4. Saran dan Dilema (3)

Vino tak bisa mengalihkan tatapannya dari kekasihnya yang terlarut dengan es krimnya. Dia menikmati setiap suapannya sambil memejamkan mata seakan ia sedang memakan makanan terenak di dunia.

“Seenak itu?”

“Ini enak sekali. Bagaimana kau bisa menghabiskan milikmu dengan cepat tanpa ekspresi?” Tiffany benar-benar memasang ekspresi kesal yang bagi Vino terlihat lucu.

Melihat Tiffany yang bersinar di hadapannya, Vino kembali merasa bersalah telah menempatkan kekasihnya dalam situasi yang buruk akibat kelemahannya.

“Tiffany..”

“Hm?” Tiffany menyahut singkat. Masih fokus pada es krimnya.

“Aku minta maaf.” Vino berhasil merenggut perhatian Tiffany dari es krimnya sepenuhnya.

“Untuk.. apa?”

“Kau melalui hari-hari yang buruk karenaku. Aku minta maaf.”

“Oh, Tuhan! Apa yang kau katakan, kak?” Tiffany menggeser mangkuk es krimnya ke pinggir, kemudian meraih tangan Vino dan menggenggamnya. “Aku melakukannya karena aku ingin. Aku selalu ingin melindungimu. Tapi pada akhirnya aku tetap dilindungi oleh kalian.”

“Kami memang ingin melindungimu.”

“Itu dia. Aku juga memiliki perasaan yang sama. Kau mengerti, kan? Jadi berhenti membicarakan ini dan biarkan aku menghabiskan es krimku.” Tiffany kembali mengeluarkan cengirannya yang menenangkan Vino.

“Ter..” Perkataan Vino terhenti karena jari telunjuk Tiffany mendarat dengan cantik di depan bibirnya.

“Ssst. Jangan katakan. Seharusnya aku yang berterima kasih pada kalian. Tapi aku tidak akan mengatakan apapun. Jadi kak Vino juga jangan mengatakan apa-apa. Oke?”

Anggukan Vino membuat Tiffany tersenyum cerah dan meraih kembali mangkuk es krimnya, kembali terhanyut dengan suapan-suapan lambat seakan es krim tersebut adalah es krim terakhir di dunia.

Tatapan Vino memancarkan kehangatan dan kelembutan. Betapa ia ingin menghentikan waktu sehingga ia tidak perlu memikirkan apapun lagi. Hidupnya terasa cukup hanya dengan memandang gadisnya yang terlihat bahagia di depannya.

Sepertinya ia memang harus mencobanya. Menjadi model. Jika memang ia memiliki kualifikasi yang cukup untuk itu, ia harus mencobanya. Seperti kata Andrew, hingga ia benar-benar menemukan apa yang ingin ia lakukan.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Tiffany. Ia telah menyelesaikan makannya. Ia mendorong mangkuknya ke samping, kemudian menarik tisu untuk mengusap bibirnya.

“Memikirkan sesuatu,” balas Vino tersenyum.

“Kau tidak sedang memikirkan gadis lain kan?”

Senyuman Vino semakin lebar. “Yang benar saja. ”

Tiffany memandangnya lama sebelum bangkit berdiri dan meraih tasnya. “Ayo pulang, kak.”

Vino mengerutkan alisnya sebelum bangkit dan berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan mereka. Tiffany terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Atau hanya perasaannya?

Rasa penasaran Vino memudar ketika Tiffany meraih tangannya dan menggenggamnya segera setelah Vino melangkahkan kakinya keluar. Ia percaya pada Tiffany. Jika memang ada yang ingin Tiffany sampaikan, ia hanya perlu menunggu.

...----------------...

Vino keluar dari kamar mandi ke arah kulkas, meraih sebotol air dingin, meneguknya kemudian melirik ponselnya di meja makan dan mengernyit. Ia sudah meminta kekasihnya di stasiun untuk segera menghubunginya begitu tiba di rumah. Seharusnya Tiffany sudah sampai, tapi ia belum juga mengubungi. Vino menggelengkan kepalanya. Tak ada gunanya terlalu khawatir. Mungkin kekasihnya sedang mandi.

