Di ruang IGD, Aris sudah terbaring dengan selang infus di tangannya. Nafasnya semakin sesak. Tanpa pikir panjang, dokter langsung memasang selang oksigen ke hidung Aris yang mungil. Sungguh, aku tak dapat menahan airmataku. Melihatnya tak berdaya seperti ini, membuatku amat tersiksa.
"Maaf, dengan ibu siapa?"
"Wulan, dok."
"Oke, ibu Wulan. Luka lebam yang membiru dan cenderung kehitaman di dada Aris, bukan luka lebam biasa."
"Maksudnya, dok?" aku bertanya tak mengerti.
"Begini, bu. Jadi, luka lebam biasa itu akan sembuh dan menghilang sendiri dengan cepat, dan tak akan ada efek apapun selain rasa nyeri. Tapi, kasus luka lebam Aris bukan luka lebam biasa, ini karena tulang rusuk Aris ada yang patah. Kami menduga, paru-parunya terkena tekanan atau bahkan tertusuk tulang yang patah akibat benturan hebat yang langsung mengenai tulang rusuk Aris. Dari luar memang tampak seperti lebam biasa. Tapi di dalam, bisa saja mengakibatkan pendarahan. Makanya, Aris harus segera kami tindak lanjuti."
Mendengar paparan dokter, hatiku semakin hancur. Pandanganku tiba-tiba gelap, dan tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku hampir saja pingsan.
"Ibu nggak papa?" tanya dokter yang melihatku memegangi kepala.
"Nggak papa, dok."
"Ya sudah kalau begitu, tunggu petugas datang ya, bu. Nanti akan di antar ke ruang rawat inap."
'Ya Allah ... Rasanya aku tak sanggup melihat anak semata wayang ku merasakan sakit seperti ini. Tolong sembuhkan Aris ya Allah ... Dia masih teramat kecil,' batinku menangis lirih.
*****
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Aris gimana keadaannya, dek? Kenapa kamu sendiri?"
"Aris harus di operasi, mas! Untuk beberapa hari ini mesti rawat inap sebelum operasi." kataku langsung menangis.
"MashaAllah, dek. Maafkan aku ya, dek. Ini semua karena aku. Jaga anak sendiri saja aku nggak becus. Sudah lama memang Aris minta di belikan sajadah kecil seperti teman-temannya itu padaku. Setiap kali merengek, aku cuma berjanji nanti akan ku belikan. Maafkan abi, nak. Abi memang sudah tak berguna." kata mas Heru yang juga ikut menangis.
"Jangan bicara seperti itu, mas. Nggak baik menyalahkan diri sendiri. Saat ini, Aris nggak butuh tangisan. Dia butuh doa, mas!"
"Astagfirullah ..." mas Heru menghela nafas panjang.
"Ibu mana, mas? Sudah pulang lagi?" tanyaku yang sedari tadi mencari sosok ibu mertuaku.
"Iya. Begitu Aris kamu bawa, ibu langsung pulang."
"Sampai kapan ibu akan seperti ini, mas?"
"Aku juga nggak tau, dek. Mungkin sampai aku pergi untuk selamanya. Ibu baru akan sadar dan berubah!"
"Ya jangan seperti itu lah, mas, bicaranya. Ya sudah, aku mau siapin keperluanku dan Aris. Takut Aris bangun, nanti bingung nyari aku."
Mas Heru mengangguk pelan. Kulihat kesedihan yang teramat dalam menaungi wajahnya. Aku tak ingin membuatnya semakin gusar dan bersalah. Ku usap airmata yang juga membasahi pipiku. Aku tak mau mas Heru melihatku menangis lagi.
'Aku harus kuat! Ini ujian dari-Nya. Ujian sekaligus teguran, bahwa apapun bisa saja terjadi atas kehendak-Nya.'
Tas jinjing besar yang biasa kubawa untuk mengisi pakaianku saat mudik, kini ku gunakan untuk mengisi pakaianku dan Aris saat di rumah sakit. Ku segerakan langkahku untuk kembali menemani Aris. Pak Iwan yang sejak awal mengantarku dan Aris ke rumah sakit, sudah menungguku di depan rumah.
Sebelumnya, aku berjalan kaki dari rumah sakit menuju ke rumah. Karena pak Iwan hanya mengantar dan langsung pulang. Ketika aku melewati rumahnya, pak Iwan langsung menanyakan Aris.
--
"Lan, si Aris mana? Kok kamu sendiri?"
"Aris masih di rumah sakit, pak. Aku pulang cuma mau ambil keperluanku dan Aris."
"Ya Allah ... Jadi teh si Aris di rawat?"
"Iya, pak."
Langkahku terburu-buru. Ku jawab sekenanya ketika pak Iwan bertanya.
"Ya sudah, Lan. Nanti saya antar kalau sudah mau berangkat." teriak pak Iwan yang melihatku sudah menjauh dari pandangannya.
Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Tanda setuju dan mau dengan tawarannya.
--
"Mas, aku pergi ya. Besok pagi-pagi sekali aku pulang. Kamu jangan khawatir, aku juga tetap akan mengurusimu. Kamu baik-baik ya. Doakan Aris!"
"Kamu fokus saja ke Aris, dek. InshaAllah, aku bisa sendiri. Kalau harus bolak-balik, kasihan kamunya, dek."
"Nggak apa, mas. Sehabis sholat subuh, aku langsung ke sini. Sekalian kan, bisa olahraga."
Mas Heru tersenyum melihatku. Sudah tak ada lagi kegusaran di raut wajahnya. Aku pun ikut tersenyum. Walau sebenarnya, aku amat khawatir meninggalkan mas Heru sendirian dengan keadaannya.
