Ia selalu bisa memancing tawa. Bersamanya, aku lupa jika sudah tinggal terlalu lama bersama sepi. – Altar –
"Altar, lo dengerin gue nggak sih?" suara cempreng di depannya merusak kosentrasi Altar yang sibuk menggambar di buku sketsanya.
Mereka sedang duduk di sebuah kafe tak jauh dari kampus Dandelion. Cewek semester tujuh itu mengeluhkan bagaimana pembimbing perencanaan skripsinya susah sekali ditemui. Sekali pun sudah membuat janji, telat satu menit pun tak ada toleransi. Dan begitulah nasib Dandelion. Menjadi korban harapan palsu sang dosen. PHP kalau anak gaul bilang.
"Altar, dengerin nggak?"
"Hmm..."
"Bang Altar ih, dengerin gue dong!"
"Hmm..."
"Ih, dengerin juga nggak 'kan. Kayak ngomong sama patung gue," protes Dandelion saat Altar tak juga bereaksi pada ceritanya. Padahal ia sedang kesal. Butuh tempat untuk memulangkan segala keresahan, tapi lelaki yang menjadi tempatnya pulang dan berkeluh kesah justru asyik berkencan dengan kertas dan pensilnya.
Altar mengalah saat Dandelion merebut pensil yang digunakan untuk menggambar. Kini seluruh perhatian cowok itu terpusat pada Dandelion. Meski kesal dengan curhatan yang sama setiap hari, Altar akan mencoba menjadi tempat pulang bagi segala resah milik Dandelion. Lelaki itu mengambil karet gelang dari lengannya yang menguncir rambut ikal sebahunya. Matanya yang tajam kecoklatan tapi terkesan teduh itu menatap Dandelion tanpa berpaling. Garis-garis tegas di wajahnya melunak. Senyum tipis membuat siapa pun terpikat. Namun, semua itu hanya dilakukan di depan Dandelion. Di hadapan cewek itu selalu berhasil menyita seluruh perhatiannya. Apa lagi jika sudah menuntut untuk didengarkan.
"Jadi?"
"Ish kan, lo nggak dengerin gue dari tadi?" Dandelion memberengut mendapati Altar tak menyimak ceritanya yang berapi-api sejak awal.
Hal itu tentu membuat cewek berambut lurus sebahu di depan Altar semakin kesal. Ia menyendok ice cream di depannya. Bermaksud meredam amarah yang mencoba menguasinya. Namun perilaku Dandelion membuat bibir Altar semakin tersenyum lebar. Cowok itu mengambil selembar tisu dan mengelap ujung bibir Dandelion dari noda cemong ice cream.
"Makan pelan-pelan. Jadi cemong 'kan. Aku tadi dengerin kok. Kamu aja masih pengen marah-marah, makanya aku gambar dulu. Toh itu mulut nggak bakal berhenti sekali pun disela toh?" kata dan sikap Altar berhasil membuat Dandelion kikuk. Meski sudah kenal sejak lama dan melewatkan momen-momen manis berdua, tak biasa bagi Dandelion diperlakukan halus oleh Altar. Apa lagi jika di depan umum. "Biasa aja Buk, nggak usah tegang gitu," goda Altar saat Dandelion tersadar dan merebut tisu dari tangannya.
"Lo itu biasa aja, nggak usah sok romantis," balas Dandelion sambil menjulurkan lidah. Altar membalasnya dengan tawa serta acakan gemas di pucuk kepala cewek itu.
Sebenarnya Dandelion selalu suka diperlakukan manis oleh Altar. Tapi jangan salah, itu semua hanyalah semacam kamuflase untuk melindungi sifat yang sebenarnya. Aslinya Altar lebih suka menjahilinya. Bahkan tak jarang ia menyampaikan kalimat-kalimat pedas yang sering membuat Dandelion tertohok.
"Jadi, maunya aku gimana nanggepin cerita kamu tadi? Kayaknya kukasih saran juga nggak guna dari kemarin-kemarin. Kebanyakan pacaran sih."
'Kan, baru saja Dandelion memikirkan sikap Altar, sudah muncul wujud aslinya. Jelas cewek itu cemberut mendengar penuturan Altar. Tak bisa mengelak. Mau bagaimanapun perkataan Altar tak ada yang keliru.
"Ei, masa muda itu harus dinikmati dengan baik, Bang. Kalau ada kesempatan pacaran, ya pacaran lah. Jangan kayak elo, gaulnya sama cewek cuma gue doang!"
"Habisnya cewek-cewek yang mau dekat sama aku bakal mundur duluan karna kamu ngikutin aku mulu. Dikira kamu anakku tahu."
"Astaga, Abang satu ini mulutnya kalau udah ngomong lupa dipasang filter ya. Asal mangap aja. Eh yang ada, wajah Abang tuh yang perlu dikondisikan. Tampang om-om banget sih. Brewok aja dipiara. Yang ada cewek nggak mau dekat karna nyangka lo *******, Bang."
