"Suster, bisa saya minta tolong?" ujarku yang sudah di kamar rawat.
"Bisa, bu. Mau minta tolong apa?" kata suster yang tengah mengatur keran infus yang selangnya tersambung ke tangan Aris.
"Suster bawa hp? Saya mau mengabarkan abi nya Aris, sus. Boleh saya pinjam?"
"Oh ... Boleh, bu. Silakan!"
Suster menyodorkan ponsel miliknya yang ia rogoh di kantung seragam dinasnya ke arahku. Ku raih ponselnya, buru-buru ku tekan nomor ponsel mas Heru yang sudah ku ingat di luar kepala. Aku tak sabar ingin segera memberi kabar bahagia ini ke mas Heru.
"Ya, Assalamualaikum?" suara mas Heru di sebrang memulai percakapan.
"Waalaikumsalam, mas. Ini aku! Pinjam hp suster yang merawat Aris."
"Kamu, dek. Gimana dengan Aris, dek? Operasinya?"
"Alhamdulillah, mas! Operasinya lancar, Aris bisa lewatin semuanya."
"Alhamdulillah ... Aku kepikiran terus, dek. Dari semalam. Selain kepikiran Aris, aku juga kepikiran kamu, dek. Hatimu pasti hancur saat kamu hanya seorang diri menunggu Aris. Ingin rasanya aku menyusulmu ke sana."
Suara mas Heru seperti terisak. Ia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Aku tau mas Heru menangis. Mendengar suaranya saja, aku seperti ikut masuk ke dalam kesedihannya.
"Mas ... Aku di sini baik-baik saja. Operasi Aris pun berjalan dengan lancar. Kamu nggak perlu terlalu cemas. Apalagi dengan keadaanku. Kita di sini baik-baik saja, semua berkat doa tulus dari kamu, mas."
"Aris tidur ya, dek? Suaranya nggak ada."
Mas Heru mengalihkan obrolan, agar tak semakin larut dengan kesedihannya.
"Aris nggak tidur, lagi diajak ngobrol sama suster. Aku sengaja keluar kamar, agar Aris tak tahu aku menghubungi mu. Karena kalau sampai Aris tau, Dia pasti merengek lagi meminta pulang, mas."
"Padahal aku ingin sekali bicara dengannya."
"Maaf ya, mas. Demi kebaikan Aris. Biar Aris tenang tak banyak merengek. Nanti kalau Aris sudah di bolehkan pulang, aku akan hubungi mas lagi."
"Iya, dek. Aku titip Aris ya, dek. Doaku akan selalu menyertai kalian."
"Iya, mas. Aku tahu itu, mas. Kamu itu panutan Aris. Ya sudah, mas. Nggak enak sama suster, terlalu lama menggunakan hp nya. Assalamualaikum."
"Ya. Waalaikumsalam."
*****
Hari telah berganti, kondisi Aris semakin membaik. Suhu tubuhnya sudah kembali stabil. Selang oksigen yang selama ini membantunya untuk bertahan hidup, kini akan segera dilepas. Saran dokter, Aris harus bisa belajar bernafas tanpa bantuan alat. Agar pemulihannya dapat cepat berjalan dengan efektif.
"Aris ... Sudah siap belum oksigennya dicopot?"
"Sudah, dokter. Berarti sebentar lagi, aku dibolehin pulang ya, dokter?"
"Iya dong ... Tapi obatnya diminum dulu sampai habis. Biar Aris benar-benar sudah pulih dan sehat. Nanti kalau kondisi Aris sudah baik, dan hasil laboratorium menyatakan Aris sudah pulih, Aris boleh pulang."
Tak lama, selang oksigen yang melekat di hidung Aris pun sudah terlepas. Seketika Aris menghirup udara dan menghembuskannya degan hentakan.
"Heuuuhhhhhh! Hidungku lega jadinya."
Aku dan dokter Iksan saling memandang dan kemudian tertawa melihat tingkah Aris. Aris memang anak yang kuat. Ia sama sekali tak terlihat sedang sakit. Aku tak sabar menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Aris di bolehkan pulang oleh dokter Iksan, dan aku akan melihat wajahnya yang berseri-seri, tengah memilah-milih sajadah kecil impiannya.
"Assalamualaikum ..."
