NovelToon NovelToon

Change

1. Aku Harus Berubah

Vino menunggu kekasihnya di gerbang depan universitas seperti biasa. Diliriknya jam tangannya, jam 17.00 WIB. Kekasihnya terlambat lagi.

“Kak Vino.”

Vino tersentak menyadari keberadaan gadis yang berhenti sambil terengah-engah di sampingnya. Ia membalikkan badan kearahnya dengan segera dan dengan gugup membenarkan kacamata besarnya. Kurang lebih sudah satu tahun ia berpacaran dengan gadis ini, tetapi belum juga bisa terbiasa saat berdekatan dengannya. Segala sesuatu masih terasa begitu istimewa dan indah untuk menjadi nyata. Bahkan kegundahannya atas keterlambatan kekasihnya akhir-akhir ini sirna begitu saja.

“Maaf kak, aku telat lagi.” Si gadis mengatupkan kedua tangannya memohon maaf di sela-sela nafasnya. Dia manis sekali, pikir Vino. Tentu saja, gadisnya merupakan salah satu gadis populer di kampus mereka. Dan ia adalah salah satu dari sekian pria yang tersihir oleh pesonanya. Perasaan Vino yang terus tumbuh mendorongnya untuk mengungkapkan perasaan tanpa mengharapkan reaksi positif dalam bentuk apapun. Ia hanya bertekad ingin memberitahu sang gadis akan keberadaannya dan perasaannya. Tetapi siapa sangka ia malah diterima? Dan disinilah ia sekarang, tak bisa berhenti kagum dengan ekstensi gadis ini disampingnya.

“Tidak, itu tidak masalah. Ayo pulang”. Vino tersenyum sambil meraih tangan gadisnya dan menggenggamnya erat. Gadisnya tersipu dengan perlakuannya. Reaksi menggemaskan yang belum juga pudar bahkan setelah satu tahun hubungan mereka.

“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tawar Vino di tengah langkah mereka yang bersisian.

“Yeay! Temani aku ke supermarket!”

Vino tersenyum mengikuti gadisnya yang berlari sambil menarik tangannya dengan bersemangat. Hari ini juga telah menjadi hari yang sempurna.

\*

Sore ini Vino kembali menemukan dirinya menunggu di gerbang depan universitas. Ia berkali-kali melirik jamnya dan sadar kalau gadisnya lebih terlambat dari biasanya. Nalurinya mulai berkata bahwa ada sesuatu yang salah. Tangan kanannya bergerak merogoh saku dan meraih handphone. “Sial,” gumam Vino lirih saat menemukan handphonenya mati karena kehabisan daya.

Matahari yang mulai terbenam mendorong Vino untuk bergerak mencari gadisnya, Tiffany. Tujuan awalnya adalah ruang kelasnya. Kosong. Ia mengarahkan kakinya menuju perpustakaan. Nihil, hanya ada beberapa orang yang tidak dia kenal. Vino menarik nafasnya perlahan, mencoba mengabaikan kekhawatiran yang mulai menggerogoti pikirannya. Apakah Tiffany sedang duduk di suatu tempat bersama temannya? Atau apakah dia sedang memiliki urusan dengan pembimbingnya? Menelusuri seluruh kampusnya terdengar seperti sebuah ide yang cukup baik, tetapi Vino tidak yakin berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu.

Vino memutuskan untuk memeriksa kantin sebagai tujuan akhirnya. Jika ia masih tidak dapat menemukan Tiffany, ia akan berasumsi bahwa gadisnya tersebut memiliki urusan penting yang harus diselesaikannya di suatu tempat. Mungkin juga gadisnya sebenarnya telah mencoba menghubunginya. Ia akan segera pulang untuk mengisi daya ponselnya, menghubungi kekasihnya, dan memastikan ia baik-baik saja.

Kantin masih terlihat cukup ramai bahkan saat langit mulai dipenuhi bercak-bercak kemerahan seperti saat ini. Vino memicingkan matanya mencari keberadaan Tiffany diantara para pengunjung kantin. Berkali-kali ia memperbaiki letak kacamata besarnya sambil melangkah perlahan. Hatinya bersorak lega saat akhirnya ia melihat sosok pujaan hatinya dalam keadaan baik-baik saja.

“Tiff..”

Tiffany yang terlihat begitu tergesa-gesa, rambutnya yang berantakan, dan lengannya yang penuh dengan berbagai macam roti sukses membuat Vino mengerem pergerakan lengannya yang akan melambai memanggil kekasihnya. Kondisi Tiffany saat ini tidak terlihat baik-baik saja, dan mungkin alasannya adalah hal yang sama dengan penyebab keterlambatan Tiffany akhir-akhir ini. Vino memutuskan untuk mengamati kekasihnya dan menemukan alasan tersebut.

Tiffany berlari menuju salah satu meja yang diisi 4 orang mahasiswi berpenampilan modis. Kontras dengannya yang sederhana dan memancarkan kesan kecantikan yang polos. Vino melepas kacamatanya, kemudian ikut bergerak mendekat dengan natural dan duduk di salah satu meja di dekat mereka, mengeluarkan buku dari tasnya dan berusaha tidak terlihat mencolok. Ia mendapati Tiffany meletakkan semua makanan di lengannya ke atas meja 4 mahasiswi tersebut.

“Kau lama sekali,” sewot salah satu dari mereka.

“Maaf, sore ini kantin cukup ramai. Aku harus mengantri lama untuk mendapatkan semua roti yang kalian inginkan,” jawab Tiffany pelan. Ia dapat merasakan tatapan penasaran dari beberapa pengunjung kantin diarahkan padanya.

“Ck,” jawab yang lainnya sambil mengambil salah satu dari makanan itu.

“Kalau begitu aku pamit dulu. Kak Vino pasti sudah menungguku sejak tadi,” pamit Tiffany.

“Hey Tiffany, sampai kapan kau mau berkorban begini demi pria culun itu?” Pertanyaan yang dilontarkan salah satu dari mereka menghantam kepala Vino dengan keras. Berkorban? Untuknya? Tentu saja, satu-satunya pria culun yang berada di sekitar Tiffany adalah dirinya.

“Betul, betul. Sampah seperti itu tidak harus dipertahankan hingga merelakan harga dirimu sendiri.”

