NovelToon NovelToon

Sajadah Terakhir

Aris Yang Malang

"Mas. Aku bingung ini mas. Besok kita mau makan apa? Beras sudah habis, uang pun nggak punya."

"Sabar, dek. Jangan takut kelaparan. Allah maha kaya, maha pemberi rizki. Sangat mudah bagi-Nya untuk memberi kita rizki agar kita tak kelaparan. Tinggal kitanya saja, bisa atau tidak merayu-Nya agar mau memberikan rizki itu ke kita."

"Ya aku tau, mas. Tapi kan kita mesti ikhtiar juga toh. Rasanya aku pingin kerja lagi, mas. Sementara saja, sampai kamu bisa bekerja kembali seperti dulu."

Kecelakaan saat mudik hari raya, tepatnya 3 bulan yang lalu, membuat Mas heru jadi beristirahat lama di rumah. Kakinya patah dan remuk. Harus membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihannya. Belum lagi pengobatannya yang membutuhkan banyak waktu dan biaya. Ya, meski semua biaya pengobatan saat operasi dan rawat inap ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Namun untuk biayaku makan sehari-hari dan ongkos bolak-balik ke rumah sakit membuatku harus pinjam sana-sini.

"Terus yang urus Aris nanti siapa, dek? Kamu tau sendiri, aku mengurus diriku saja susah. Gimana mau mengurus Aris?"

"Ya 'kan mas bisa coba ngomong ke ibu. Minta tolong jaga Aris selama aku tinggal kerja. Sepulang dari kerja, langsung di ambil lagi Arisnya. Toh cuma sementara. Nggak selamanya."

Mas heru yang tengah rebahan hanya menatap langit-langit. Ia tak menimpali perkataanku. Karena Dia tahu, Ibunya tak akan mau mengurusi Aris yang masih berusia 4 tahun. Padahal Aris merupakan satu-satunya cucu Ibu mertuaku. Semua bukan tanpa sebab. Ibu mertua tak pernah menyukaiku. Dari awal Mas heru dekat denganku, Ibu mertuaku sudah memperlihatkan ketidaksukaannya padaku. Mas heru sebenarnya sudah dijodohkan dengan anak juragan tanah. Tapi Mas heru lebih memilihku untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya Ibu mertua tak suka dengan Aris.

"Ya sudah, dek. Besok aku coba bicara sama ibu. Barangkali ibu terketuk hatinya mau menolong kita menjaga Aris."

"Iya, mas. Mudah-mudahan, InshaAllah. Yowis, mas istirahat. Sudah larut malam. Aku mau nyetrika pakaian dulu, mumpung Aris tidur."

Mas heru tersenyum dan mengangguk pelan. Ku matikan lampu kamar, kemudian bergegas keluar menghampiri pakaian yang sedari tadi memanggil-manggil diriku. Tanganku asik menggosok maju mundur alat yang biasa ku pakai untuk melicinkan pakaian. Tiba-tiba, bayangan masalalu pun berputar kembali menggelayut di depan mataku.

--

"Restu seorang ibu sangat penting, heru! Kalau kamu tetap menikahi perempuan miskin ini, mana bisa kamu memperbaiki derajat dan martabat keluarga? Bahkan untuk membuat ibumu bahagia saja, kamu enggan. Tanpa restu ibumu, bagaimana kamu akan mendapat ridho dari-Nya?"

"Bu, aku sangat paham, ridho ibu adalah ridho-Nya. Tapi bagaimana mungkin, aku menuruti kemauan ibu untuk menikahi gadis yang sama sekali tak aku cinta? Justru aku akan sangat berdosa bila menikahinya, bu."

"Sudahlah, heru. Kalau kamu tetap bersikeras menikahinya. Jangan harap ibu merestui dan menerimanya di keluarga ini. Ayahmu sudah tak ada, jadi seharusnya kamu mendengar apa yang ibu perintahkan."

Aku yang dibawa mas heru ke rumahnya untuk diperkenalkan dengan ibunya sebagai calon istri pada saat itu, hanya terdiam menahan sakit yang tiba-tiba menusuk dadaku.