Suara seseorang menyerukan salam terdengar berbarengan dengan suara pintu terbuka. Aku yang berdiri membelakangi pintu seketika membalikkan tubuh. Melihat, siapa yang datang.
"Ibu?" mataku terbelalak tak percaya melihat sosok yang hadir di hadapanku.
Ibu tak mengindahkanku, ia melewatiku dan menghampiri Aris yang tengah duduk di ranjang.
"Aris ..."
"Nenek? Nenek datang jenguk aku?"
Aris yang terkejut melihat ibu mertuaku datang menjenguknya, langsung dengan sigap menarik dan mencium tangan ibu mertuaku.
"Iya ... Nenek datang buat Aris. Nenek mau tau keadaan Aris. Pas tau Aris sampai mau di operasi, nenek langsung kepikiran sama Aris. Gimana kondisi Aris sekarang?" katanya yang kemudian mencium kepala Aris dengan lembut.
"Alhamdulillah, nek. Aku sudah sembuh. Sebentar lagi, aku pasti dibolehin pulang sama dokter."
Aku terharu melihat mereka. Walau sebenarnya aku tahu, ibu mertuaku masih menyimpan rasa tak suka padaku. Tapi setidaknya hati ini sedikit terobati. Ibu mertuaku masih memiliki kepedulian terhadap Aris.
"Ibu kesini sama siapa? Sendiri?"
"Sama siapapun ibu kesini, bukan urusan kam, wulan! Nggak usah banyak nanya yang bisa bikin hati ibu berubah lagi!"
Aku tersentak saat ibu mertuaku dengan lantang membentakku di depan Aris. Bukan sakit hati karena bentakan itu, aku hanya kawatir akan reaksi Aris yang melihatnya.
'Astagfirullah ...' batinku dengan tangan mengusap dada.
"Nenek. Umi salah apa? Kenapa umi bertanya malah nenek bentak? Kasihan umi, nenek."
"Sudah, Aris nggak usah pikirkan. Sini, nenek bawa kue. Rasanya enak sekali. Pasti Aris suka!"
Aku tak mau membuat suasana yang di tunggu-tunggu Aris menjadi kacau karena hadirnya diriku. Selama ini Aris tak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari neneknya. Aku harus mengalah. Demi Aris.
Ku langkahkan kaki menjauhi mereka yang terlihat bahagia melepas rindu. Airmataku kembali menetes. Merasakan pilu yang menyayat hati dan pikiran. Bahkan, untuk sekedar diakui sebagai cucu, Aris harus merasakan sakit ini terlebih dulu.
'Malang sekali kamu, nak. Semoga tak hanya saat ini nenekmu memberi perhatian dan kasih sayang untukmu.'
*****
Hari berganti lagi dengan hari. Kondisi Aris kian membaik. Luka bekas operasi memang belum mengering sempurna, tapi dokter sudah menyatakan aman untuk Aris pulang ke rumah. Selang infus kemudian di lepas atas ijin dokter Iksan. Wajah Aris semakin berseri, manakala melihat suster yang tengah melepas selang infus di tangannya. Akupun ikut mengulas senyum.
"Umi ... Umi masih ingat dengan janji umi, kan?"
"Iya. Umi ingat. Aris mau berapa sajadah? nanti umi belikan."
"Aku cuma mau satu saja, umi. Tapi belikan untuk abi juga ya, umi. Agar abi senang ketika kita pulang nanti."
Iya, nak. Nanti Aris pilih saja sendiri ya buat abi."
Aku teringat dengan janjiku memberi kabar ke mas Heru jika Aris sudah dibolehkan pulang. Ku coba bicara dengan suster untuk memintanya agar mau meminjamkan lagi ponselnya.
Waktu berselang. Kini, mas Heru sudah kuberi kabar bahwa Aris sore ini akan pulang. Tas jinjing yang sudah ku penuhi keperluanku dan Aris selama di rumah sakit, telah teronggok di kolong ranjang. Semua sudah ku rapihkan. Agar pas surat persetujuan ijin pulang dari dokter Iksan turun, aku hanya tinggal membawa tas jinjing besar itu, dan langsung pulang.
"Aris ... Gimana, nak? Sampai sekarang mau pulang masih stabil kan kondisinya?" kata dokter Iksan sembari menembakkan pengukur suhu di kening Aris.
