NovelToon NovelToon

Cinta Yang Mengikat

bab 1

“Kita putus,” ucap Nayla pelan tapi tegas, menatap Reno dengan mata yang basah. Angin sore di taman sekolah berhembus pelan, membawa guguran daun dan kenangan yang siap berakhir.

Reno menatapnya tak percaya. “Nay… maafin aku. Aku nggak bisa tanpa kamu,” suaranya bergetar, hampir putus di tenggorokan.

“Tapi kamu udah selingkuh, Reno!” teriak Nayla. Suaranya pecah, penuh luka dan amarah yang tertahan.

“Itu salah paham, Nay. Tania sengaja menjebak aku,” ucap Reno putus asa, menggenggam rambutnya sendiri.

“Tapi kamu bales ciumannya, kan?! Aku liat sendiri!” Nayla menatapnya tajam, seperti bilah kaca yang menembus dada Reno.

Reno mendekat setengah langkah. “Nay, tolong… sebentar lagi aku perpisahan. Aku kuliah, dan aku nggak mau pisah dari kamu dengan cara begini.”

“Udah, Reno. Udah!” Nayla menghapus air matanya kasar. “Pokoknya kita putus. Titik!”

Reno terdiam. Dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar. Ia hanya bisa berdiri mematung di taman, menatap punggung Nayla yang menjauh.

“Aku sayang kamu, Nayla…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, bersamaan dengan air mata yang jatuh ke tanah.

Hari-hari Nayla setelah itu hampa. Canda teman-teman tak lagi lucu, musik tak lagi punya arti. Ia tetap tersenyum, tapi senyum itu palsu—hanya topeng untuk menutupi hatinya yang retak.

Beberapa laki-laki mencoba mendekat, tapi baginya mereka semua sama—bukan Reno.

Satu tahun berlalu. Nayla kuliah di jurusan perhotelan sambil bekerja paruh waktu.

Siang dihabiskan untuk kerja, malamnya kuliah.

“Cape banget kerja sambil kuliah,” keluhnya sambil memijat tengkuk di kampus malam itu.

“Ya lo harus pilih, Nay. Mau kerja atau kuliah,” ucap Tari, sahabatnya, santai sambil ngemil gorengan.

“Kalo nggak kuliah, ibu gue ngomel. Kalo nggak kerja, ayah gue pusing. Hidup gue kayak sandwic, Tar,” ucap Nayla sambil menyeruput es cekiknya.

Tari ngakak. “Ya udah, jalanin aja. Kan lo Nayla, bukan manusia biasa!”

“Iya sih…” Nayla menghela napas, setengah menyerah, setengah bangga.

Tahun demi tahun berlalu. Nayla kini sudah bekerja di hotel besar, posisi impiannya sejak dulu.

Ia jadi supervisor restoran hotel, kadang juga bantu housekeeping kalau ada acara besar.

“Huft… pulang malam lagi,” gumamnya, melihat jam di ponsel. Pukul sebelas malam. Ballroom baru saja selesai dibersihkan setelah pesta pernikahan.

“Semangat, Nayla,” ucap manajernya dengan senyum bangga.

“Iya, Pak,” Nayla tersenyum lelah tapi tulus.

Saat hendak pulang, seorang rekan menghampirinya. “Bareng, ya?” ucap Zevan, teman kerjanya.

“Lo searah emang?” tanya Nayla, mengernyit.

“Searah, kok. Gue khawatir lo pulang sendiri.”

“Gas, deh.” Nayla tersenyum. Ada sesuatu yang hangat di dadanya—bukan cinta, tapi rasa nyaman yang perlahan tumbuh.

Setelah beberapa menit, motor mereka berpisah di ujung jalan.

“Thanks, Zev,” ucap Nayla, tersenyum kecil.

“Sama-sama. Sampai besok, Nay,” jawab Zevan.

Ia melaju, sementara Nayla masih menatap punggungnya yang menjauh di antara lampu-lampu malam.

Lima tahun kemudian.

Nayla resmi menjadi manager hotel.

Ia duduk di cafe bersama Tari, mengenakan blazer elegan, rambut diikat rapi. “Gue bangga banget sama diri gue sendiri. Akhirnya sampai juga di titik ini.”

“Ya iyalah, Miss Manager!” goda Tari. “Tapi lo kapan nikah? Pacaran sama Zevan udah kayak serial bersambung, nggak tamat-tamat.”

Nayla tertawa pahit. “Gue cinta dia, Tar. Tapi dia beda agama. Gimana dong?”

Tari menghela napas. “Dari awal gue udah bilang… jangan sama dia.”

“Dia-nya duluan yang nempel,” Nayla menjawab sambil meneguk jusnya.

Mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada beban yang tak pernah Nayla lepaskan.

Sore itu, ponsel Nayla bergetar.

Dari: Zevan.

“Sayang, aku sakit.”

Nayla langsung panik. “Sakit apa? Kamu di mana?”

“Apartemen.”

Tanpa pikir panjang, Nayla langsung berlari keluar dari cafe naik mobil nya hati di dada berdegup cepat.

Sesampainya di apartemen Zevan, ia langsung menghampiri ranjang tempat Zevan berbaring. “Kamu sakit apa, sayang?” tanyanya khawatir.

Zevan tersenyum lemah. “Sakit hati, karena nggak ada chat dari kamu.”

“Idih! Aku tuh panik setengah mati!” Nayla memukul bahunya pelan, lalu ikut tertawa.

Zevan menariknya mendekat, dan mencium bibir Nayla lembut. Waktu seperti berhenti sejenak.

“Aku pengen nikah sama kamu, Nay.”

Nayla menatapnya dalam, lalu tersenyum getir. “Aku juga, Van. Tapi… orang tuaku nggak bakal izinin kita nikah beda keyakinan.”

Zevan terdiam. “Masa kita bakal kayak gini terus?”

“Aku capek, Van. Hubungan kita nggak pernah punya ujung.”

Zevan terkekeh pelan. “Kita nikah lari aja, gimana?”

Nayla menggeleng, matanya mulai berkaca. “Nggak bisa. Aku nggak mau begitu. Aku ingin imam… bukan pelarian.”

Zevan menatap langit-langit. Nafasnya berat. “Maafin aku. Tapi mungkin aku belum bisa jadi imam yang seiman buat kamu.”

Nayla membeku. “Jadi maksud kamu apa, Van?”

Zevan menunduk. “Kita akhiri aja, Nay.”

Air mata Nayla menetes. “Serius?”

“Iya. Aku dijodohin, Nay…”

Nayla menatapnya kaget. “Apa?!”

“Aku akan nikah bulan depan.”

Dunia Nayla runtuh seketika. “Kamu sadar nggak sih, apa yang kamu omongin? Kamu ngajak aku nikah, terus sekarang bilang mau nikah sama orang lain?! Van, kamu jahat!”

Zevan menunduk, matanya merah. “Kalau aja waktu itu kamu mau nikah lari sama aku… mungkin semuanya beda. Tapi aku kalah, Nay. Aku harus nurut orang tua.”

“Sudah,” ucap Nayla pelan tapi tajam.

“Selamat, ya, buat pernikahanmu. Jangan hubungi aku lagi.”

Ia berbalik. Tapi suara Zevan menahannya. “Nay! Tunggu! Jangan gini, aku nggak mau pisah!”

Zevan memeluknya dari belakang, tubuhnya bergetar. “Aku nggak bisa tanpa kamu.”

Nayla menutup matanya rapat, menahan tangis. “Reno pernah bilang begitu juga,” bisiknya getir. “Tapi semua orang akhirnya pergi.”

Ia menatap Zevan dengan mata sendu. “Udah, Van. Dari dulu kita kayak air dan minyak.

Nggak akan pernah bisa bersatu.”

Zevan menunduk. “Aku tahu. Tapi jangan lupakan aku, Nay.”

“Aku nggak bakal bisa,” ucap Nayla lirih.

“Empat tahun aku kenal kamu. Aku tahu segalanya tentang kamu—makanan favorit, parfum kamu, bahkan cara kamu marah. Tapi kalau yang aku lawan keluarga kamu… aku kalah.”

Ia menyentuh pipinya sendiri yang basah. “Aku pulang, ya. Jaga diri baik-baik, Zevan Mahendra.”

Sebelum pergi, Nayla mengecup pipinya pelan.