--

'Ibu ... Aku sudah tak punya kedua orangtua. Awalnya aku berharap, dengan menikah, aku bisa lagi memiliki orangtua. Tapi itu hanya harapan kosong. Bahkan anakku seperti tidak mempunyai nenek,' batinku menangis.

"Umi ... Huhuhu ... Umi ..." Aris tiba-tiba menangis memanggilku. Ia terbangun.

Buru-buru ku usap air mata ku yang terlanjur menetes. Ku putar tombol pengatur panas ke titik rendah pada setrika. Ku tinggalkan, lalu beralih ke kamar Aris.

*****

Pagi-pagi sekali aku sudah rapi dengan berpakaian seperti halnya orang-orang yang ingin melamar pekerjaan. Sebelumnya sudah kusiapkan semua keperluan dan kebutuhan untuk Aris dan juga Mas heru, termasuk memasak ala kadarnya yang itupun dari hasil kasbon di warung sebelah rumah.

"Kamu sudah hubungi ibu, mas?"

"Sudah. Tapi belum bilang mau menitipkan Aris padanya. Cuma ku pinta untuk main ke sini, karena ada sesuatu yang harus di omongin langsung."

"Terus?"

"Ya, ibu mau. Kesini."

"Ya sudah, mas. Aku pamit ya. Doakan aku agar dipermudah."

"Pastilah, dek. InshaAllah, Allah ridho. karena mas sudah ikhlas dan ridho kamu mencari kerja di luar sana."

"Makasih, mas. Titip salam ya buat ibu. Sampaikan juga maaf ku padanya, karena harus merepotkan nya. Assalamualaikum!"

"Iya. Waalaikumsalam. Hati-hati, dek."

Aku mengangguk, kemudian berlalu meninggalkan Mas heru yang sedang sarapan, dan Aris yang masih tertidur pulas.

*****

Waktu berputar semakin cepat. Panas terik matahari tak ku rasakan lagi. Sudah beberapa pabrik ku datangi untuk melamar kerja. Tapi nihil. Tak ada lowongan satu pun pabrik-pabrik yang sudah ku datangi. Aku mulai putus asa. Rasa lapar dan haus pun menghampiriku. Untungnya, aku membawa bekal yang ku masak tadi pagi. Mataku memencar sekitaran. Mencari tempat teduh yang nyaman untuk menghabiskan bekalku. Aku pun memilih tempat tepat di bawah pohon yang cukup rindang.

"Alhamdulillah!" ucapku yang sudah melepas lapar dan dahaga.

"Wulan? Wulan 'kan?"

"Ehh. I-iya. Maaf, mbak siapa, kok tau namaku?"

"Wulaaaaannnn. Kamu tuh nggak berubah ya. Tetap cantik dari dulu. Pangling aku! Ini Mira, temanmu waktu SMA. Masa nggak ingat?"

"Ya Allah ... Kamu mir? Ku kira siapa! Aku yang pangling sama kamu! Cantik sekali, awet muda!"

"Ahh. Kamu ... Bisaaaaa saja!"

"Loh. Serius toh mir. Sukses kamu sekarang ya! Penamoilanmu kaya bos besar. Hihihi," kataku sambil tertawa.

Mira hanya tersenyum melihatku tertawa. Kemudian dia melihatku dengan tatapan bingung.

"Lan. Kamu ngapain bawa-bawa map coklat? Kaya mau lamar kerja."

"Iya, mir. Aku lagi cari-cari kerja buat bantu suami yang belum bisa kerja lagi sampe sekarang."

"Memang suamimu kenapa?"

"Kecelakaan sudah 3 bulan yang lalu waktu sepulang mudik"

"Innalillahi ... Kamu yang sabar ya, Wulan. Maaf sebelumnya, Lan. Memang kamu lulusan apa"

"Cuma lulusan SMA, mir. Paling mentok-mentok ya jadi kuli."

"Jangan begitu. Nggak baik merendah diri. Kamu kerja di kantorku saja. Daripada kamu muter-muter nggak jelas mau kemana."

"Hah? Kantor? Serius aku mau di tempatin kerja di kantor? Aku cuma lulusan SMA loh, mir."

Aku yang mendengar tawaran dari Mira terbelalak tak percaya. Rasanya tak mungkin lulusan SMA bekerja di kantor. Atau Mira mau mempekerjakanku sebagai cleaning service? Entahlah, tak apa menurutku. Yang terpenting, sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa memperoleh uang untuk keperluan hidup keluargaku.