“Kalau begitu berjanjilah untuk tidak lagi menjadikannya bahan mainan kalian,” Tiffany berkata lirih.

“Oh, Tuhan! Kami bahkan tidak menyentuhnya! Kami hanya kebetulan mendapatkan fotonya saat SMP yang mengenakan seragam Bunny Girl! Hmph… Hahahahahahah.” Tiffany mengepalkan tangannya saat olokan tersebut berlanjut menjadi tertawaan bagi mereka.

Vino gemetar dan berkeringat mendengar hal tersebut. Bagaimana bisa foto itu tersebar? Dirinya yang dulu adalah bocah bodoh, naif, dan rela melakukan apapun untuk mendapatkan teman. Pada akhirnya ia hanya digunakan teman-temannya sebagai objek untuk dipermalukan dan dipermainkan. Digunakan hanya saat dibutuhkan. Diperas dan dimanfaatkan dengan bungkusan kata ‘teman’. Ia pasti telah hancur jika Andrew-temannya sejak kecil-tidak menyadarkannya dan menariknya menjauh.

Belajar dari pengalaman, Vino mulai menutup dirinya saat SMA dan memilih universitas yang jauh untuk kuliah. Ia ingin melupakan masa lalunya dan menjadi manusia baru yang tidak dikenal dan keberadaannya tidak disadari oleh siapapun. Hingga Tiffany hadir dalam hidupnya. Tiffany mengingatkan Vino akan keinginannya untuk diperhatikan dan dilihat. Ia ingin Tiffany menyadari keberadaannya dan senantiasa mengarahkan pandangannya padanya. Senantiasa tersenyum dan tertawa padanya. Ia tahu kalau ia rela melakukan apapun untuk itu. Ia tidak akan bisa kehilangan, atau sekedar menjauh dari Tiffany.

Tetapi bagaimana jika Tiffany justru tersiksa karenanya? Seperti saat ini? Pada akhirnya ia hanyalah bahan olokan dan permainan dimanapun ia berada.

“Cukup..” Suara lirih Tiffany tenggelam oleh gelak tawa keempat gadis tersebut. Bahkan Vino hampir tidak mendengar bisikan tersebut.

“Jangan tertawakan dia!” Bentakan tiba-tiba Tiffany sukses menghentikan tawa mereka. Salah satu dari mereka berdiri dan mendekat ke arahnya. Menatap tepat ke arah mata Tiffany.

“Sepertinya kau cukup kelewatan. Apa kau berniat membuat semacam pertunjukan disini?” bisiknya dengan nada berbahaya.

Gelengan ciut dan pelan Tiffany membuatnya kembali duduk di tempatnya.

“Lepaskan saja dia. Tak usah peduli dengan apa yang akan kami lakukan dengan foto itu. Kau pasti bisa mendapat penggantinya dengan mudah. Kau tak perlu menjadi pelayan kantin kami selama sebulan hanya untuk menghapus foto itu,” katanya sambil menyeruput minumannya.

“Bahkan lebih baik jika kau berteman dengan kami. Berhentilah bergaul dengan pria culun sepertinya. Ia hanya merusak imejmu,” timpal yang lain.

Vino sudah merasa cukup dengan apa yang didengarnya. Ia berdiri dan bergerak menjauh saat Tiffany menggeleng lagi. Kali ini ia menggeleng dengan keras. Vino yang emosinya campur aduk melangkah keluar dari kantin dengan tergesa-gesa. Takut, marah, gelisah, trauma, semuanya menjadi satu. Orang yang dicintainya mengalami hal buruk karena masa lalunya. Bagaimana ia harus bersikap pada Tiffany? Untuk saat ini ia memilih untuk pura-pura tidak tahu dan memikirkan solusinya setelah perasaannya membaik. Ia belum siap kehilangan kekasihnya.

Vino yang telah menjauh tidak menyaksikan Tiffany yang mengangkat kepalanya ke arah mereka yang mengolok-oloknya dan tersenyum.

“Vino tidak culun. Dia adalah pria terhebat yang pernah kukenal. Aku mencintainya dan kalian tidak akan kubiarkan menyakitinya.”

\*

Vino menyandarkan tubuhnya di gerbang. Dipejamkannya matanya. Dirasakannya angin semilir malam yang menyapu rambutnya. Pikirannya berkecamuk hingga kehadiran Tiffany yang terengah-engah di sampingnya tidak dapat ia sadari.

“Kak Vino! Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?” Tiffany yang menarik lengannya membawa Vino kembali kepada kenyataan.

“Oh, maaf. Ponselku kehabisan baterai,” cicit Vino sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain. Ia merasa tidak bisa menatap kekasihnya hingga ia merasa tangan Tiffany yang berada di lengannya gemetar.

Tiffany menangis.

“Ke, kenapa kau menangis!?”

"Maaf, maaf kak.. Aku membuatmu menunggu terlalu lama. Seharusnya kau tidak perlu menungguku selama ini. Kau harusnya pulang sendiri. Hiks." Tiffany terisak dan menyandarkan kepalanya di bahu Vino. Air matanya tumpah begitu saja. Ia merasa lelah, merasa sakit. Tapi ia juga merasa lega karena Vino tidak meninggalkannya. Ia merasa lebih kuat dan percaya diri untuk menjalani hal ini sedikit lebih lama.

Vino menghembuskan nafas panjang. Ia menarik tubuh Tiffany ke dalam pelukannya. Tiffany yang terkejut semakin tak dapat menghentikan tangisnya. Isakannya teredam oleh bahu lebar Vino yang tak banyak disadari orang. Tiffany suka saat ia mendapati hal-hal tersembunyi milik kekasihnya. Ia suka saat ia menjadi satu-satunya yang mengetahui kalau Vino bertubuh atletis, berbahu lebar, bermata indah dibalik kacamatanya, dan beraroma menenangkan. Tiffany begitu mencintainya. Ia tak akan membiarkan prianya disakiti siapapun.

"Maaf.. Maaf.. " Bisikan lirih Vino yang sejak tadi tidak terdengar karena isak tangisnya mulai jelas di telinga Tiffany.

