Terkadang aku perlu menjauh, untuk tahu bagaimana caramu merindukanku. – Altar –
Gawai Altar berdering. Mungkin untuk ketiga kalinya atau lebih. Ia mengabaikannya, berharap si penelepon jera karena tak juga mendapat jawaban. Namun sepertinya seseorang di seberang sana masih juga tak putus asa dan terus menelepon Altar hingga cowok itu menjawab panggilan.
Arrgghh...
Altar menghentak selimut dan meraih gawai dari nakas. Seperti dugaan, si penelepon adalah Gita. Manajer yang mengatur segala jadwal pameran maupun pengisi materi workshop yang harus ia hadari. Terkadang Gita juga yang menjadi penjembatan baginya dengan kolektor jika ada yang tertarik membeli lukisannya. Tidak hanya itu, Gita juga berperan sebagai pengawas paling galak jikalau Altar sering melampaui batas tengang waktu. Atau alarm hal-hal penting yang sering kali luput dari perhatian Altar.
"Baru bangun lo?" sapaan khas anak gaul Jakarta menyapa gendang telinga Altar.
"Hmmm..."
"Astaga Altar, ini udah jam 10. Lupa lo kalo harus terbang ke sini hari ini?" suara Gita terdengar lagi. Menyadarkan Altar tentang hal yang terlewatkan.
Cowok itu menepuk kening. Bagaimana ia bisa lupa. Padahal Gita sudah mengingatkannya kemarin. Cewek itu bahkan sudah menyiapkan tiket pesawat untuk terbang ke Jakarta.
Altar memang tinggal di Surabaya. Namun pameran-pameran yang ia gelar lebih sering di ibu kota maupun luar negeri. Bahkan ada salah satu galeri yang setiap tiga bulan sekali memintanya untuk menggelar pameran. Sebab itulah ia membutuhkan Gita. Altar tak terlalu suka tinggal di Jakarta yang membuatnya penat. Suara bising kendaraan dan kemacetan sering membuat Altar sakit kepala. Meskipun tak jauh berbeda dengan Surabaya, setidaknya Altar menemukan kenyamanan di kota kelahirannya.
"Sori, aku lupa Ta. Aku siap-siap sekarang."
"Pastikan jangan sampai ketinggalan pesawat."
"Siap Bos. Thanks ya Ta," ucap Altar sebelum menutup panggilan telepon Gita.
Altar bergegas bangun dari tempat tidur. Asal-asalan ia mengambil beberapa pakaian dari almari dan menjejalkan dalam koper. Tak lupa menyambar setelan jas warna pastel dari gantungan. Besok, ia harus mengisi materi workshop untuk anak SMA di salah satu sekolah di Jakarta. Menurut Gita, tampil rapi dengan sempurna dapat menambah daya pikat. Itu yang dulu diajarkan Gita padanya. Cewek itu selalu memaksanya berpenampilan rapi jika menghadiri acara penting. Awalnya Altar menolak. Cowok itu lebih nyaman berpakaian santai dengan celana jeans robek yang entah kapan terakhir kali dicuci.
Tapi kata Gita,"Lo boleh idealis Tar, tapi paling nggak penampilan juga harus diperhatikan. Galeri Griya Warna bukan tempat main-main loh. Tamunya banyak dari kalangan pejabat maupun pengusahan kelas atas. Toh kita juga nggak nuntut lo harus ngelukis sesuai selera pasar. Cukup menjadi diri lo sendiri, tapi nggak harus dibawa ke penampilan juga. Toh nggak setiap hari mesti berpakaian rapi pakai jas ‘kan. Lo harus bisa branding diri lo sendiri. Seniman nggak harus nyentrik saat berpakaian. Apalagi waktu menggelar pameran. Udah nggak zaman Tar."
Jadilah Altar sekarang mengoleksi banyak setelan jas. Itu pun tak langsung lolos dari pengawasan Gita. Cewek itu memprotesnya ketika koleksi jasnya hanya warna hitam saja. Alhasil warna-warna pastel juga turut menyesaki Almari Altar. Untung kulit cowok itu bersih meski tidak putih-putih amat. Setidaknya masih pantas saat memakai warna pastel seperti peach ataupun blue sky. Terlebih badannya yang tinggi atletis sangat menunjang penampilannya.
Ting...
Sebuah pesan masuk. Dari Gita.
Gita Andromeda
Penerbangan lo jam 11.45 Tar. Jangan sampai telat.
Altar Adhyaksa
Iya, ini juga mau berangkat.
Gita Andromeda
Oke. Nanti gue jemput di bandara. Udah gue pesankan hotel juga.
Cowok itu tersenyum membaca pesan dari Gita. Namun tak ada niatan Altar untuk membalasnya. Karena begitulah Gita. Selalu bisa diandalkan.
