bab 2

Nayla pulang malam itu dengan langkah gontai.

Langit seperti ikut menangis bersamanya. Hujan turun pelan, menyelimuti tubuhnya yang menggigil bukan karena dingin—tapi karena hatinya yang hancur.

Begitu sampai di rumah, ia tak sanggup menahan diri. Ia langsung menutup pintu kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Tangisnya pecah seperti badai, menggema di seluruh rumah.

“Kenapa kamu, Nay?” suara Bu Sari, ibunya, panik dari luar kamar.

Pak Wisnu, ayahnya, ikut mendekat. “Ada apa, Nak?”

Nayla membuka pintu dengan mata sembab, wajah kusut, dan suara serak.

“Nayla putus sama Zevan!” teriaknya sambil kembali menangis di pelukan ibunya.

Alih-alih panik, kedua orang tuanya justru saling menatap dan—tersenyum lega.

“Syukur, deh.” ucap ayahnya pelan tapi jelas.

Nayla langsung melepaskan pelukan ibunya.

“Lho?! Kok ayah sama ibu malah gitu sih?!”

“Dari dulu ayah udah bilang, jangan sama dia. Tapi kamu bandel,” ucap Pak Wisnu santai, seolah anaknya baru jatuh dari sepeda, bukan dari cinta.

Nayla mendengus kesal. “Ya udah, kirain apaan!” ucap Bu Sari sambil terkekeh.

Mereka pun berlalu meninggalkan Nayla di kamarnya, sementara Nayla hanya duduk di tepi ranjang dengan wajah masam.

“Nggak jelas punya orang tua,” gumamnya kesal, lalu membanting diri ke kasur.

Beberapa menit kemudian, Nayla membuka ponsel dan menulis status:

“Perahu yang aku tumpangi, yang dari dulu nggak tahu akan berlabuh ke mana, akhirnya kandas.”

Notifikasi langsung bermunculan.

“Putus lo, haha!” — Tari

“Jiah, akhirnya!” — Davin

“Gue bilang apa, lo mau sampe kapan kayak gitu?” — Sasa

“Jomblo nich eheum~” — Rayhan

Nayla menatap komentar-komentar itu dengan wajah datar, lalu mengetik cepat:

“Jancok kalian semua. Damn.”

Tak butuh lima detik, komentar bermunculan lagi, semuanya emot ngakak.

“Sial!” Nayla memeluk bantalnya dan akhirnya tertidur dengan sisa air mata di pipi.

Keesokan paginya, Nayla berangkat kerja dengan mata sembab.

“Pagi, Bu Nayla!” sapa para staf restoran dengan ceria.

Nayla hanya mengangguk kecil, senyumnya hambar—jauh dari sosok tegas dan ramah yang biasa mereka kenal.

Saat melakukan kontrol area restoran, langkahnya terhenti.

Matanya bertemu dengan sosok yang paling tidak ingin ia lihat pagi itu.

Zevan.

Mata laki-laki itu tampak sama lelahnya. Ia menunduk, pura-pura fokus pada clipboard, padahal jantungnya berdegup kencang.

Rasanya seperti ada pecahan kaca menancap di dada mereka berdua.

“Nay,” panggil Zevan pelan, nyaris berbisik.

Suaranya parau, seolah habis menangis semalaman.

Nayla menegakkan badan. “Ya?” jawabnya singkat, nadanya tegas, kaku—seperti bukan kekasih, tapi atasan yang menjaga wibawa.

“Pulangnya… tunggu, ya. Aku mau ngomong.”

“Laporan.” Nayla menyela cepat, menahan getaran suaranya agar tetap terdengar profesional.

“Nay, aku masih sayang kamu…” ucap Zevan dengan mata memohon, penuh keputusasaan.

“Laporan, Zevan.” Nada Nayla menurun, tapi tegas. Ia menunduk sebentar untuk menghindari tatapannya sendiri di mata Zevan.

Zevan terdiam. Ia akhirnya menyerahkan laporan itu dengan tangan bergetar.

Nayla mengambilnya, menatap sejenak—dan pergi tanpa menoleh lagi.

Begitu sudah jauh dari area restoran, napas Nayla mulai tercekat. Dadanya sesak, langkahnya gontai.

Ia berjalan ke arah lift, naik ke lantai paling atas hotel.

Angin pagi menyambutnya di rooftop.

Nayla berdiri di pinggir pagar pembatas, menatap langit biru yang seakan mengejeknya.

Ia menutup mata, membiarkan air mata jatuh satu per satu.

“Aku bisa melupakannya… aku harus bisa…” bisiknya dalam hati.

Tapi suaranya bergetar, seperti doa yang tak yakin akan dikabulkan.

Ia menangis lama, membiarkan angin menghapus sisa-sisa kelemahannya.

Sampai ponselnya berdering—telepon dari atasan.

“Di mana kamu, Nayla?” suara Pak Stevan, CEO hotel, terdengar tegas di seberang.

“Maaf, Pak. Saya ke sana,” ucap Nayla buru-buru, menyeka air mata dan memperbaiki penampilannya.

Ia menarik napas panjang sebelum masuk ke ruang direktur pagi itu.

“Huh… semangat, Nay,” gumamnya pelan.

Begitu masuk, Pak Stevan langsung menatapnya. “Kamu kenapa? Mukamu kelihatan capek.”

“Gak apa-apa, Pak. Saya baik-baik aja,” jawab Nayla dengan senyum profesional.

Pak Stevan mengangguk singkat. “Hari ini ikut saya. Kita kontrol hotel di Bali.”

“Baik, Pak. Saya pulang dulu, ambil pakaian.”

“Kita ketemu di bandara, jam dua siang.”

“Siap, Pak.” Nayla menunduk sopan lalu pergi.

Setibanya di rumah, Nayla langsung masuk sambil menenteng tas.

“Bu, Nayla ke Bali ya, kerja bareng Pak Stevan,” ucapnya sambil ganti sepatu.

Bu Sari tersenyum hangat. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan lupa makan.”

Nayla mengangguk, mencium tangan ibunya. “Iya, Bu.”

Mobil putihnya meluncur menuju bandara.

Di dalam mobil, ia menatap bayangan dirinya di kaca spion—mata sembab, wajah letih, tapi tersisa sedikit tekad.

“Mungkin Bali bisa jadi tempatku memulai lagi,” bisiknya lirih.

“Tanpa Zevan. Tanpa kenangan.”

Pesawat yang ia tumpangi siang itu perlahan terangkat.

Meninggalkan tanah penuh luka—dan seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati.

Bersambung...

MOHON DUKUNGAN NYA DENGAN CARA.

#Vote

#Komen

#Like

Biar author semangat makasih 🥰🥰

Terpopuler

Comments

CumaHalu

CumaHalu

aku sudah menduganya ibu, cewek kalau nangis2 paling cuman masalah cowok🤭

2025-10-18

0

Muliana

Muliana

justru orang tuamu orang yang lebih jelas di bandingkan kamu sendiri. Mereka pasti gak mau, kamu meninggalkan Tuhanmu demi cintamu. Dan begitu juga yang di alami oleh zevan

2025-10-21

1

☠ᵏᵋᶜᶟˢ⍣⃟ₛ𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

☠ᵏᵋᶜᶟˢ⍣⃟ₛ𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿

2025-10-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!