Change
Vino menunggu kekasihnya di gerbang depan universitas seperti biasa. Diliriknya jam tangannya, jam 17.00 WIB. Kekasihnya terlambat lagi.
“Kak Vino.”
Vino tersentak menyadari keberadaan gadis yang berhenti sambil terengah-engah di sampingnya. Ia membalikkan badan kearahnya dengan segera dan dengan gugup membenarkan kacamata besarnya. Kurang lebih sudah satu tahun ia berpacaran dengan gadis ini, tetapi belum juga bisa terbiasa saat berdekatan dengannya. Segala sesuatu masih terasa begitu istimewa dan indah untuk menjadi nyata. Bahkan kegundahannya atas keterlambatan kekasihnya akhir-akhir ini sirna begitu saja.
“Maaf kak, aku telat lagi.” Si gadis mengatupkan kedua tangannya memohon maaf di sela-sela nafasnya. Dia manis sekali, pikir Vino. Tentu saja, gadisnya merupakan salah satu gadis populer di kampus mereka. Dan ia adalah salah satu dari sekian pria yang tersihir oleh pesonanya. Perasaan Vino yang terus tumbuh mendorongnya untuk mengungkapkan perasaan tanpa mengharapkan reaksi positif dalam bentuk apapun. Ia hanya bertekad ingin memberitahu sang gadis akan keberadaannya dan perasaannya. Tetapi siapa sangka ia malah diterima? Dan disinilah ia sekarang, tak bisa berhenti kagum dengan ekstensi gadis ini disampingnya.
“Tidak, itu tidak masalah. Ayo pulang”. Vino tersenyum sambil meraih tangan gadisnya dan menggenggamnya erat. Gadisnya tersipu dengan perlakuannya. Reaksi menggemaskan yang belum juga pudar bahkan setelah satu tahun hubungan mereka.
“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tawar Vino di tengah langkah mereka yang bersisian.
“Yeay! Temani aku ke supermarket!”
Vino tersenyum mengikuti gadisnya yang berlari sambil menarik tangannya dengan bersemangat. Hari ini juga telah menjadi hari yang sempurna.
\*
Sore ini Vino kembali menemukan dirinya menunggu di gerbang depan universitas. Ia berkali-kali melirik jamnya dan sadar kalau gadisnya lebih terlambat dari biasanya. Nalurinya mulai berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Tangan kanannya bergerak merogoh saku dan meraih handphone. “Sial,” gumam Vino lirih saat menemukan handphonenya mati karena kehabisan daya.
Matahari yang mulai terbenam mendorong Vino untuk bergerak mencari gadisnya, Tiffany. Tujuan awalnya adalah ruang kelasnya. Kosong. Ia mengarahkan kakinya menuju perpustakaan. Nihil, hanya ada beberapa orang yang tidak dia kenal. Vino menarik nafasnya perlahan, mencoba mengabaikan kekhawatiran yang mulai menggerogoti pikirannya. Apakah Tiffany sedang duduk di suatu tempat bersama temannya? Atau apakah dia sedang memiliki urusan dengan pembimbingnya? Menelusuri seluruh kampusnya terdengar seperti sebuah ide yang cukup baik, tetapi Vino tidak yakin berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu.
Vino memutuskan untuk memeriksa kantin sebagai tujuan akhirnya. Jika ia masih tidak dapat menemukan Tiffany, ia akan berasumsi bahwa gadisnya tersebut memiliki urusan penting yang harus diselesaikannya di suatu tempat. Mungkin juga gadisnya sebenarnya telah mencoba menghubunginya. Ia akan segera pulang untuk mengisi daya ponselnya, menghubungi kekasihnya, dan memastikan ia baik-baik saja.
Kantin masih terlihat cukup ramai bahkan saat langit mulai dipenuhi bercak-bercak kemerahan seperti saat ini. Vino memicingkan matanya mencari keberadaan Tiffany diantara para pengunjung kantin. Berkali-kali ia memperbaiki letak kacamata besarnya sambil melangkah perlahan. Hatinya bersorak lega saat akhirnya ia melihat sosok pujaan hatinya dalam keadaan baik-baik saja.
“Tiff..”
Tiffany yang terlihat begitu tergesa-gesa, rambutnya yang berantakan, dan lengannya yang penuh dengan berbagai macam roti sukses membuat Vino mengerem pergerakan lengannya yang akan melambai memanggil kekasihnya. Kondisi Tiffany saat ini tidak terlihat baik-baik saja, dan mungkin alasannya adalah hal yang sama dengan penyebab keterlambatan Tiffany akhir-akhir ini. Vino memutuskan untuk mengamati kekasihnya dan menemukan alasan tersebut.