"Kenapa kak Vino yang meminta maaf?" Tanya Tiffany bingung setelah berhasil menghentikan tangisnya sendiri walau ia masih enggan menarik dirinya dari rengkuhan hangat Vino. Vino yang hanya diam dan semakin mengeratkan pelukannya membuat Tiffany terenyuh. Prianya jelas sedang terganggu akan suatu hal. Tapi sepertinya ia tidak berniat membicarakannya. Setidaknya untuk saat ini. Maka Tiffany akan memberikannya kenyamanan sebagaimana yang diberikan Vino padanya. Rasa nyaman yang membuatmu merasa kuat.

"Tenanglah, aku ada disini bersamamu," bisik Tiffany lembut.

Bisikan tersebut semakin menguatkan tekad Vino untuk bergerak. Ia tahu betul bahwa melepaskan Tiffany tidak akan bisa ia lakukan. Berarti solusi yang tertinggal adalah dirinya yang harus berubah. Berubah hingga berada di titik dimana tidak ada seorangpun yang dapat merendahkannya, mempermainkannya, atau menjadikannya bahan olokan. Tidak lagi. Ia tidak akan membiarkan siapapun merendahkan dirinya dan orang-orang yang dicintainya karena kekurangannya. Ia akan menghadapi masa lalunya jika itu memang dibutuhkan. Ia siap melangkahkan kakinya.

Pelan, ia melepaskan pelukannya dan meraih tangan Tiffanynya.

"Ayo pulang."

2. Saran dan Dilema (1)

Vino menjatuhkan tubuh ke kasur bersama pikiran dan emosinya yang terus bercampur aduk. Ia telah mengambil keputusan untuk berubah. Tetapi tetap saja rasa takut dan traumanya membuatnya tidak memiliki kepercayaan diri untuk membuka dirinya lagi. Ia tahu dirinya tidak akan bisa berubah jika terus tertutup seperti ini. Ia harus mulai memutuskan sesuatu untuk dilakukan. Suatu usaha untuk mengembangkan potensi dirinya dan menumbuhkan kepercayaan dirinya kembali. Suatu posisi dan kekayaan yang cukup hingga membuatnya tidak lagi merasa terancam dengan hal-hal dari masa lalunya.

Tetapi apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia mulai dan bagaimana memulainya? Ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membangun suatu usaha. Tidak juga memiliki koneksi yang cukup untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya. Dan lagi sebenarnya bakat seperti apa yang ia miliki? Ia bahkan tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Cita-citanya selama ini hanyalah hidup dengan tenang sambil bekerja sebagai karyawan kantoran biasa dengan gaji rata-rata. Atau setahun terakhir ini cita-citanya memiliki sedikit detail tambahan, yaitu keberadaan Tiffany di sampingnya.

Tetapi ternyata itu tidak cukup.

Vino mereset seluruh mimpinya akan ketenangan dan kedamaian. Ia harus berada di puncak.

Terlalu lelah dengan pikirannya membuat Vino jatuh tertidur.

\\*

Terbangun oleh aroma makanan yang membuat perutnya berbunyi, Vino sadar ia butuh makan malam. Diliriknya jam dinding, pukul 23:04. Ia tertidur cukup lama.

Vino bangkit sambil mengucek matanya. Ia bergerak keluar dari kamar dan menemukan Andrew yang duduk di depan televisi dengan segelas kopi di tangannya.

“Hey, kau bangun?” Sapanya. “Kau tertidur tanpa melepas kaus kaki kotormu.”

“Kapan kau datang?” tanya Vino. Berjalan mengabaikan desisan jijik Andrew.

“Sudah sejak tadi.” Andrew bangkit mengikuti Vino menuju ruang makan.

“Aku membeli pizza untuk kita berdua. Tapi kau tertidur bagai kucing kekenyangan. Aku tidak suka makan sendirian, kau tau itu.”

“Padahal kau bisa makan apapun yang kau mau ditemani para pelayanmu di rumahmu. Atau mengundang para wanita ke apartemenmu. Kenapa kau harus mengacau di rumahku?” Vino bertanya setengah tak peduli sambil mendudukkan dirinya di meja makan.

“Kau menyuruhku makan dipenjara itu? Lebih baik aku tidak makan berhari hari,” sewot Andrew sambil ikut duduk dan meraih kotak pizzanya.

Mereka menikmati pizza masing-masing dengan tenang. Atau terlihat seperti itu, tetapi Andrew dapat melihat dengan jelas kegelisahan Vino. Selain Tiffany, yang mengetahui kebiasaan Vino memperbaiki kacamatanya berulang-ulang saat sedang gelisah atau memikirkan sesuatu adalah Andrew.

“Jadi, apa kau bersedia membagi apa yang sedang kau pikirkan?” kata Andrew setelah pizza mereka habis. Vino mengulum senyumnya sejenak. Merasa bodoh telah berusaha bersikap tenang. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatnya ini.

“Kalau kuceritakan, apakah kau bisa menjamin akan terselesaikan?” tanyanya.

“Entahlah, tapi kurasa aku bisa membantu.” Andrew mengangkat bahunya sekilas sebelum menyeruput minumannya.

“Bantuan seperti apa?” kejar Vino.

“Money, Dude. I’ve a lot. Kau tahu itu,” sahut Andrew dengan tenang. Vino mencibir tapi tak dapat menyangkal sahabat kaya sialannya.

Vino menarik nafas panjang.

“Andrew, tolong ubah diriku.”

Ia menyuarakan permintaan itu terlampau lirih hingga mirip sebuah doa.

Tetapi perkataan Vino cukup jelas untuk didengar Andrew yang nyaris tersedak minumannya. Ini sungguh diluar ekspektasinya. Ia tahu betul segala yang dialami Vino hingga menimbulkan trauma padanya. Vino yang menutup dirinya adalah salah satu alasan utama ia masuk ke kampus yang sama. Ia merasa harus selalu berada di samping Vino sebagai temannya. Alasan yang tidak akan pernah ia beritahukan pada Vino. Menjauh dari tekanan keluarganya adalah alasannya yang Vino ketahui. Tentu itu juga penting untuknya, tapi sejujurnya ia tidak terlalu peduli dengan keluarganya.

Andrew menghentikan minumnya, meletakkan gelasnya, dan mulai menatap tajam ke arah Vino.

“Ada apa denganmu? Apakah kau sakit atau semacamnya? Bukankah kau selalu mengumbar cita-cita hidupmu yang sempurna bersama Tiffany?!” Andrew menatap Vino dengan kekhawatiran berlebihan yang dibuat-buat.

