Aku yang masih terpaku, duduk dengan tubuh tegap, dan menyandarkan kepala ke dinding. Kurasakan kantung mata yang mulai membengkak. Mataku terpejam, mencoba menahan airmata yang tak henti menetes. Seketika, suara Aris pada kala itu kembali hadir dan memekakkan telinga.
--
"Umi ... Abi sering memintaku untuk jadi anak yang sholeh. Aku nggak tau sholeh itu apa. Yang aku tau, abi selalu berkata anak sholeh itu harus rajin sholat, dan nggak boleh bikin orangtua menangis karena kita. Kata-kata itu yang selalu aku ingat. Tapi kenapa sekarang umi menangis? Aku cuma jatuh dari sepeda, umi. Hanya lututku yang terluka. Apa aku bukan anak sholeh? Karena sudah membuat umi menangis? Maafin aku, umi. Aku janji nggak akan jatuh lagi."
--
Tangisku bukannya terhenti, justru semakin terisak. Sejak kecil, Aris memang sudah ditanamkan sikap sholeh dan bijak oleh mas Heru. Aris anak yang sangat cerdas. Ia mampu membuat aku dan mas Heru banyak belajar dari sikapnya. Anak yang selalu mengerti keadaan orangtuanya. Ia tak pernah merengek berlebihan untuk sesuatu yang ia inginkan. Baru sajadah kecil ini, ia tak henti merengek sejak lama.
Pernah ku niatkan untuk membelikannya waktu itu, tapi selalu saja terpakai oleh kebutuhan mendesak lainnya. Maklum, aku menyambung hidup keluargaku dengan berkeliling menjajakan kue dagangan milik tetanggaku. Jika habis, upah dari hasil jualan, ku belikan beras dan yang lainnya. Tapi jika tak habis, terpaksa aku berhutang lagi di warung sebelah rumahku.
"Ibu Wulan ..."
Suara dokter Iksan membuyarkan lamunanku. Dengan cepat aku berdiri menghadapnya yang tengah berdiri di depan pintu ruang operasi.
"Iya, dok! Bagaimana operasinya, dok? Keadaan Aris gimana?"
"Alhamdulillah operasinya berjalan lancar."
"Alhamdulillah ..."
Ku usap wajahku dengan kedua telapak tanganku, tanda syukurku pada-Nya. Perasaan was-was yang sempat menjalar, perlahan sirna.
"Tapi, bu ..." dokter Iksan tak melanjutkan, ia justru menarik nafas yang kemudian di hembuskannya dengan berat.
"Tapi apa, dok?" tanyaku cemas.
"Tenang, bu Wulan. Kejadian seperti ini banyak terjadi. Apalagi Aris masih sangat kecil. Yang kekuatan dan daya tubuhnya sangatlah lemah."
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang di katakan dokter Iksan. Pernyataannya membuatku semakin gusar.
"Kenapa dengan Aris, dok? Bagaimana saya bisa tenang, sementara dokter memberikan pernyataan yang membuat saya cemas."
"Ibu Wulan. Kondisi Aris saat ini masih belum sadar. Seharusnya, memang biasanya setelah observasi pasca operasi, Aris sudah sadar. Tapi bu Wulan tenang saja, kami akan terus memantau pemulihan Aris. Hingga Aris siuman, baru kami langsung memindahkannya ke ruang rawat inap lagi. Demi menghindari suatu hal buruk yang bisa saja terjadi."
"Tapi Aris akan baik-baik saja kan, dok? Aris nggak kenapa-kenapa kan, dok?"
"InshaAllah, Aris baik-baik saja. Hanya saja, pemulihan pasca operasinya membutuhkan waktu yang lebih lama."
"Apa saya bisa menemui Aris, dok?"
"Belum bisa, bu. Aris masih di ruang observasi. Belum bisa di temui dulu. Ibu bisa menunggu di sini, nanti pada saat Aris akan di pindahkan, kami akan beritahu ibu Wulan."
"Ya sudah, dok. Lakukan saja yang terbaik untuk Aris."
"Baik, bu. Saya permisi."
Aku mengangguk pelan. Berjalan dengan langkah gontai. Ku hempaskan kembali tubuhku di kursi yang tadi aku duduki. Masih terselip kecemasan di hati ini. Kecemasan akan keadaan Aris yang masih tak sadarkan diri. Mataku mengarah pada jam dinding yang menggantung tepat di atas lift. Jam 9.15, perutku terasa lapar, tapi tubuh ini tak berselera untuk sarapan. Kubiarkan rasa lapar ini menggelayut.
'Aku yakin, Anakku kuat. Aris kuat! Aris mampu lewatin semua. Doa umi selalu untuk Aris, nak. Bertahan sayang. Bangun, nak.'
Seketika tersirat di hati untuk mendoakan Aris lewat sujudku, saat mataku terhenti pada pintu di ujung lorong ini. Sebuah tulisan berstiker panah penunjuk tertempel di dinding yang menunjuk ke arah pintu.
'Mushola'
'Alhamdulillah, ada mushola yang masih satu lorong dengan ruangan operasi ini'
Tak buang waktu, langkahku dengan cepat mengikuti arah mataku. Mushola di lorong ini sangat sepi, bahkan tak ada satu orang pun yang ku lihat di dalamnya. Wajar saja, karena memang mungkin mushola ini disediakan khusus untuk keluarga pasien yang ingin mendoakan salah satu keluarganya yang tengah di operasi secara khusyu.