Tiffany berlari menuju salah satu meja yang diisi 4 orang mahasiswi berpenampilan modis. Kontras dengannya yang sederhana dan memancarkan kesan kecantikan yang polos. Vino melepas kacamatanya, kemudian ikut bergerak mendekat dengan natural dan duduk di salah satu meja di dekat mereka, mengeluarkan buku dari tasnya dan berusaha tidak terlihat mencolok. Ia mendapati Tiffany meletakkan semua makanan di lengannya ke atas meja 4 mahasiswi tersebut.
“Kau lama sekali,” sewot salah satu dari mereka.
“Maaf, sore ini kantin cukup ramai. Aku harus mengantri lama untuk mendapatkan semua roti yang kalian inginkan,” jawab Tiffany pelan. Ia dapat merasakan tatapan penasaran dari beberapa pengunjung kantin diarahkan padanya.
“Ck,” jawab yang lainnya sambil mengambil salah satu dari makanan itu.
“Kalau begitu aku pamit dulu. Kak Vino pasti sudah menungguku sejak tadi,” pamit Tiffany.
“Hey Tiffany, sampai kapan kau mau berkorban begini demi pria culun itu?” Pertanyaan yang dilontarkan salah satu dari mereka menghantam kepala Vino dengan keras. Berkorban? Untuknya? Tentu saja, satu-satunya pria culun yang berada di sekitar Tiffany adalah dirinya.
“Betul, betul. Sampah seperti itu tidak harus dipertahankan hingga merelakan harga dirimu sendiri.”
“Kalau begitu berjanjilah untuk tidak lagi menjadikannya bahan mainan kalian,” Tiffany berkata lirih.
“Oh, Tuhan! Kami bahkan tidak menyentuhnya! Kami hanya kebetulan mendapatkan fotonya saat SMP yang mengenakan seragam Bunny Girl! Hmph… Hahahahahahah.” Tiffany mengepalkan tangannya saat olokan tersebut berlanjut menjadi tertawaan bagi mereka.
Vino gemetar dan berkeringat mendengar hal tersebut. Bagaimana bisa foto itu tersebar? Dirinya yang dulu adalah bocah bodoh, naif, dan rela melakukan apapun untuk mendapatkan teman. Pada akhirnya ia hanya digunakan teman-temannya sebagai objek untuk dipermalukan dan dipermainkan. Digunakan hanya saat dibutuhkan. Diperas dan dimanfaatkan dengan bungkusan kata ‘teman’. Ia pasti telah hancur jika Andrew-temannya sejak kecil-tidak menyadarkannya dan menariknya menjauh.
Belajar dari pengalaman, Vino mulai menutup dirinya saat SMA dan memilih universitas yang jauh untuk kuliah. Ia ingin melupakan masa lalunya dan menjadi manusia baru yang tidak dikenal dan keberadaannya tidak disadari oleh siapapun. Hingga Tiffany hadir dalam hidupnya. Tiffany mengingatkan Vino akan keinginannya untuk diperhatikan dan dilihat. Ia ingin Tiffany menyadari keberadaannya dan senantiasa mengarahkan pandangannya padanya. Senantiasa tersenyum dan tertawa padanya. Ia tahu kalau ia rela melakukan apapun untuk itu. Ia tidak akan bisa kehilangan, atau sekedar menjauh dari Tiffany.
Tetapi bagaimana jika Tiffany justru tersiksa karenanya? Seperti saat ini? Pada akhirnya ia hanyalah bahan olokan dan permainan dimanapun ia berada.
“Cukup..” Suara lirih Tiffany tenggelam oleh gelak tawa keempat gadis tersebut. Bahkan Vino hampir tidak mendengar bisikan tersebut.
“Jangan tertawakan dia!” Bentakan tiba-tiba Tiffany sukses menghentikan tawa mereka. Salah satu dari mereka berdiri dan mendekat ke arahnya. Menatap tepat ke arah mata Tiffany.
“Sepertinya kau cukup kelewatan. Apa kau berniat membuat semacam pertunjukan disini?” bisiknya dengan nada berbahaya.
Gelengan ciut dan pelan Tiffany membuatnya kembali duduk di tempatnya.
“Lepaskan saja dia. Tak usah peduli dengan apa yang akan kami lakukan dengan foto itu. Kau pasti bisa mendapat penggantinya dengan mudah. Kau tak perlu menjadi pelayan kantin kami selama sebulan hanya untuk menghapus foto itu,” katanya sambil menyeruput minumannya.
“Bahkan lebih baik jika kau berteman dengan kami. Berhentilah bergaul dengan pria culun sepertinya. Ia hanya merusak imejmu,” timpal yang lain.