Dugaan ku salah. Setelah interview dan yang lainnya selesai, aku di kejutkan kalau aku bekerja sebagai staff kantor. Aku tak menyangka, Mira begitu baik padaku. Berkatnya, aku tak perlu lagi panas-panasan untuk mencari pekerjaan. Tak sabar rasanya ingin ku bawa pulang kabar baik ini.

*****

"Assalamualaikum," ucapku senang ketika memasuki rumah.

Tak ada jawaban. Kemana mereka. Ku cari, rupanya Mas heru ada di kamar Aris.

"Assalamualaikum," ku ucapkan lagi.

"Waalaikumsalam." Mas heru menjawabnya.

"Ini nih. Istri tak punya otak. Sudah tau suami lagi sakit, anak juga masih kecil, di tinggal-tinggal pergi!" cerocos ibu mertua ketika aku baru saja tiba.

Aku tak mengurusi perkataan ibu mertuaku. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi. Sampai semua berkumpul di kamar Aris.

"Ada apa, mas? Aris kenapa?"

"Tadi Aris main di luar sebentar. Terus pulang-pulang nangis megangin kepala dan dada. Katanya jatuh dari tangga warungnya bu nani."

Warung Bu nani memang tinggi, ada tangga yang menghubungkan warungnya dengan jalan, karena tepat di depan warung, ada parit besar dan dalam.

"Ya Allah. Terus gimana keadaannya, mas?"

Aku langsung menyungkur mendekati Aris yang sedang tertidur.

"Dari yang aku lihat, bagian luar nggak ada yang luka. Hanya saja aku kawatir, akan ada luka dalam. Soalnya daritadi Aris mengeluh sakit di bagian dada dan kepala."

"Ini semua salahmu! Kalau anakmu sampai mati gimana? Anak kecil begini kok di tinggal-tinggal! Malah nyuruh ibu untuk menjaganya. Ibu nggak sudi!"

"MashaAllah, bu. Aku keluar bukan untuk bermain. Bukan untuk bersenang-senang seorang diri. Aku mencari kerja untuk membantu Mas heru cari uang."

"Alasan! Aku tau sebenarnya kamu capek dan bosan mengurusi suamimu yang seperti ini. Ya kan? Makanya kamu cari-cari alasan biar bisa keluar."

"Astagfirullah, Bu. Nggak seperti itu."

"Umi ... Umi ..."

Kulihat Aris tiba-tiba bangun dan meringis kesakitan memanggil namaku. Wajahnya sangat pucat. Ku pegang, panas sekali suhu tubuhnya.

"Umi di sini, nak. Kamu kenapa sayang? Mana yang sakit?"

"Dada aku sesak, mi. Kepalaku berputar."

Aku langsung membuka baju yang melekat di tubuh Aris. Mataku terbelalak melihat tubuh bagian dada Aris membiru seperti habis terhujam benda tumpul dan keras.

"Astagfirullah. Kamu jatuh di mana sampai seperti ini?"

Nafas Aris kian tersengal. Ia seperti merasakan sesak yang luar biasa.

"Aku rebutan sajadah dengan Dodi, mi. Lalu jatuh kepentok batu."

"Mas kenapa ngebiarin Aris keluar sih, mas?" kataku yang sudah menangis.

"Umi ... Aku mau sajadah seperti punya Dodi. Belikan aku sajadah, umi!"

"Iya, nanti kalau umi ada uang, umi belikan ya, nak."

"Aku mau sekarang, umi. Aku mau sekarang."

Aris terus merengek meminta dibelikan sajadah. Ia terus menangis. Melihatnya yang seperti ini, membuatku sakit. Susah sekali rasanya hidupku, untuk sekedar membelikannya sajadah kecil saja aku tak mampu.

"Kita berobat dulu ya, nak. Takut ada luka yang bahaya di dalamnya. Nanti kalau Aris sudah sembuh, umi langsung belikan sajadah buat Aris."

"Uang saja tak punya, pake segala mau berobat. Mau bayar dengan apa, kamu?" kata Ibu mertua ketus.

