Perempuan Pilihanku
“Seorang wanita itu harus bisa memasak. Kasihan kalau sudah nikah tapi tidak bisa masak, memang suaminya mau dikasih makan apa?” ujar Jihan.
“Memasak sepertinya bukan syarat menikah. Ada laki-laki yang berjodoh dengan perempuan yang belum bisa memasak,” balas Balqis tidak setuju atas pernyataan Jihan.
“Bagaimana Far menurutmu, apakah perempuan yang akan menikah harus bisa memasak dulu?” tanya Jihan kepada Farah.
“Menurutku, walaupun perempuan itu enggak bisa masak, dia akan berusaha keras untuk belajar memasak untuk orang yang dicintainya,” jawab Farah.
Balqis dan Jihan. Mereka adalah sahabat Farah sejak masuk SMA. Hari ini adalah hari terakhir ujian nasional. Beberapa bulan lagi Farah, Balqis dan Jihan akan lulus dari jejang pendidikan sekolah menegah atas. Saatnya bersikap dewasa untuk memilih jalan yang harus ditempuh untuk masa depan. Kerja? Kuliah? Atau memperbaiki diri untuk menikah.
“Aku setuju dengan Farah, ya setidaknya kegiatan memasak masih bisa dipelajari,” ungkap Balqis.
“Dari tadi ngomongin masalah nikah terus? Memang habis lulus ini kalian mau langsung menikah?” tanya Farah yang sedari tadi menyimak topik bahasan kedua sahabatnya.
“Enggak secepat itu sih. Setidaknya bolehlah merancang masa depan. Memang kamu enggak mau nikah Far?” tanya Jihan diiringi gelak tawa.
“Masa depan boleh sih dirancang, tapi aku belum siap jika harus menikah muda. Aku ingin kuliah dulu.”
“Farah, kita bisa berwacana tetapi Allah yang menentukan. Jika kamu bertemu jodoh hari ini bagaimana? Terus tiba-tiba ada lelaki yang melamarmu bagaimana? Jika Allah sudah berkehendak lantas kamu bisa apa Far?” ujar Balqis lembut.
"Sepertinya topik kita sudah melenceng. Bukannya niat awal kita mau belajar bahas soal buat masuk perguruan tinggi ya?” kilah Farah sambil membuka kain kerudung yang dikenakannya sedari tadi.
“Astaghfirullah Farah, kok kamu buka jilbab sih? Rambutmu auratmu!” tegas Balqis.
“Balqis, kita ini cuma bertiga perempuan semua, toh basecamp kita juga tertutup jadi aman jika buka jilbab di sini,” balas Jihan membela Farah.
Balqis orang yang paling religius di antara Farah dan Jihan. Dia sudah terbiasa mengenakan jilbab yang terjulur panjang. Bahkan memakai gamis yang senada dengan warna jilbabnya. Sesekali Balqis juga mengenakan cadar saat pergi hangout. Tak masalah bagi Farah dan Jihan, yang penting mereka bersama-sama.
Jika Balqis sangat menutup auratnya, berbeda Farah dan Jihan. Walaupun untuk keluar rumah dan ke sekolah mengenakan jilbab tapi tak sepanjang seperti yang dikenakan Balqis. Jihan lebih suka style hijab yang kekinian dan modis. Sedangkan Farah memakai jilbab jika ada keperluan, kalau di rumah Farah membiarkan rambutnya tergerai.
Basecamp mereka berada di belakang rumah Balqis. Dulunya ini gudang yang tak terpakai. Dua tahun lalu setelah mendapat izin dari Ustad Ahmad— ayahnya Balqis, akhirnya gudang ini boleh digunakan untuk mereka belajar bersama atau hanya sekedar membaca buku.
Basecamp ini lebih dari cukup untuk 3 orang. Bahkan ada satu rak buku isinya novel yang dibeli di toko buku atau bazar buku yang ada di kota mereka. Total ada 45 buku yang mereka beli sejak kelas satu SMA. Untuk menghemat pengeluaran biasanya mereka membeli novel yang berbeda, jika sudah selesai dibaca maka mereka saling bertukar novel.
“Kalian berencana ambil jurusan apa? kalau aku sih pertanian,” tanya Jihan disela-sela keheningan.
“Kalau aku ambil jurusan pendidikan,” jawab Balqis.
“Kalau kamu Far, mau ambil jurusan apa?” tanya Jihan.
“Belum ada target.”
***
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Ma Farah pulang,” salam Farah ketika masuk ke rumahnya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, dari mana saja kok baru pulang?” tanya mama sambil sibuk menyiapkan piring-piring untuk makan malam.
Farah mencium tangan mamanya, “Dari rumah Balqis Ma, tadi Farah sudah pamit ke papa.”
“Kebiasaan, Papamu pasti lupa enggak bilang ke Mama.”
Farah tersenyum melihat mamanya kesal. “Lain kali kalau Farah mau pergi, bakal pamit deh sama Mama,” ujar Farah untuk menenangkan mamanya.