Vino sudah merasa cukup dengan apa yang didengarnya. Ia berdiri dan bergerak menjauh saat Tiffany menggeleng lagi. Kali ini ia menggeleng dengan keras. Vino yang emosinya campur aduk melangkah keluar dari kantin dengan tergesa-gesa. Takut, marah, gelisah, trauma, semuanya menjadi satu. Orang yang dicintainya mengalami hal buruk karena masa lalunya. Bagaimana ia harus bersikap pada Tiffany? Untuk saat ini ia memilih untuk pura-pura tidak tahu dan memikirkan solusinya setelah perasaannya membaik. Ia belum siap kehilangan kekasihnya.
Vino yang telah menjauh tidak menyaksikan Tiffany yang mengangkat kepalanya ke arah mereka yang mengolok-oloknya dan tersenyum.
“Vino tidak culun. Dia adalah pria terhebat yang pernah kukenal. Aku mencintainya dan kalian tidak akan kubiarkan menyakitinya.”
\*
Vino menyandarkan tubuhnya di gerbang. Dipejamkannya matanya. Dirasakannya angin semilir malam yang menyapu rambutnya. Pikirannya berkecamuk hingga kehadiran Tiffany yang terengah-engah di sampingnya tidak dapat ia sadari.
“Kak Vino! Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?” Tiffany yang menarik lengannya membawa Vino kembali kepada kenyataan.
“Oh, maaf. Ponselku kehabisan baterai,” cicit Vino sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa tidak bisa menatap kekasihnya hingga ia merasa tangan Tiffany yang berada di lengannya gemetar.
Tiffany menangis.
“Ke, kenapa kau menangis!?”
"Maaf, maaf kak.. Aku membuatmu menunggu terlalu lama. Seharusnya kau tidak perlu menungguku selama ini. Kau harusnya pulang sendiri. Hiks." Tiffany terisak dan menyandarkan kepalanya di bahu Vino. Air matanya tumpah begitu saja. Ia merasa lelah, merasa sakit. Tapi ia juga merasa lega karena Vino tidak meninggalkannya. Ia merasa lebih kuat dan percaya diri untuk menjalani hal ini sedikit lebih lama.
Vino menghembuskan nafas panjang. Ia menarik tubuh Tiffany ke dalam pelukannya. Tiffany yang terkejut semakin tak dapat menghentikan tangisnya. Isakannya teredam oleh bahu lebar Vino yang tak banyak disadari orang. Tiffany suka saat ia mendapati hal-hal tersembunyi milik kekasihnya. Ia suka saat ia menjadi satu-satunya yang mengetahui kalau Vino bertubuh atletis, berbahu lebar, bermata indah dibalik kacamatanya, dan beraroma menenangkan. Tiffany begitu mencintainya. Ia tak akan membiarkan prianya disakiti siapapun.
"Maaf.. Maaf.. " Bisikan lirih Vino yang sejak tadi tidak terdengar karena isak tangisnya mulai jelas di telinga Tiffany.
"Kenapa kak Vino yang meminta maaf?" Tanya Tiffany bingung setelah berhasil menghentikan tangisnya sendiri walau ia masih enggan menarik dirinya dari rengkuhan hangat Vino. Vino yang hanya diam dan semakin mengeratkan pelukannya membuat Tiffany terenyuh. Prianya jelas sedang terganggu akan suatu hal. Tapi sepertinya ia tidak berniat membicarakannya. Setidaknya untuk saat ini. Maka Tiffany akan memberikannya kenyamanan sebagaimana yang diberikan Vino padanya. Rasa nyaman yang membuatmu merasa kuat.
"Tenanglah, aku ada disini bersamamu," bisik Tiffany lembut.
Bisikan tersebut semakin menguatkan tekad Vino untuk bergerak. Ia tahu betul bahwa melepaskan Tiffany tidak akan bisa ia lakukan. Berarti solusi yang tertinggal adalah dirinya yang harus berubah. Berubah hingga berada di titik dimana tidak ada seorangpun yang dapat merendahkannya, mempermainkannya, atau menjadikannya bahan olokan. Tidak lagi. Ia tidak akan membiarkan siapapun merendahkan dirinya dan orang-orang yang dicintainya karena kekurangannya. Ia akan menghadapi masa lalunya jika itu memang dibutuhkan. Ia siap melangkahkan kakinya.
Pelan, ia melepaskan pelukannya dan meraih tangan Tiffanynya.
"Ayo pulang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Asmanu Khair
Hi thor, salam pembaca baru
2020-12-13
1
Henny Christiyanto
nyimak dulu thor..
2020-12-11
1
Adel
mampir di karyaku juga yah...
salam
RINDUKU DI UJUNG SURGA...
2020-12-09
1