Senin pagi. Walaupun sudah kelas 12 dan telah melewati ujian kelulusan, tetap saja jadwal masuk masih diberlakukan. Setelah berpanas-panas selama hampir dua jam karena upacara bendera, Farah dan dua sahabatnya memutuskan untuk belajar membahas soal ujian masuk perguruaan tinggi di perpustakaan.
Selain ini jam pelajaran dan kondisi pepustakaan yang sepi, cocok untuk suasana belajar ditambah lagi ada lima unit komputer tersedia di perpustaakan memudahkan untuk mencari bahan soal.
Melihat Farah yang sedari tadi lesu, lemas dan terlihat tidur dengan posisi duduk membuat Jihan ingin menjahilinya. Lantas saja Jihan menyobek selembar kertas dari bukunya lalu meremas-remas kertas tadi membuatnya menjadi bulat seperti bola kertas dan melemparkan ke arah Farah.
Benar saja Farah langsung bangun, kesal dengan perlakuan Jihan. Namun Jihan tertawa bahagia melihat sahabatnya dengan raut muka masam. Balqis yang melihat kejadian itu hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Ada apa sih Far? Dari tadi terlihat enggak semangat gitu? Kalau ada masalah cerita aja, mungkin aku bisa bantu?” tanya Balqis seakan paham apa yang sedang Farah rasakan.
“Paling ini anak semalam maraton lihat serial cinta-cintaan,” celetuk Jihan disusul gelak tawanya.
Demi melihat tatapan tajam Balqis ke arah Jihan, pertanda Balqis menyatakan, ‘Ini keadaan serius, please jangan bercanda Jihan!’
Jihan yang tadi bersorak-sorak gembira menjahili Farah akhirnya terdiam berusaha mengunci mulutnya yang tertawa agak keras.
Beruntung petugas perpustakaan sedang tidak berada di perpustakaan ini. Jika petugas perpustakaan itu ada pastilah mereka sudah diusir keluar karena membuat suara yang sangat gaduh.
Balqis menyentuh pundak Farah dan membetulkan sedikit rambut yang keluar dari kerudung Farah. Terlihat sangat kacau penampilan Farah ini. Setuhan Balqis ajaib membuat Farah tenang.
Farah mulai membetulkan sikap duduknya. Ia mulai bertanya pada dua sahabat di hadapannya, “Menurut kalian, bagaimana rasanya menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orang tua?”
“Memang siapa yang akan dijodohkan?” tanya Balqis lembut. Inilah kelebihan Balqis, dia bisa menjadi orang tua, kakak, sahabat bahkan guru di waktu yang tepat.
“Jawab saja pertanyaanku!” terdengar nada Farah sedikit dipertegas meminta keseriusan jawaban atas pertanyaanya.
Tanpa diminta Jihan sudah angkat bicara menjawab pertanyaan Farah dengan nada berapi-api, “Kalau aku sih enggak setuju, hidup kita yang menentukan. Dipaksa itu tidak enak. Kita punya pilihan sendiri terhadap kriteria pasangan yang kita pilih.”
“Tidak semua yang dijodohkan itu terpaksa. Abah dan umiku juga dijodohkan, tapi mereka saling mencintai satu sama lain. Tak pernah aku mendengar mereka bertengkar,” jawaban Balqis yang sangat bertolak belakang dengan Jihan.
“Tapi Balqis, menikah itu ibadah seumur hidup, maka harus dipersiapkan sebaik mungkin, memang kamu mau menikah dengan orang yang tidak kamu kenal kepribadiannya? Bagaimana mengendalikan emosinya? Bagaimana sifatnya? Bagaimana pekerjaanya?” balas Jihan dengan nada berapi-api. Jelas Jihan mempertahankan argumennya.
“Iya, tapi apa kamu berfikir kalau yang dipilihkan orang tua itu adalah yang terbaik? Bukankah ridho orang tua menuntun ke arah yang lebih baik?” balas Balqis tenang tapi tetap tidak mau mengalah.
Mereka terus saja berdebat, lupa siapa yang bertanya. Farah memutuskan untuk pergi ke kantin daripada mendengar sahabatnya berdebat. Tanpa sepengetahuan Jihan dan Balqis, Farah meneteng tas ranselnya berjalan menuju ambang pintu keluar perpustakaan. Meninggalkan mereka yang tengah asik sekali mempertahankan perdebatan itu.
Masih terdengar sayup-sayup mereka adu debat walaupun Farah sudah berada di luar perpustakaan.
“Ternyata berisik juga ya mereka,” guman Farah.
Perut Farah sudah tidak bisa mentolerir rasa lapar ini, tadi pagi ia sengaja menghindari sarapan agar tidak bertemu dengan mamanya. Farah masih kecewa dengan keputusan mamanya semalam.
“Mungkin dengan semangkuk soto dan nasi akan membuat moodku lebih baik,” guman Farah.
