***
Lisa membuka matanya dengan nafas yang memburu, keringat dingin yang muncul di keningnya segera Lisa hapus dengan kasar. Beberapa hari ini Lisa terus bermimpi hal yang sama, bermimpi tentang kecelakaan kedua orang tuanya, juga tentang Zara yang menangis sambil menatapnya, Lisa tau arti tatapannya itu. Namun, Lisa tak ingin menanggapi hal itu.
Wanita itu duduk dari baringnya lalu beranjak menuju kamar mandi, dia harus bersiap untuk ke kantor, ini sudah satu minggu berlalu setelah kedatangan Revan yang ingin menjadikan dirinya istri. Lisa tak pernah menyangka, bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan suami dari sahabatnya. Tapi, selama satu minggu itu juga, Lisa memikirkan tentang kedua buah hatinya. Apa ini adalah kesempatan bagi kedua anaknya untuk memiliki Ayah yang mereka impikan?
***
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan anda." suara Nara terdengar dari interkom.
"Siapa?" tanya Lisa tanpa mengalihkan tatapannya dari kertas-kertas yang berada di atas mejanya itu.
"Pak Sanjaya." jelas Nara. Lisa menghentikan pekerjaannya lalu menghembuskan nafas beratnya.
"Biarkan dia masuk." perintah Lisa, entah mengapa akhir-akhir ini Lisa merasa kurang sehat. Terlebih sejak kecelakaan itu, Lisa belum memeriksakan diri kembali.
Nara membimbing Revan untuk masuk, pria itu tampak membawa sebuah bag paper di tangannya.
"Selamat siang Bu Alisa," sapa Revan.
"Panggil aku Lisa." ralat Lisa. Revan mengangguk, pria itu meletakkan papber bag yang ia bawa ke atas meja.
"Ada titipan dari Zara, dia bilang ingin bertemu anda," jelas Revan. Lisa mengangguk lalu mengambil paper bag itu.
"Terimakasih." Lisa mencoba tersenyum walau tak sampai terlihat oleh Revan.
"Apa anda sedang tidak sehat?" Lisa menatap Revan bingung. "Ahh maaf, anda terlihat pucat," jelas Revan. Lisa bahkan tidak menyadarinya.
"Ya, akhir-akhir ini saya sedang kurang sehat," jelas Lisa.
"Saya datang kesini untuk membahas tentang kedatangan saya satu minggu lalu ke rumah Anda." Lisa memejamkan matanya, "maaf jika kedatangan saya membuat anda terganggu." Lisa menggeleng pelan, dia tak tau bahwa Revan akan datang dan membahas hal itu lagi. "Jika anda belum siap, lebih baik kita menjalaninya dulu." Lisa mengernyit tak mengerti, "maksud saya, agar kita saling memahami." Lisa mengangguk.
"Saya masih tidak mengerti Pak, tapi Bapak tau sendiri saya sudah memiliki anak dan ...."
"Mereka adalah anak-anak saya juga!" potong Revan, "katakan yang sejujurnya Lisa, mereka adalah anak-anak saya!" Lisa memijit pelipisnya. Kepalanya kembali terasa pusing, pandangannya mulai membayang, "saya sudah mengamati mereka sejak lama, dan saya yakin mereka adalah putra-putriku!" cecar Revan tanpa perduli Lisa yang semakin kehilangan fokusnya.
"Sebaiknya anda pergi," perintah Lisa tiba-tiba. Revan menggeleng.
"Saya tidak akan pergi sebelum anda mengatakan yang sejujurnya!" Revan bersikeras. Lisa memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Revan mulai menyadari ada yang tidak beres dengan Lisa. Pria itu berdiri, mendekati Lisa dan ingin menyadarkannya. Namun, belum sempat Revan menyentuh Lisa. Wanita itu justru kehilangan keseimbangan, dan membuat Revan buru-buru menangkap tubuh Lisa sebelum wanita itu jatuh kelantai.
"Lisa! Lisa, apa anda masih mendengar saya?" Revan mengangkat tubuh Lisa dan membawanya keluar dari ruangan itu. Nara yang melihat atasannya digendong keluar, mendekat.
"Apa yang terjadi, Pak!" tanya Nara.
"Tetap di sini, saya yang akan mengurusnya." Nara mengangguk, lalu kembali ke mejanya.
***
Revan duduk menatap Lisa dalam diam, wanita itu belum sadarkan diri sejak tadi. Revan menunduk, mencoba untuk menenangkan fikirannya sendiri.
"Nghh ...." Suara lenguhan membuat Revan segera berdiri dan menatap Lisa yang mulai mengerjapkan matanya.
"Pak Sanjaya?" Lisa bingung lalu memegang kepalanya yang terasa berdenyut.