Vino bahkan belum mencapai pintu kamarnya saat handphonenya berdering karena adanya panggilan masuk. Ia berbalik cepat, menyambar ponselnya, dan mengangkat panggilan dengan segera.

“Ya, Sayang?”

Seketika meledak suara tawa dari seberang. Suara seorang laki-laki. Vino melirik layar ponselnya dengan dongkol. Andrew. Sialan.

“Kau merindukan gadismu? Aku juga, Sayang. Hahahahahah,” gelak Andrew tak ada habisnya.

Vino serta merta mematikan sambungannya. Ponselnya berdering lagi ketika ia hendak meletakkannya. Kali ini ia tak lupa melihat layar handphonenya. Tiffany. Oke, kali ini tidak salah.

“Hai kak.”

Hati Vino menghangat hanya dengan mendengar sapaan ringan gadisnya.

“Kenapa baru menghubungiku?” tanya Vino.

Tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya lebih lama.

“Aku terburu-buru mandi sehingga lupa mengirimkan pesan padamu.”

“Oh, syukurlah.” Tiffany dapat merasakan Vino tersenyum untuknya. Pipinya merona dengan alami.

“Kak, sejak tadi aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.”

Vino hampir lupa tentang itu. “Apa itu?”

“Sebenarnya aku berpikir untuk mengikuti kontes menyanyi tahunan kampus. Kau tahu, kan? Sepertinya akan diadakan sekitar 2 minggu lagi. Bagaimana menurutmu?”

Mata Vino berbinar. “Itu bagus sekali!”

“A.. Apakah baik-baik saja untukmu?”

“Kenapa tidak? Kau akan menang dengan mudah, Sayang. Selain karena suara indahmu, kontes itu juga menggunakan sistem vote dari penonton bukan? Kau memiliki banyak penggemar yang akan langsung memilihmu!”

Tiffany diam sejenak, kemudian menjawab dengan suara lirih.

“Ba.. Baiklah. Kalau begitu kututup dulu. Selamat malam.”

Tut.

Tiffany menutup telfonnya secara sepihak. Vino menatap telefonnya bingung. Apakah ia mengatakan hal yang salah?

Ting! Notifikasi pesan masuk dari Andrew.

‘Hei, Tuan-bucin-yang-berpotensi-menjadi-model. Bagaimana? Kau sudah memikirkannya?’

Orang ini berniat memuji atau mendukungnya, apapun itu Vino gagal mengerti.

‘Ya, aku akan mencobanya.’ Kirim.

Tak ada waktu lagi untuk ragu.

Ting!

‘Bagus. Kalau kau sudah tertarik, aku akan membawamu menuju langkah awal.’

‘Terima kasih. Tapi aku tidak suka mengandalkan orang lain Andrew. Katakan saja apa yang perlu kulakukan.’ Vino menolak dengan halus.

Ting!

‘Oh, diamlah. Besok aku akan menjemputmu setelah kuliahmu selesai. Kabari kekasih dan tempat kerjamu. Mungkin akan memakan banyak waktu.’

Beginilah Andrew. Ia sudah terlalu banyak membantunya tapi merasa tidak pernah melakukan apa-apa kecuali merepotkannya. Vino ingin mengetikkan kata ‘terima kasih’, tetapi mengurungkan niatnya ketika mengingat bahwa Andrew tidak akan menyukainya.

‘Oke.’ Kirim.

Vino berjalan kembali ke kamarnya, menarik celana panjang yang pertama dilihatnya dari lemari, kemudian berbaring tanpa menggunakan atasan. Ia menarik nafas panjang. Sekarang bagaimana cara ia menyampaikan hal ini pada Tiffany? Dari gelagat suaranya, ia merasa Tiffany marah padanya karena alasan yang tidak ia ketahui.