“Hentikan tatapanmu itu,” ujar Vino jengah.

“Oh, apa kau putus dengan Tiffany?”Andrew berlagak hati-hati dengan mencondongkan tubuhnya ke arah Vino dan bertanya dengan suara berbisik. Vino mendelik ke arahnya.

“Tentu saja itu tidak akan terjadi,” bantahnya cepat.

Andrew menaikkan alisnya, menyuarakan pertanyaan tanpa suara. Perlahan Vino mulai menceritakan perihal keterlambatan kekasihnya akhir-akhir ini, alasan keterlambatan tersebut, dan keinginannya untuk berubah.

Andrew mengangguk-ngangguk paham.

“Kau tau? Kurasa kau tau. Aku bisa saja memberikanmu fasilitas dan pekerjaan tetap dengan gaji yang memadai. Aku cukup mengenalmu untuk mengetahui pekerjaan yang sesuai denganmu. Tapi aku juga cukup mengenalmu untuk mengetahui bahwa kau lebih menyukai sesuatu yang kau dapatkan dengan usahamu sendiri,” kata Andrew sebelum kembali menyeruput minumannya.

“Kau benar. Tetapi aku bahkan tidak tahu potensi atau kemampuan yang bisa kugunakan untuk memulai sesuatu. Itulah yang sedang kupikirkan. Menurutmu apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku harus memulainya?” tanya Vino.

“Hmm, kurasa aku bisa membantumu sedikit. Setidaknya sampai kau menemukan apa yang benar-benar ingin kau lakukan.” Seringai Andrew semakin lebar saat melihat mata Vino yang mulai berbinar.

\\*

“Kemana kita akan pergi?” tanya Vino.

“Lihat saja, kita akan menyelesaikan masalahmu dengan jalan tercepat,” Andrew menyeringai di balik setir mobilnya. Ia membelah jalanan sunyi malam itu dengan kencang. Ia merasa sangat bersemangat. Jarang-jarang Vino membutuhkan bantuan darinya. Padahal ia merasa dirinya selalu merepotkan sahabatnya ini. Ia bukanlah pribadi tertutup seperti Vino, tetapi ia terus menemukan dirinya kembali pada Vino. Ia muak dengan kepalsuan yang ditunjukkan mereka yang mengelilinginya semata-mata karena suatu tujuan. Tetapi tidak dapat melepaskan mereka di saat bersamaan. Relasi yang luas adalah salah satu senjatanya agar keluarganya tidak dapat mengendalikannya sesuka mereka. Saat ia lelah, ia akan datang pada Vino, dan Vino akan menerimanya.

Kali ini ia yang akan membantu.

“Kau mengemudi terlalu cepat!” Andrew tergelak mendengar protes Vino.

“Kau takut? Kau mulai bertingkah seperti Tiffany.” Vino hanya memutar matanya mendengar ejekan Andrew.

Mobil melaju kencang hingga mereka sampai di suatu perumahan elit.

“Apakah kita akan melakukan kunjungan malam hari ke rumah seseorang?” tanya Vino tidak yakin. Ini sudah lewat tengah malam. Yang benar saja.

“Ya, tapi tenang saja. Dia seseorang yang kukenal. Dan aku sudah memberitahunya bahwa kita akan datang,” sahut Andrew.

Mereka berhenti didepan rumah besar yang indah bergaya Eropa klasik yang terlihat asri.

(Di siang hari akan terlihat seperti ini)

Andrew menekan klakson dan membuka kaca jendela mobilnya saat satpam menghampiri mereka. Satpam tersebut yang melihat wajah Andrew segera bergerak membuka gerbang tanpa banyak bertanya. Mobil Andrew masuk dan parkir di salah satu sudut halaman.

“Ayo turun,” ajaknya. Vino menurut pada Andrew untuk turun dan berjalan mengikuti langkahnya.

Pintu besar rumah itu sudah terbuka bahkan sebelum mereka sampai didepan pintunya. Yang berdiri didepan pintu adalah seorang pria tua yang Vino taksir umurnya menjelang 50 tahun.

“Aku datang, Paman.” Andrew tersenyum lebar.

“Kau benar-benar mengganggu waktu tidur pria tua sepertiku.” Pria tua tersebut mendengus kesal ke arah Andrew, tetapi Vino dapat melihat kehangatan pada tatapannya.

“Ini pamanku yang sering kuceritakan. Satu-satunya keluargaku yang paling bisa kuajak bicara.”

Vino mengangguk paham. Andrew memang sering menceritakan pamannya yang memilih jalannya sendiri dan tidak mengikuti arus bisnis keluarga. Andrew sangat mengidolakan dan selalu mengandalkan pamannya. Vino menghormatinya karena itu. Ia menjabat tangan paman Andrew tersebut.

“Ayo masuk,” ajak paman Andrew kepada mereka berdua.

Vino sebelumnya sudah pernah berkunjung ke rumah Andrew, tapi tetap saja ia tak bisa terbiasa dengan kehidupan orang-orang kaya. Bagaimana bisa bangunan sebesar ini disebut rumah?

Mereka berhenti di ruang keluarga yang terlalu luas hanya untuk diisi sofa berwarna abu-abu senada.

“Duduklah.”

Vino dan Andrew duduk setelah dipersilahkan. Tuan rumah memanggil salah satu pelayan dan berbicara beberapa hal yang tidak dapat didengar mereka. Setelah usai, ia ikut duduk di hadapan mereka.

“Jadi mari kudengar apa yang membuat bocah sialan satu ini akhirnya datang menemuiku lagi setelah sekian lama,” ujar paman Andrew sambil tersenyum hangat.

“Paman, ini Vino. Temanku yang pernah kuceritakan, dan sekarang aku meminta bantuanmu untuk dirinya.” Vino mengumpat didalam hati berkat penyampaian Andrew yang blak-blakan.

“Apa yang bisa kulakukan?"

“Tolong bantu ia untuk menemukan pekerjaan yang cocok untuknya saat ini.”

“Bukannya kau temannya?”

“Aku memiliki beberapa pemikiran. Tapi kurasa akan lebih efektif jika Paman yang memutuskannya.”

Pamannya mengangguk paham.

“Boleh kudengar sedikit tentangnya? Tentang apa yang dia lakukan?”