"Sebaiknya anda tetap berbaring," ucap Revan. Sambil menahan bahu Lisa, karena wanita itu hampir duduk.
"Apa yang terjadi? Kenapa saya ada di sini?" tanya Lisa bingung.
"Dokter bilang, ada pembekuan darah yang terjadi di kepala anda, dan dokter juga menyarankan, bahwa anda harus segera melakukan operasi!" jelas Revan. Lisa memejamkan matanya, dia yakin itu akibat kecelakaan yang terjadi dua bulan lalu.
"Anda masih di sini?" Revan hanya diam. Dia merasa tidak harus meninggalkan Lisa, terlebih Lisa tidak memiliki keluarga yang akan menjaganya setelah Revan tau bahwa Nindi sedang mengikuti suaminya keluar negri.
"Saya tidak bisa meninggalkan anda sendiri." Lisa terdiam, lalu teringat sesuatu.
"Jam berapa sekarang?" wajah khawatir tercetak jelas membuat Revan tau apa yang Lisa fikirkan.
"Tenang saja, mereka sudah tidur, Ummi Varah berada di rumahmu sekarang," jelas Revan. Lisa semakin tak mengerti, mengapa kehidupannya begitu rumit.
"Apa anda benar-benar akan melakukan apa yang Zara inginkan?" Revan mengangguk.
"Tentu saja." jawabnya yakin.
"Saya belum siap." Lisa menatap langit-langit kamar itu, lalu menghembuskan nafasnya.
"Saya sudah bilang, kita jalani saja dulu, agar kita saling mengenal."
"Pernikahan itu bukan sesuatu yang akan terjadi berkali-kali, dan saya tidak akan membuat keputusan yang akan saya sesali nantinya," jelas Lisa. Revan mengangguk setuju, dia tau sedikit tentang Lisa, Zara yang menceritakannya.
"Hidup sekali, mencintai sekali, menikah sekali, dan mati pun sekali!" keduanya berucap bersamaan, Lisa menatap Revan bingung.
"Zara yang memberi tahu saya." Lisa mengangguk mengerti, "beri saya kesempatan!" Lisa terdiam cukup lama sampai akhirnya berkata.
"Baiklah." Revan tersenyum lalu mengamit tangan Lisa dan menggenggamnya.
"Saya tidak akan memberi janji, tapi saya akan berusaha membuat anda bahagia." Lisa hanya tersenyum singkat sebelum suster datang dan meminta Lisa menyetujui untuk di operasi. Tentu saja Lisa setuju, lagi pula siapa yang mau hidup dengan rasa sakit di kepalanya.
***
Pagi ini cukup cerah, Ezha dan Asha tampak sibuk menggambar di ruang tengah, Lisa masih belum boleh bekerja setelah seminggu yang lalu melakukan operasi, terlebih Revan yang melarangnya bekerja.
"Pagi ...," sapaan itu Lisa dapat dari Revan.
"Pagi Om." Asha bersemangat dan langsung memeluk Revan. Entah mengapa, Asha sangat suka berdekatan dengan Revan. Lisa berpikir, mungkin Asha memiliki semacam ikatan batin dengan Ayahnya, membuat dia selalu ingin berada di samping sang Ayah.
"Apa yang kalian kerjakan?" tanya Revan. Asha menunjukkan buku gambarnya, "waw, sepertinya kamu berbakat jadi pelukis," puji Revan. Asha tersenyum senang. Berbeda dengan Asha, Ezha justru sedikit tak menyukai Revan. Entah apa yang dia rasakan. Namun, saat melihat Revan, Ezha selalu cuek dan tak memperdulikan kehadirannya.
"Ezha, salim sama Om?" perintah Lisa. Ezha menoleh sesaat, bangkit dari duduknya lalu menyalami Revan, setelah itu kembali duduk di tempatnya.
"Saya bawa bubur, kamu belum makan 'kan?" Lisa hanya mengangguk sekilas, Revan berjalan ke arah dapur, lalu mengerjakan sesuatu di sana. Sedangkan Lisa menatap Bian bingung.
"Ezha ada masalah?" tanya Lisa.
"Ezha nggak suka, Bunda deket-deket sama Om itu!" tegas Ezha.
"Kenapa?" tanya Lisa bingung.
"Ezha pengen Ayah cepet pulang!" Lisa langsung terdiam.
"Ezha, kamu tau ... Ayah kamu sedang ...."
"Sibuk, dia nggak bisa pulang! Ezha tau, Bunda selalu bilang gitu 'kan!" Ezha berdiri dari duduknya, lalu berlari pergi ke kamarnya. Lisa hanya bisa diam, melihat putranya begitu menginginkan sosok Ayah dalam kehidupannya. Apa ini saatnya dia membuka hati?
Chapter 05 end.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments