20 tahun yang lalu
Dalam bahagia yang selalu beriringan dengan duka
Dalam tawa yang selalu beriringan dengan sedih
Hingga semua berputar kembali
Saat badai yang dahsyat mereda
Dan sinar mentari memeluk hangat
Membentuk lengkungan manis yang sebenarnya
Hari itu hari minggu pagi, serombongan keluarga tuan Andika sudah bersiap diri untuk pergi berlibur, merayakan kemenangan sang kapten basket. Kemenangannya patut dirayakan sembari melepaskan diri dari stress pekerjaan, stress karena tugas sekolah yang kian hari makin banyak saja dan stress yang membelenggu pada ibu rumah tangga.
“Lihat sang kapten kita, mampu menghantarkan tim garuda menuju kemenangan,” ucap sang Ayah sambil memengang sendok yang di alih fungsikan sebagai mikrofon.
“Ah Ayah terlalu berlebihan, keberhasilan kemarin itu hasil kerja sama tim Ayah,” balas Damar sang kapten basket yang tersipu atas pujian ayahnya.
“Kemarin Kak Damar main basketnya keren banget,” ujar Kalista.
“Benar dan kemenangan ini harus dirayakan dengan main bola di pantai," sahut Ilham antusias.
Akhirnya keluarga Tuan Andika sudah memasuki separuh perjalanan menuju pantai. Semua anggota keluarga ikut dan tuan Andika yang mengemudikan langsung mobilnya tanpa Pak Parmin. Semula perjalanan ini seperti layaknya perjalanan yang menyenangkan. Ketiga anak yang berceloteh antusias membahas kegiatan apa yang akan dilakukan sesampai di pantai nanti. Bunda dan Ayahnya yang mendengarkan ikut tertawa. Keluarga bahagia.
***
Di sisi lain....
“Won! Udah jangan dipaksa, sekarang gantian aku yang mengemudi. Kamu sudah mengemudi dari kemarin malam sampai sekarang!” ujar kenek truk di sebelahnya.
“Nanggung Nar. Nanti kita berhenti di SPBU,” jawab sang pengemudi.
“Menyetir dengan kondisi mengantuk itu bahaya sekali Kliwon, apalagi truk kita sarat akan muatan. Sudah! Menepi sekarang, Aku yang akan menggantikanmu Won!” pinta kenek truk yang di sebelahnya.
“Kamu ini cerewet sekali Sunari. Aku hanya akan berhenti saat ada SPBU, paling sekitar 5 kilometer lagi,” ucap Kliwon tidak mau kalah.
Tiba pada jalan yang lenggang hanya ada sebuah truk di depan truk Kliwon dan Sunari. Kliwon yang hendak menyelip truk di depannya yang sangat berjalan lambat. Tapi tindakan ini diprotes oleh Sunari.
“Sudah jangan ngebut! Kita membawa muatan yang tidak mudah busuk!” ucap Sunari.
Namun Kliwon tidak menghiraukan peringatan Sunari. Dia tetap keras kepala ingin menyalip truk yang ada di depannya. Secara bersamaan dan perkiraan Kliwon yang salah, dan truknya sudah melaju di jalur kanan, tiba-tiba ada mobil melaju dengan kecepatan sedang dari arah berlawanan. Tak ada waktu untuk truk pindah ke jalur kiri. Dan naasnya mobil itu tidak bisa menepi karena sebelah kirinya adalah jurang yang curam.
Tabrakan antara truk dan mobil itu tidak bisa terelakan. Terdengar bunyi hantaman yang keras. Body mobil ringset. Bagian depan truk juga rusak. Seketika tempat itu dipenuhi malaikat maut untuk menjemput jiwa-jiwa yang sudah diputuskan untuk mengakhiri perjalanan mereka di dunia ini.
***
Terasa cepat sekali kebahagiaan terenggut bertukar dengan duka. Mobil yang di kemudikan Tuan Andika mengalami kecelakaan. Bunda yang mengalami luka di kepala namun tidak serius. Darah segar mengalir di pelipisnya karena benturan itu. Ironisnya Bunda melihat langsung body mobil menghimpit suaminya dan anaknya.
Akhirnya tim medis mengevakuasi seluruh korban kecelakaan termasuk sopir dan kenek truk yang mengalami luka-luka. Para korban dilarikan ke rumah sakit terdekat menggunakan ambulans.
Bunda menangis. Menolak dilakukannya tindakan medis oleh perawat. Dia hanya ingin mengetahui bagaimana kondisi suami dan anak-anaknya. Bunda tak bisa tenang. Dia melihat Damar putra sulungnya menangis saat dua orang perawat membalut lukanya. Luka Damar tidak serius hanya dijahit di bagian kepala namun tidak begitu lebar.
“Bundaaaa ... Ayah di mana? Di mana kedua adikku?” tanya Damar yang sesegukan dalam tangisnya.
Bunda menggeleng. Langsung memeluk Damar seusai kedua perawat itu membalut luka Damar. Salah seorang dokter bilang bahwa suami dan kedua anaknya berada di ruang perawatan sebelah karena mengalami luka yang sangat serius dan dalam keadaan kritis. Langsung saja Bunda dan Damar mencari ruang itu.
Setelah menemukan ruang perawatan suami dan kedua anak kembarnya, Bunda langsung diberitahu oleh dokter bahwa suaminya mengalami luka yang serius dan tidak bisa diselamatkan. Kedua anaknya dalam keadaan kritis. Ilham mengalami kerusakan jantung dan membutuhkan donor jantung sesegera mungkin. Sedangkan Kalista, tak menunjukan adanya tanda kondisi yang baik. Dia kritis dan kemungkinan dokter juga tidak bisa menyelamatkan gadis kecil itu.
Bunda langsung ambruk. Menangis. Dia sudah kehilangan pasangan sehidup sesurganya. Dan kedua anaknya sedang dalam kondisi yang tidak bisa di bilang baik-baik saja.
“Bagaimana peluangan hidup kedua adikku Dok? Jawab Dokter!” tanya Damar tegas.
“Untuk adikkmu yang laki-laki, jika Dia mendapatkan donor jantung kemungkinan untuk selamat sangat tinggi.”
“Bagaimana dengan Kalista? Jawab Dok!” tanya Damar yang tidak sabaran.
“Gadis kecil itu kondisinya semakin lama semakin melemah. Kami sudah berusaha sekuat kami bisa. Dia bisa kapan saja menangkap. Jujur jika untuk menyelamatkan keduanya sulit, hanya salah satu yang bisa di selamatkan. Harapan itu hanya ada pada anak laki-laki itu,” ujar dokter tersebut.
“Bunda aku ingin bicara di luar,” ucap Damar sambil menarik Bundanya keluar ruang perawatan Ilham dan Kalista.
Bunda hanya menurut, kepedihanya akibat rasa kehilangan telah membelenggu dirinya. Bunda tak kuasa untuk terlihat tegar.
“Bagaimana kalau Ilham mendapatkan donor jantung dari Kalista. Aku tak ingin adikku tidak ada yang selamat. Aku sudah kehilangan ayah Bun. Aku tidak mau kehilangan semua adikku Bun, Kita masih bisa menyelamatkan Ilham,” ujar Damar.
Kalista, putri kesayanganku.
“Bunda, aku mohon, segeralah ambil keputusan. Ini keadaan yang mendesak,” tegas Damar.
“Apakah kita tidak bisa menyelamatkan Ilham dan Kalista sekaligus?” ratapan Bunda.
“Dokter bilang hanya salah satu, dan yang bisa itu hanya Ilham Bun. Jika tidak segera dioperasi Ilham juga akan meninggalkan kita Bun. Kita akan kehilangan 3 anggota keluarga sekaligus.”
Akhirnya Bunda menyetujui prosedur operasi untuk Ilham dan Kalista sebagai pendonor jantungnya untuk Ilham.
***
“Begitu ceritanya Non, jadi Nyonya mempunyai dua putra dan satu putri. Dan ini kamar almarhum non Kalista, tak pernah dipakai hampir 20 tahun dan hanya di biarkan kosong. Sekarang Nona Farah menempati kamar ini,” kata Yu Minem.
“Apakah Ilham juga tinggal di sini Yu Minem?” tanya Farah hati-hati.
“Den Ilham tinggal di rumahnya sendiri,” jawab Yu Minem tersenyum bangga, “Den Ilham memiliki bisnis kuliner Non, jadi setiap hari libur Den Ilham menyempatkan kesini Non.”
“Oh begitu,” balas Farah.
Ya setidaknya aku tak harus tinggal satu atap dengan lelaki berhati dingin itu.
“Iya Nona, nanti kalau ada apa-apa bilang ya sama Yu Minem. Dan tadi nyonya pergi sebentar karena ada urusan yang mendadak Non. Saya permisi ke dapur dulu. Nona istirahat saja,” ucap Yu Minem meninggalkan Farah di kamar itu.
Kamar ini terasa nyaman dan terawat dengan baik. Buku-buku Farah pun sudah disusun sedemikian rupa. Lemarinya pun juga sudah terisi baju-baju Farah dan ada tambahan baju baru dari Bunda. Rumah Bunda memang luas, kamarnya banyak tapi Bunda tinggal jauh dengan anak-anaknya.
Farah membuka jendela kamar itu lebar-lebar. Ia melihat halaman belakang rumah Bunda.
“Luas, bisa ditanami bunga,” guman Farah.
