Cinta Yang Mengikat

Cinta Yang Mengikat

bab 1

“Kita putus,” ucap Nayla pelan tapi tegas, menatap Reno dengan mata yang basah. Angin sore di taman sekolah berhembus pelan, membawa guguran daun dan kenangan yang siap berakhir.

Reno menatapnya tak percaya. “Nay… maafin aku. Aku nggak bisa tanpa kamu,” suaranya bergetar, hampir putus di tenggorokan.

“Tapi kamu udah selingkuh, Reno!” teriak Nayla. Suaranya pecah, penuh luka dan amarah yang tertahan.

“Itu salah paham, Nay. Tania sengaja menjebak aku,” ucap Reno putus asa, menggenggam rambutnya sendiri.

“Tapi kamu bales ciumannya, kan?! Aku liat sendiri!” Nayla menatapnya tajam, seperti bilah kaca yang menembus dada Reno.

Reno mendekat setengah langkah. “Nay, tolong… sebentar lagi aku perpisahan. Aku kuliah, dan aku nggak mau pisah dari kamu dengan cara begini.”

“Udah, Reno. Udah!” Nayla menghapus air matanya kasar. “Pokoknya kita putus. Titik!”

Reno terdiam. Dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Ia hanya bisa berdiri mematung di taman, menatap punggung Nayla yang menjauh.

“Aku sayang kamu, Nayla…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, bersamaan dengan air mata yang jatuh ke tanah.

Hari-hari Nayla setelah itu hampa. Canda teman-teman tak lagi lucu, musik tak lagi punya arti. Ia tetap tersenyum, tapi senyum itu palsu—hanya topeng untuk menutupi hatinya yang retak.

Beberapa laki-laki mencoba mendekat, tapi baginya mereka semua sama—bukan Reno.

Satu tahun berlalu. Nayla kuliah di jurusan perhotelan sambil bekerja paruh waktu.

Siang dihabiskan untuk kerja, malamnya kuliah.

“Cape banget kerja sambil kuliah,” keluhnya sambil memijat tengkuk di kampus malam itu.

“Ya lo harus pilih, Nay. Mau kerja atau kuliah,” ucap Tari, sahabatnya, santai sambil ngemil gorengan.

“Kalo nggak kuliah, ibu gue ngomel. Kalo nggak kerja, ayah gue pusing. Hidup gue kayak sandwic, Tar,” ucap Nayla sambil menyeruput es cekiknya.

Tari ngakak. “Ya udah, jalanin aja. Kan lo Nayla, bukan manusia biasa!”

“Iya sih…” Nayla menghela napas, setengah menyerah, setengah bangga.

Tahun demi tahun berlalu. Nayla kini sudah bekerja di hotel besar, posisi impiannya sejak dulu.

Ia jadi supervisor restoran hotel, kadang juga bantu housekeeping kalau ada acara besar.

“Huft… pulang malam lagi,” gumamnya, melihat jam di ponsel. Pukul sebelas malam. Ballroom baru saja selesai dibersihkan setelah pesta pernikahan.

“Semangat, Nayla,” ucap manajernya dengan senyum bangga.

“Iya, Pak,” Nayla tersenyum lelah tapi tulus.

Saat hendak pulang, seorang rekan menghampirinya. “Bareng, ya?” ucap Zevan, teman kerjanya.

“Lo searah emang?” tanya Nayla, mengernyit.

“Searah, kok. Gue khawatir lo pulang sendiri.”

“Gas, deh.” Nayla tersenyum. Ada sesuatu yang hangat di dadanya—bukan cinta, tapi rasa nyaman yang perlahan tumbuh.

Setelah beberapa menit, motor mereka berpisah di ujung jalan.

“Thanks, Zev,” ucap Nayla, tersenyum kecil.

“Sama-sama. Sampai besok, Nay,” jawab Zevan.

Ia melaju, sementara Nayla masih menatap punggungnya yang menjauh di antara lampu-lampu malam.

Lima tahun kemudian.

Nayla resmi menjadi manager hotel.

Ia duduk di cafe bersama Tari, mengenakan blazer elegan, rambut diikat rapi. “Gue bangga banget sama diri gue sendiri. Akhirnya sampai juga di titik ini.”

“Ya iyalah, Miss Manager!” goda Tari. “Tapi lo kapan nikah? Pacaran sama Zevan udah kayak serial bersambung, nggak tamat-tamat.”

Nayla tertawa pahit. “Gue cinta dia, Tar. Tapi dia beda agama. Gimana dong?”

Tari menghela napas. “Dari awal gue udah bilang… jangan sama dia.”

“Dia-nya duluan yang nempel,” Nayla menjawab sambil meneguk jusnya.

Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada beban yang tak pernah Nayla lepaskan.

Sore itu, ponsel Nayla bergetar.

