“Hoaahm. Sial, mataku berat sekali.” Andrew menguap dan menggerutu untuk kesekian kalinya. Tangan kanannya bergerak mengacak-ngacak rambutnya yang telah berantakan sejak awal, sedangkan tangan kirinya menyusup masuk ke dalam saku jaket kulit hitamnya. Tubuhnya hanya dibalut kaus dan jins hitam yang melekat di kaki panjangnya dengan cara yang menggoda mengiringi setiap langkahnya. Vino yang diam-diam memperhatikan takjub dengan cara Andrew menyedot perhatian di lorong tersebut hanya dengan gerakan-gerakan kecilnya.
“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak perlu ikut. Kau yang memaksa,” sahut Vino sambil mengabaikan tatapan-tatapan penasaran ke arah mereka. Lebih tepatnya ke arah teman sialan yang sedang berjalan bersisian dengannya. Vino tidak pernah nyaman menjadi pusat perhatian. Tetapi tidak akan ada yang berani mengusiknya selama ia menyandang status sebagai ‘teman’ seorang Andrew, dan ia harus menyatakan kepemilikannya atas Tiffany. Dua alasan ini membuatnya sanggup bertahan berjalan bersama dua magnet kampus tersebut.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan kepada gadis-gadis itu tanpaku, hm? Kau pasti berniat untuk bicara baik-baik dan meminta mereka menghapus foto itu.”
“Tentu saja. Kurasa akan lebih baik jika diselesaikan dengan suatu kesepakatan. Tiffany tidak perlu terkena imbasnya.”
“Kau terlalu polos, Vino. Hoaahm. Kau kira mereka yang melakukan hal-hal sinting seperti memperbudak orang lain bisa diajak bicara? Serahkan padaku dan pahami bagaimana cara menghadapi orang sinting.” Mereka berdua berbelok menyusuri halaman kampus menuju kelas Tiffany.
“Aku berharap mereka benar-benar sekelas dengan Tiffany,” gumam Vino.
“Dan jika ternyata tidak? Bagaimana kau akan mencarinya?”
Vino tak dapat mengutarakan jawaban apapun selain, “Mungkin saat itu akan akan membutuhkan bantuanmu.”
Andrew bergerak merangkul Vino dengan kasar. “Ck, jawaban bagus, tapi kurang tepat. Berhentilah merasa merepotkanku. Kau membuatku kesal.”
“Oke, oke. Lepaskan aku, An. Aku minta maaf.” Andrew menyeringai sebelum melepaskan lengannya dari leher Vino. Wajah Vino yang memerah dan bersungut-sungut membuatnya tergelak.
“Kak Vino! Andrew!” Seruan itu menghentikan langkah mereka. Vino dengan sumringah berbalik ke arah sumber suara yang sudah sangat dikenalnya itu diikuti Andrew. Pemilik suara berlari kecil menghampiri dan tersenyum lebar di depan mereka.
“Apa yang kalian berdua lakukan di dekat kelasku?” Pancaran aura ceria Tiffany otomatis mengundang senyum di wajah Vino. Sejenak ia melupakan kekhawatirannya. Ia menepukkan tangannya lembut ke kepala kekasihnya.
“Kami memang akan mengunjungimu.”
“Andrew juga?” Tiffany memiringkan kepalanya ke arah Andrew dengan ekspresi bingung.
“Kenapa kau terlihat sebingung itu? Dan sudah kubilang panggil aku juga dengan ‘kak’.”
“Hahahaha. Kau kan tidak suka berjalan-jalan di kampus. Atau para penggemarmu akan menggila di sekelilingmu.”
“Kau berkata seakan para penggemarmu hanyalah angin lalu.”
“Aku sudah punya pacar. Mereka tidak akan menggangguku.” Tiffany bergerak merangkul erat lengan Vino sambil menjulurkan lidahnya kepada Andrew.
Andrew menggerutu di dalam hati sebelum bergerak mensejajari langkah kedua temannya yang melangkah bersama.
