“Kuatkan hatimu Sayang,” kata Bunda dengan suara tercekat.
Farah masih tidak bisa mencerna kata-kata Bunda. Bayang-bayang mengerikan tentang papa dan mama bermunculan di pikiran. Farah menguatkan hati, menepis semua kemungkinan itu. Sesampainya di kamar yang dituju, Tangisan Farah pecah. Melihat Mama yang tergolek lemah di tempat tidur itu. Banyak selang berseliweran menempel di tubuh Mama.
Kata Bunda, Mama dan Papa mengalami kecelakaan setelah pulang dari rumah Tante Sarah. Farah menangis sejadi-jadinya. Mencoba berteriak mencari papa. Tapi Bunda mencegah dan memeluk Farah erat. Bilang jika papa Farah meninggal dalam kecelakaan itu. Hanya Mama yang masih bisa terselamatkan dan masih belum sadar hingga sekarang.
“Papaaa! Mengapa Papa meninggalkan Farah,” tangis Farah, Bunda ikut menangis mendengar rengekan itu. Bunda memeluk Farah erat sekali.
Tiba-tiba Mama tersadar. Bunyi alat itu nyaring sekali. Farah mencoba melihat mama.
“Fa-rah sa-yang. Ma-ma su-dah ti-dak ku-at. Ma-ma i-ngin i-kut Pa-pa. Fa-rah i-kut Bu-nda ya. Lia ti-tip anakku,” suara Mama terbata-bata.
Bunda yang menyadari segera memanggil dokter. Farah melangkah mundur agar tidak menganggu dokter dan perawat untuk mengecek kondisi mama. Dokter sangat berusaha keras. Seketika dokter menatap Bunda, dokter itu menggeleng-geleng kepalanya, tanda dia sudah menyerahkan kepada Allah. Bunda langsung menghampiri tubuh mama membisikkan kalimah syahadat.
Mata Farah terbelalak, ia lepas kendali, meraung dan menangis. Farah bangkit ingin meraih tubuh mama. Ia mengutuk diri ini. Tak percaya.
Harusnya aku bisa mencegah mama dan papa untuk pergi!
Batin Farah berteriak.
Tiba-tiba semua nampak gelap. Gelap. Dan sunyi.
***
Farah membuka mata, merasa tak asing melihat langit-langit ruangan ini. Melihat sekitar, tak salah lagi ini kamar Farah. Ia mengingat apa yang terjadi. Orang tua Farah telah tiada. Langsung saja ia keluar melihat rumah yang dipenuhi para pelayat.
Farah menangis ingin mendekati jenazah Papa dan Mama yang sudah dibalut dengan kain kaffan. Bunda yang melihatnya langsung mencegah dan menenangkan Farah.
Farah bersikukuh ingin ikut ke pemakaman tempat Papa dan Mama di makamkan.
“Farah boleh ikut, tapi Farah harus janji tidak boleh menangis,” ujar Bunda.
Farah hanya mengangguk. Ternyata kedua sahabatnya, Jihan dan Balqis ada diantara para pelayat ini. Jihan dan Balqis menemani dan menguatkan Farah agar tabah menjalani takdir ini. Akhirnya jenazah Mama dan Papa diberangkatkan menuju pemakaman.
Tubuh mereka ditimbun tanah dan makam mereka ditaburi bunga. Walaupun Farah sudah berjanji agar tidak menangis saat di pemakaman, tetap saja rasa sedih ini tidak dapat dibendung. Farah menangis lagi. Tak percaya jika hari ini ia menjadi sendirian.
“Ma, Pa. Farah sayang kalian. Sekarang Farah sendirian,” tangis Farah di tengah puasara mama papanya. Tangisan yang membuat pilu bagi yang mendengarnya. Tiba-tiba hujan turun. Sesuai janji hujan. Menyembunyikan air mata yang keluar.
Para pelayat berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Ada yang sudah membawa payung termasuk bunda. Bunda datang dan sedikit menyeret Farah agar ikut pulang. Hujan semakin deras menjatuhkan tetesnya lebih sering.
Sesamapai di rumah, Farah duduk di sofa, bajunya basah. Bunda mengambilkan air hangat untuk membersihkan tangan dan kaki Farah yang kotor karena terkena tanah basah kuburan.
“Farah sudah makan?”
Tak ada jawaban.
“Bunda buatkan makanan ya untuk Farah?” ucap Bunda lagi.
Farah menggeleng. Ia tidak ingin makan juga tidak lapar. Farah beranjak menuju kamarnya mengganti baju yang basah.
“Farah mau ke mana?” cegah Bunda.
“Ke kamar, ganti baju.”