Farah mencoba merebahkan tubuhnya. Ia tidak bisa tidur walaupun sudah berganti posisi miring ke kanan dan miring ke kiri untuk kesekian kalinya.
“Aku tidak butuh tidur sekarang. Baik Aku akan berjalan-jalan di halaman belakang rumah Bunda.”
Tepat saat Farah keluar dari kamar, menutup pintu. Ilham sudah berada beberapa meter di depan pintu ini, terlihat di mengawasi Farah.
“Mengapa kamu tidur di kamar ini?” tanyanya dingin membikin suasana mencekam, “Jawab! Mengapa kamu tidur di kamar ini!” tanyanya kian tegas, seakan dia tak mau menunggu jeda sedetik pun.
Sontak Farah kaget, Ilham bisa membentak seperti ini.
“Aku hanya tahu, kamar ini yang akan aku tempati, karena sekarang aku ikut Bunda,” jawab Farah lirih dan menunduk tak berani melihat sorot matanya yang tajam.
“Lalu, mengapa kamu tidur di kamar ini? Apa tidak bisa di kamar lain?” tanya Ilham tegas.
Mendengar ribut-ribut Yu Minem datang dari arah dapur melerai kesalahpahaman Ilham.
“Den Ilham, maaf. Tapi nyonya sudah berpesan bahwa Nona Farah tidur di kamar ini,” jelas Yu Minem.
Meskipun begitu Ilham tetap bersikeras tidak mau kalau kamar Kalista saudara kembarnya di tempati oleh orang lain.
“Sudahlah Ilham, tidak perlu mempermasalahkan ini dengan serius. Jika Bunda sudah memutuskan kamu harus menerimanya.” Suara lelaki dewasa matang yang tiba-tiba muncul. Farah belum mengenalnya.
“Mas, biar bagaimanapun perempuan ini tidak bisa menggantikan Kalista. Apapun itu!” geram Ilham. sorot mata Ilham memandang tajam.
“Dia memang tidak bisa menggantikan Kalista, tapi Bapak Rudi berjasa menjadi penyelamatmu, dan kehadiran Farah di dunia juga membuat Bunda tersenyum atas semua kehilangan saat itu.” Lelaki itu mendekat ke arah Ilham dan Farah.
Mas? Ilham memanggil lelaki dewasa yang ada di depannya dengan sebutan mas? Apakah dia Damar? Dan mengapa lelaki ini mengenal almarhum papaku?
Farah bingung mendengar penyataan dari lelaki dewasa itu.
Mendengar pernyataan lelaki dewasa itu, Ilham memilih pergi. Menyisakan Farah, Yu Minem dan lelaki dewasa ini.
“Yu Minem tolong siapkan teh dan kudapan ringan, ke halaman belakang ya Yu,” pinta lelaku dewasa itu.
Yu Minem menuruti saja permintaan lelaki dewasa ini. Yu Minem kembali lagi ke dapur.
“Kamu pasti Farah 'kan? Ayo, kita berbincang di halaman belakang,” ajak lelaki dewasa itu.
Farah menurut saja, kelihatanya lelaki itu baik. Setelah melewati beberapa ruangan, akhirnya sampai juga halaman belakang rumah Bunda yang luas. Ada gazebo yang terbuat dari kayu jati tua yang bepelitur. Mereka duduk di gazebo itu sambil menikmati halaman belakang rumah yang menyuguhkan hamparan rumpuh hijau yang segar dan terlihat rapi.
“Maafkan kelakuan adikku ya,” katanya memecah keheningan, “Aku mendapat pesan singkat dari bunda agar mampir ke rumah sebelum kembali lagi ke Bali. Aku turut berduka cita atas meninggalnya pak Rudi dan istrinya.”
Farah mengangguk tanda tidak apa-apa.
“Oh ya, namaku Damar anak sulung Bunda,” ucap Damar tanpa menjulurkan tangan.
“Saya Farah Mas, maaf sebelumnya jika kedatangan saya malah membuat keributan di keluarga ini.”
“Tidak, kamu dan keluargamu telah berjasa menyalakan api harapan di tengah kedukaan yang menyelimuti keluarga kami,” jelas Damar.
Farah menatap tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Damar.
“Pasti kamu belum tahu cerita ini kan? Yu Minem hanya menceritakan separuhnya. Tapi aku akan melengkapinya,” ujar Damar yang seolah mengerti apa isi ketidaktahuan yang dirasakan Farah.
“Semua berawal saat Ilham akan menjalani operasi jantung dua puluh tahun silam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Kiki Sulandari
Ilham...kehilangan Kalista sangat berat baginya
Sehingga tak ada yg boleh menggantikannya..
2020-12-17
0
Lintang Lia Taufik
jejak
2020-09-05
1
Malika Putri
cuek dingin tp hatix baek..
2020-08-19
0