Diperhatikannya Tiffany yang berbicara pada Vino dengan pipinya yang merona. ‘Syukurlah, ia terlihat baik-baik saja,’ batin Andrew. Cerita Vino kemarin tentu turut membuatnya mengkhawatirkan Tiffany. Bagaimanapun Tiffany juga berharga untuknya. Bukan hanya karena ia kekasih sahabatnya, tetapi Tiffany juga teman yang sangat berharga baginya. Teman yang tidak mengharapkan apapun darinya.
Mereka hampir sampai ke kelas Tiffany saat, “Aw!” Seorang gadis cantik berambut coklat panjang yang baru saja keluar dari kelas sukses bertubrukan dengan Vino di depan pintu.
“Ah, kau tidak apa-apa?” Vino bergerak menunduk dengan khawatir.
“Maaf, salahku terburu-buru. Eh..”
“Andrew!” Matanya langsung berbinar saat menemukan keberadaan Andrew di samping Vino. Sepertinya tubuh Vino yang sebenarnya sama besarnya dengan Andrew menjadi tidak terlihat. Ia langsung memeluk lengan Andrew dan melemparkan senyuman menggoda.
“Kau datang mengunjungiku?” Matanya yang besar dan indah menatap Andrew dengan pandangan memuja yang berlebihan. Andrew hanya meliriknya sekilas sebelum menarik lepas lengannya.
“Jangan sentuh aku.” Perkataan ketus Andrew tak membuat gadis itu menyerah.
“Kau tak ingat aku? Kita bermain bersama di klub dua malam yang lalu.” Ia kembali mengaitkan tangannya ke lengan Andrew. Kali ini lebih erat. Orang-orang di sekitar mereka mulai memerhatikan drama mendadak gratis yang tersaji. Terlebih aktornya adalah Andrew.
“Aku tidak mengingat mereka yang tidak penting bagiku. Lepaskan.” Andrew mengeluarkan aura dingin yang dapat dirasakan oleh semua yang berada disana. Tiffany tanpa sadar bergerak merapatkan diri ke arah Vino.
Pandangan mata gadis berambut coklat tadi berubah menunjukkan ketakutan. Dengan gemetar tangannya bergerak melepas lengan Andrew dan segera berlari menjauhi mereka.
“Ck. Ayo masuk. Tiffany, tunjukkan kursimu.” Andrew mengedarkan pandangan tajamnya dan membubarkan kerumunan dengan cepat.
“Oh, benar. Ayo kemari.” Mereka berdua masuk mengikuti langkah Tiffany.
Mata Vino menjelajah kelas Tiffany seiring langkahnya. Tak lama pupilnya melebar melihat seorang gadis modis dengan rambut pirang bergelombang yang tidak akan dilupakannya. Gadis yang kemarin mengolok-ngoloknya itu sedang duduk di pojok kelas dikelilingi teman-temannya. Entah berkat apa yang terjadi, dia benar-benar ada disini. Seketika emosinya kembali naik saat gadis itu menyadari kehadiran mereka dan menatapnya.
Vino menggertakkan giginya. “Andrew,” desisnya pelan. “Gadis itu. Dan teman-temannya.” Andrew mengikuti arah pandang Vino dan menyeringai dingin saat mendapati gadis pirang itu sedang menatap mereka. Ia berbisik pada Vino, “Ok. Ayo kita selesaikan.”
Mereka berbelok lurus menuju gadis pirang dan teman-temannya yang mulai terlihat gelisah. Tiffany yang menyadari mereka tidak lagi mengikutinya berhenti dan berubah pucat ketika menyadari tujuan sebenarnya Vino dan Andrew. Ia segera berlari untuk menghadang langkah mereka.
“Tung, tunggu. Tempat dudukku di sana.” Keringat Tiffany yang bercucuran, matanya yang gelisah, dan gerakan menghadangnya yang terlihat menyedihkan di depan dua pria bertubuh besar semakin menyulut emosi Vino dan Andrew. Vino meraih gadisnya ke belakang tubuhnya dengan lembut, tapi tatapannya tak lepas dari objek kemarahannya.