Andrew mengangguk. “Dia mahasiswa fakultas ekonomi di universitasku. Tapi dia memilih jurusan itu bukan karena tertarik, melainkan karena anjuran keluarganya. Dia bekerja part time di supermarket untuk membiayai kehidupan sehari-harinya. Dia juga memiliki kekasih yang amat sangat dicintainya. Dia merasa puas dengan kehidupannya sampai sesuatu terjadi dan membuatnya merasa harus berubah.”

Paman Andrew mulai mengarahkan pandangannya ke arah Vino.

“Kau tau kan nak, kalau memulai sesuatu itu tidak mudah?”

“Tentu saja paman, dan aku telah menyiapkan mentalku untuk itu,” jawab Vino tegas.

“Baiklah. Suatu usaha pasti membutuhkan modal awal. Kalau kau tidak memiliki uang, berarti kau harus memanfaatkan fisik,” kata pamannya sebelum memperhatikan Vino dengan lekat. Ia mengusap-ngusap dagunya beberapa saat,

“Coba berdiri dan rentangkan tanganmu.”

Vino menurut.

“Berapa tinggimu?"

“183 cm."

“Beratmu?”

“Aku jarang menimbangnya. Tetapi mungkin sekitar 71 atau 72 kg.”

“Kau berolahraga?”

“Aku hanya berusaha rutin berlari setiap hari paling sedikit satu jam. Oh, terkadang aku berenang atau pergi ke gym di hari minggu.”

Paman Andrew bergerak mendekati Vino dan melepas kacamatanya, menyibak poninya. Vino yang terkejut refleks menepis tangannya.

“Eh.. Ma, maaf Paman,” kata Vino segera setelah menyadari tindakan frontalnya.

“Tak apa,” jawab pamannya sambil mengibaskan tangannya dan kembali duduk.

“Bagaimana paman?” tanya Andrew tak sabar.

Pamannya tersenyum.

“Bagaimana kalau ia mencoba menjadi model?”

3. Saran dan Dilema (2)

“Hoaahm. Sial, mataku berat sekali.” Andrew menguap dan menggerutu untuk kesekian kalinya. Tangan kanannya bergerak mengacak-ngacak rambutnya yang telah berantakan sejak awal, sedangkan tangan kirinya menyusup masuk ke dalam saku jaket kulit hitamnya. Tubuhnya hanya dibalut kaus dan jins hitam yang melekat di kaki panjangnya dengan cara yang menggoda mengiringi setiap langkahnya. Vino yang diam-diam memperhatikan takjub dengan cara Andrew menyedot perhatian di lorong tersebut hanya dengan gerakan-gerakan kecilnya.

“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak perlu ikut. Kau yang memaksa,” sahut Vino sambil mengabaikan tatapan-tatapan penasaran ke arah mereka. Lebih tepatnya ke arah teman sialan yang sedang berjalan bersisian dengannya. Vino tidak pernah nyaman menjadi pusat perhatian. Tetapi tidak akan ada yang berani mengusiknya selama ia menyandang status sebagai ‘teman’ seorang Andrew, dan ia harus menyatakan kepemilikannya atas Tiffany. Dua alasan ini membuatnya sanggup bertahan berjalan bersama dua magnet kampus tersebut.

“Memangnya apa yang akan kau lakukan kepada gadis-gadis itu tanpaku, hm? Kau pasti berniat untuk bicara baik-baik dan meminta mereka menghapus foto itu.”

“Tentu saja. Kurasa akan lebih baik jika diselesaikan dengan suatu kesepakatan. Tiffany tidak perlu terkena imbasnya.”

“Kau terlalu polos, Vino. Hoaahm. Kau kira mereka yang melakukan hal-hal sinting seperti memperbudak orang lain bisa diajak bicara? Serahkan padaku dan pahami bagaimana cara menghadapi orang sinting.” Mereka berdua berbelok menyusuri halaman kampus menuju kelas Tiffany.

“Aku berharap mereka benar-benar sekelas dengan Tiffany,” gumam Vino.

“Dan jika ternyata tidak? Bagaimana kau akan mencarinya?”

Vino tak dapat mengutarakan jawaban apapun selain, “Mungkin saat itu akan akan membutuhkan bantuanmu.”

Andrew bergerak merangkul Vino dengan kasar. “Ck, jawaban bagus, tapi kurang tepat. Berhentilah merasa merepotkanku. Kau membuatku kesal.”

“Oke, oke. Lepaskan aku, An. Aku minta maaf.” Andrew menyeringai sebelum melepaskan lengannya dari leher Vino. Wajah Vino yang memerah dan bersungut-sungut membuatnya tergelak.

“Kak Vino! Andrew!” Seruan itu menghentikan langkah mereka. Vino dengan sumringah berbalik ke arah sumber suara yang sudah sangat dikenalnya itu diikuti Andrew. Pemilik suara berlari kecil menghampiri dan tersenyum lebar di depan mereka.

“Apa yang kalian berdua lakukan di dekat kelasku?” Pancaran aura ceria Tiffany otomatis mengundang senyum di wajah Vino. Sejenak ia melupakan kekhawatirannya. Ia menepukkan tangannya lembut ke kepala kekasihnya.

“Kami memang akan mengunjungimu.”

“Andrew juga?” Tiffany memiringkan kepalanya ke arah Andrew dengan ekspresi bingung.

“Kenapa kau terlihat sebingung itu? Dan sudah kubilang panggil aku juga dengan ‘kak’.”

“Hahahaha. Kau kan tidak suka berjalan-jalan di kampus. Atau para penggemarmu akan menggila di sekelilingmu.”

“Kau berkata seakan para penggemarmu hanyalah angin lalu.”

“Aku sudah punya pacar. Mereka tidak akan menggangguku.” Tiffany bergerak merangkul erat lengan Vino sambil menjulurkan lidahnya kepada Andrew.

Andrew menggerutu di dalam hati sebelum bergerak mensejajari langkah kedua temannya yang melangkah bersama.

Diperhatikannya Tiffany yang berbicara pada Vino dengan pipinya yang merona. ‘Syukurlah, ia terlihat baik-baik saja,’ batin Andrew. Cerita Vino kemarin tentu turut membuatnya mengkhawatirkan Tiffany. Bagaimanapun Tiffany juga berharga untuknya. Bukan hanya karena ia kekasih sahabatnya, tetapi Tiffany juga teman yang sangat berharga baginya. Teman yang tidak mengharapkan apapun darinya.