"Ibu. Sudah, bu. Kasihan Aris kalau masih pada ribut. Ibu tenang saja, kami sudah mendaftarkan Aris di BPJS," ujar Mas heru yang akhirnya membuka suara.

Aris pun segera ku bawa ke rumah sakit. Walau tanpa uang sepeser pun di tanganku, aku tetap membawanya. BPJS memang sama sekali tak mengeluarkan biaya. Tapi setidaknya harus ada pegangan untuk aku berjaga-jaga. Aku tahu, Ibu mertua punya banyak uang, tapi aku tak cukup berani untuk meminjam kepadanya. Dimintai tolong untuk menjaga Aris saja, ia tak mau, sampai Aris harus seperti ini. Apalagi urusan uang. Aku pasrah walau dengan tangan kosong. Saat ini hanya kesehatan Aris yang ku utamakan.

\=\=\=\=\=\=\=\=

Rumah Sakit

Di ruang IGD, Aris sudah terbaring dengan selang infus di tangannya. Nafasnya semakin sesak. Tanpa pikir panjang, dokter langsung memasang selang oksigen ke hidung Aris yang mungil. Sungguh, aku tak dapat menahan airmataku. Melihatnya tak berdaya seperti ini, membuatku amat tersiksa.

"Maaf, dengan ibu siapa?"

"Wulan, dok."

"Oke, ibu Wulan. Luka lebam yang membiru dan cenderung kehitaman di dada Aris, bukan luka lebam biasa."

"Maksudnya, dok?" aku bertanya tak mengerti.

"Begini, bu. Jadi, luka lebam biasa itu akan sembuh dan menghilang sendiri dengan cepat, dan tak akan ada efek apapun selain rasa nyeri. Tapi, kasus luka lebam Aris bukan luka lebam biasa, ini karena tulang rusuk Aris ada yang patah. Kami menduga, paru-parunya terkena tekanan atau bahkan tertusuk tulang yang patah akibat benturan hebat yang langsung mengenai tulang rusuk Aris. Dari luar memang tampak seperti lebam biasa. Tapi di dalam, bisa saja mengakibatkan pendarahan. Makanya, Aris harus segera kami tindak lanjuti."

Mendengar paparan dokter, hatiku semakin hancur. Pandanganku tiba-tiba gelap, dan tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku hampir saja pingsan.

"Ibu nggak papa?" tanya dokter yang melihatku memegangi kepala.

"Nggak papa, dok."

"Ya sudah kalau begitu, tunggu petugas datang ya, bu. Nanti akan di antar ke ruang rawat inap."

'Ya Allah ... Rasanya aku tak sanggup melihat anak semata wayang ku merasakan sakit seperti ini. Tolong sembuhkan Aris ya Allah ... Dia masih teramat kecil,' batinku menangis lirih.

*****

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Aris gimana keadaannya, dek? Kenapa kamu sendiri?"

"Aris harus di operasi, mas! Untuk beberapa hari ini mesti rawat inap sebelum operasi." kataku langsung menangis.

"MashaAllah, dek. Maafkan aku ya, dek. Ini semua karena aku. Jaga anak sendiri saja aku nggak becus. Sudah lama memang Aris minta di belikan sajadah kecil seperti teman-temannya itu padaku. Setiap kali merengek, aku cuma berjanji nanti akan ku belikan. Maafkan abi, nak. Abi memang sudah tak berguna." kata mas Heru yang juga ikut menangis.

"Jangan bicara seperti itu, mas. Nggak baik menyalahkan diri sendiri. Saat ini, Aris nggak butuh tangisan. Dia butuh doa, mas!"

"Astagfirullah ..." mas Heru menghela nafas panjang.

"Ibu mana, mas? Sudah pulang lagi?" tanyaku yang sedari tadi mencari sosok ibu mertuaku.

"Iya. Begitu Aris kamu bawa, ibu langsung pulang."

"Sampai kapan ibu akan seperti ini, mas?"

"Aku juga nggak tau, dek. Mungkin sampai aku pergi untuk selamanya. Ibu baru akan sadar dan berubah!"

"Ya jangan seperti itu lah, mas, bicaranya. Ya sudah, aku mau siapin keperluanku dan Aris. Takut Aris bangun, nanti bingung nyari aku."