Vino menatap langit malam diluar jendelanya. Apakah semua ini akan mudah baginya?

...----------------...

Vino sama sekali tidak dapat fokus di kelasnya. Pikirannya selalu berlari ke percakapan terakhirnya dengan Tiffany tadi malam. Sebenarnya perkataannya yang mana yang salah? Pagi tadi ia telah mengirim pesan berisi permintaan maaf dan berusaha menelfon kekasihnya, tetapi sepertinya ia diabaikan dengan sengaja.

“Vino!” Vino tersentak kaget saat dosennya berteriak padanya dari depan kelas.

“Apa yang kau lamunkan?”

“Ti.. Tidak ada pak,” gagapnya sambil memperbaiki kacamatanya.

“Kau selalu mendapatkan nilai rata-rata disetiap tesmu. Cobalah untuk lebih memperhatikan pelajarannya. Kau sebenarnya bisa lebih dari ini.”

Terdengar suara-suara kikikan kecil dari beberapa tempat, tapi Vino mengabaikan mereka dan berusaha memfokuskan perhatiannya. Biasanya ia tidak tertarik sama sekali untuk menaikkan nilainya. Mottonya adalah ‘Cukup selama memenuhi syarat.’ Menurutnya melakukan lebih banyak hal hanya melelahkan diri sendiri. Ia selalu berpikir kalau itu akan menjadi motto seumur hidupnya.

Sampai beberapa hari yang lalu. Mottonya telah berubah. Ia tidak boleh merasa puas dengan hanya menjadi ‘biasa-biasa’ saja. Ia harus berada di puncak.

...----------------...

Jam kuliah selesai. Koridor-koridor kampus yang dipenuhi para mahasiswa mempersulit Vino yang juga berusaha melangkahkan kakinya keluar. Ia sampai di halaman kampus tepat saat Andrew menghubunginya.

“Cepat. Aku didepan gerbang.”

“Ok,” balas Vino. Ia mencari kontak kekasihnya dan menuliskan sesuatu sebelum berlari ke arah gerbang.

‘Tiffany, aku belum tahu apa salahku, tapi aku minta maaf. Kita akan bicara nanti. Aku memiliki suatu urusan yang harus kuselesaikan. Jadi hari ini aku tidak bisa menjemputmu.’ Kirim.

Vino mengedarkan pandangannya mencari mobil Andrew di depan gerbang sampai ia melihat kerumunan kecil para gadis. Ia bahkan tidak perlu memastikan penyebabnya dan segera berjalan cepat ke arah mereka. Vino harus segera mengeluarkan Andrew dari situasi itu. Ia tahu betul Andrew tidak suka diperhatikan orang-orang yang tidak berada dalam radarnya. Karena hal inilah Andrew tidak suka berjalan-jalan di kampus. Ia lebih memilih datang telat jika ia ingin datang, kemudian pulang duluan. Tentu saja tidak ada dosen yang berani protes. Universitas ini bisa berjalan dengan lancar berkat ayahnya.

Vino menerobos kerumunan hingga sampai ke sisi mobil. Mereka berkerumun lebih agresif dari biasanya. Andrew dengan mobilnya mungkin menciptakan suatu medan magnet yang lebih kuat. Ia menutup telinganya yang terasa berdenging karena teriakan para gadis di dekatnya dan mengetuk jendela mobil. Andrew menoleh padanya dan mengangguk.

Vino masuk kedalam mobil dengan cepat dan menutup pintunya. Andrew langsung menekan klakson panjang dan melaju kencang membelah kerumunan.

Andrew mengumpat keras setelah mereka berhasil bebas.

“Sudah kubilang pacari saja salah satu dari mereka. Mereka akan mundur teratur saat mengetahui kalau kau sudah punya pacar, atau setidaknya menahan diri.” Vino berkata kalem sambil membersihkan kacamatanya.

“Aku membutuhkan gadis waras yang lebih memilih harga diri dibanding uang untuk kujadikan pacar,” jawab Andrew ketus.