Mereka hampir sampai ke kelas Tiffany saat, “Aw!” Seorang gadis cantik berambut coklat panjang yang baru saja keluar dari kelas sukses bertubrukan dengan Vino di depan pintu.

“Ah, kau tidak apa-apa?” Vino bergerak menunduk dengan khawatir.

“Maaf, salahku terburu-buru. Eh..”

“Andrew!” Matanya langsung berbinar saat menemukan keberadaan Andrew di samping Vino. Sepertinya tubuh Vino yang sebenarnya sama besarnya dengan Andrew menjadi tidak terlihat. Ia langsung memeluk lengan Andrew dan melemparkan senyuman menggoda.

“Kau datang mengunjungiku?” Matanya yang besar dan indah menatap Andrew dengan pandangan memuja yang berlebihan. Andrew hanya meliriknya sekilas sebelum menarik lepas lengannya.

“Jangan sentuh aku.” Perkataan ketus Andrew tak membuat gadis itu menyerah.

“Kau tak ingat aku? Kita bermain bersama di klub dua malam yang lalu.” Ia kembali mengaitkan tangannya ke lengan Andrew. Kali ini lebih erat. Orang-orang di sekitar mereka mulai memerhatikan drama mendadak gratis yang tersaji. Terlebih aktornya adalah Andrew.

“Aku tidak mengingat mereka yang tidak penting bagiku. Lepaskan.” Andrew mengeluarkan aura dingin yang dapat dirasakan oleh semua yang berada disana. Tiffany tanpa sadar bergerak merapatkan diri ke arah Vino.

Pandangan mata gadis berambut coklat tadi berubah menunjukkan ketakutan. Dengan gemetar tangannya bergerak melepas lengan Andrew dan segera berlari menjauhi mereka.

“Ck. Ayo masuk. Tiffany, tunjukkan kursimu.” Andrew mengedarkan pandangan tajamnya dan membubarkan kerumunan dengan cepat.

“Oh, benar. Ayo kemari.” Mereka berdua masuk mengikuti langkah Tiffany.

Mata Vino menjelajah kelas Tiffany seiring langkahnya. Tak lama pupilnya melebar melihat seorang gadis modis dengan rambut pirang bergelombang yang tidak akan dilupakannya. Gadis yang kemarin mengolok-ngoloknya itu sedang duduk di pojok kelas dikelilingi teman-temannya. Entah berkat apa yang terjadi, dia benar-benar ada disini. Seketika emosinya kembali naik saat gadis itu menyadari kehadiran mereka dan menatapnya.

Vino menggertakkan giginya. “Andrew,” desisnya pelan. “Gadis itu. Dan teman-temannya.” Andrew mengikuti arah pandang Vino dan menyeringai dingin saat mendapati gadis pirang itu sedang menatap mereka. Ia berbisik pada Vino, “Ok. Ayo kita selesaikan.”

Mereka berbelok lurus menuju gadis pirang dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Tiffany yang menyadari mereka tidak lagi mengikutinya berhenti dan berubah pucat ketika menyadari tujuan sebenarnya Vino dan Andrew. Ia segera berlari untuk menghadang langkah mereka.

“Tung, tunggu. Tempat dudukku di sana.” Keringat Tiffany yang bercucuran, matanya yang gelisah, dan gerakan menghadangnya yang terlihat menyedihkan di depan dua pria bertubuh besar semakin menyulut emosi Vino dan Andrew. Vino meraih gadisnya ke belakang tubuhnya dengan lembut, tapi tatapannya tak lepas dari objek kemarahannya.

“Tenanglah Tiffany.” Suara Andrew sedingin es. “Mereka harus tahu akibat dari mengusikmu.”

Tiffany tidak dapat mengindahkan perasaan aman yang ia rasakan hanya dengan melihat punggung mereka berdua di depannya. Air matanya mulai merembes keluar, mengalir tanpa suara. Entah bagaimana Andrew dan Vino telah mengetahui rahasianya. Ia senang mereka berdua mengetahuinya sehingga ia tidak perlu lagi menyembunyikannya. Tapi bagaimana dengan foto Vino yang mereka miliki?

Tiffany kembali bergerak, kali ini ia memilih membujuk Vino yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendengarkannya. “Vino, hentikan. Kumohon. Dia memiliki fotomu. Kita tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan itu.” Tiffany berbicara dengan bibirnya yang bergetar. Tangannya mencengkram kuat bagian depan kaus yang Vino kenakan. Matanya sarat akan kekhawatiran yang berusaha ia sampaikan.

Vino tertegun menyaksikan keputusasaan kekasihnya. Kepedihan dan rasa sakit menyayat hati dan perasaannya. Dipandanginya tubuh kekasihnya yang kecil dan lembut. Bagaimana bisa gadis bertubuh kecil ini mendeklarasikan diri sebagai pelindungnya? Bagaimana bisa ia menyebabkan rasa sakit dan penderitaan menodai gadisnya? Vino muak dengan dirinya sendiri.

Sementara Vino membatu menghadapi emosinya, Andrew terus merengsek maju hingga sampai tepat di depan gadis berambut pirang. Teman-temannya--sadar atau tidak sadar--bergerak mundur karena terintimidasi dengan tubuh besar Andrew dan auranya yang kuat.

Si Gadis Pirang menggigit bibirnya. Ia menggigil merasakan tatapan Andrew seakan mengulitinya, mengirimkan rasa dingin hingga ke tulangnya.

'Sial, Tiffany—pelacur sialan itu pasti mengadu pada mereka.'

“Apa yang kau inginkan?” Menyembunyikan kegelisahannya, ia mengangkat wajah dan memasang ekspresi angkuh andalannya. Dipojokkan dan diintimidasi bukanlah hal yang disukai Si Gadis Pirang. Mungkin ia akan menyukainya jika mereka berada dalam situasi yang berbeda. Lagipula tidak akan ada wanita sehat yang menolak Andrew.

Berbanding terbalik dengan aura tenang dan berbahaya yang memancar keluar dari tubuhnya, suara Andrew terdengar bagai geraman predator buas yang menahan diri untuk tidak mencabik mangsanya. “Berikan foto Vino yang ada padamu sebelum kau menyesal.”