Mas Heru mengangguk pelan. Kulihat kesedihan yang teramat dalam menaungi wajahnya. Aku tak ingin membuatnya semakin gusar dan bersalah. Ku usap airmata yang juga membasahi pipiku. Aku tak mau mas Heru melihatku menangis lagi.

'Aku harus kuat! Ini ujian dari-Nya. Ujian sekaligus teguran, bahwa apapun bisa saja terjadi atas kehendak-Nya.'

Tas jinjing besar yang biasa kubawa untuk mengisi pakaianku saat mudik, kini ku gunakan untuk mengisi pakaianku dan Aris saat di rumah sakit. Ku segerakan langkahku untuk kembali menemani Aris. Pak Iwan yang sejak awal mengantarku dan Aris ke rumah sakit, sudah menungguku di depan rumah.

Sebelumnya, aku berjalan kaki dari rumah sakit menuju ke rumah. Karena pak Iwan hanya mengantar dan langsung pulang. Ketika aku melewati rumahnya, pak Iwan langsung menanyakan Aris.

--

"Lan, si Aris mana? Kok kamu sendiri?"

"Aris masih di rumah sakit, pak. Aku pulang cuma mau ambil keperluanku dan Aris."

"Ya Allah ... Jadi teh si Aris di rawat?"

"Iya, pak."

Langkahku terburu-buru. Ku jawab sekenanya ketika pak Iwan bertanya.

"Ya sudah, Lan. Nanti saya antar kalau sudah mau berangkat." teriak pak Iwan yang melihatku sudah menjauh dari pandangannya.

Aku hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Tanda setuju dan mau dengan tawarannya.

--

"Mas, aku pergi ya. Besok pagi-pagi sekali aku pulang. Kamu jangan khawatir, aku juga tetap akan mengurusimu. Kamu baik-baik ya. Doakan Aris!"

"Kamu fokus saja ke Aris, dek. InshaAllah, aku bisa sendiri. Kalau harus bolak-balik, kasihan kamunya, dek."

"Nggak apa, mas. Sehabis sholat subuh, aku langsung ke sini. Sekalian kan, bisa olahraga."

Mas Heru tersenyum melihatku. Sudah tak ada lagi kegusaran di raut wajahnya. Aku pun ikut tersenyum. Walau sebenarnya, aku amat khawatir meninggalkan mas Heru sendirian dengan keadaannya.

"Yowis, mas. Takut kelamaan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, dek."

Tak lebih dari 10 menit, motor pak Iwan sudah membawaku tiba di depan rumah sakit tempat Aris dirawat. Pak Iwan memang sangat peduli dengan keluargaku. Apalagi dengan Aris. Sudah dianggap seperti cucu sendiri.

"Makasih ya, pak. Maaf kalau direpotin terus."

"Jangan sungkan atuh, Lan. Cuma mengantar saja mah, nggak repot. Nih, ada titipan dari ibu buat keperluan kalian di sini. Nggak seberapa, tapi lumayan buat pegangan."

Bu Iwan tak jauh sikapnya seperti pak Iwan terhadapku. Mereka memang sangat baik. Bahkan terlalu baik

"Ya Allah, pak. Aku malu loh, pak. Terlalu banyak menyusahkan bapak dan ibu."

"Nggak papa atuh, Wulan. Saya sangat mengerti kondisi kamu sekarang. Soal si Heru, biar nanti saya dan ibu yang mengurus. Kamu fokus saja dengan kesembuhan Aris, ya!"

Airmataku jatuh tak terkontrol. Aku sangat terharu dengan perhatian dan kebaikan pak Iwan dan istrinya. Mereka yang bukan siapa-siapa, begitu sangat mempedulikan keluargaku. Tangisku semakin tak bisa ku tahan.

"Sekali lagi, makasih ya, pak. Semoga kebaikan bapak dan ibu diganti dengan rejeki yang berlimpah dan berkah. Aamiin."

"Aamiin. Ya sudah, saya langsung pulang ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Titip salam buat ibu ya, pak."