Ciuman terakhir yang terasa seperti perpisahan abadi.

Malam itu Nayla menghentikan mobil nya dan berdiri di trotoar jembatan dengan langkah goyah.

Hujan turun pelan, menyamarkan air matanya yang jatuh.

Untuk pertama kalinya setelah Reno, Nayla kembali patah—dan kali ini, lebih dalam dari sebelumnya.

Bersambung....

Mohon dukungan nya dengan cara.

#VOTE

#LIKE

#KOMEN

JANGAN LUPA KASIH BINTANG 🥰🥰

bab 2

Nayla pulang malam itu dengan langkah gontai.

Langit seperti ikut menangis bersamanya. Hujan turun pelan, menyelimuti tubuhnya yang menggigil bukan karena dingin—tapi karena hatinya yang hancur.

Begitu sampai di rumah, ia tak sanggup menahan diri. Ia langsung menutup pintu kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Tangisnya pecah seperti badai, menggema di seluruh rumah.

“Kenapa kamu, Nay?” suara Bu Sari, ibunya, panik dari luar kamar.

Pak Wisnu, ayahnya, ikut mendekat. “Ada apa, Nak?”

Nayla membuka pintu dengan mata sembab, wajah kusut, dan suara serak.

“Nayla putus sama Zevan!” teriaknya sambil kembali menangis di pelukan ibunya.

Alih-alih panik, kedua orang tuanya justru saling menatap dan—tersenyum lega.

“Syukur, deh.” ucap ayahnya pelan tapi jelas.

Nayla langsung melepaskan pelukan ibunya.

“Lho?! Kok ayah sama ibu malah gitu sih?!”

“Dari dulu ayah udah bilang, jangan sama dia. Tapi kamu bandel,” ucap Pak Wisnu santai, seolah anaknya baru jatuh dari sepeda, bukan dari cinta.

Nayla mendengus kesal. “Ya udah, kirain apaan!” ucap Bu Sari sambil terkekeh.

Mereka pun berlalu meninggalkan Nayla di kamarnya, sementara Nayla hanya duduk di tepi ranjang dengan wajah masam.

“Nggak jelas punya orang tua,” gumamnya kesal, lalu membanting diri ke kasur.

Beberapa menit kemudian, Nayla membuka ponsel dan menulis status:

“Perahu yang aku tumpangi, yang dari dulu nggak tahu akan berlabuh ke mana, akhirnya kandas.”

Notifikasi langsung bermunculan.

“Putus lo, haha!” — Tari

“Jiah, akhirnya!” — Davin

“Gue bilang apa, lo mau sampe kapan kayak gitu?” — Sasa

“Jomblo nich eheum~” — Rayhan

Nayla menatap komentar-komentar itu dengan wajah datar, lalu mengetik cepat:

“Jancok kalian semua. Damn.”

Tak butuh lima detik, komentar bermunculan lagi, semuanya emot ngakak.

“Sial!” Nayla memeluk bantalnya dan akhirnya tertidur dengan sisa air mata di pipi.

Keesokan paginya, Nayla berangkat kerja dengan mata sembab.

“Pagi, Bu Nayla!” sapa para staf restoran dengan ceria.

Nayla hanya mengangguk kecil, senyumnya hambar—jauh dari sosok tegas dan ramah yang biasa mereka kenal.

Saat melakukan kontrol area restoran, langkahnya terhenti.

Matanya bertemu dengan sosok yang paling tidak ingin ia lihat pagi itu.

Zevan.

Mata laki-laki itu tampak sama lelahnya. Ia menunduk, pura-pura fokus pada clipboard, padahal jantungnya berdegup kencang.

Rasanya seperti ada pecahan kaca menancap di dada mereka berdua.

“Nay,” panggil Zevan pelan, nyaris berbisik.

Suaranya parau, seolah habis menangis semalaman.

Nayla menegakkan badan. “Ya?” jawabnya singkat, nadanya tegas, kaku—seperti bukan kekasih, tapi atasan yang menjaga wibawa.

“Pulangnya… tunggu, ya. Aku mau ngomong.”

“Laporan.” Nayla menyela cepat, menahan getaran suaranya agar tetap terdengar profesional.

