Farah membuka mata, ia melihat ruangan ini. Asing. Tangannya dipasang infus, ia merasakan kepala masih pusing berdenyut. Farah sadar kalau ini bukan kamarnya, melainkan kamar inap rumah sakit. Ia menggerakkan kepalanya menghadap kanan, ia melihat ada seseorang lelaki yang duduk di atas sofa, tak asing. Lamat-lamat Farah tahu itu adalah Ilham. Dia balik menatap Farah dengan tatapkan dingin, mungkin dia iba dengan keadaannya yang tergolek lemah.
Tak berapa lama suara pintu terbuka, orang itu masuk dan mendekati Farah, langsung saja ia tahu siapa itu. Bunda.
“Sudah sadar, sejak kapan Farah sadar Ilham?”
“Baru aja kok, Bun.”
“Kenapa tidak langsung panggil dokter!” suara Bunda sedikit meninggi.
Ilham menurut, ia langsung keluar untuk memanggilkan dokter. Tak berapa lama Ilham datang bersama seorang dokter perempuan. Dokter itu memeriksa keadaan Farah.
Setelah selesai dokter itu menyarankan agar Farah dirawat inap beberapa hari sampai kondisinya pulih. Dokter itu menuliskan resep obat. Bunda menuruh Ilham untuk menebus obat itu.
“Bunda, mengapa aku bisa ada di sini?”
“Nak Farah jangan banyak bergerak dulu. Tadi Farah pingsan, Mbak Jum yang menelpon Bunda.”
Langsung saja Farah teringat tujuannya semula. Ia akan berangkat ke tempat tes ujian masuk perguruan tinggi. Tiba-tiba Farah terisak lagi
“Bunda, harusnya hari ini aku tes masuk perguruan tinggi.”
“Farah tidak bisa ikut ujian, kondisi Farah masih lemah,” kata Bunda sambil memeluk Farah.
“Tapi Bunda, itu kesempatan Farah buat lanjutin pendidikannya Farah,” rengek Farah.
“Melanjutkan pendidikan tidak harus ke jenjang perkuliahan, masih banyak jalan lain. Farah bisa ikutan tes lagi tahun depan, sekarang Farah harus sembuh dulu.”
***
Keesokan harinya Balqis dan Jihan menjenguk Farah. Mereka khawatir saat tahu Farah tidak ikut test kemarin. Mereka juga datang ke rumah ternyata mbak Jum bilang bahwa Farah dirawat di rumah sakit.
“Bunda kenalin, ini sahabat-sahabat Farah.”
“Assalamu’alaikum Tante, perkenalkan saya Balqis,” salam kenal Balqis dan mencium tangan Bunda.
“Saya Jihan Tante,” salam Jihan kepada Bunda.
“Jangan panggil tante, panggil Bunda aja sama seperti Farah. Duh kok cantik-cantik semua gadis-gadis ini, sayang Bunda punyanya anak cowok.” Bunda merasa gemas.
“Ah Bunda bisa saja,” sahut Jihan.
“Bunda, Balqis boleh suapin Farah?” tanya Balqis yang sedari tadi melihat mangkok bubur jatah makan Farah masih utuh.
“Boleh sekali, dari tadi Farah belum mau makan. Karena kebetulan ada Nak Balqis dan Nak Jihan, Bunda pamit pulang sebentar ya, ingin mengambil baju bersih, sekalian baju kotor ini biar dicuci Mbak Jum,” ujar Bunda. Kemudian Bunda pamit meninggalkan mereka.
“Balqis, harusnya tadi kamu jangan izin mau suapin Farah, tapi yang benar itu kasih makan Farah.” gelak tawa Jihan yang jahilnya minta ampun.
“Astaghfirullah, memang kamu kira Farah ini kucing!" ucap Balqis yang tengah menyuapi Farah.
Tiba-tiba tanpa pintu di ketuk, Ilham masuk ke kamar inap Farah. Balqis dan Jihan hanya mematung melihat Ilham.
“Maaf, tasku ketinggalan jadi aku ke sini ingin mengambil tas ini. Maaf mengganggu waktu kalian, permisi,” ujar lelaki itu lalu pergi.
Farah hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Balqis dan Jihan masih terpana, melihat Ilham yang tiba-tiba saja ‘muncul’ di tengah hebohnya keceriaan mereka.
“Itu siapa Far?” Jihan bertanya.
“Oh yang tadi itu, itu anak kedua Bunda. Namanya Ilham,” jawab Farah.
“Masyaa Allah, indah sekali ciptaan–Mu ya Allah,” sahut Jihan dengan sepasang mata yang berbinar.