“Tenanglah Tiffany.” Suara Andrew sedingin es. “Mereka harus tahu akibat dari mengusikmu.”
Tiffany tidak dapat mengindahkan perasaan aman yang ia rasakan hanya dengan melihat punggung mereka berdua di depannya. Air matanya mulai merembes keluar, mengalir tanpa suara. Entah bagaimana Andrew dan Vino telah mengetahui rahasianya. Ia senang mereka berdua mengetahuinya sehingga ia tidak perlu lagi menyembunyikannya. Tapi bagaimana dengan foto Vino yang mereka miliki?
Tiffany kembali bergerak, kali ini ia memilih membujuk Vino yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendengarkannya. “Vino, hentikan. Kumohon. Dia memiliki fotomu. Kita tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan itu.” Tiffany berbicara dengan bibirnya yang bergetar. Tangannya mencengkram kuat bagian depan kaus yang Vino kenakan. Matanya sarat akan kekhawatiran yang berusaha ia sampaikan.
Vino tertegun menyaksikan keputusasaan kekasihnya. Kepedihan dan rasa sakit menyayat hati dan perasaannya. Dipandanginya tubuh kekasihnya yang kecil dan lembut. Bagaimana bisa gadis bertubuh kecil ini mendeklarasikan diri sebagai pelindungnya? Bagaimana bisa ia menyebabkan rasa sakit dan penderitaan menodai gadisnya? Vino muak dengan dirinya sendiri.
Sementara Vino membatu menghadapi emosinya, Andrew terus merengsek maju hingga sampai tepat di depan gadis berambut pirang. Teman-temannya--sadar atau tidak sadar--bergerak mundur karena terintimidasi dengan tubuh besar Andrew dan auranya yang kuat.
Si Gadis Pirang menggigit bibirnya. Ia menggigil merasakan tatapan Andrew seakan mengulitinya, mengirimkan rasa dingin hingga ke tulangnya.
'Sial, Tiffany—pelacur sialan itu pasti mengadu pada mereka.'
“Apa yang kau inginkan?” Menyembunyikan kegelisahannya, ia mengangkat wajah dan memasang ekspresi angkuh andalannya. Dipojokkan dan diintimidasi bukanlah hal yang disukai Si Gadis Pirang. Mungkin ia akan menyukainya jika mereka berada dalam situasi yang berbeda. Lagipula tidak akan ada wanita sehat yang menolak Andrew.
Berbanding terbalik dengan aura tenang dan berbahaya yang memancar keluar dari tubuhnya, suara Andrew terdengar bagai geraman predator buas yang menahan diri untuk tidak mencabik mangsanya. “Berikan foto Vino yang ada padamu sebelum kau menyesal.”
Perkataan Andrew tersebut menguatkan Vino untuk melangkah. Ia berada disini untuk mengubah dirinya, dan Andrew sedang membantunya. Apa gunanya bertindak seperti seorang pengecut sekarang? Ia menggeser Tiffany kembali, berbisik ketika Tiffany menggelengkan kepalanya berkali-kali dengan keras kepala. “Melihatnya menyakitimu adalah hal yang lebih buruk bagiku.”
Vino melangkah mensejajarkan diri dengan Andrew, menyadari bahkan bernafas terasa berat di samping temannya. Kelas Tiffany bagai diselimuti keheningan mencekam. Semua orang disana merasa takut hanya untuk sekedar membuang nafas mereka. Manusia sulit untuk menyatukan pikiran, tapi saat itu semuanya memiliki pikiran yang sama:
‘Jangan lakukan apapun yang dapat menarik perhatian Andrew.’
“Kau dengar aku. Berikan foto itu.” Andrew mengulang kalimatnya dengan penekanan di setiap katanya.