Altar tertawa menanggapi pernyataan Dandelion. Cewek yang lebih muda tiga tahun darinya itu, memang selalu punya cara untuk memancing tawa. Bersama Dandelion mode kaku yang dipasang ketika bertemu orang-orang di sekitarnya, lebur tanpa diminta. Cewek itu selalu punya cara membuatnya bahagia. Meski terkadang lewat cara yang menyakitinya. Cerita soal pacar misalnya.
"Tapi ya Bang, yang gue heran nih elo 'kan artis ya. Lukisan lo udah mentereng di mana-mana. Hampir tiap tiga bulan sekali pameran. Nggak jarang juga diundang pameran ke luar negeri, tapi kok nggak ada satu pun cewek yang kepincut sih?"
"Banyak, kamu aja yang over pede, seolah-olah jadi satu-satunya yang bisa menguasiku."
"Masa, gih kasih liat gue?" tantang Dandelion membuat Altar tesenyum kecut.
"Besok kalau dia main ke rumah," jawab Altar tanpa minat. Yang cewek itu tak pernah tahu, Altar sengaja membangun tembok tinggi di sekitarnya hanya untuk melindungi satu nama di hatinya. Dandelion Sastra Senjani.
***
Lampu teras maupun ruang tamu belum menyala saat Altar sampai di rumah. Pasti Mbok Pariyem lupa menyalakan lampu saat pulang tadi. Harusnya perempuan tua itu tidak lagi mengurusnya maupun pekerjaan di rumah ini. Ingatannya mulai pikun dan sering melupakan sesuatu yang penting dilakukan. Namun saat Altar memintanya untuk berhenti mengurusnya, perempuan tua itu justru menangis. Menganggapnya sudah tidak sayang lagi. Padahal Mbok Yem lah yang merawatnya sejak bayi merah. Mana mungkin perasaan sayang pada perempuan tua itu luntur. Ia memintanya berhenti justru karena sayang pada Mbok Yem dan tak ingin melihatnya melakukan pekerjaan berat. Apalagi jika Altar sudah membuat ulah dengan memberantakkan seluruh ruangan sebab kepenatan pikirannya.
Altar menekan saklar. Nyala lampu menghiasi ruangan yang sudah tertata rapi. Sebelum ia pergi tadi pagi, tak bisa digambarkan bagaimana berantakannya ruang tamu hingga dapur. Botol bir yang diteguknya semalaman tergeletak di sembarang tempat. Sedang abu rokok bertebaran memenuhi ruangan. Entah kemana asbak yang sebelumnya ia gunakan untuk membuang abu rokok. Mungkin kakinya tak sengaja menendangnya saat ia berjalan sempoyongan menuju kamar.
Di meja makan tersaji semangkuk sayur asem lengkap dengan lauk tahu-tempe goreng, ikan asin, telur dadar dan sambal terasi kesukaan Altar. Meski sudah dilarang memasak pun, Mbok Yem tak akan pernah mau mendengar permintaannya. Perempuan itu akan tetap menyediakan makanan di atas meja meski entah akan dimakan Altar atau tidak.
Demi menghormati jerih payah Mbok Yem yang sudah memasak untuknya, Altar duduk di kursi ruang makan. Menyendokkan secentong nasi dan menuangkan kuah asem ke piringnya. Tak lupa lengkap dengan lauk-pauk yang sudah disiapkan Mbok Yem. Meski perutnya sudah kenyang karena habis makan di kafe bersama Dandelion. Bagaimanapun Altar tak ingin Mbok Yem kecewa saat menyadari ia tidak menyentuh hasil masakannya saat datang esok pagi.
Hampir pukul sepuluh saat Altar menyelesaikan makannya. Cowok itu bergegas ke studio lukisnya dan menyelesaikan sebuah lukisan yang sengaja ditinggal tadi pagi karena mendadak kehilangan mood. Meski begitu ia tetap tak semangat menyentuh kuas. Altar memilih mengeluarkan rokok dari saku jeans-nya. Mulutnya terasa kecut karena mencoba menahan tidak merokok saat bersama Dandelion. Cewek itu paling anti dengan asap rokok. Sedikit saja asap yang masuk ke paru-parunya akan membuat Dandelion terbatuk hingga aroma pekat itu hilang dari udara. Terlebih daya penciuman cewek itu lebih tajam dari kebanyakan orang di sekitarnya.
Altar tersenyum membayangkan sosok Dandelion yang entah sejak kapan telah berhasil merebut seluruh perhatiannya. Cowok itu tenggelam dalam lamunannya beberapa tahun lalu.
“Bang, kalau mau ngerokok jangan dekat-dekat gue kenapa sih?”
Suatu hari mereka duduk di taman selepas Altar menjemputnya pulang sekolah. Dandelion masih berseragam putih abu-abu. Sedang ia baru saja masuk jurusaan seni murni di salah satu universitas di Surabaya. Lingkungan yang membuatnya mencoba untuk merokok. Alhasil, ia ketagihan dan menjadi gaya hidupnya hingga kini.