“Nay, aku masih sayang kamu…” ucap Zevan dengan mata memohon, penuh keputusasaan.

“Laporan, Zevan.” Nada Nayla menurun, tapi tegas. Ia menunduk sebentar untuk menghindari tatapannya sendiri di mata Zevan.

Zevan terdiam. Ia akhirnya menyerahkan laporan itu dengan tangan bergetar.

Nayla mengambilnya, menatap sejenak—dan pergi tanpa menoleh lagi.

Begitu sudah jauh dari area restoran, napas Nayla mulai tercekat. Dadanya sesak, langkahnya gontai.

Ia berjalan ke arah lift, naik ke lantai paling atas hotel.

Angin pagi menyambutnya di rooftop.

Nayla berdiri di pinggir pagar pembatas, menatap langit biru yang seakan mengejeknya.

Ia menutup mata, membiarkan air mata jatuh satu per satu.

“Aku bisa melupakannya… aku harus bisa…” bisiknya dalam hati.

Tapi suaranya bergetar, seperti doa yang tak yakin akan dikabulkan.

Ia menangis lama, membiarkan angin menghapus sisa-sisa kelemahannya.

Sampai ponselnya berdering—telepon dari atasan.

“Di mana kamu, Nayla?” suara Pak Stevan, CEO hotel, terdengar tegas di seberang.

“Maaf, Pak. Saya ke sana,” ucap Nayla buru-buru, menyeka air mata dan memperbaiki penampilannya.

Ia menarik napas panjang sebelum masuk ke ruang direktur pagi itu.

“Huh… semangat, Nay,” gumamnya pelan.

Begitu masuk, Pak Stevan langsung menatapnya. “Kamu kenapa? Mukamu kelihatan capek.”

“Gak apa-apa, Pak. Saya baik-baik aja,” jawab Nayla dengan senyum profesional.

Pak Stevan mengangguk singkat. “Hari ini ikut saya. Kita kontrol hotel di Bali.”

“Baik, Pak. Saya pulang dulu, ambil pakaian.”

“Kita ketemu di bandara, jam dua siang.”

“Siap, Pak.” Nayla menunduk sopan lalu pergi.

Setibanya di rumah, Nayla langsung masuk sambil menenteng tas.

“Bu, Nayla ke Bali ya, kerja bareng Pak Stevan,” ucapnya sambil ganti sepatu.

Bu Sari tersenyum hangat. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan lupa makan.”

Nayla mengangguk, mencium tangan ibunya. “Iya, Bu.”

Mobil putihnya meluncur menuju bandara.

Di dalam mobil, ia menatap bayangan dirinya di kaca spion—mata sembab, wajah letih, tapi tersisa sedikit tekad.

“Mungkin Bali bisa jadi tempatku memulai lagi,” bisiknya lirih.

“Tanpa Zevan. Tanpa kenangan.”

Pesawat yang ia tumpangi siang itu perlahan terangkat.

Meninggalkan tanah penuh luka—dan seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati.

Bersambung...

MOHON DUKUNGAN NYA DENGAN CARA.

#Vote

#Komen

#Like

Biar author semangat makasih 🥰🥰

bab 3

Sesampainya di Bali, Nayla menginap di hotel milik Stevan.

Setelah menaruh kopernya, ia segera berganti pakaian rapi. Hari itu mereka dijadwalkan meeting dengan klien penting.

Sore menjelang, angin pantai Bali berhembus lembut. Nayla berjalan di samping Stevan menuju restoran hotel. Langkahnya pelan, elegan, namun di dalam dadanya jantung berdetak tak beraturan.

“Kamu capek, Nayla? Duduk aja, ya. Dengerin baik-baik, takutnya aku salah tangkap. Kamu bantu catat,” ucap Stevan dengan suara tegas namun lembut.

“Iya, Pak,” jawab Nayla pelan sambil membuka laptopnya. Tangannya sedikit bergetar.

Fokus, Nayla. Fokus. Jangan sampai salah ngomong di depan klien penting, batinnya.

“Inget, Nayla. Ini klien besar. Jangan sampai tersinggung,” lanjut Stevan menatapnya serius.

“Iya, Pak,” ulang Nayla, mencoba tersenyum.

