri pada saat itu, hanya terdiam menahan sakit yang tiba-tiba menusuk dadaku.
--
'Ibu ... Aku sudah tak punya kedua orangtua. Awalnya aku berharap, dengan menikah, aku bisa lagi memiliki orangtua. Tapi itu hanya harapan kosong. Bahkan anakku seperti tidak mempunyai nenek,' batinku menangis.
"Umi ... Huhuhu ... Umi ..." Aris tiba-tiba menangis memanggilku. Ia terbangun.
Buru-buru ku usap air mata ku yang terlanjur menetes. Ku putar tombol pengatur panas ke titik rendah pada setrika. Ku tinggalkan, lalu beralih ke kamar Aris.
*****
Pagi-pagi sekali aku sudah rapi dengan berpakaian seperti halnya orang-orang yang ingin melamar pekerjaan. Sebelumnya sudah kusiapkan semua keperluan dan kebutuhan untuk Aris dan juga Mas heru, termasuk memasak ala kadarnya yang itupun dari hasil kasbon di warung sebelah rumah.
"Kamu sudah hubungi ibu, mas?"
"Sudah. Tapi belum bilang mau menitipkan Aris padanya. Cuma ku pinta untuk main ke sini, karena ada sesuatu yang harus di omongin langsung."
"Terus?"
"Ya, ibu mau. Kesini."
"Ya sudah, mas. Aku pamit ya. Doakan aku agar dipermudah."
"Pastilah, dek. InshaAllah, Allah ridho. karena mas sudah ikhlas dan ridho kamu mencari kerja di luar sana."
"Makasih, mas. Titip salam ya buat ibu. Sampaikan juga maaf ku padanya, karena harus merepotkan nya. Assalamualaikum!"
"Iya. Waalaikumsalam. Hati-hati, dek."
Aku mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan Mas heru yang sedang sarapan, dan Aris yang masih tertidur pulas.
*****
Waktu berputar semakin cepat. Panas terik matahari tak ku rasakan lagi. Sudah beberapa pabrik ku datangi untuk melamar kerja. Tapi nihil. Tak ada lowongan satu pun pabrik-pabrik yang sudah ku datangi. Aku mulai putus asa. Rasa lapar dan haus pun menghampiriku. Untungnya, aku membawa bekal yang ku masak tadi pagi. Mataku memencar sekitaran. Mencari tempat teduh yang nyaman untuk menghabiskan bekalku. Aku pun memilih tempat tepat di bawah pohon yang cukup rindang.
"Alhamdulillah!" ucapku yang sudah melepas lapar dan dahaga.
"Wulan? Wulan 'kan?"
"Ehh. I-iya. Maaf, mbak siapa, kok tau namaku?"
"Wulaaaaannnn. Kamu tuh nggak berubah ya. Tetap cantik dari dulu. Pangling aku! Ini Mira, temanmu waktu SMA. Masa nggak ingat?"
"Ya Allah ... Kamu mir? Ku kira siapa! Aku yang pangling sama kamu! Cantik sekali, awet muda!"
"Ahh. Kamu ... Bisaaaaa saja!"
"Loh. Serius toh mir. Sukses kamu sekarang ya! Penamoilanmu kaya bos besar. Hihihi," kataku sambil tertawa.
Mira hanya tersenyum melihatku tertawa. Kemudian dia melihatku dengan tatapan bingung.
"Lan. Kamu ngapain bawa-bawa map coklat? Kaya mau lamar kerja."
"Iya, mir. Aku lagi cari-cari kerja buat bantu suami yang belum bisa kerja lagi sampe sekarang."
"Memang suamimu kenapa?"
"Kecelakaan sudah 3 bulan yang lalu waktu sepulang mudik"
"Innalillahi ... Kamu yang sabar ya, Wulan. Maaf sebelumnya, Lan. Memang kamu lulusan apa"
"Cuma lulusan SMA, mir. Paling mentok-mentok ya jadi kuli."
"Jangan begitu. Nggak baik merendah diri. Kamu kerja di kantorku saja. Daripada kamu muter-muter nggak jelas mau kemana."
"Hah? Kantor? Serius aku mau di tempatin kerja di kantor? Aku cuma lulusan SMA loh, mir."
Aku yang mendengar tawaran dari Mira terbelalak tak percaya. Rasanya tak mungkin lulusan SMA bekerja di kantor. Atau Mira mau mempekerjakanku sebagai cleaning service? Entahlah, tak apa menurutku. Yang terpenting, sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa memperoleh uang untuk keperluan hidup keluargaku.
Dugaan ku salah. Setelah interview dan yang lainnya selesai, aku di kejutkan kalau aku bekerja sebagai staff kantor. Aku tak menyangka, Mira begitu baik padaku. Berkatnya, aku tak perlu lagi panas-panasan untuk mencari pekerjaan. Tak sabar rasanya ingin ku bawa pulang kabar baik ini.