“Kenapa, emang?” tanya Altar tak peka jika Dandelion sudah terbatuk-batuk sejak menghirup asap dari rokoknya. Bukannya menjawab, Dandelion justru merebut rokok yang baru saja disulutnya dan melemparkan ke tanah. Dengan gemas cewek itu menginjak-injak putung rokoknya.
“Nggak sehat tahu, Abang tuh menyumbang polusi udara kalau ngerokok gitu. Apalagi di tempat umum. Bukan Abang aja yang bakal nggak sehat, yang ikut menghirup asap rokok Abang juga. Malah lebih bahaya tahu,” jelas Dandelion justru membuat Altar tertawa.
“Dih, kalau gitu jawabannya anak SMP juga udah tahu kali Non,” goda Altar. Dandelion memberengut. Ia tak suka disamakan kayak anak SMP. Bagaimanapun statusnya sudah menjadi anak SMA. Tapi Altar selalu menganggapnya seperti anak kecil.
“Abang ih, dibilang nggak sehat ngerokok tuh.”
Dandelion merebut rokok dari tangan Altar saat cowok itu berusaha mengambil satu batang lagi dan akan menyulutnya.
“Yaelah, nih bocah bawel banget sih.”
“Iya makanya jangan ngerokok di depan gue.”
Saat itu, Altar tidak tahu jika Dandelion akan merasa sesak nafas setiap kali menghirup asap rokok. Baru beberapa hari setelahnya ia menyadari hal itu.
Mereka sedang berada di sebuah kafe bersama kakak Dandelion dan teman-temannya yang lain. Kakak lelaki sekaligus saudara paling tua Dandelion itu memang berteman sejak SMP. Putra, kakak Dandelion, menjadi murid pindahan di kelas Altar. Gayanya yang songong waktu itu karena merasa anak paling gaul dan pintar di sekolah sebab pidahan dari ibu kota, membuat Putra tidak disukai teman-teman yang lain. Altar menjadi satu-satunya teman paling baik sekaligus setia. Apalagi saat menyadari jika Altar lebih pandai darinya. Putra seperti menaruh hormat kepadanya dan mengikuti kemana pun cowok itu pergi. Begitu tahu orang tua mereka berteman sejak lama, menjadikan mereka semakin sulit terpisahkan hingga selepas SMA.
Putra memilih jurusan teknik sipil demi mengejar cita-citanya yang ingin menjadi arsitek. Bisa membuat gedung-gedung indah dan membagi kebahagiaan dengan orang lain. Sedang Altar memilih seni murni karena merasa di sanalah ia akan menemukan hidup yang sesungguhnya. Meski begitu, mereka tetap menyempatkan bertemu. Dan Dandelion, yang memiliki obsesi untuk dekat dengan salah satu teman kakaknya – Miko – ikut nimbrung geng cowok-cowok yang nongkrong di sebuah kafe.
Bayu, si perokok berat dalam geng Putra mulai menyulut rokoknya sejak pertama sampai di kafe. Wajah Dandelion yang duduk di sebelahnya berubah pucat. Terlebih asap rokok yang dihembuskan Bayu langsung menerpa mukanya. Altar yang menyadari perubahan Dandelion mengajaknya menjauh dari lingkaran itu.
“Sebenarnya ada alasan lain ‘kan kamu nggak suka asap rokok, kenapa?”
“Sesak napas Bang kalau menghirup asapnya. Apalagi baunya aneh banget. Tembakau yang kebakar itu."
Altar tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Telinganya tak salah menangkap saat Dandelion menyebut perihal bau. Bahkan ia tak menyadari jika selama ini rokok yang dihisapnya memiliki bau. Kecuali cengkeh yang sering ia rasakan atau mint saat menghisapnya.
“Cuma sama asap rokok doang?”
Dandelion menggeleng sebagai jawaban.
“Terus apa lagi?”
“Hampir semua bau-bauan. Kayak bau Bang Altar juga. Habis minum bir ‘kan?”
“Eh...”
Altar kehilangan kata. Diperhatikan wajah cewek di depannya itu. Ia tertawa getir karena tak bisa menyembunyikan hal yang selama ini berusaha ditutupinya dari orang lain. Termasuk Dandelion.
“Sejak kapan, Bang?” tanya Dandelion membuat Altar semakin kehilangan kata. “Hehe... gue kepo ya Bang? Ya udahlah nggak usah dijawab. Nanti aja kalau Bang Altar pengen cerita jawabnya. Yuk gabung sama yang lain, ntar gue kehilangan momen buat dekat sama Bang Miko,” ajak Dandelion membawa Altar pada kenangan yang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
@tik jishafa
Altar CIDAHA : CINTA DALAM HATI 🤭
2023-03-07
0
Cici
rapih banget tulisannya thor 💞
2021-10-27
0
Nacita
masih menyelami....😂😂😂
2021-08-09
0