Perkataan Andrew tersebut menguatkan Vino untuk melangkah. Ia berada disini untuk mengubah dirinya, dan Andrew sedang membantunya. Apa gunanya bertindak seperti seorang pengecut sekarang? Ia menggeser Tiffany kembali, berbisik ketika Tiffany menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan keras kepala. “Melihatnya menyakitimu adalah hal yang lebih buruk bagiku.”

Vino melangkah mensejajarkan diri dengan Andrew, menyadari bahkan bernafas terasa berat di samping temannya. Kelas Tiffany bagai diselimuti keheningan mencekam. Semua orang disana merasa takut hanya untuk sekedar membuang nafas mereka. Manusia sulit untuk menyatukan pikiran, tapi saat itu semuanya memiliki pikiran yang sama:

‘Jangan lakukan apapun yang dapat menarik perhatian Andrew.’

“Kau dengar aku. Berikan foto itu.” Andrew mengulang kalimatnya dengan penekanan di setiap katanya.

Si Gadis Pirang berdecak kesal. Ia merutuk lututnya yang bergetar ketika ia bangkit berdiri dan bersedekap di hadapan mereka berdua. Masa bodoh. Ia tidak harus takut. Keluarganya memiliki pengaruh yang kuat. Walaupun ia tidak yakin jika dibandingkan dengan keluarga Andrew, tapi layak dicoba.

“Foto apa? Sial, kau membuatku terdengar seperti bajingan cabul yang menyimpan foto bocah kacamata ini.” Dengusan jijik dikeluarkannya sambil mengibaskan tangannya ringan di depan wajahnya. Tatapannya berpindah ke arah Vino sebelum melirik Tiffany yang menunduk di balik punggung kekasihnya. “Atau gadis kecil kalian menangis meminta bantuan? Aku tidak tahu apa yang ia katakan pada kalian, tetapi kalian tidak bisa mempercayainya begitu saja tanpa bukti.”

Vino menggigit bibirnya kuat-kuat, menekan dorongan naluriah untuk memukul wajah gadis di depannya.

“HAHAHAHAHAH.” Suara tawa itu berasal dari Andrew. Ledakan tawa yang terdengar bagai vonis hukuman mati bagi gadis angkuh di depan mereka. Kakinya bergerak mundur tanpa ia sadari. Bulu kuduknya merinding diiringi penyesalan mendalam akan tindakannya sebelumnya. Jauh lebih baik jika ia memenuhi keinginan Andrew sejak awal.

Tawa itu berlanjut tanpa ada yang berpikir untuk menginterupsinya, bahkan Vino. Andrew menutup matanya dengan telapak tangannya setelah beberapa saat, medongakkan kepalanya ke langit-langit, mengehentikan tawanya. “Sebenarnya bagaimana rencanamu membuat kesepakatan dengannya, Vino? Dia tidak terlihat memiliki otak atau sejenisnya.”

“Apa yang terjadi disini?” Pertanyaan itu berasal dari seorang dosen yang memasuki kelas Tiffany tanpa mengerti dengan atmosfir menegangkan di kelasnya. Anak-anak didiknya membatu di tempatnya masing-masing, meliriknya dengan pucat seakan ia telah melakukan dosa yang membuatnya layak dikebiri. Ia baru mengerti sepenuhnya alasannya saat menemukan sosok Andrew yang tampak jelas sedang diselimuti kemarahan melirik tajam ke arahnya.

“Oh..” Keluar? Atau berjalan ke mejanya tanpa terlihat peduli? Yang mana tindakan yang benar? Mengusik Andrew berarti menghancurkan pekerjaannya, dan kehancuran pekerjaannya berarti kehancuran keluarga dan kehidupannya. Harga diri tidak akan membantunya saat ini. Ia harus memastikan bocah sombong sialan itu mengabaikannya.

Dosen tersebut mengalihkan pandangan seakan tak melihat apapun, meletakkan buku di mejanya, kemudian mengeluarkan ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Ia berputar bermaksud keluar dari kelas tersebut sambil berusaha terlihat sibuk menelfon seseorang.

“Tunggu.”

Habislah ia.

Ia membalikkan badan kembali ke arah Andrew dan bertanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Ia harus memberikan kesan seakan tidak melihat apapun. Tidak peduli apapun. “Ada apa, Andrew?”

“Kebetulan sekali, Pak. Aku ingin tahu nama gadis ini.”

Dosen itu menatap ke arah gadis yang diisyaratkan Andrew. Ia melihat gadis itu dan memahami ekspresi memohon bantuan yang tergambar di matanya. Tapi ia tahu hal yang harus dilakukannya. Memang sejak awal tidak seharusnya anak didiknya tersebut mengusik Andrew.

“Jazzie Hansen.”

“Nama orangtuanya?”

“Adam Hansen.”

Andrew mengerutkan keningnya, terlihat sungguh-sungguh berpikir. “Kukira aku akan mengenal nama orangtuanya berkat mulut manis putri cantiknya yang membuatku terhibur. Tapi kurasa aku salah. Apa kau pernah mendengarnya, Vino?”

“Tidak. Tapi kurasa ada hubungannya dengan rumah sakit Hansen. Kau tau, kan? Rumah sakit terbaik di sini,” jawab Vino.

“Benarkah?” Andrew kembali menatap Si Gadis Pirang yang wajahnya telah kehilangan warna. Gadis itu membisu. Jawaban yang tak kunjung diberikannya membuat Andrew jengkel. Ia bergerak mendekat dan merendahkan kepalanya hingga sejajar dengan wajah si gadis, berkata rendah dan singkat. “Jawab, pelacur.”

Si Gadis Pirang menggigit bibirnya menahan tangis karena perkataan kasar dan perlakuan dingin Andrew padanya. “Be, benar. Rumah sakit itu milik kami,” jawabnya dengan gemetar. Persetan.

“Oh Tuhan. Gadis ini sudah tidak tertolong. Milik kami katanya? Aku yakin selain ayahmu tidak ada keluargamu yang tau warna dinding rumah sakit itu,” olok Andrew lagi dengan jengah. “Ah, terserahlah. Aku tidak peduli. Sekarang berikan foto itu sebelum rumah sakit kalian berganti kepemilikan menjadi milik-KU. Kau dengar? Milik aku.”