“Ya sudahlah, benar ya lain kali harus pamit ke Mama juga. Farah tolong bantuin Mama, bawa makanan ini ke meja makan ya.”
“Memangnya akan ada tamu ya Ma? Mama masak banyak sekali?”
“Iya. Tante Lia mau kesini.”
“Tante Lia, siapa Ma? Teman Mama?”
“Farah lupa ya, Tante Lia itu yang ngurusin kamu dari bayi, saat Mama masih kerja dulu.”
“O ... iya,” jawab Farah mengiyakan, walaupun sebenarnya Farah sudah ‘benar-benar lupa’ siapa Tante Lia itu.
Ah nanti juga ketemu, pikir Farah yang sedang mondar-mandir seperti setrikaan mengambil piring-piring yang berisi lauk pauk dari dapur ke meja makan.
Setelah Isya orang yang ditunggu pun akhirnya datang. Wanita yang teduh berwajah keibuan. Memakai gamis dan kerudung serba hitam.
Cantik, pikir Farah.
Tante Lia bersama seorang lelaki tampan dan usianya lebih muda dari tante Lia. Farah menerka-nerka pasti itu anak tante Lia.
“Wah, sudah besar ya Farah, sekarang umur Farah berapa?” tanya Tante Lia saat bersalaman dengan Farah sambil mengelus puncak kepala Farah.
“Sudah 19 tahun Tante,” jawab Farah.
“Jangan panggil tante, panggil saja Bunda ya?”
“Iya Bunda.”
Jamuan makan malam tengah berlangsung. Hanya Mama, Papa dan Tante Lia— bunda yang sedang ngobrol dengan asiknya. Lelaki tadi hanya bicara irit sekali. Memperkenalkan namanya Ilham, anak kedua dari bunda Lia. Hanya berbicara saat ditanya saja. Farah bisa menebak dari raut wajahnya, jika lelaki itu sangat tidak nyaman dan mungkin bosan dengan acara makan malam ini.
Pukul sembilan malam, barulah bunda Lia dan Anak lelakinya pamit pulang. Farah membantu membereskan dan mencuci piring dan gelas kotor yang berada di meja makan.
“Farah, menurut Farah bagaimana nak Ilham tadi?” tanya Mama yang sebenarnya pertanyaan yang sedikit mengagetkan Farah.
“Tampan,” jawab Farah singkat.
“Farah suka?”
Farah mengernyitkan dahinya. “Maksud Mama?” Ia bingung dengan pertanyaan Mama kali ini.
"Sebenernya dari dulu Mama, Papa dan Tante Lia kepengen jadi besan.”
“Mama mau jodohin aku! Ma, Farah saja belum lulus dari sekolah.” Farah sedikit syok atas pernyataan Mamanya.
“Farah kan sudah besar, lagipula Nak Ilham juga baik, akhlaknya juga bagus, dan dari segi finansial sudah bisa dikatakan mapan,” ujar Mama meyakinkan.
“Mama, Farah ingin kuliah. Farah belum siap menikah,” protes Farah.
“Tapi, Mama pengen yang terbaik buat kamu sayang.”
“Terbaik? Terbaik untuk siapa! Untuk Farah atau Mama? Maaf Ma, aku punya pilihan sendiri. Aku berhak menentukan hidupku sendiri.” Farah terisak, berlari menuju kamarnya.
“Mama cuma ingin melihat Farah bahagia Pa,” ucap mama yang juga terisak pada suaminya yang tadi diam mendengarkan percakapan antara ibu dan anaknya.
Papa mengangguk mengiyakan. “Sudah Ma, sudah,” Menenangkan istrinya, “Kita hargai keputusan Farah.”
***
Sebuah mobil berwarna hitam melaju lancar di jalanan lengang. Ilham yang menyetir mobil itu sedikit terkejut dengan pertanyaan dari Bundanya.
“Nak Farah menurutmu cantik enggak?”
“Namanya juga perempuan, pastilah cantik.”
“Maksud Bunda, Ilham suka enggak sama nak Farah?”
“Bunda, dia sangat kekanak-kanakan, dia masih SMA dan belum lulus,” jawab Ilham yang sebenarnya tahu arah percakapan antar dirinya dan Bundanya. “Lagipula, aku belum ada niatan untuk menikah. Aku masih sibuk Bun.”
“Kamu selalu sibuk dengan bisnismu sendiri. Setiap kali kamu pergi kerja, Bunda selalu kesepian di rumah. Bunda ingin kamu segera menikah agar ada yang menemani Bunda di rumah.”
Kali ini Ilham tidak menjawab apapun. Diam. Tak ada percakapan lagi, Ilham hanya berfokus mengemudi mobil ini agar cepat sampai tujuan. Sedikit kesal rasanya, Ilham mau menuruti permintaan Bundanya untuk ikut acara jamuan makan malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Yayoek Rahayu
awal yang bagus
2022-06-29
0
Asiya RindhuIbundha
nyimak dulu
2022-03-06
0
hera_wati
nyimak thor tapi setelah q baca karyanya menarik
2021-05-08
0