Si Gadis Pirang berdecak kesal. Ia merutuk lututnya yang bergetar ketika ia bangkit berdiri dan bersedekap di hadapan mereka berdua. Masa bodoh. Ia tidak harus takut. Keluarganya memiliki pengaruh yang kuat. Walaupun ia tidak yakin jika dibandingkan dengan keluarga Andrew, tapi layak dicoba.
“Foto apa? Sial, kau membuatku terdengar seperti bajingan cabul yang menyimpan foto bocah kacamata ini.” Dengusan jijik dikeluarkannya sambil mengibaskan tangannya ringan di depan wajahnya. Tatapannya berpindah ke arah Vino sebelum melirik Tiffany yang menunduk di balik punggung kekasihnya. “Atau gadis kecil kalian menangis meminta bantuan? Aku tidak tahu apa yang ia katakan pada kalian, tetapi kalian tidak bisa mempercayainya begitu saja tanpa bukti.”
Vino menggigit bibirnya kuat-kuat, menekan dorongan naluriah untuk memukul wajah gadis di depannya.
“HAHAHAHAHAH.” Suara tawa itu berasal dari Andrew. Ledakan tawa yang terdengar bagai vonis hukuman mati bagi gadis angkuh di depan mereka. Kakinya bergerak mundur tanpa ia sadari. Bulu kuduknya merinding diiringi penyesalan mendalam akan tindakannya sebelumnya. Jauh lebih baik jika ia memenuhi keinginan Andrew sejak awal.
Tawa itu berlanjut tanpa ada yang berpikir untuk menginterupsinya, bahkan Vino. Andrew menutup matanya dengan telapak tangannya setelah beberapa saat, medongakkan kepalanya ke langit-langit, mengehentikan tawanya. “Sebenarnya bagaimana rencanamu membuat kesepakatan dengannya, Vino? Dia tidak terlihat memiliki otak atau sejenisnya.”
“Apa yang terjadi disini?” Pertanyaan itu berasal dari seorang dosen yang memasuki kelas Tiffany tanpa mengerti dengan atmosfir menegangkan di kelasnya. Anak-anak didiknya membatu di tempatnya masing-masing, meliriknya dengan pucat seakan ia telah melakukan dosa yang membuatnya layak dikebiri. Ia baru mengerti sepenuhnya alasannya saat menemukan sosok Andrew yang tampak jelas sedang diselimuti kemarahan melirik tajam ke arahnya.
“Oh..” Keluar? Atau berjalan ke mejanya tanpa terlihat peduli? Yang mana tindakan yang benar? Mengusik Andrew berarti menghancurkan pekerjaannya, dan kehancuran pekerjaannya berarti kehancuran keluarga dan kehidupannya. Harga diri tidak akan membantunya saat ini. Ia harus memastikan bocah sombong sialan itu mengabaikannya.
Dosen tersebut mengalihkan pandangan seakan tak melihat apapun, meletakkan buku di mejanya, kemudian mengeluarkan ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Ia berputar bermaksud keluar dari kelas tersebut sambil berusaha terlihat sibuk menelfon seseorang.
“Tunggu.”
Habislah ia.
Ia membalikkan badan kembali ke arah Andrew dan bertanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Ia harus memberikan kesan seakan tidak melihat apapun. Tidak peduli apapun. “Ada apa, Andrew?”
“Kebetulan sekali, Pak. Aku ingin tahu nama gadis ini.”
Dosen itu menatap ke arah gadis yang diisyaratkan Andrew. Ia melihat gadis itu dan memahami ekspresi memohon bantuan yang tergambar di matanya. Tapi ia tahu hal yang harus dilakukannya. Memang sejak awal tidak seharusnya anak didiknya tersebut mengusik Andrew.
“Jazzie Hansen.”
“Nama orangtuanya?”
“Adam Hansen.”
Andrew mengerutkan keningnya, terlihat sungguh-sungguh berpikir. “Kukira aku akan mengenal nama orangtuanya berkat mulut manis putri cantiknya yang membuatku terhibur. Tapi kurasa aku salah. Apa kau pernah mendengarnya, Vino?”