Tak lama, Stevan menatap ke arah pintu. “Dia datang,” ucapnya pelan namun tegas.

Nayla otomatis menoleh. Seketika napasnya tercekat.

Wajah itu.

Tatapan itu.

Suara langkahnya yang khas.

“Gue gak salah liat, kan…?” gumamnya nyaris tanpa suara.

“Kenapa?” tanya Stevan bingung.

“Ngga, Pak…” Nayla buru-buru menunduk, memaksa tersenyum.

“Sore, Pak. Sudah lama menunggu?” suara itu kini terdengar jelas. Reno.

“Ngga, kami baru sampai,” jawab Stevan santai, tertawa kecil.

Reno menatap Nayla. Tatapan yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta, kini membuatnya gugup setengah mati.

“Ini manager saya,” kata Stevan, “Tapi saya ajak supaya nanti kalau dia dipindah ke sini, sudah hafal suasana.”

Nayla langsung membeku. Apa? Dipindah ke sini?! Jangan, ya Tuhan… jangan Bali, apalagi kalau dia di sini…

“Oh gitu…” sahut Reno pelan, tapi matanya tak lepas dari wajah Nayla. Tatapan itu tajam tapi lembut, seolah mengungkap banyak hal yang belum selesai.

Mereka pun duduk. Nayla pura-pura fokus mencatat, padahal setiap kali Reno tersenyum, jantungnya serasa diremas.

Usai meeting, mereka makan malam bersama. Tapi Nayla tak menyentuh makanannya, hanya memainkan sendok dengan gugup.

“Makan, Nayla. Dari tadi diem aja. Galau, ya?” goda Stevan sambil tertawa kecil.

“Ngga, Pak,” jawab Nayla gugup, senyumnya kaku.

“Jangan gugup, Nayla,” ujar Reno pelan, suaranya tenang namun menusuk.

Stevan langsung menatap heran. “Lho, Pak Reno kenal Nayla?”

Reno terkekeh pelan. “Dia mantan saya, Pak.”

Seketika suasana meja itu hening. Stevan hampir tersedak minumannya. “Oh… ya… ”

Reno melanjutkan dengan nada menggoda, “Jadi gini, Pak. Deal-nya saya setuju kerja sama. Tapi… bonusnya, manager ini saya yang urus.”

Stevan tertawa, tak paham maksudnya. “Siap, Pak! Nayla, kamu pindah ke sini, ya?”

“Anjir… gila ini…” batin Nayla panik. “Pak, saya harus izin ibu dulu,” ujarnya canggung.

“Nanti saya telepon ibumu,” sela Reno santai.

“Ngga usah, anjir…” batin Nayla nyaris menjerit. Tapi mulutnya terdiam, hanya senyum kikuk yang ia paksakan.

Setelah Reno pamit, Nayla duduk lemas.

“Gede, loh, gajinya. Kamu pikirin baik-baik ya,” ucap Stevan.

“Tapi saya harus pulang dulu, Pak.”

“Ya udah, besok kita pulang,” jawab Stevan.

“Sekarang kalau mau ke pantai, santai aja dulu.”

“Baik, Pak.”

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Di pantai sore itu, langit oranye memantul di permukaan laut. Nayla berjalan sendirian di pasir putih, melepas sepatu. Angin laut menyapu rambutnya yang terurai.

“Kenapa harus ketemu Reno lagi sih? Gila… hidup gue kayak di-prank semesta,” gumamnya kesal.

Ia duduk di tepi pantai, menatap laut. “Mungkin kalau gue pindah ke sini, gue bisa cepat lupain Zevan,” ucapnya pelan.

“Sendiri aja?” suara bariton itu muncul tiba-tiba dari belakang.

Nayla menoleh cepat. Reno berdiri di sana, dengan senyum kecil yang sama menyebalkannya seperti dulu.

“Menurut lo?” Nayla membalas ketus.

“Ish, judes amat,” balas Reno sambil tertawa kecil.

“Benci gue sama lo,” ucap Nayla, matanya tajam.

“Udah tujuh tahun loh. Masih aja diungkit,” ucap Reno, nada suaranya lembut tapi menyindir.

“Ngga bakal gue lupa.”

“Aku cari kamu, loh, Nay.”