"Masih, dokter. Aku sudah sembuh. Tubuhku rasanya sangat sehat. Aku juga tadi sudah berjalan-jalan sama umi ke depan kamar."
"Alhamdulillah ... Ya sudah, Aris boleh pulang sore ini ya. Tapi, Aris harus janji sama dokter. Aris nggak boleh terlalu banyak gerak yang bisa membuat tubuh Aris menjadi lemah. Oke?"
"Iya, dokter. Aris janji!"
"Sama obatnya juga diminum sampai habis. Setiap hari. Ya, nak Aris?"
Aris mengangguk kemudian menoleh ke arahku. Tersenyum. Senyumnya sungguh membuat rasa sakit, sesakit apapun, dan rasa lelah, selelah apapun, seketika sirna terkubur bersama peluhnya kegundahan.
*****
Ketika pulang, aku hanya bisa menyetop bajaj yang lewat. Melihat uang yang singgah di dompet kecilku tak banyak, karena sering dikeluarkan untuk menebus obat yang tak ditanggung bpjs. Aku bersyukur, obat yang saat pulang harus ku tebus, bisa terbayar oleh uang yang diberikan ibu mertuaku untuk Aris.
'Alhamdulillah, masih bisa menyewa bajaj, dan menyisahkan uang untuk membeli sajadah kecil yang Aris inginkan.'
Aku menghela nafas panjang. Kegelisahanku telah hilang. Aku, Aris, dan mas Heru akan kembali lagi menjalani hidup bersama dengan normal.
Setengah perjalanan, kulihat toko seperangkat alat sholat di pinggir jalan. Segera ku pinta supir bajaj berhenti dan mampir sejenak untuk membeli sajadah.
Aris sangat antusias memilih-milih sajadah yang banyak berjejer di rak toko.
"Umi, ini bagus. Aku mau ini ya, umi. Untuk abi, samakan saja umi. Tapi, apa ada yang besar, umi?"
"Coba umi tanya penjaga tokonya dulu ya."
Aku langsung melangkah ke meja kasir, untuk menanyakan sajadah yang Aris ingin belikan untuk mas Heru.
"Mbak, untuk sajadah yang besarnya dengan motif sama seperti ini, ada?"
"Ohh. Ada, bu! Sebentar saya ambilkan ya."
Aris sangat senang mengetahui sajadah yang ia pilihkan untuk mas Heru, ada.
Sesampainya di rumah, Aris langsung menerobos masuk ke rumah. Tapi pintu rumah terkunci, yang membuat wajah Aris sedikit kecewa.
"Umi, kenapa dikunci? Abi ada di dalam kan?"
'Kenapa pintu terkunci? Tumben mas Heru mengunci pintu?' gumamku bertanya.
"Sudah nggak papa, barangkali abi ketiduran, nak. Umi kan juga pegang kuncinya. Sebentar umi ambil dulu di tas ya."
Aris mengangguk penuh harap. Ia ingin sekali cepat masuk dan bertemu dengan abi nya. Memberikan sajadah barunya dengan motif yang sama indah.
"Ceklek"
"Assalamualaikum ... Abi ..."
Aris langsung melesap masuk begitu pintu rumah terbuka. Aku di belakangnya, mengikutinya mencari sosok yang kami cari. Tak ada mas Heru. Sangat sepi.
"Umi ... Kenapa abi nggak ada? Apa abi nggak mau melihatku pulang? Apa abi marah sama aku, umi? Abi pasti marah karena aku selalu bikin umi menangis, makanya abi pergi. Abi dimana, umi? Aku mau ketemu abi, umi! Huhuhuhu."
Tangis Aris begitu pilu, ia menangis menyedekapkan diri dengan memeluk sajadah yang sengaja ia pilihkan untuk mas Heru.
'Kemana mas Heru? Kenapa nggak ada di rumah? Bukannya dia tahu sore ini kami akan pulang? Kenapa dia malah pergi? Kakinya juga kan masih sakit! Gimana bisa mas Heru pergi dari rumah?'
Macam-macam pertanyaan menyeruak di hati ini. Seketika aku khawatir. Sangat khawatir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
R_3DHE 💪('ω'💪)
😭😭😭😭😭
2023-01-15
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
kemana Abi ya🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2021-12-28
0
🅒︎🅒︎🅣︎🅥︎
😔
2021-05-13
1