“Tidak. Tapi kurasa ada hubungannya dengan rumah sakit Hansen. Kau tau, kan? Rumah sakit terbaik di sini,” jawab Vino.
“Benarkah?” Andrew kembali menatap Si Gadis Pirang yang wajahnya telah kehilangan warna. Gadis itu membisu. Jawaban yang tak kunjung diberikannya membuat Andrew jengkel. Ia bergerak mendekat dan merendahkan kepalanya hingga sejajar dengan wajah si gadis, berkata rendah dan singkat. “Jawab, pelacur.”
Si Gadis Pirang menggigit bibirnya menahan tangis karena perkataan kasar dan perlakuan dingin Andrew padanya. “Be, benar. Rumah sakit itu milik kami,” jawabnya dengan gemetar. Persetan.
“Oh Tuhan. Gadis ini sudah tidak tertolong. Milik kami katanya? Aku yakin selain ayahmu tidak ada keluargamu yang tau warna dinding rumah sakit itu,” olok Andrew lagi dengan jengah. “Ah, terserahlah. Aku tidak peduli. Sekarang berikan foto itu sebelum rumah sakit kalian berganti kepemilikan menjadi milik-KU. Kau dengar? Milik aku.”
Gadis itu dan semua orang disana tahu kalau itu bukan hal yang mustahil dilakukan seorang Andrew. Itu bukan ancaman, melainkan kemurahan hati Andrew dengan membiarkan gadis itu memilih.
Si Gadis Pirang mengeluarkan handphonenya dan mengutak-ngatiknya sebentar sebelum memberikannya pada Andrew. Vino segera berbalik, tak kuasa melihat dirinya yang menyedihkan. Andrew menghapus foto tersebut, kemudian bertanya pada teman-teman Jazzie di belakangnya. “Bagaimana dengan kalian?”
Mereka terburu-buru mengeluarkan handphone sampai salah satu dari mereka menjatuhkannya berkat tangannya yang gemetar. Satu persatu menyodorkan ponsel mereka pada Andrew yang menghapus foto-foto tersebut dengan tangannya sendiri.
“Kuharap tidak ada salinan lain. Benar, kan? Jazzie sayang?” Si Gadis Pirang mengangguk cepat.
“Bagus. Saranku, jangan lakukan hal bodoh lain. Kalau aku mendengar foto itu tersebar, aku akan langsung menganggap itu ulahmu dan melakukan apa yang aku inginkan dengan rumah sakit kalian. Jelas?” Andrew berhenti sejenak memastikan anggukan mereka, kemudian melanjutkan dengan suara yang terasa lebih dingin dari sebelumnya, “Dan kuharap tidak satupun dari kalian mengusik Tiffany lagi.”
“Ayo, Vino.” Andrew berbalik dan berjalan keluar setelah menepuk pundak Tiffany ketika melewatinya. Vino juga mengusap kepala kekasihnya sekilas, menganggukkan kepala pada dosen yang terlihat benar-benar lega, dan keluar mengikuti Andrew.
Tiffany bergerak dengan canggung ke arah kursinya setelah mereka berdua keluar. Ia dapat merasakan berbagai macam pandangan yang diarahkan padanya, tapi ia memilih tak peduli. Memang sejak awal temannya hanyalah Vino dan Andrew.
Dosen bertepuk tangan di depan kelas mengembalikan perhatian seluruh penghuni kelas. “Oke, kita akan mulai kelasnya. Keluarkan buku kalian.”
Jazzie bergerak untuk duduk kembali di tempatnya sambil menggumaman umpatan-umpatan kotor yang membuat teman-temannya meringis mendengarnya. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia melayangkan tatapan penuh kebencian pada punggung Tiffany yang duduk di bagian depan.
'Gadis kecil sombong sialan itu yang telah mempermalukanku. Aku akan memberinya pelajaran.'