Nayla menatapnya tak percaya. “Lo gila. Gue di Bandung, lo di Bali. Rumah gue masih di situ! Jangan ngarang, Reno!”

Reno malah tertawa. “Iya juga ya, haha. Maaf, maaf.”

“Kok lo bisa ada di sini?” tanya Nayla dingin.

“Udah lulus kuliah. Papa suruh urus bisnis di sini. Jadi ya, sekarang aku urus perusahaan cabang Bali,” jawab Reno santai.

“Oh,” ucap Nayla pendek.

“Gitu doang?” Reno memiringkan kepala.

“Ya lo berharap apa?” Nayla melipat tangan di dada.

“Nikah yuk,” kata Reno tiba-tiba, tersenyum.

Nayla langsung mendelik. “Najis!”

“Aku serius.”

“Ogah.”

“Aku udah telepon ibu kamu. Malah dia seneng banget.”

“APA?! Lo gila ya!” Nayla hampir menjerit.

Reno hanya terkekeh. “Aku sering kontak sama ibumu, loh.”

“Dih, parah!” Nayla melotot.

“Yuk,Biar bisa tinggal di sini bareng aku.”

“Ogah! Nikah sama tukang selingkuh? Najis!” Nayla langsung berbalik pergi.

Reno hanya tersenyum kecil, memandangi punggung Nayla yang menjauh.

Masih sama. Masih keras kepala. Tapi tetap cewek yang bikin gue jatuh cinta.

Malamnya Nayla di kamar. Ia menatap layar ponsel dan mengetik status:

“Mataharinya indah ya… tapi hati aku mendung.”

Komentar langsung berdatangan.

Tari: Wew, pantai?

Sasa: Ngga ngajak!

Davin: Mau ke sana dong 😭

Ray: Otw ❤️

Nayla: Apa sih, Rayhan?

Ray: Love you, Nay ❤️

Nayla: Ogah.

Ray: Akh patah hati 🥲

Dan tiba-tiba—chat dari Zevan muncul.

Zevan: Nayla, kamu di mana?

Nayla: Di neraka.

Zevan: Jangan gitu, sayang.

Nayla: Jangan panggil gue sayang. Kita udah usai.

Zevan: Aku batalin pernikahan aku. Kita mulai lagi, ya?

Nayla: Ngga usah.

Zevan: Aku serius, Nay.

Nayla: Gue juga serius.

Zevan: Aku udah di bandara Denpasar.

“Anjir! Gila si Zevan!” Nayla langsung panik, melempar ponselnya ke kasur.

Beberapa detik kemudian, ponsel berdering lagi. Nama di layar membuatnya memutar bola mata.

“Mak Lampir nelpon lagi…,” gumamnya kesal.

“Hallo,” jawab Nayla datar.

“Nayla! Zevan mau nikah. Kamu jangan ganggu dia lagi!” suara tajam Bu Widya langsung menusuk telinganya.

“Iya, Tante. Saya tau.”

“Anak saya nyari kamu! Jangan layani dia! Dari dulu saya gak restuin kalian, jangan hancurkan hidup Zevan lagi!”

Telepon langsung diputus.

“Fuck!” Nayla mengumpat, menjambak rambutnya sendiri.

Ia buru-buru chat Stevan:

“Pak, jangan bilang kamar saya nomor berapa kalau Zevan nyari ya!”

“Yah, aku udah bilang, Nay… gimana dong?”

“Sial!” Nayla menepuk kening, panik. Ia keluar kamar, mengendap-endap menuju taman.

“Gue mau kemana sih ini?” gumamnya.

Di lobby, ia melihat Stevan sedang berbicara dengan Zevan.

“Anjir… mampus gue…” Nayla langsung bersembunyi di balik pohon. Malam mulai gelap, hanya cahaya lampu taman yang temaram.

Begitu Zevan pergi masuk lift, Nayla berlari keluar hotel, tergesa-gesa. Nafasnya memburu.

Hingga sebuah mobil melintas cepat—

Klaxon membelah udara.

“BRAAAKK!”

Nayla hampir tertabrak.

Bersambung....

Mohon dukungan nya dengan cara.

#Vote

#Like

#Komen

Biar author semangat makasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!