"Selamat siang, bu"
"Iya, dokter?"
Saat aku tengah asik menyuapi Aris makan. Dokter yang menangani Aris, datang. Ku sisihkan piring yang ku pegang ke nakas sebelah ranjang tempat Aris berbaring. Aku pun yang tadinya duduk di kursi menyuapi Aris, buru-buru berdiri dan menarik kursi ke sudut dekat nakas.
"Ehh. Nggak apa, bu. Dilanjut saja makannya! Gimana, nak Aris? Makannya lahap? Harus lahap dong ya, kan mau sembuh, jadi harus banyak makan dan mau minum obatnya."
Aris tersenyum mendengar sapaan dokter Iksan. Dokter Iksan sangat baik dan ramah. Aris sama sekali tak takut jika di periksa olehnya. Ia justru selalu tertawa saat dokter Iksan datang dan memeriksanya yang sambil sesekali bercerita kepadanya.
"Baiklah, ibu Wulan. Ini saya bawakan hasil dari rontgen thorax Aris. Sangat jelas terlihat kalau tulang rusuk Aris patah. Makanya suhu tubuhnya selalu naik. Juga kuat dugaan saya, paru-paru Aris sedikit tertekan dan tertusuk. Itu sebabnya, apapun yang Aris lakukan hingga menimbulkan gerak, akan membuatnya merasakan sakit yang luar biasa, bahkan sampai sulit bernafas. Aris anak yang kuat, ia mampu bertahan." kata dokter Iksan menunjuk foto hasil rontgen Aris yang ia pegang.
Paparan dokter Iksan membuatku kembali menitikkan airmata. Membayangkannya saja, aku merasa sakit, apalagi Aris yang merasakannya. Nafasku serasa terhenti, sulit sekali menghirup udara dengan tangisan terisak yang tertahan.
"Tapi, dok. Aris bisa sembuh kan, dok?"
"Tentu bisa, ibu. Segala kemungkinan pasti akan terjadi. Termasuk kesembuhan! Mulai jam 12 malam nanti, Aris sudah mulai berpuasa ya, bu. Operasi akan kita lakukan jam 6 pagi. Suster yang biasa dengan saya, nanti akan datang ke sini menjemput dan menyiapkan semua untuk operasi."
"Baik, dok."
"Oke. Itu saja yang mau saya sampaikan. Obat pereda nyeri dan pencegah infeksinya terus saja di minum ya, bu. Banyakin minum air putih agar pas puasa sebelum operasi nanti, Aris nggak lemas."
"Iya, dok. Terimakasih."
Aku mengulas senyum. Dokter Iksan pun membalas senyum, mengangguk sambil berlalu meninggalkan ruangan. Ku alihkan pandanganku ke Aris yang mulai mengantuk. Dadaku masih terasa penuh. Sangat sesak rasanya. Membayangkan setiap tarikan nafasnya, akan sangat menyakitinya.
"Aris ... Jangan tidur dulu. Bangun, nak. Minum dulu obatnya. Aris ..." kataku mencoba membangunkan Aris dengan mengusap kening dan kepalanya.
Tak susah menyuruh Aris untuk meminum obat-obatnya. Ia memang anak yang pintar.
*****
"Allahuakbar ... Allahuakbar ..." kumandang adzan subuh membangunkanku.
Ku segerakan melangkah untuk bersuci dan menunaikan sholat subuh. Kali ini, rasanya sangat berbeda dengan subuh-subuh sebelumnya. Pantas saja, karena setelah ini Aris akan segera di operasi. Sholatku semakin tak khusyu, manakala membayangkan wajah Aris yang tengah merintih. Aku tersungkur di atas sajadah kusam yang kubawa agar tak jauh-jauh ke mushola yang ada di rumah sakit ini untuk menunaikan sholat. Tangisku terisak, dengan suara yang tertahan.
"Mi ... Umi ..." suara Aris memanggilku membuatku tersentak dan cepat-cepat ku seka airmataku dengan kasar.
"I-iya, nak. Umi di sini."
"Umi habis sholat?"
"Belum, baru saja mau mulai sholat. Aris kenapa?"
"Aku mau minum, haus, umi."
"Kan umi semalam sudah ngomong ke Aris, kalau Aris harus puasa dulu selama 6 jam. Nggak makan, nggak minum. Supaya Aris cepat sembuh, terus bisa pulang deh, kumpul lagi sama abi dan umi di rumah. Aris mau sembuh kan?"
Aku mencoba bicara dengan menahan airmataku. Menahannya agar tak tumpah di depan Aris. Anak sekecil Aris, harus menahan rasa haus di saat sakit seperti ini. Wajahnya begitu memelas, seolah berharap ada seteguk air mengaliri dahaganya.
"Ya sudah. Aku tahan saja sampai nanti aku sudah boleh minum. Tapi aku nggak akan mati kan, umi? Gara-gara nahan haus?"