“Apanya yang indah sih Jihan, cuek iya, dingin iya, lebih parahnya lagi si Ilham itu sangat irit kata!" protes Farah tak terima saat Jihan bilang indah pada manusia kaku itu.
Apanya yang indah, bagian mana? Apa yang harus diindahkan dari seorang Ilham yang sangat dingin itu!
“Eh, jelas dia lebih tampan dari aktris film. Aku mau banget kalau jadi istrinya.”
“Astaghfirullah ini bocah. Jihan sadar, nilai tes kemarin kamu itu benar berapa coba? harusnya itu yang dikhawatirkan,” ujar Balqis menyadarkan Jihan.
“Eh iya Balqis. Tapi Far, kenapa kamu sebut namanya tidak pakai kata kak, mas, atau bang sih?” tanya Jihan.
“Aku enggak terbiasa, lagian dia irit kata. Aku di sini dua hari aja dia baru bicara tadi saat ambil tas. Ya cuma itu. Sisanya diam, bahkan bisa buat mengheningkan seluruh ruangan ini,” jawab Farah
“Farah jawab jujur, Bunda pernah meninggalkanmu dengan pria itu di kamar ini?” tanya Balqis menyelidik.
“Sering, tapi jangan berpikir yang macam-macam. Tidak ada apa-apa kok benar,” jawab Farah tanpa ditutup-tutupi.
“Apa dia lelaki yang akan dijodohkan padamu ?” tanya Balqis tak puas.
“Iya Balqis.”
“Selamat ya Far, kelihatannya dia orang baik. Bundanya juga baik. Tapi sebisa mungkin jangan berduaan dengannya meskipun dia penunggumu, kalian belum mahram.”
Farah hanya mengangguk mendengar penjelasan dari Balqis.
Andai kamu tahu Balqis, kalau dia pria yang sangat penuh amarah terlihat dari wajahnya yang bertopeng dingin.
“Oh ya Far, kalau kemarin kamu enggak ikutan tes, berarti kamu ikut tes masuk perguruan tinggi tahun depan dong?” tanya Jihan yang sedikit cemas karena tiga tahun selalu bersama, formasi tiga serangkai. Tapi tahun ini pasti tidak bersama lagi.
“Iya, santai aja. Aku enggak apa-apa kok,” jawab Farah sambil tersenyum ringan tanpa beban.
Farah telah merasakan kehilangan yang teramat berat sehingga ia saja bisa merelakan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang bahkan tesnya saja sudah dipersiapan berbulan-bulan dengan belajar latihan soal. Begitu mudahnya hilang kesempatan itu. Atau mungkin Allah meminta untuk kembali berusaha.
“Lantas setahun ini kamu berencana mau kemana? Atau mau ngapain? Menunggu setahun itu juga lama lho Far,” sahut Balqis.
Benar Farah belum punya rencana sama sekali untuk mengisi waktu satu tahun kedepan.
“Mungkin aku akan mencari perkerjaan dan pastinya sambi belajar lagi Balqis,” kilah Farah agar Balqis tidak terlalu mengkhawatirkannya
.
***
Sudah lima hari Farah dirawat di rumah sakit ini. Dokter yang setiap hari memeriksa Farah bilang bahwa ia sudah diperbolekan untuk pulang. Farah tak mau berlama-lama di kamar inap ini.
Farah sudah sangat rindu ruang kamarnya, tak ada kamar yang sangat nyaman kecuali kamarnya sendiri. Bunda sudah mengurus administrasi untuk kepulangan Farah. Ia pun sudah bersiap diri untuk pulang. Hanya selang infus yang masih terpasang di tangannya. Farah duduk di bed menunggu Bunda.
Baru saja pikiran penuh harap agar segera keluar, orang yang Farah tunggu sudah datang. Ia tersenyum, ternyata Bunda tidak keberatan mengurus Farah. Hanya Farah saja yang tak mengurus dirinya sendiri, membuat sakit diri sendiri.
“Farah sayang, sabar sebentar ya. Mbak perawat masih melakukan tindakan di kamar samping, setelah itu kesini untuk melepas selang infus Farah,” ucap Bunda lembut.
“Iya Bunda.”
“Bunda, Farah ingin berterima kasih pada Bunda yang mau mengurus Farah sejak Papa dan Mama tiada. Farah merasa tidak sendiri lagi, karena Bunda selalu ada saat Farah kesepian dan kesusahan. Terima kasih ya Bunda,” ucap Farah dan ia mencium tangan Bunda.
Bunda terharu mendengar apa yang Farah diucapkan.