Vino mengangkat bahunya. “Terserahmu saja. Tapi jika kau tak segera mencari pacar, kau tak berhak mengeluhkan mereka."

“Mengapa? Kebebasan juga hakku sebagai manusia.”

“Dan menikmati sesuatu yang indah adalah naluri kita sebagai manusia.”

‘CKIIIIIT.’ Vino hampir mencium kaca mobil berkat Andrew yang menginjak remnya secara mendadak. Ia mendelik marah pada Andrew yang sedang melihat ke arahnya dengan ekspresi aneh.

“Ada apa denganmu, sialan?”

“Wahh, kau benar-benar menakjubkan.” Andrew kembali menjalankan mobilnya dengan normal. “Kau berhasil membuatku ingin memuntahkan makan siangku.”

“Memangnya apa yang kulakukan?”

“Apa kau sadar kau baru saja menyebutku indah?”

“Lantas kenapa? Itu fakta. Kau tampan dan mereka menyukaimu.”

“Cukup, hentikan, Vino, atau aku akan benar-benar muntah.” Andrew melirik jengkel ke arahnya. “Tidak ada pria yang terbiasa dengan pujian pria lainnya, Bung.”

Vino tidak berpikir kesana. Ia mencoba membayangkan Andrew tersenyum padanya dan menyebutnya tampan. Vino mengernyit. Benar. Itu menjijikkan.

“Kemana kita akan pergi?” Vino mengalihkan pembicaraan.

“Ketempat orang yang akan menjadi mentor utamamu dalam merintis karir menjadi model,” kata Andrew sambil mengedipkan matanya jahil.

“Siapa orang ini? Kenalanmu?”

“Dia seorang desainer busana ternama yang pernah bekerja sama dengan perusahaan kami. Orang yang hebat dan profesional. Aku mengenalnya dan ia bisa kupercaya.” Kata Andrew sambil mengacungkan jempolnya.

Vino mengangguk paham dan memilih memandang keluar jendela, menyerahkan semuanya pada Andrew.

Mereka berhenti didepan sebuah butik besar yang indah dan tidak terlalu ramai. Para pegawainya membungkukkan badan saat mereka melangkahkan kaki masuk. Vino membulatkan matanya ketika melirik harga salah satu baju. Itu setara dengan gajinya satu tahun bekerja di supermarket.

“Apakah tuan Rom ada?” tanya Andrew pada salah satu pegawai disana.

“Ada pak, beliau di ruangannya. Apa anda memiliki janji?” tanya pegawai tersebut.

“Ya, kabari kalau aku, Andrew, telah sampai,” perintah Andrew tenang dengan intonasi khasnya. Kasir tersebut menurut tanpa banyak protes. Andrew sebenarnya mengenakan pakaian casual yang terlihat santai, bukan setelan atau kemeja. Tetapi dia mengeluarkan aura superclass yang kentara tanpa dia sadari.

Tidak lama, pegawai tersebut kembali. “Anda diminta menunggu diruang tunggu, pak. Beliau akan segera tiba. Mari, saya antar,” tuntunnya.

Mereka dibawa ke sebuah ruang tunggu yang diisi sofa dan meja berwarna navy blue elegan. Dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan yang tidak Vino pahami. Terdapat juga vas-vas bunga dan miniatur menara Eiffel yang terbuat dari kaca tertata dengan apik di sudut-sudut ruangan. Ruangan itu minimalis tetapi berkelas sekali. Andrew menahan tawanya saat Vino dengan lugu memeriksa apakah telapak sepatunya berlumpur atau tidak.

Belum sampai 2 menit mereka menunggu pintu ruangan telah dibuka dan menampakkan wujud pria tegap setengah baya berbalut jas berwarna abu-abu dan dasi hitam.

“Maaf membuatmu menunggu, Andrew,” katanya sambil bergerak maju menyalami Andrew. Kemudian ia menyalami Vino dengan cepat dan kembali memberikan perhatian penuhnya pada Andrew.