*****

Tiga hari sudah aku menemani Aris. Aku pun sudah bicara dengan Mira, belum bisa memulai bekerja dan ijin beberapa hari menemani Aris yang sedang sakit. Tetangga dan kerabat dekat bergantian datang menjenguk. Hanya satu yang mengganjal hati ini. Ibu mertuaku, neneknya Aris yang sampai saat ini tak datang untuk menjenguknya. Jangankan untuk menjenguk, sekedar bertanya keadaannya saja pun tidak. Hatinya terbuat dari apa, hingga begitu tega dengan anak sekecil Aris.

Jadwal operasi Aris pun sebentar lagi. Meskipun Aris terlihat mulai membaik kondisinya, tapi harus tetap di lakukan operasi. Karena dokter khawatir akan infeksi jika dibiarkan.

"Mi, aku mau pulang. Aku nggak mau di sini terus. Aku mau sama abi. Aku kangen sama abi. Aku mau pulang. Abi ... Huhuhuhu ..."

Aris terus saja merengek meminta pulang. Aku tau, Aris sangat tersiksa dengan rasa sakitnya. Saat Ia bicara, menangis, tertawa, bahkan sekedar bernafas, sesekali ku lihat ia menahan rasa sakit di dadanya.

"Sudah, nak. Jangan nangis terus, nanti tambah sakit dadanya. Sebentar lagi, kalau dada Aris sudah nggak sakit lagi, pasti dokter nyuruh Aris pulang biar ketemu sama abi."

"Tapi aku nggak mau di sini, umi. Aku mau sama abi. Aku takut, umi."

Tangisan dan rengekan Aris semakin mengencang. Aku tak tau harus apa. Semakin aku coba membujuk agar ia diam dan berhenti menangis, justru rengekannya malah semakin menjadi.

"Aris ... Aris nggak sayang sama umi? Umi Kan mau nya Aris sembuh dulu, baru pulang. Kalau Aris tetap mau pulang, tapi belum sembuh, nanti umi yang nangis."

Mendengar aku bicara dengan memelas, Aris terdiam. Tangisan dan rengekannyalangsung terhenti seketika.

"Aku cuma mau sajadah, umi. Abi kan sudah janji mau belikan aku sajadah. Aku nggak mau pakai sajadah abi yang besar dan robek itu. Aku nggak mau, umi."

"Iya, nak. Umi janji, kalau Aris sudah sembuh dan sudah di bolehkan pulang sama dokter, pulangnya kita langsung ke toko beli sajadah, ya! Nanti Aris pilih sendiri sajadah mana yang Aris mau."

"Betul, mi? Umi nggak bohong kan? Nanti sekalian belikan untuk abi juga ya, mi. Sajadah abi kan sudah robek."

Wajahnya seketika berubah. Bibir mungilnya kini memperlihatkan senyuman. Aris sudah kembali tenang dan bisa ku kontrol. Sejak kecil Aris rajin di ajak mas Heru untuk menunaikan sholat berjamaah di mesjid yang tak jauh dari rumah. Tapi sejak kecelakaan itu, mas Heru sudah tak bisa lagi ke mesjid. Aris pun sudah sangat jarang pergi ke mesjid. Hanya sesekali saja, itu pun jika di ajak tetangga sebelah rumah yang kebetulan lewat ingin ke mesjid.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Lorong Ruang Operasi

"Selamat siang, bu"

"Iya, dokter?"

Saat aku tengah asik menyuapi Aris makan. Dokter yang menangani Aris, datang. Ku sisihkan piring yang ku pegang ke nakas sebelah ranjang tempat Aris berbaring. Aku pun yang tadinya duduk di kursi menyuapi Aris, buru-buru berdiri dan menarik kursi ke sudut dekat nakas.

"Ehh. Nggak apa, bu. Dilanjut saja makannya! Gimana, nak Aris? Makannya lahap? Harus lahap dong ya, kan mau sembuh, jadi harus banyak makan dan mau minum obatnya."

Aris tersenyum mendengar sapaan dokter Iksan. Dokter Iksan sangat baik dan ramah. Aris sama sekali tak takut jika di periksa olehnya. Ia justru selalu tertawa saat dokter Iksan datang dan memeriksanya yang sambil sesekali bercerita kepadanya.