*****
"Assalamualaikum," ucapku senang ketika memasuki rumah.
Tak ada jawaban. Kemana mereka. Ku cari, rupanya Mas heru ada di kamar Aris.
"Assalamualaikum," ku ucapkan lagi.
"Waalaikumsalam." Mas heru menjawabnya.
"Ini nih. Istri tak punya otak. Sudah tau suami lagi sakit, anak juga masih kecil, di tinggal-tinggal pergi!" cerocos ibu mertua ketika aku baru saja tiba.
Aku tak mengurusi perkataan ibu mertuaku. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Sampai semua berkumpul di kamar Aris.
"Ada apa, mas? Aris kenapa?"
"Tadi Aris main di luar sebentar. Terus pulang-pulang nangis megangin kepala dan dada. Katanya jatuh dari tangga warungnya bu nani."
Warung Bu nani memang tinggi, ada tangga yang menghubungkan warungnya dengan jalan, karena tepat di depan warung, ada parit besar dan dalam.
"Ya Allah. Terus gimana keadaannya, mas?"
Aku langsung menyungkur mendekati Aris yang sedang tertidur.
"Dari yang aku lihat, bagian luar nggak ada yang luka. Hanya saja aku kawatir, akan ada luka dalam. Soalnya daritadi Aris mengeluh sakit di bagian dada dan kepala."
"Ini semua salahmu! Kalau anakmu sampai mati gimana? Anak kecil begini kok di tinggal-tinggal! Malah nyuruh ibu untuk menjaganya. Ibu nggak sudi!"
"MashaAllah, bu. Aku keluar bukan untuk bermain. Bukan untuk bersenang-senang seorang diri. Aku mencari kerja untuk membantu Mas heru cari uang."
"Alasan! Aku tau sebenarnya kamu capek dan bosan mengurusi suamimu yang seperti ini. Ya kan? Makanya kamu cari-cari alasan biar bisa keluar."
"Astagfirullah, Bu. Nggak seperti itu."
"Umi ... Umi ..."
Kulihat Aris tiba-tiba bangun dan meringis kesakitan memanggil namaku. Wajahnya sangat pucat. Ku pegang, panas sekali suhu tubuhnya.
"Umi di sini, nak. Kamu kenapa sayang? Mana yang sakit?"
"Dada aku sesak, mi. Kepalaku berputar."
Aku langsung membuka baju yang melekat di tubuh Aris. Mataku terbelalak melihat tubuh bagian dada Aris membiru seperti habis terhujam benda tumpul dan keras.
"Astagfirullah. Kamu jatuh di mana sampai seperti ini?"
Nafas Aris kian tersengal. Ia seperti merasakan sesak yang luar biasa.
"Aku rebutan sajadah dengan Dodi, mi. Lalu jatuh kepentok batu."
"Mas kenapa ngebiarin Aris keluar sih, mas?" kataku yang sudah menangis.
"Umi ... Aku mau sajadah seperti punya Dodi. Belikan aku sajadah, umi!"
"Iya, nanti kalau umi ada uang, umi belikan ya, nak."
"Aku mau sekarang, umi. Aku mau sekarang."
Aris terus merengek meminta dibelikan sajadah. Ia terus menangis. Melihatnya yang seperti ini, membuatku sakit. Susah sekali rasanya hidupku, untuk sekedar membelikannya sajadah kecil saja aku tak mampu.
"Kita berobat dulu ya, nak. Takut ada luka yang bahaya di dalamnya. Nanti kalau Aris sudah sembuh, umi langsung belikan sajadah buat Aris."
"Uang saja tak punya, pake segala mau berobat. Mau bayar dengan apa, kamu?" kata Ibu mertua ketus.
"Ibu. Sudah, bu. Kasihan Aris kalau masih pada ribut. Ibu tenang saja, kami sudah mendaftarkan Aris di BPJS," ujar Mas heru yang akhirnya membuka suara.
Aris pun segera ku bawa ke rumah sakit. Walau tanpa uang sepeser pun di tanganku, aku tetap membawanya. BPJS memang sama sekali tak mengeluarkan biaya. Tapi setidaknya harus ada pegangan untuk aku berjaga-jaga. Aku tahu, Ibu mertua punya banyak uang, tapi aku tak cukup berani untuk meminjam kepadanya. Dimintai tolong untuk menjaga Aris saja, ia tak mau, sampai Aris harus seperti ini. Apalagi urusan uang. Aku pasrah walau dengan tangan kosong. Saat ini hanya kesehatan Aris yang ku utamakan.
\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Nisa A.
ya ampun 😭
2022-04-26
0
𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕
nyesek bacanya kasihan Aris😭😭😭😭😭
2021-12-28
0
Wafa Almira mahdya mahrin
kok kayak cerita di tv ya
2021-05-27
0