“Ini temanku yang kubicarakan,” Andrew menunjuk Vino disampingnya setelah mereka semua mengambil tempat duduknya.

“Vino, kenalkan, ini Tuan Rom. Orang yang akan menjadi mentormu,” kata Andrew pada Vino.

Vino merasa tatapan tuan Rom seakan mengulitinya. Sepertinya Pak Rom sedang mengira-ngira apa yang membuat anak culun seperti dirinya direkomendasikan menjadi model oleh Andrew.

“Dia memang belum memiliki pengalaman apapun. Tetapi ia memiliki fisik yang mendukung. Itu kata pamanku. Apa anda meragukannya?” tanya Andrew tenang.

“Tentu saja tidak. Hanya saja tidak ada bisnis tanpa keuntungan. Aku bersedia membimbingnya dengan segala kekuatanku jika aku mendapat bayaran yang setimpal,” jawab Rom.

“Aku akan membujuk ayah menyetujui penawaran yang kau ajukan.”

Rom membulatkan matanya. "Bagaimana kau.."

“Jika dia berhasil,” tambah Andrew. Kali ini seringainya muncul karena tahu Rom tidak akan bisa menolaknya.

“Bagaimana dengan jangka waktunya?”

“Aku menyerahkan itu padamu.”

“Setuju.” Rom mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Andrew, kemudian mengalihkan matanya pada Vino yang tidak mengerti pembicaraan mereka sebelumnya.

“Jadi anak muda, siapa namamu?” tanyanya.

“Vino pak,” jawab Vino gugup.

“Dunia model adalah dunia yang keras, penuh penolakan, dan persaingan yamg ketat. Kau harus menyiapkan mentalmu,” kata Rom dengan tegas.

Vino mengangguk menyatakan kesiapannya.

“Apa kesibukanmu sekarang?” tanya Rom lagi.

“Saya mahasiswa pak. Sehari-hari saya bekerja part time di supermarket,” jawab Vino.

“Jika kau ingin pelajaran dan pelatihan yang maksimal, kau harus menghentikan seluruh kegiatanmu untuk sementara dan tinggal ditempatku,” tegas Rom.

Satu satunya yang terpikir oleh Vino adalah Tiffany. Apakah itu artinya mereka tak bisa bertemu?

“Berapa lama kalau saya boleh tahu, Pak?” tanya Vino.

“Mungkin 2-3 bulan. Tergantung pencapaianmu,” jawab Rom.

Vino menguatkan dirinya. Ia akan bicara baik-baik dengan Tiffany nanti.

“Aku bisa mengurus pekerjaanku di supermarket. Tetapi meminta cuti dari universitasku adalah suatu hal yang rumit,” jawab Vino.

“Serahkan hal itu padaku,” serobot Andrew dan tergelak singkat saat Vino lagi-lagi mencibir kearahnya.

“Kurasa ada hal lain yang kau khawatirkan?” Andrew bisa membaca pikiran Vino yang tertuju pada Tiffany. Tetapi Vino menggeleng.

“Aku akan mengurusnya. Masalah kuliahku kuserahkan padamu." Vino memukul bahu Andrew.

Andrew permisi mengangkat telefon saat ia mendapat panggilan dan meninggalkan mereka berdua di ruangan tersebut.

“Tolong diingat, kau hanyalah tambang emasku, bukan propertiku. Aku menerimamu karena keberhasilanmu berarti keuntungan untukku. Karena itu, aku tak akan segan berlaku keras padamu.” Rom menatap Vino dengan tajam.

“Mohon bantuannya, Pak.” Tekad Vino membuat Rom tersenyum.

“Kau punya paspor?”

Vino menatapnya bingung.

“Punya, tapi untuk apa, Pak?”

“Beberapa hari lagi kita akan pergi ke suatu tempat sebagai pembelajaran pertama untukmu.”

Terpopuler

Comments

Anisyah Tri Atmaja

Anisyah Tri Atmaja

suka cerita nya

2020-12-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!