"Baiklah, ibu Wulan. Ini saya bawakan hasil dari rontgen thorax Aris. Sangat jelas terlihat kalau tulang rusuk Aris patah. Makanya suhu tubuhnya selalu naik. Juga kuat dugaan saya, paru-paru Aris sedikit tertekan dan tertusuk. Itu sebabnya, apapun yang Aris lakukan hingga menimbulkan gerak, akan membuatnya merasakan sakit yang luar biasa, bahkan sampai sulit bernafas. Aris anak yang kuat, ia mampu bertahan." kata dokter Iksan menunjuk foto hasil rontgen Aris yang ia pegang.

Paparan dokter Iksan membuatku kembali menitikkan airmata. Membayangkannya saja, aku merasa sakit, apalagi Aris yang merasakannya. Nafasku serasa terhenti, sulit sekali menghirup udara dengan tangisan terisak yang tertahan.

"Tapi, dok. Aris bisa sembuh kan, dok?"

"Tentu bisa, ibu. Segala kemungkinan pasti akan terjadi. Termasuk kesembuhan! Mulai jam 12 malam nanti, Aris sudah mulai berpuasa ya, bu. Operasi akan kita lakukan jam 6 pagi. Suster yang biasa dengan saya, nanti akan datang ke sini menjemput dan menyiapkan semua untuk operasi."

"Baik, dok."

"Oke. Itu saja yang mau saya sampaikan. Obat pereda nyeri dan pencegah infeksinya terus saja di minum ya, bu. Banyakin minum air putih agar pas puasa sebelum operasi nanti, Aris nggak lemas."

"Iya, dok. Terimakasih."

Aku mengulas senyum. Dokter Iksan pun membalas senyum, mengangguk sambil berlalu meninggalkan ruangan. Ku alihkan pandanganku ke Aris yang mulai mengantuk. Dadaku masih terasa penuh. Sangat sesak rasanya. Membayangkan setiap tarikan nafasnya, akan sangat menyakitinya.

"Aris ... Jangan tidur dulu. Bangun, nak. Minum dulu obatnya. Aris ..." kataku mencoba membangunkan Aris dengan mengusap kening dan kepalanya.

Tak susah menyuruh Aris untuk meminum obat-obatnya. Ia memang anak yang pintar.

*****

"Allahuakbar ... Allahuakbar ..." kumandang adzan subuh membangunkanku.

Ku segerakan melangkah untuk bersuci dan menunaikan sholat subuh. Kali ini, rasanya sangat berbeda dengan subuh-subuh sebelumnya. Pantas saja, karena setelah ini Aris akan segera di operasi. Sholatku semakin tak khusyu, manakala membayangkan wajah Aris yang tengah merintih. Aku tersungkur di atas sajadah kusam yang kubawa agar tak jauh-jauh ke mushola yang ada di rumah sakit ini untuk menunaikan sholat. Tangisku terisak, dengan suara yang tertahan.

"Mi ... Umi ..." suara Aris memanggilku membuatku tersentak dan cepat-cepat ku seka airmataku dengan kasar.

"I-iya, nak. Umi di sini."

"Umi habis sholat?"

"Belum, baru saja mau mulai sholat. Aris kenapa?"

"Aku mau minum, haus, umi."

"Kan umi semalam sudah ngomong ke Aris, kalau Aris harus puasa dulu selama 6 jam. Nggak makan, nggak minum. Supaya Aris cepat sembuh, terus bisa pulang deh, kumpul lagi sama abi dan umi di rumah. Aris mau sembuh kan?"

Aku mencoba bicara dengan menahan airmataku. Menahannya agar tak tumpah di depan Aris. Anak sekecil Aris, harus menahan rasa haus di saat sakit seperti ini. Wajahnya begitu memelas, seolah berharap ada seteguk air mengaliri dahaganya.

"Ya sudah. Aku tahan saja sampai nanti aku sudah boleh minum. Tapi aku nggak akan mati kan, umi? Gara-gara nahan haus?"

Ya Allah ... Kenapa Aris justru membuatku semakin tak bisa mengontrol airmata ini? Tumpah sudah airmataku, berderai, dan menyeruak.

"Umi kenapa nangis? Aku nggak papa kok, umi. Aku nggak minum juga nggak papa. Umi jangan nangis. Huhuhu."

Aris yang melihatku menangis, langsung ikut menangis. Buru-buru ku usap pipiku yang sudah basah dengan airmata.