"Yowis, mas. Takut kelamaan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati, dek."
Tak lebih dari 10 menit, motor pak Iwan sudah membawaku tiba di depan rumah sakit tempat Aris dirawat. Pak Iwan memang sangat peduli dengan keluargaku. Apalagi dengan Aris. Sudah dianggap seperti cucu sendiri.
"Makasih ya, pak. Maaf kalau direpotin terus."
"Jangan sungkan atuh, Lan. Cuma mengantar saja mah, nggak repot. Nih, ada titipan dari ibu buat keperluan kalian di sini. Nggak seberapa, tapi lumayan buat pegangan."
Bu Iwan tak jauh sikapnya seperti pak Iwan terhadapku. Mereka memang sangat baik. Bahkan terlalu baik
"Ya Allah, pak. Aku malu loh, pak. Terlalu banyak menyusahkan bapak dan ibu."
"Nggak papa atuh, Wulan. Saya sangat mengerti kondisi kamu sekarang. Soal si Heru, biar nanti saya dan ibu yang mengurus. Kamu fokus saja dengan kesembuhan Aris, ya!"
Airmataku jatuh tak terkontrol. Aku sangat terharu dengan perhatian dan kebaikan pak Iwan dan istrinya. Mereka yang bukan siapa-siapa, begitu sangat mempedulikan keluargaku. Tangisku semakin tak bisa ku tahan.
"Sekali lagi, makasih ya, pak. Semoga kebaikan bapak dan ibu diganti dengan rejeki yang berlimpah dan berkah. Aamiin."
"Aamiin. Ya sudah, saya langsung pulang ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Titip salam buat ibu ya, pak."
*****
Tiga hari sudah aku menemani Aris. Aku pun sudah bicara dengan Mira, belum bisa memulai bekerja dan ijin beberapa hari menemani Aris yang sedang sakit. Tetangga dan kerabat dekat bergantian datang menjenguk. Hanya satu yang mengganjal hati ini. Ibu mertuaku, neneknya Aris yang sampai saat ini tak datang untuk menjenguknya. Jangankan untuk menjenguk, sekedar bertanya keadaannya saja pun tidak. Hatinya terbuat dari apa, hingga begitu tega dengan anak sekecil Aris.
Jadwal operasi Aris pun sebentar lagi. Meskipun Aris terlihat mulai membaik kondisinya, tapi harus tetap di lakukan operasi. Karena dokter khawatir akan infeksi jika dibiarkan.
"Mi, aku mau pulang. Aku nggak mau di sini terus. Aku mau sama abi. Aku kangen sama abi. Aku mau pulang. Abi ... Huhuhuhu ..."
Aris terus saja merengek meminta pulang. Aku tau, Aris sangat tersiksa dengan rasa sakitnya. Saat Ia bicara, menangis, tertawa, bahkan sekedar bernafas, sesekali ku lihat ia menahan rasa sakit di dadanya.
"Sudah, nak. Jangan nangis terus, nanti tambah sakit dadanya. Sebentar lagi, kalau dada Aris sudah nggak sakit lagi, pasti dokter nyuruh Aris pulang biar ketemu sama abi."
"Tapi aku nggak mau di sini, umi. Aku mau sama abi. Aku takut, umi."
Tangisan dan rengekan Aris semakin mengencang. Aku tak tau harus apa. Semakin aku coba membujuk agar ia diam dan berhenti menangis, justru rengekannya malah semakin menjadi.
"Aris ... Aris nggak sayang sama umi? Umi Kan mau nya Aris sembuh dulu, baru pulang. Kalau Aris tetap mau pulang, tapi belum sembuh, nanti umi yang nangis."
Mendengar aku bicara dengan memelas, Aris terdiam. Tangisan dan rengekannyalangsung terhenti seketika.
"Aku cuma mau sajadah, umi. Abi kan sudah janji mau belikan aku sajadah. Aku nggak mau pakai sajadah abi yang besar dan robek itu. Aku nggak mau, umi."
"Iya, nak. Umi janji, kalau Aris sudah sembuh dan sudah di bolehkan pulang sama dokter, pulangnya kita langsung ke toko beli sajadah, ya! Nanti Aris pilih sendiri sajadah mana yang Aris mau."
"Betul, mi? Umi nggak bohong kan? Nanti sekalian belikan untuk abi juga ya, mi. Sajadah abi kan sudah robek."
Wajahnya seketika berubah. Bibir mungilnya kini memperlihatkan senyuman. Aris sudah kembali tenang dan bisa ku kontrol. Sejak kecil Aris rajin di ajak mas Heru untuk menunaikan sholat berjamaah di mesjid yang tak jauh dari rumah. Tapi sejak kecelakaan itu, mas Heru sudah tak bisa lagi ke mesjid. Aris pun sudah sangat jarang pergi ke mesjid. Hanya sesekali saja, itu pun jika di ajak tetangga sebelah rumah yang kebetulan lewat ingin ke mesjid.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
💞🍀ᴮᵁᴺᴰᴬRiyura🌾🏘⃝Aⁿᵘ
disaat kita dlm kesulitan dan semua saudara menjauh...memang rasa nya itu sangat meyesakkan...
krn aku juga pernah mengalaminya dulu..disaat suami yg sakit dan harus keluar masuk rumah sakit dan saudara tak ada yg peduli😭😭😭😭
2023-03-25
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
sedihnya😭😭😭😭😭😭😭
2021-12-28
0
Fufa Reys
😔
2021-06-09
0