Ya Allah ... Kenapa Aris justru membuatku semakin tak bisa mengontrol airmata ini? Tumpah sudah airmataku, berderai, dan menyeruak.
"Umi kenapa nangis? Aku nggak papa kok, umi. Aku nggak minum juga nggak papa. Umi jangan nangis. Huhuhu."
Aris yang melihatku menangis, langsung ikut menangis. Buru-buru ku usap pipiku yang sudah basah dengan airmata.
"Enggak kok. Umi nggak nangis. Mata umi lagi sakit, jadi sering keluar airmatanya deh. Aris ngapain nangis? Nggak boleh nangis. Aris kan anak kuat. Anak laki-laki nggak boleh nangis."
"Iya, umi. Aku ngantuk, mi. Aku boleh kan, mi, tidur lagi?"
"Ya boleh lah, nak. Ya sudah, Aris tidur ya. Umi mau sholat dulu."
Ku cium keningnya yang panas. Tubuh Aris memang selalu demam sejak ia terjatuh dan menyebabkannya harus melakukan operasi. Ku ulas senyum di depan matanya, agar ia tertidur dengan perasaan yang tenang.
Kini Aris sudah terlelap. Aku pun menyegerakan untuk menunaikan sholat ku yang sempat tertunda.
Saat-saat yang di cemaskan pun tiba. Kini Aris sudah mengenakan baju khusus untuk operasi. Ku lihat Aris sangat bersemangat. Ia sering tersenyum memandang semua yang ia lihat. Di lorong ketika menuju ruang operasi Aris memulai obrolan.
"Suster, suster punya sajadah kecil?"
"Nggak punya, dek. Adanya yang besar, soalnya suster belum punya anak. Memangnya kenapa?"
"Nggak papa, suster. Aku cuma lagi senang, sebentar lagi aku sembuh, terus aku mau di ajak ke toko untuk beli sajadah kecil sama umi."
"Wahhhh, enak dong. Senangnya! Semangat ya, biar Aris cepat sembuh!"
Aris tertawa. Tawanya membuat hati ini merasa tenang. Aris memang anak yang kuat. Ia mampu bertahan dengan kondisinya yang sekarang. Aku tak ingin menangis lagi di depannya, yang membuat semangat nya menjadi patah dan pupus.
"Umi. Jangan di belikan dulu sajadah nya ya, mi. Aku mau memilih sendiri yang aku suka. Di sana banyak kan, mi sajadah kecil yang Aku mau? Boleh kan, mi, aku pilih sendiri?"
"Iya, nak. Boleh. Banyak sajadah kecil yang bagus-bagus. Di sana Aris nanti bisa pilih yang mana saja yang Aris mau. Sekarang, Aris berdoa dulu ya, biar diberi kemudahan dan kelancaran untuk operasinya sama Allah."
Aku menyuruh Aris berdoa saat sudah tiba di depan pintu operasi. Rasanya sangat berat melepasnya masuk ke dalam ruangan menyeramkan itu. Aku hanya di bolehkan menunggu di depan ruangan. Kududukkan tubuh ini ke kursi yang berjejer di tepi lorong menempel dinding. Perasaanku tak karuan. Raut wajahku teramat gusar. Pikiran-pikiran buruk selalu mencoba memaksa untuk hinggap. Hatiku berkecamuk. Tak bisa lagi ku bendung airmata ku ini. Tumpah sudah semua membasahi pipiku.
'Aris ... Kamu harus kuat, nak! Kamu harus sembuh, sayang. Umi butuh kamu, nak. Umi butuh kamu untuk menjalani hidup ini. Bertahan, nak!'
'Ya Allah ... Ijinkan diri ini lebih lama lagi merawat titipanmu. Cuma dia yang ku punya selain suamiku ya, Allah. Berikan kelancaran dan kesembuhan pada Aris. Aku mohon ya, Allah ...'
Aku tersungkur menangis di lantai lorong depan ruangan operasi. Tubuhku seketika lemas, pandanganku mulai kabur dan gelap.
'Nggak boleh. Aku harus kuat. Rasa kuat ini yang akan memberi energi positif untuk Aris. Aku yakin, Aris mampu bertahan. Aris mampu melewati ini semua.'
Waktu kurasa seperti tak berputar. Ku lihat jam di dinding atas pintu lift. Baru 10 menit aku menunggu, tapi rasanya sudah berjam-jam aku duduk di lorong ini. Sesekali ku lihat lampu di atas pintu ruang operasi, yang ku harap sudah berubah menjadi hijau. Tapi tetap saja lampu masih berwarna merah. Yang artinya, operasi masih berlangsung.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
sampai skrng saya baca nangis trus😭😭😭😭😭😭😭
2021-12-28
0
Dian Siswantari
teringat saat anakku juga operasi....rasanya persis sama seperti dicerita ini....sungguh mengharukan
2021-07-05
2
Sri Rahayu
kasian Aris gara-gara rebutan sajadah sampai harus d operasi 😥😥😥
2021-05-17
3