Setelah berwudhu dan siap dengan mukena yang ku kenakan. Aku terbayang wajah Aris yang tersenyum memandangku. Ku mulai sholat ku dengan niat yang begitu khusyu. Di rokaat terakhir, ku benamkan wajahku di atas sajadah. Lamaaaaa sekali. Seakan tak mau beranjak dari sudjudku. Airmata yang tiba-tiba keluar membasahi sajadah, membuat tubuh ku bergoyang akibat tangis yang sesegukan. Lagi-lagi wajah Aris begitu nyata terlihat di mataku. Lantunan doa tak henti dan terus ku panjatkan dalam sujudku.
*****
Aku sudah kembali duduk di kursi tunggu. Dengan mata terus terpaku pada pintu besi yang ada di sebrangku. Merasa cemas dan penu harap, dokter cepat-cepat keluar dari balik pintu itu. Hatiku tambah meracau saat pintu yang sedari tadi tak lepas dari pandanganku terbuka. Buru-buru ku dekatkan diri ini menghampiri sosok tinggi berjas putih ala dokter yang muncul dari balik pintu.
"Dokter Iksan. Gimana dengan Aris, dok?" tanyaku khawatir.
"Alhamdulillah, Aris sudah siuman dan bisa di pindahkan ke kamarnya. Walaupun kondisinya belum stabil. Aris masih sangat lemah. Melihat operasi yang sangat beresiko, yang baru saja ia lalui. Tapi ibu Wulan nggak perlu terlalu cemas. Karena nanti dengan perawatan yang intensif, perlahan-lahan akan berangsur membaik."
"Alhamdulillah ... Ya Allah ..."
Aku yang saat itu amat bersyukur dengan keadaan Aris, langsung menumpahkan airmata yang sudah ku tahan sejak tadi menunggu setelah selesai sholat. Tangis bahagia ini tak bisa ku bendung. Aris, anakku, sukses melewati operasi yang sangat beresiko ini.
"Suster sedang menyiapkan keperluan Aris untuk dipindahkan segera ke ruang rawat inap, ibu tunggu saja ya, saya tinggal ke dalam, karenaasih banyak yang harus saya kerjakan."
"Iya, dok. Terimakasih banyak ya, dokter Iksan."
Dokter Iksan berlalu dengan anggukan dan senyum yang menoreh ke diriku. Sosoknya semakin menjauh dan tak terlihat. Lenyap termakan sekat dinding di pertigaan lorong ruang operasi.
Tak lama, kulihat suster dan petugas lain mendorong ranjang pasien tempat Aris berbaring. Aris tersenyum melihatku. Sangat terlihat kalau tubuhnya masih lemah.
"Umi ..." sapa Aris yang terdengar sangat pelan.
"Iya, nak. Umi selalu di sini temani Aris. Nggak usah banyak bicara dulu ya, nak. Aris masih lemas."
"Aku nggak lemas, umi. Aku sudah sembuh. Sudah nggak sakit lagi kok. Tuh, lihat. Tanganku saja mudah sekali aku gerakan." kata Aris dengan menggerakkan tangannya ke atas.
Aku tahu Aris berbohong, semata-mata agar aku tak menangis dan khawatir dengannya. Tapi perkataannya, justru membuatku berlinangan airmata. Aku terisak dihadapan Aris dengan langkah kaki mengikuti laju ranjang yang di dorong suster dan petugas.
"Umi ... Kok umi nangis lagi? Aku kan sudah bilang, aku sudah sembuh, umi. Umi jangan nangis. Aku mau jadi anak yang sholeh seperti yang abi mau. Umi jangan nangis."
Ku usap dengan cepat airmataku yang tak henti menetes. Aku tak ingin membuat Aris semakin sedih melihatku menangis. Aku harus tersenyum di depannya, menyemangatinya untuk terus kuat. Aku yakin, Aris akan sembuh dan kembali sehat seperti anak-anak yang lain.
"Umi nggak kenapa-kenapa, nak. Tangisan umi karena terlalu bahagia melihat Aris sudah sehat lagi. Aris sudah menjadi anak umi yang sholeh kok, nak. Umi bangga dengan Aris! Aris kuat!" kataku yang tersenyum meyakinkan Aris.
Wajah Aris yang tadinya gusar karena melihatku menangis, kini terlukis kebahagiaan.
"Aris anak yang pintar ya. Umi pasti senang sekali memiliki anak sholeh seperti Aris. Suster bangga sama Aris!"
"Makasih, suster." kata Aris dengan tersenyum.
Suster yang tadinya hanya mendengarkan kami, kemudian ikut bersuara menyemangati Aris. Wajah Aris tambah sumringah. Sakit pasca operasi, tak dirasakannya. Aku bersyukur memiliki anak seperti Aris. Ia sangat berbeda dari anak seumurannya. Aris memang malaikat kecilku. Ia alasanku untuk bertahan dari lelahnya dunia. Usianya masih terbilang sangat kecil, tapi hatinya sungguh berjiwa besar.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Adiba Syakila
critax sdih bngt..jdi meleleh trus deh..
2022-05-15
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
Aris💪💪💪💪💪umi yg sabar dan tabah ya😭😭😭😭😭
2021-12-28
0
Ratna Utami
semangat aris sayang😘😘😘😘😘😘
cepet sembuh nya
2021-05-30
0