Dari: Zevan.

“Sayang, aku sakit.”

Nayla langsung panik. “Sakit apa? Kamu di mana?”

“Apartemen.”

Tanpa pikir panjang, Nayla langsung berlari keluar dari cafe naik mobil nya hati di dada berdegup cepat.

Sesampainya di apartemen Zevan, ia langsung menghampiri ranjang tempat Zevan berbaring. “Kamu sakit apa, sayang?” tanyanya khawatir.

Zevan tersenyum lemah. “Sakit hati, karena nggak ada chat dari kamu.”

“Idih! Aku tuh panik setengah mati!” Nayla memukul bahunya pelan, lalu ikut tertawa.

Zevan menariknya mendekat, dan mencium bibir Nayla lembut. Waktu seperti berhenti sejenak.

“Aku pengen nikah sama kamu, Nay.”

Nayla menatapnya dalam, lalu tersenyum getir. “Aku juga, Van. Tapi… orang tuaku nggak bakal izinin kita nikah beda keyakinan.”

Zevan terdiam. “Masa kita bakal kayak gini terus?”

“Aku capek, Van. Hubungan kita nggak pernah punya ujung.”

Zevan terkekeh pelan. “Kita nikah lari aja, gimana?”

Nayla menggeleng, matanya mulai berkaca. “Nggak bisa. Aku nggak mau begitu. Aku ingin imam… bukan pelarian.”

Zevan menatap langit-langit. Nafasnya berat. “Maafin aku. Tapi mungkin aku belum bisa jadi imam yang seiman buat kamu.”

Nayla membeku. “Jadi maksud kamu apa, Van?”

Zevan menunduk. “Kita akhiri aja, Nay.”

Air mata Nayla menetes. “Serius?”

“Iya. Aku dijodohin, Nay…”

Nayla menatapnya kaget. “Apa?!”

“Aku akan nikah bulan depan.”

Dunia Nayla runtuh seketika. “Kamu sadar nggak sih, apa yang kamu omongin? Kamu ngajak aku nikah, terus sekarang bilang mau nikah sama orang lain?! Van, kamu jahat!”

Zevan menunduk, matanya merah. “Kalau aja waktu itu kamu mau nikah lari sama aku… mungkin semuanya beda. Tapi aku kalah, Nay. Aku harus nurut orang tua.”

“Sudah,” ucap Nayla pelan tapi tajam.

“Selamat, ya, buat pernikahanmu. Jangan hubungi aku lagi.”

Ia berbalik. Tapi suara Zevan menahannya. “Nay! Tunggu! Jangan gini, aku nggak mau pisah!”

Zevan memeluknya dari belakang, tubuhnya bergetar. “Aku nggak bisa tanpa kamu.”

Nayla menutup matanya rapat, menahan tangis. “Reno pernah bilang begitu juga,” bisiknya getir. “Tapi semua orang akhirnya pergi.”

Ia menatap Zevan dengan mata sendu. “Udah, Van. Dari dulu kita kayak air dan minyak.

Nggak akan pernah bisa bersatu.”

Zevan menunduk. “Aku tahu. Tapi jangan lupakan aku, Nay.”

“Aku nggak bakal bisa,” ucap Nayla lirih.

“Empat tahun aku kenal kamu. Aku tahu segalanya tentang kamu—makanan favorit, parfum kamu, bahkan cara kamu marah. Tapi kalau yang aku lawan keluarga kamu… aku kalah.”

Ia menyentuh pipinya sendiri yang basah. “Aku pulang, ya. Jaga diri baik-baik, Zevan Mahendra.”

Sebelum pergi, Nayla mengecup pipinya pelan.

Ciuman terakhir yang terasa seperti perpisahan abadi.

Malam itu Nayla menghentikan mobil nya dan berdiri di trotoar jembatan dengan langkah goyah.

Hujan turun pelan, menyamarkan air matanya yang jatuh.

Untuk pertama kalinya setelah Reno, Nayla kembali patah—dan kali ini, lebih dalam dari sebelumnya.

Bersambung....

Mohon dukungan nya dengan cara.

#VOTE

#LIKE

#KOMEN

JANGAN LUPA KASIH BINTANG 🥰🥰

Terpopuler

Comments

**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️

**plyrc.ai(Junho wifey):v**@❤️

sudah hadir untuk mendukung!
jika berkenan mampir juga yuk ke karya ku:>

2025-06-02

1

Xia Ni Si☀

Xia Ni Si☀

Weh skip timenya banyak banget/Facepalm/ entar tiba-tiba udah punya anak aja/Facepalm/

2025-10-22

0

Rosse Roo

Rosse Roo

baru ketemu udah manja, terus minta putus lagi. mau di tinggal nikah lagi. duhh,

2025-10-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!