Gadis itu dan semua orang disana tahu kalau itu bukan hal yang mustahil dilakukan seorang Andrew. Itu bukan ancaman, melainkan kemurahan hati Andrew dengan membiarkan gadis itu memilih.

Si Gadis Pirang mengeluarkan handphonenya dan mengutak-ngatiknya sebentar sebelum memberikannya pada Andrew. Vino segera berbalik, tak kuasa melihat dirinya yang menyedihkan. Andrew menghapus foto tersebut, kemudian bertanya pada teman-teman Jazzie di belakangnya. “Bagaimana dengan kalian?”

Mereka terburu-buru mengeluarkan handphone sampai salah satu dari mereka menjatuhkannya berkat tangannya yang gemetar. Satu persatu menyodorkan ponsel mereka pada Andrew yang menghapus foto-foto tersebut dengan tangannya sendiri.

“Kuharap tidak ada salinan lain. Benar, kan? Jazzie sayang?” Si Gadis Pirang mengangguk cepat.

“Bagus. Saranku, jangan lakukan hal bodoh lain. Kalau aku mendengar foto itu tersebar, aku akan langsung menganggap itu ulahmu dan melakukan apa yang aku inginkan dengan rumah sakit kalian. Jelas?” Andrew berhenti sejenak memastikan anggukan mereka, kemudian melanjutkan dengan suara yang terasa lebih dingin dari sebelumnya, “Dan kuharap tidak satupun dari kalian mengusik Tiffany lagi.”

“Ayo, Vino.” Andrew berbalik dan berjalan keluar setelah menepuk pundak Tiffany ketika melewatinya. Vino juga mengusap kepala kekasihnya sekilas, menganggukkan kepala pada dosen yang terlihat benar-benar lega, dan keluar mengikuti Andrew.

Tiffany bergerak dengan canggung ke arah kursinya setelah mereka berdua keluar. Ia dapat merasakan berbagai macam pandangan yang diarahkan padanya, tapi ia memilih tak peduli. Memang sejak awal temannya hanyalah Vino dan Andrew.

Dosen bertepuk tangan di depan kelas mengembalikan perhatian seluruh penghuni kelas. “Oke, kita akan mulai kelasnya. Keluarkan buku kalian.”

Jazzie bergerak untuk duduk kembali di tempatnya sambil menggumaman umpatan-umpatan kotor yang membuat teman-temannya meringis mendengarnya. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia melayangkan tatapan penuh kebencian pada punggung Tiffany yang duduk di bagian depan.

'Gadis kecil sombong sialan itu yang telah mempermalukanku. Aku akan memberinya pelajaran.'

...----------------...

“Aku lega. Bagaimana denganmu?”

Vino menoleh kepada Andrew yang tersenyum lebar kepadanya.

“Terima kasih, Andrew.” Vino bersungguh-sungguh. Jika Andrew tidak ikut denganya, mungkin ia hanya berakhir dipermalukan lagi. Tiffany juga mungkin akan mengalami hal yang lebih parah karenanya.

“Itu tadi pelajaran untukmu. Orang sinting hanya bisa dihadapi dengan cara yang sinting.”

‘Tepatnya dengan kekuasaan,’ seloroh Vino dalam hatinya. Jika ia memiliki kekuasaan seperti Andrew, tidak akan ada yang menyakiti kekasihnya. Bukan hanya kekasihnya, ia dapat melindungi siapapun yang ingin ia lindungi. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikannya, tetapi sosok Andrew hari ini terasa seperti sebuah petunjuk bagi dilemanya. Ia ingin menjadi seperti Andrew.

Tapi apa ia benar-benar bisa menjadi model?

“Jadi, bagaimana? Kau akan menerima saran pamanku?”

Vino mengernyit. “Apa kau bisa membaca pikiran?”

“Hahahah. Apa kau gila?”

“Sudahlah. Aku ingin mencobanya. Tapi aku masih kurang yakin. Aku akan memikirkannya sebentar lagi.”

“Ok. Segera hubungi aku jika kau telah mendapatkan jawabannya.” Andrew berbalik ke arah tempat parkir alih-alih menuju fakultasnya.

“Hei, mau kemana kau?” panggil Vino walau ia telah menduga jawabannya.

“Pulang ke apartemen dan tidur. Kau ingin aku masuk kelas setelah aku berjuang untuk teman-temanku? Aku lelah, bung.” Andrew melemparkan tawa menggoda pada Vino yang memandangnya kesal. Andrew benar-benar menjengkelkan. Dia terasa seperti orang yang berbeda dengan pria yang mengintimidasi seisi kelas Tiffany beberapa saat yang lalu.

Vino melambaikan tangannya pada Andrew yang menjalankan mobilnya kencang melewati Vino dan keluar dari pekarangan kampus. Andrew memang terlihat seenaknya dengan segalanya, tapi Vino tahu kalau Andrew memiliki masalahnya sendiri.

...----------------...

(Supermarket tempat Vino bekerja)

“Selamat datang.” Vino kaget ketika menyadari pengunjung itu adalah Tiffany.

“Tiffany? Apa yang kau lakukan disini?” Ia keluar dari meja kasir dan menghampiri kekasihnya yang langsung menyusup masuk ke dalam pelukannya.

“Pekerjaanmu masih lama?”

“Sebentar lagi. Seharusnya kau menungguku di kampus saja. Aku akan menjemputmu setelah kerja seperti biasa.”

Tiffany menggeleng-gelengkan kepalanya di dada Vino. “Kau sudah sering menungguku. Kali ini aku yang akan menunggumu.”

Vino tersenyum lembut pada kekasihnya yang mulai menarik dirinya. “Baiklah. Aku akan segera selesai.”

“Hm. Setelah itu aku ingin berjalan-jalan denganmu.”

Memang sudah lama sejak terakhir kali mereka pergi berkencan. “Tentu saja. Kita akan pergi kemanapun kau mau,” sahut Vino.

Tiffany mengangguk singkat kemudian berjinjit mendaratkan kecupan di pipi kiri Vino. Mata Tiffany yang berbinar disertai pipi yang merona sungguh menakjubkan bagi Vino. Tiffany tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang disusun dengan sempurna sebelum mundur dan mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang tersedia di depan supermarket.

Vino tentu menjadi tidak fokus saat bekerja. Sejak kapan 30 menit menjadi selama ini?

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!