“Sayang, Bunda melakukan semua ini karena sekarang Farah menjadi tanggung jawab Bunda. Sejak dulu Bunda selalu ingin memiliki anak perempuan dan mama Farah mengabulkan keinginan Bunda. Mama Farah memperbolehkan Bunda untuk ikut mengurus Farah saat masih bayi. Dan sekarang Mama Farah juga menitipkan Farah kepada Bunda lagi,” ucap Bunda. Terlihat sorot mata Bunda berkaca-kaca menahan air mata yang hendak keluar.
Ya Allah, mulia sekali mama. Aku belum pernah mendengar cerita ini entah dari papa atau mama sendiri. Ternyata mama memberikan hal kecil yang mungkin sangat berharga bagi Bunda.
Farah teringat, tempo hari ia pernah membentak mama perihal perjodohan dengan Ilham. Mungkin ini sebabnya, mama menginginkan menjadi besan bunda, agar Farah mendapat ibu mertua yang baik dan bunda mendapat anak perempuan walaupun hanya anak menantu.
“Nanti Farah pulang ke rumah Bunda saja ya.”
“Terima kasih Bunda, tapi maaf Farah pulang ke rumah Mama, Farah tak ingin merepotkan Bunda.”
“Farah tetap ikut Bunda. Bunda pernah meninggalkan Farah di rumah itu, meskipun ada mbak Jum tetapi tak ada yang mengawasi Farah, di sana Farah akan selalu teringat almarhum mama dan papa. Bahkan bisa saja Farah kembali larut dalam kesedihan. Bunda mohon agar Farah menuruti permintaan Bunda yang ini, bagimanapun Farah tanggung jawab Bunda.” suara Bunda sedikit memaksa.
Mungkin Bunda benar, mama juga sudah menitipkan aku pada Bunda. Lantas aku menyanggupi permintaan Bunda. Mungkin memenuhi permintaanya secara tidak langsung aku membalas kebaikan Bunda.
Selang infus Farah sudah dilepas. Pak Parmin sopir pribadi Bunda menjemput Farah dan Bunda, beliau juga membawa tas Farah yang berisi baju-baju milik Farah.
Perjalanan yang cukup jauh menurut Farah. Meskipun rumahnya dan rumah Bunda masih satu kota tapi jaraknya sangat bertolak belakang. Rumah Farah berada di barat kota, sedangkan Bunda berada di sebelah timur kota ini.
Saat berada di dalam mobil, Bunda bilang bahwa baju-baju, buku-buku bahkan alat perlengkapan Farah yang berada di kamarnya sudah berada di rumah Bunda. Mbak Jum yang membereskan dan mengemas barang-barang itu kemarin.
Sesampainya di rumah Bunda, Farah dipersilahkan untuk istirahat di kamar yang telah disediakan. Bunda menyuruh Yu Minem asisten rumah tangga Bunda, untuk mengantarkan Farah.
Jika Farah perlu apa-apa agar minta saja ke Yu Minem. Ternyata rumah Bunda besar dan berkelas. Bahkan kamar yang akan Farah tempati jauh lebih luas dibanding kamar sebelumnya.
Ada perasaan yang menganjal di benak Farah.
Apakah aku akan tinggal satu atap bersama Ilham di rumah ini? Rumah ini sangat besar tapi banyak sekali kamar yang kosong.
Saat Farah menanyakan perihal rumah ini beserta penghuninya pada Yu Minem, jawabannya cukup mengejutkan. Bunda tinggal di rumah sebesar ini hanya dengan Yu Minem dan Pak Parmin, yang tak lain mereka adalah pasangan suami istri yang telah mengabdi pada keluraga ini sejak 32 tahun yang lalu sampai sekarang. Menurut cerita Yu Minem, Bunda sebenarnya memiliki tiga orang anak, padahal saat jamuan makan malam dulu Bunda bilang memiliki dua anak lelaki saja.
Anak pertama bernama Damar yang sekarang sudah menikah dan tinggal bersama di istrinya di Ubud, Bali. Setelah anak sulungnya berumur enam tahun, Bunda melahirkan bayi kembar dengan berjenis kelamin perempuan dan laki-laki. Yu Minem bercerita saat Bunda mendapatkan bayi perempuan, kebahagiaan keluarga ini terasa lengkap. Nama bayi kembar itu Ilham dan Kalista.
Namun kebahagiaan selalu beriringan dengan duka. Sepuluh tahun setelah kelahiran bayi kembar Ilham dan Kalista, dengan kebahagiaan sebagai keluarga yang indah peristiwa kehilangan keluarga ini terjadi. Hari di mana yang seharusnya hari paling bahagia seketika menjadi duka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Kiki Sulandari
Kalista...
2020-12-17
0
Mommy 2
Aku lanjut thor 😚
2020-11-06
0
Lintang Lia Taufik
cicil jejak
2020-09-05
1