"Enggak kok. Umi nggak nangis. Mata umi lagi sakit, jadi sering keluar airmatanya deh. Aris ngapain nangis? Nggak boleh nangis. Aris kan anak kuat. Anak laki-laki nggak boleh nangis."

"Iya, umi. Aku ngantuk, mi. Aku boleh kan, mi, tidur lagi?"

"Ya boleh lah, nak. Ya sudah, Aris tidur ya. Umi mau sholat dulu."

Ku cium keningnya yang panas. Tubuh Aris memang selalu demam sejak ia terjatuh dan menyebabkannya harus melakukan operasi. Ku ulas senyum di depan matanya, agar ia tertidur dengan perasaan yang tenang.

Kini Aris sudah terlelap. Aku pun menyegerakan untuk menunaikan sholat ku yang sempat tertunda.

Saat-saat yang di cemaskan pun tiba. Kini Aris sudah mengenakan baju khusus untuk operasi. Ku lihat Aris sangat bersemangat. Ia sering tersenyum memandang semua yang ia lihat. Di lorong ketika menuju ruang operasi Aris memulai obrolan.

"Suster, suster punya sajadah kecil?"

"Nggak punya, dek. Adanya yang besar, soalnya suster belum punya anak. Memangnya kenapa?"

"Nggak papa, suster. Aku cuma lagi senang, sebentar lagi aku sembuh, terus aku mau di ajak ke toko untuk beli sajadah kecil sama umi."

"Wahhhh, enak dong. Senangnya! Semangat ya, biar Aris cepat sembuh!"

Aris tertawa. Tawanya membuat hati ini merasa tenang. Aris memang anak yang kuat. Ia mampu bertahan dengan kondisinya yang sekarang. Aku tak ingin menangis lagi di depannya, yang membuat semangat nya menjadi patah dan pupus.

"Umi. Jangan di belikan dulu sajadah nya ya, mi. Aku mau memilih sendiri yang aku suka. Di sana banyak kan, mi sajadah kecil yang Aku mau? Boleh kan, mi, aku pilih sendiri?"

"Iya, nak. Boleh. Banyak sajadah kecil yang bagus-bagus. Di sana Aris nanti bisa pilih yang mana saja yang Aris mau. Sekarang, Aris berdoa dulu ya, biar diberi kemudahan dan kelancaran untuk operasinya sama Allah."

Aku menyuruh Aris berdoa saat sudah tiba di depan pintu operasi. Rasanya sangat berat melepasnya masuk ke dalam ruangan menyeramkan itu. Aku hanya di bolehkan menunggu di depan ruangan. Kududukkan tubuh ini ke kursi yang berjejer di tepi lorong menempel dinding. Perasaanku tak karuan. Raut wajahku teramat gusar. Pikiran-pikiran buruk selalu mencoba memaksa untuk hinggap. Hatiku berkecamuk. Tak bisa lagi ku bendung airmata ku ini. Tumpah sudah semua membasahi pipiku.

'Aris ... Kamu harus kuat, nak! Kamu harus sembuh, sayang. Umi butuh kamu, nak. Umi butuh kamu untuk menjalani hidup ini. Bertahan, nak!'

'Ya Allah ... Ijinkan diri ini lebih lama lagi merawat titipanmu. Cuma dia yang ku punya selain suamiku ya, Allah. Berikan kelancaran dan kesembuhan pada Aris. Aku mohon ya, Allah ...'

Aku tersungkur menangis di lantai lorong depan ruangan operasi. Tubuhku seketika lemas, pandanganku mulai kabur dan gelap.

'Nggak boleh. Aku harus kuat. Rasa kuat ini yang akan memberi energi positif untuk Aris. Aku yakin, Aris mampu bertahan. Aris mampu melewati ini semua.'

Waktu kurasa seperti tak berputar. Ku lihat jam di dinding atas pintu lift. Baru 10 menit aku menunggu, tapi rasanya sudah berjam-jam aku duduk di lorong ini. Sesekali ku lihat lampu di atas pintu ruang operasi, yang ku harap sudah berubah menjadi hijau. Tapi tetap saja lampu masih berwarna merah. Yang artinya, operasi masih berlangsung.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!