...----------------...
“Aku lega. Bagaimana denganmu?”
Vino menoleh kepada Andrew yang tersenyum lebar kepadanya.
“Terima kasih, Andrew.” Vino bersungguh-sungguh. Jika Andrew tidak ikut denganya, mungkin ia hanya berakhir dipermalukan lagi. Tiffany juga mungkin akan mengalami hal yang lebih parah karenanya.
“Itu tadi pelajaran untukmu. Orang sinting hanya bisa dihadapi dengan cara yang sinting.”
‘Tepatnya dengan kekuasaan,’ seloroh Vino dalam hatinya. Jika ia memiliki kekuasaan seperti Andrew, tidak akan ada yang menyakiti kekasihnya. Bukan hanya kekasihnya, ia dapat melindungi siapapun yang ingin ia lindungi. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikannya, tetapi sosok Andrew hari ini terasa seperti sebuah petunjuk bagi dilemanya. Ia ingin menjadi seperti Andrew.
Tapi apa ia benar-benar bisa menjadi model?
“Jadi, bagaimana? Kau akan menerima saran pamanku?”
Vino mengernyit. “Apa kau bisa membaca pikiran?”
“Hahahah. Apa kau gila?”
“Sudahlah. Aku ingin mencobanya. Tapi aku masih kurang yakin. Aku akan memikirkannya sebentar lagi.”
“Ok. Segera hubungi aku jika kau telah mendapatkan jawabannya.” Andrew berbalik ke arah tempat parkir alih-alih menuju fakultasnya.
“Hei, mau kemana kau?” panggil Vino walau ia telah menduga jawabannya.
“Pulang ke apartemen dan tidur. Kau ingin aku masuk kelas setelah aku berjuang untuk teman-temanku? Aku lelah, bung.” Andrew melemparkan tawa menggoda pada Vino yang memandangnya kesal. Andrew benar-benar menjengkelkan. Dia terasa seperti orang yang berbeda dengan pria yang mengintimidasi seisi kelas Tiffany beberapa saat yang lalu.
Vino melambaikan tangannya pada Andrew yang menjalankan mobilnya kencang melewati Vino dan keluar dari pekarangan kampus. Andrew memang terlihat seenaknya dengan segalanya, tapi Vino tahu kalau Andrew memiliki masalahnya sendiri.
...----------------...
(Supermarket tempat Vino bekerja)
“Selamat datang.” Vino kaget ketika menyadari pengunjung itu adalah Tiffany.
“Tiffany? Apa yang kau lakukan disini?” Ia keluar dari meja kasir dan menghampiri kekasihnya yang langsung menyusup masuk ke dalam pelukannya.
“Pekerjaanmu masih lama?”
“Sebentar lagi. Seharusnya kau menungguku di kampus saja. Aku akan menjemputmu setelah kerja seperti biasa.”
Tiffany menggeleng-gelengkan kepalanya di dada Vino. “Kau sudah sering menungguku. Kali ini aku yang akan menunggumu.”
Vino tersenyum lembut pada kekasihnya yang mulai menarik dirinya. “Baiklah. Aku akan segera selesai.”
“Hm. Setelah itu aku ingin berjalan-jalan denganmu.”
Memang sudah lama sejak terakhir kali mereka pergi berkencan. “Tentu saja. Kita akan pergi kemanapun kau mau,” sahut Vino.
Tiffany mengangguk singkat kemudian berjinjit mendaratkan kecupan di pipi kiri Vino. Mata Tiffany yang berbinar disertai pipi yang merona sungguh menakjubkan bagi Vino. Tiffany tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang disusun dengan sempurna sebelum mundur dan mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang tersedia di depan supermarket.
Vino tentu menjadi tidak fokus saat bekerja. Sejak kapan 30 menit menjadi selama ini?
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Viona Amanda
mmnnn
2020-12-15
0
Anisyah Tri Atmaja
seperti ny seru cerita ny....lanjuttt
2020-12-08
1