Mereka kenal sejak lama. Gita salah satu teman dekat ketika masih SMA. Setelah lulus ia memutuskan untuk kuliah seni di Jakarta. Sifatnya yang mudah bergaul dan pekerja keras mengantarkan cewek itu bertemu pemilik Galeri Griya Warna yang langsung merekrutnya untuk mengurus artis-artis yang bekerja sama dengan galeri tersebut. Terlebih penilaian Gita begitu jeli pada lukisan para artis pendatang baru. Ia bisa membaca peluang jika artis tersebut bergabung di Galeri Griya Warna.
Sampai saat ini ada delapan artis yang menjadi tanggung jawabnya dan mengatur semua jadwal mereka untuk pameran. Baik di Galeri Griya Warna maupun tempat lain. Dia juga yang mengatur jadwal pameran para artis saat diundang pameran ke luar negeri. Termasuk Altar yang direkomendasikan untuk menjadi salah satu artis Galeri Griya Warna.
Jam menunjukkan pukul 10.30 saat Altar selesai berkemas. Ia segera menancap gas setelah berpamitan pada Mbok Yem jika akan ke Jakarta selama tiga hari. Perempuan tua itu melepasnya dengan uraian air mata. Terkadang Altar merasa gemas, mengapa perempuan yang telah berumur 3/4 abad itu begitu sentimentil ketika ia harus pergi dari rumah. Padahal ia selalu pergi untuk kembali.
***
Ting...
Ting...
Ting...
Beberapa pesan masuk bersamaan saat Altar melepas mode pesawatnya. Di pesawat tadi, ia memang sengaja tidak menyalakan wifi yang disediakan maskapai penerbangan agar terhindar dari segala bentuk gangguan. Ia memilih tidur demi menuntaskan rasa kantuknya.
Dandelion
Bang, bisa ngantar ke toko buku nggak?
Masih ada refrensi yang kurang. Suruh nambahin sama dosbing. Tapi ke Kampung Ilmu aja. Belum dikasih uang jajan sama Ayah.
Bang Altar
Altar
Altar!!!
Kok nggak dibales sih? Ditelepon juga nggak diangkat.
Kemana sih?
Tidur woy?
Altar ihh!!! Nyebelin!!!
Tawa Altar tak bisa dicegah saat membaca pesan Dandelion. Cewek itu pasti ngambek banget sekarang. Lantas Altar menekan gambar telepon di kanan atas ruang obrolannya dengan Dandelion.
"Kemana sih Bang? Di rumah juga nggak ada orang." Teriakan kesal Dandelion terdengar dari seberang telepon. Justru membuat Altar tertawa.
"Mbok Yem kusuruh pulang tadi sebelum berangkat."
"Kemana?"
"Jakarta."
"Hah? Kok nggak bilang-bilang sih. Kebiasan deh, nyebelin banget sih!" Protes Dandelion ditanggapi senyum oleh Altar sekali pun cewek itu tak melihatnya. "Berapa hari?"
"Hmm, tiga hari mungkin. Bisa jadi lebih lama."
"Yah, trus gue gimana dong kalau nggak ada Bang Altar?"
Altar tersenyum menanggapi pertanyaan Dandelion. Ia cukup tahu diri dengan pertanyaan retoris cewek itu. Dandelion hanya memikirkan nasibnya yang berarti tak akan sebebas dia mau jika tidak ada Altar. Karena biasanya Altar selalu menjadi alasan ketika cewek itu pergi kencan dengan pacarnya dan mengharuskan pulang malam. Dialah yang akan menjemput dan mengantar pulang. Sebab Putra - kakak sulung Dandelion - tak mengizinkannya pulang diantar oleh siapapun teman lelakinya.
"Jemputanku datang, udah dulu ya Dandelion," ucap Altar saat melihat Gita melambai ke arahnya. Cowok itu memutus sambungan telepon dan menyimpan gawai di saku celananya.
"Adiknya Putra?" Itu pertanyaan yang dilontarkan Gita pertama kali saat mereka memangkas jarak. Kening Altar mengerut. "Ck, udah keliatan dari muka lo kali. Lagian siapa sih yang bisa melenturkan wajah kanebo kering lo itu kalau bukan adiknya Putra?"
"Keliatan ya Git?"
Demi apa Altar menanyakan hal itu pada Gita? Cewek itu pasti akan menghujatnya.
Benar saja, Gita memutar bola matanya ke arah Altar. Tangannya mengibas di depan muka. "Udah sejak kapan sih gue kenal sama lo Tar? Bukan cuma keliatan, tapi keliatan banget."
Wajah Altar terasa panas mendengar jawaban Gita. Memang cewek lebih peka jika membahas soal perasaan. Altar merasa menyesal telah menanyakan hal yang tak penting pada Gita. Kini cewek itu punya cara untuk lebih sering menggodanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Ai Noerhidayah471
kenapa Altar gak jujur aja siihhhh
2022-10-26
0
Nacita
nice altar 💕
2021-08-09
0
Chybie Abi MoetZiy
💞💞💞💞💞💞
2021-07-06
0