Farah berjalan dengan menunduk menuju kamar. Rasanya baru tadi pagi ia bercengkrama dengan mama. Sarapan bersama membahas ingin mengambil jurusan apa nanti saat kuliah. Farah memandang soal-soal yang dikerjakan tadi. Tak ada niat untuk kembali berkutat dengannya.
Setelah berganti baju, Farah merebahkan diri memandang langit-langit kamar. Ia merasa teramat sangat kehilangan serta merasa hari ini adalah hari yang paling panjang dan buruk.
Ingin Farah menangis dengan lantang, menentang takdir ini. Berteriak pada Allah menanyakan apakah mama dan papanya bisa kembali walau hanya semenit? Tidak. Farah tidak melakukannya, suara itu selalu berhenti di tenggorokan. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis lagi, walau beberapa tetes air mata merembes keluar. Hangat rasanya membikin matanya sembab.
Suara ketukan pintu membuyarkan imajinasi yang Farah lihat di langit kamarnya. Bunda masuk ke kamar Farah membawa sup hangat. Baunya nikmat sekali, namun Farah sedang tidak berselera. Ia merasakan hampa dalam hati dan tubuh ini.
“Bunda bawakan sup. Mumpung masih hangat dimakan ya sayang,” ucap Bunda.
Farah bangun, terduduk di kasur. Saat Bunda menyuapi Farah, Ia menggeleng tanda menolak. terlihat Bunda hanya tersenyum tipis.
“Bunda tahu, Farah kehilangan mama, kehilangan papa. Bukan hanya Farah saja yang merasa kehilangan, Bunda juga merasa kehilangan sahabat yang sudah Bunda anggap seperti saudara sendiri. Bunda tahu ini menyakitkan buat Farah, tapi Farah harus tabah, doakan yang terbaik untuk mama dan papa,” ujar Bunda lembut penuh kesabaran.
Mendengar kata-kata Bunda, air mata Farah merembes lagi, ia sadar meskipun menolak semua takdir ini sudah tak ada gunanya. Bunda memeluk Farah, membiarkan Farah menangis dalam dekapanya.
Ternyata Bunda baik seperti Mama.
“Sekarang Farah menjadi tanggung jawab Bunda, mama Farah menitipkan kamu pada Bunda. Sekarang Farah makan ya, meskipun sedikit Farah harus makan.”
Farah mengangguk, Bunda benar, sebelum mama meninggal, mama bilang harus ikut Bunda.
Akan aku turuti permintaan mama
***
Sudah beberapa hari berlalu setelah kematian mama dan papa. Farah masih belum merelakan mereka. Bunda sudah harus pulang, sebenarnya bunda ingin Farah ikut agar tinggal di rumahnya, namun Farah menolak, ia bersikukuh tetap tinggal di rumah ini. Rumah yang penuh sesak dengan kenangan bersama mama dan papa. Bunda mengiyakan permintaan Farah dan baiknya Bunda mengutus seorang asisten rumah tangga yang bernama Mbak Jum untuk menemani dan memenuhi semua kebutuhan Farah.
Awalnya Farah juga menolak niat baik bunda karena Ia tidak membutuhkan asisten rumah tangga. Tapi bunda menyakinkan Farah untuk menerima niat baik ini, Bunda yang menanggung semua biaya Mbak Jum.
Sesekali Jihan dan Balqis mampir ke rumah untuk menjenguk Farah, terkadang Balqis membawakan makanan yang dimasak oleh uminya. Tapi tetap saja rasa makanan seenak apapun terasa hambar ketika merasa kehilangan.
Farah pernah mencoba memakan hidangan yang disajikan Mbak Jum sebenanya masakannya lezat. Saat mencium baunya tapi karena teringat mama dan papa, ia menangis. Farah makan sambil menangis. Sesak dada ini, rasanya hampa.
Sesekali Farah masuk ke kamar mama dan papa, ia membuka lemari mereka, masih sama, baunya pun masih sama belum berubah. Farah mengambil pakaian mama lalu menghirup aromanya, rasanya mama masih ada, ia memeluk pakaian itu sambil merebahkan diri di kasur.
Lagi-lagi air mata ini mengalir, Farah belum sepenuhnya ikhlas, masih berat sekali. Pernah ia melakukan seperti itu sampai tertidur. Rasa kehilangan, rasa hampa, kesepian penuh sesak, mata sembab terlalu lelah mengerluarkan air mata.
Doa yang Farah ucapkan dalam satu kali lebih tak bisa menukar takdir Allah walau hanya sedetik. Tubuh Farah roboh, tak kuasa merasakan semuanya.
Gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Kiki Sulandari
Kehilangan kedua orang tua sekaligus..
Sedih😭😭😭😭😭
2020-12-17
0
Husna Wati
hmmm... nyesek...
berat amat beban mu...
2020-11-26
0
Kris Wanti
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2020-11-19
0