***
Musim hujan tiba menggantikan musim kemarau. Musim yang paling disukai oleh Farah. Dengan hujan turun Farah tidak harus menyirami kebun bunga kecil yang ada di belakang rumahnya. Bagi Farah hujan selalu menyenangkan. Hujan mampu menyembunyikan air mata yang keluar.
Sekali waktu Farah membiarkan dirinya basah kuyup diserbu ribuan butir hujan yang jatuh dari langit. Hujan mengguyur beberapa hari ini intensitasnya cukup deras, tak peduli waktu pagi, siang, dan malam, air yang jatuh dari langit itu tetap turun.
Kejadian tentang perjodohan itu lambat laun memudar. Mama dan Papa sudah tidak membahas lagi tentang ini. Farah sedikit lega, orang tuanya tahu apa yang diinginkan anak tunggalnya ini. Farah sudah bisa berdamai dengan mamanya. Hubungannya sudah tak serenggang beberapa waktu lalu.
Masih berkutat dengan soal-soal ujian masuk perguruan tinggi, Farah memutuskan membuat susu coklat hangat untuk menemani belajarnya. Sepagi ini hujan sudah turun membuat awan menjadi warna kelabu. Farah tidak berniat untuk bermain hujan, ia tahu seminggu lagi dia menjalani tes ujian masuk perguruan tinggi, itu sebabnya ia menjaga kesehatannya.
Terdengar suara pintu diketuk. Pintu kamar Farah tidak dikunci. Mama masuk ke kamar Farah melihat putrinya tenggelam dalam belajar.
“Farah ....” terdengar suara lembut Mama.
“Mama dan papa akan menjengguk Tante Sarah ke rumahnya, Tante Sarah baru saja melahirkan anak keempatnya. Farah mau ikut?” tanya Mama
Farah menimang ajakan Mama. “Aku enggak ikut ya Ma, salam aja buat tante Sarah,” jawab Farah sambil cengar-cengir.
“Sekarang masih hujan Ma, apa tidak sebaiknya nanti aja?” Walaupun di luar tampak hujan tidak terlalu deras, Farah sedikit khawatir.
“Tenang, hanya gerimis saja. Mama berangkatnya sama papa naik mobil.”
“Harus hari ini ya? Enggak bisa besok-besok gitu?”
“Sayang, Tante Sarah sudah Mama anggap seperti adik kandung sendiri. Udah Mama berangkat dulu ya, jagain rumah.”
“Siap ibu negara,” balas Farah sambil berdiri memberi hormat.
Mama hanya tertawa melihat tingkah putrinya. Akhirnya mama pergi bersama papa. Farah mengantar sampai pintu depan.
Mungkin mama juga kepengen jalan berdua sama papa, pikir Farah.
Mama dan papanya termasuk pendatang di kota ini jauh sebelum Farah lahir. Mama terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Dan papanya terlahir sebagai anak tunggal. Namun naas adik mama meninggal karena terserang DBD saat masih balita. Akhirnya mama menjadi sendirian. Mungkin sebab itu mama sering sekali ‘menjadikan’ sahabatnya seperti saudara sendiri, termasuk Tante Sarah dan Bunda Lia.
Farah kembali ke rutinitas semula, berkutat dengan soal-soal. Sesekali pikirannya gelisah karena kepergian orang tuanya. Berpikir jarak antar rumahnya dan rumah tante Sarah sekitar 30 kilometer, itupun jalanya menanjak curam karena rumah Tante Sarah di daerah pegunungan.
“Nanti kalau terjadi apa-apa ....” Ah Farah menepis pikiran jelek itu. Farah berdoa agar Allah melindungi orang tuanya selamat sampai tujuan. Farah kembali pada lembar-lembar soalnya.
Gelisah. Entah mengapa hati ini rasanya tak tenang. Sesekali Farah melirik jam. Sudah sore, mengapa papa dan mama belum pulang juga. Ditambah dari tadi pesan singkat yang dikirim tidak dibalas, bahkan telepon pun tidak diangkat.
Tak lama muncul mobil lain sudah melesat menuju depan pintu. Farah yang melihat dari jendela segera menuju pintu depan, memakai kerudung instan dan membuka pintu. bunda Lia yang datang diantar oleh pak Parmin sopirnya.
“Bunda? Ada apa? Papa dan Mama sedang pergi Bunda,” ucap Farah.
“Farah sayang, ayo ikut Bunda ya, sebentar saja,” jawab Bunda sambil mengelus puncak kepala Farah.
Seperti tersihir, Farah mengikuti ajakan Bunda. Hujan masih saja turun. Bunda mengajak Farah menuju rumah sakit. Farah heran mengapa, dari awal berangkat bahkan di dalam mobil, bunda tidak bercerita tentang apapun. Farah masih bingung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Julia Lia
ikut deg deg kn...
2021-04-11
0
Kiki Sulandari
Gelisah...
2020-12-17
0
Husna Wati
deg 2an aq....
2020-11-26
0